Friday, April 2, 2010

PENDIDIKAN MORAL


1. Pendahuluan

Moralitas adalah bukti kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya. Tuhan hanya memberikan bimbingan dan petunjuk, tidak memaksa manusia. Manusialah yang memilih; adakala ia mengambil jalan kebaikan, adakala ia mengambil jalan kejahatan. Moralitas adalah sikap mental di mana seseorang lebih memilih kebaikan dari keburukan, kebenaran dari kebatilan, keadilan dari kezaliman. Moralitas adalah komitmen yang menuntut seseorang lebih mempertimbangkan kebaikan untuk sesama ketimbang kepentingan diri sendiri, spiritualitas di atas nafsu dan kepentingan duniawi; moralitas mencerminkan kesabaran, kasih sayang, kemampuan menahan diri dan kemampuan meletakkan nilai-nilai di atas segala bentuk tekanan emosi dan nafsu.
Dunia tanpa moral dalam kehidupan manusia akan membawa kepada destruksi peradaban. Kekosongan moral akan menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa moral manusia tidak berbeda dari hewan: akal tidak banyak memberikan manfaat. Jika akal merupakan alat untuk melakukan kalkulasi dan analisis rasional, maka moralitas adalah kesadaran nurani yang menentukan pengambilan sikap. Kecerdasan akal mampu secara kreatif membangun peradaban yang mencengangkan, tetapi tanpa moral peradaban itu rapuh. Peradaban yang dibangun seorang penguasa di atas puing-puing nestapa dan penderitaan rakyat jelata akan menuai kehancuran dalam waktu yang tidak lama. Peradaban Fir’aun yang dibangun dengan darah dan air mata kaum Bani Israil, misalnya, dihancurkan Tuhan dalam waktu sesaat. Kemegahan duniawi yang dibangun tanpa fondasi moral, hanya sebuah ilusi yang akan lenyap dalam sekejap.
Moralitas, dengan demikian, adalah basis bagi ketahanan sebuah masyarakat dan bangsa. Moralitas memberikan keseimbangan dalam hubungan dan interaksi sesama manusia sehingga menguatkan cita-cita bersama serta mendistribusikan ketenteraman secara merata. Moralitas berdampak pada semua lini kehidupan: sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan keagamaan. Jadi persoalan moralitas sangat penting, tidak bisa diabaikan. Tulisan ini memberikan penekanan pada aspek tanggung jawab keluarga dan masyarakat dalam rangka memberikan dan menguatkan pendidikan moral.

2. Moralitas dalam Wacana

Moralitas sering disebut dengan a code of conduct, aturan berperilaku. Dalam bertindak dan melakukan berbagai aktivitas yang bersinggungan dengan orang lain diperlukan aturan yang merupakan tatanan sikap. Seseorang tidak boleh berkelakuan “seenaknya” ketika berinteraksi dengan orang lain, melainkan harus sesuai dengan ketentuan tertentu baik berdasarkan ajaran agama atau adat istiadat, yakni aturan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Tata tutur, cara berbicara, bahasa yang digunakan, cara berdiri dan duduk, sampai pada cara meletakkan tangan serta cara mengedipkan mata, dianggap punya makna tersendiri oleh kebanyakan orang; di hadapan orang lain kita tidak boleh melakukannya secara sebarangan. Akan tetapi, dalam hal ini ada problem yang muncul, yakni soal standar moral. Aturan-aturan moral yang dianut suatu masyarakat boleh jadi berbeda dari yang dianut masyarakat lain. Lalu yang mana harus dijadikan standar?
Dalam wacana filsafat, moralitas dan etika memang merupakan persoalan yang pelik dan telah menimbulkan perdebatan yang panjang. Apa sebenarnya moralitas itu? Ia berasal dari mana? Apakah ia hanya terkait dengan persoalan tindakan dan didasarkan pada alasan-alasan praktis? Apakah kita berbuat baik, hanya supaya orang lain berbuat baik kepada kita? Kalau orang lain tidak mau berbuat baik kepada kita, bagaimana? Ataukah moralitas hanya a matter of emotion, sympathy [and] motive? Atau apakah ia adalah sebuah karakter yang hanya tergantung pada pendidikan moral yang didapatkan seseorang, seperti pandangan Aristoteles?
Para agamawan percaya bahwa moralitas mesti berasal dari keyakinan. Moralitas tanpa Tuhan hanyalah omong kosong. Untuk apa orang melakukan sebuah kebaikan jika tidak ada konsekuensi apa pun? Seorang Mario Teguh pun pernah berkata: “Saya dulu protes kalau hidup kita itu untuk Tuhan. Lalu, untuk aku apa? Kebebasanku di mana? Harus begini untuk menyenangkan Tuhan, lalu untuk menyenangkan saya mana?”
Dalam kegelisahannya, Mario mengajukan protes, mengapa kita berbuat baik untuk Tuhan? Mengapa bukan untuk kita sendiri? Perjalanan hidupnya dan kesungguhannya mencari jawaban tentang kebaikan pada akhirnya memberinya kemantapan soal mengapa kita harus melakukan kebaikan, sehingga Mario berkata: “ ... sampai saya mengerti bahwa kesenangan itu justru karena kita mengabdikan diri pada kebaikan.” Dan kepada generasi muda ia nasihatkan “bahwa jika yang kamu pikirkan kebaikan, yang kamu rasakan kebaikan, yang kamu katakan kebaikan, yang kamu lakukan kebaikan, maka kebaikan itu yang mencari jalan.”
Dalam wacana filsafat dikatakan, orang melakukan kebaikan adalah karena kebaikan itu sendiri. Bagi sebagian filosof, moralitas adalah sifat alamiah manusia, sementara bagian yang lain, moralitas muncul sebagai sebuah kontrak sosial karena manusia menginginkan hidup damai. Moralitas bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari manusia itu sendiri; ia adalah sebuah produk nalar dan bagian dari kebutuhan manusia. Pemahaman seperti ini tidak masuk akal para agamawan. Para agamawan percaya bahwa tidak ada moralitas tanpa Tuhan. Manusia berbuat baik atau meninggalkan kejahatan karena mereka yakin akan konsekuensinya. Untuk apa seseorang melakukan perjuangan berat atau merelakan nyawanya melayang, jika setelah itu ia musnah dan hanya menjadi debu?
Namun sebuah situs filsafat menyebutkan sebuah laporan sebagai berikut: “The most significant predictor of a person's moral behavior may be religious commitment. People who consider themselves very religious were least likely to report deceiving their friends, having extramarital affairs, cheating on their expenses accounts, or even parking illegally.” Based on this finding, what we believe about Creation has a decided effect on our moral thinking and our behavior. (“Yang paling dapat memprediksikan perilaku moral seseorang barangkali adalah komitmen keagamaannya. Orang yang menganggap dirinya paling religius ternyata adalah yang paling sedikit dilaporkan telah melakukan penipuan terhadap temannya, melakukan zina, melakukan penipuan keuangan, atau bahkan melakukan parkir ilegal.” Berdasarkan laporan ini, maka apa yang kita yakini mengenai Penciptaan memiliki dampak paling menentukan tentang moral berpikir dan perilaku kita).
Sebuah situs Kristen Kanada menyampaikan laporan hasil survei bahwa anak-anak remaja Kanada cenderung lebih bermoral tetapi kurang religius (TEENAGERS are becoming more moral but less religious). Di sini yang dimaksudkan dengan moral adalah hal-hal yang bersifat kebaikan praktis seperti kejujuran, persahabatan dan keadilan. Pelaksana survei, seorang sosiolog pada Universitas Lethbridge mengatakan bahwa People “can be good without God,” (orang bisa menjadi baik tanpa Tuhan). Namun kemudian ia mengatakan bahwa kelompok yang menganggap dirinya beragama ternyata, dari hasil survei, lebih konsisten dalam mengapresiasi kebaikan seperti kehormatan, kejujuran dan saling tolong menolong, dibandingkan mereka yang menganggap dirinya ateis. Jadi sebenarnya potensi moral yang dimiliki orang-orang beragama lebih kuat dan konsisten dibanding dengan apa yang mungkin ada pada moral sekuler. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah realitas yang membuat perasaan hati kita sangat tidak nyaman, yaitu: terdapat sejumlah orang beragama (baca: mengaku beragama) yang menunjukkan sikap tidak bermoral. Telah menjadi rahasia umum bahwa survei-survei menunjukkan bahwa korupsi sangat merajalela di tengah-tengah kehidupan umat Islam, di negara-negara Islam, atau dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim. Perbuatan-perbuatan curang tidak pernah terkecuali terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslim. Bahkan ada sebuah survei internasional yang menyebutkan bahwa negara yang paling sedikit tindakan kriminalnya adalah Jepang, bukan Indonesia, atau Afghanistan, atau Mesir, atau Saudi Arabia.
Dalam Islam diajarkan bahwa inti agama adalah kemuliaan akhlak. Nabi Muhammad diriwayatkan telah menyatakan bahwa beliau diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak. Ketika berbicara akhlak, itu berarti menyangkut dengan perilaku dan ketika berbicara soal perilaku, itu artinya berbicara mengenai interaksi seseorang dengan yang lain, baik manusia maupun alam semesta. Dalam Islam, Nabi Muhammad menjadi manusia agung dan terhormat bukan karena kehebatan mukjizatnya atau karena kemampuan supranaturalnya, tetapi karena keagungan akhlaknya. Pujian yang diberikan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah berkaitan dengan perilaku beliau yang sangat santun dan mulia.
Islam memandang moralitas itu berasal dari Tuhan: melaksanakan yang baik dan menjauhkan yang buruk adalah perintah. Akan tetapi perintah itu tidak sekedar perintah, tanpa makna dan nilai. Dalam pandangan Islam, sepanjang pemahaman saya, setiap perintah dan larangan dari Tuhan merujuk pada karakteristik manusia itu sendiri (the nature of human being). Manusia adalah khalifah Tuhan dan karena itu ia mengejawantahkan sifat-sifat-Nya. Tuhan telah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan hal itu menjadikan manusia memiliki kesadaran ketuhanan yang amat dalam. Namun di sisi lain manusia adalah hamba-Nya, karena itu ia harus tunduk kepada-Nya. Jadi nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai ketuhanan. Keadilan Tuhan adalah keadilan yang dipahami manusia juga; kebaikan Tuhan adalah kebaikan yang dipahami manusia juga. Tuhan yang dipahami dalam Islam bukanlah Tuhan yang tidak logis. Atas landasan teologis itulah moralitas dalam Islam dibangun.

3. Moralitas dan Tantangan Dunia Modern

Dunia modern sering kali dikaitkan dengan dunia barat atau peradaban barat yang rasional dan sekuler. Dunia Islam juga sering kali dipertentangkan dengan dunia barat atau dunia modern. Jika terjadi kerusakan-kerusakan moral dalam masyarakat Muslim, maka tidak jarang juga yang disalahkan adalah dunia barat atau peradaban modern.
Kita hidup di zaman yang bergerak sangat cepat. Perubahan terjadi dalam berbagai segi kehidupan dan dengan cara-cara yang tidak terduga sebelumnya. Kecanggihan dalam bidang teknologi informasi menjadikan dunia ini bagai sebuah perkampungan sempit yang dapat terjangkau ke mana-mana. Manusia di seluruh dunia dapat berkomunikasi dalam jaringan yang sangat luas dan bahkan tanpa batas. Ini adalah sebuah potensi besar, sekaligus bahaya raksasa. Orang dapat melakukan kebaikan tanpa batas, sekaligus kejahatan tanpa batas.
Inilah tantangan dunia modern terhadap moralitas yang paling besar, yakni sebagai akibat dari akses informasi yang terbuka lebar bagi siapa saja dan kapan saja serta di mana saja.
Tantangan yang kedua, ketiga dan seterusnya adalah tidak lebih dari akibat atau dampak dari hal tersebut. Seluruh informasi dapat menjangkau segala lini kehidupan kita. Kepada semua orang dapat disuguhkan kebaikan, kotoran atau pun sampah; terserah kita mau memakannya atau tidak. Tanpa moralitas seluruh hidup kita akan teracuni.
Industrialisasi, eksploitasi manusia, penjajahan ekonomi, monopoli kekayaan, kecurangan politik, dan segala bentuk kejahatan sosial dan kemanusiaan lain yang dapat dilakukan secara lebih mudah dan terorganisir menjadikan dunia ini terasa lebih tidak aman dan lebih menakutkan. Bagaimana dengan anak-anak kita yang akan diculik, nyawa kita yang mudah melayang, para mahasiswa kita yang diprovokasi, politikus kita yang dibohongi, para hakim kita yang disuap, pemimpin kita yang ditipu ... dan sebagainya. Salah dan benar menjadi sangat mudah disembunyikan; baik dan buruk sangat mudah dikaburkan.
Modernitas adalah sebuah prestasi peradaban yang sangat mengagumkan, namun jika manusia tidak saling membangun kepercayaan untuk mengarahkan potensi itu untuk kebaikan dunia ini, maka yang ditakutkan adalah destruksi yang semakin parah.

4. Realitas Kehidupan Manusia

Manusia adalah pendosa, tetapi sebaik-baik pendosa adalah yang bertobat. Kisah turunnya Adam dari surga dalam ajaran agama mencerminkan watak alami manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki kelemahan, namun ia mendapatkan apresiasi dan bahkan amanah karena ia dapat mengoreksi dirinya dan dengan kesadarannya ia dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi. Memilih kebaikan di antara berbagai pilihan baik dan buruk adalah sebuah prestasi. Demikian juga melakukan koreksi terhadap kesalahan adalah sebuah pertanda adanya ketulusan. Kemauan untuk melakukan koreksi adalah bukti pengakuan yang tulus. Karena itu manusia yang bertobat adalah manusia yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, sebab menolak bertobat sama dengan menolak terhadap dosa itu sendiri.
Ini tidak berarti manusia dibolehkan melakukan dosa. Dosa itu adalah sebuah pelanggaran. Apa yang terlihat pada konsep ini adalah sebuah dinamika dan proses penyempurnaan manusia yang terjadi secara dinamis. Manusia tidak terlahir seperti anak ayam yang langsung dapat berjalan dan mencari makan sendiri. Manusia pada watak dasarnya tidak terlepas dari kebutuhannya akan bimbingan dan petunjuk. Manusia berangkat dari nalurinya dan potensi yang ia bawa sejak lahir. Itulah kekuatan manusia: kemampuan untuk mengembangkan diri. Ini tentu saja tidak bisa terjadi tanpa kebebasan. Manusia adalah makhluk yang memiliki free will: ia dalam hal ini “seperti Tuhan” yakni memiliki iradah, sebab Tuhan memang telah meniupkan ruh-Nya kepadanya, dan karena itu ia diangkat menjadi khalifah-Nya, yakni wakil-Nya di bumi.
Iradah yang diberikan Tuhan kepada manusia itulah yang telah membuat dunia ini seperti ini: penuh dinamika. Manusia saling menumpahkan darah, berperang, saling membunuh, menganiaya, menipu, melakukan tindakan-tindakan korup atau curang, saling menyakiti dan sebagainya. Sebaliknya ada juga manusia yang saleh, tulus, suka berbuat baik, rendah hati, berbuat baik tanpa pamrih, memuji Tuhan, tidak lupa berdoa dan berterima kasih serta selalu bersikap santun.
Namun, realitas kehidupan yang kita saksikan hari ini ternyata lebih banyak mengandung kepiluan dari pada rasa bahagia. Perang terjadi di mana-mana. Kejahatan tidak mengenal batas peradaban. Orang seakan-akan tidak dapat lagi menemukan di mana ada bagian tanah di dunia ini yang aman untuk dihuni. Sedemikian parahkah kehidupan umat manusia hari ini?
Lebih jauh dari itu, agama yang selalu dirujuk sebagai ajaran yang diturunkan untuk membahagiakan dan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat, seakan tidak berdaya. Pemimpin-pemimpin masyarakat beragama justeru ditemukan yang paling banyak melakukan pelanggaran kemanusiaan dan paling korup. Social justice menjadi isu paling sentral di negara-negara Muslim. Kedisiplinan, kemanusiaan, keadilan, kecintaan kepada ilmu pengetahuan adalah di antara hal-hal paling terabaikan di negara-negara Muslim. Ini fenomena apa sebenarnya? Apakah agama telah mengabaikan moralitas? Atau umatnya yang telah mengabaikan makna yang sesungguhnya dari agama mereka?

5. Pendidikan Moral dalam Rumah Tangga

Menjadi orang tua adalah sebuah pilihan, bukan karena kebetulan, karena itu tanggung jawab seorang orang tua tidak dapat diabaikan. Menjadi orang tua kadang-kadang dianggap berat karena tanggung jawab yang dipikul sangat besar, namun ajaran agama juga mengajarkan bahwa kompensasi dan reward bagi orang tua yang berkomitmen dan bertanggung jawab adalah luar biasa. “Surga di bawah telapak kaki ibu,” kata Nabi Muhammad; demikian pula Qur’an memberikan peringatan: “... Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah” dan janganlah kamu membentak mereka; ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Apresiasi kepada orang tua diberikan agama sangat tinggi. Seorang anak yang durhaka kepada orang tua mendapatkan ancaman yang sangat berat.
Pendidikan harus dimulai dari keluarga, dari rumah, yakni oleh orang tua atau orang yang mengasuh si anak. Bahkan sesungguhnya pendidikan itu berkaitan dengan berbagai sisi dari kehidupan dalam keluarga. Demikian juga, kekuatan dan kelemahan sebuah masyarakat sangat terkait dengan kekuatan dan kelemahan kehidupan-kehidupan rumah tangga dalam masyarakat tersebut. Rumah tangga yang kokoh dan harmonis akan berdampak bagus pada kehidupan di sekitarnya. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu akan memiliki jiwa dan semangat hidup yang lebih positif; keretakan rumah tangga akan berdampak sangat buruk bagi si sanak. Jadi rumah tangga adalah pilar-pilar kehidupan sosial yang sangat menentukan.
Soal pendidikan moral sebenarnya sudah masuk dalam pendidikan secara general untuk anak, yakni bahwa pendidikan untuk anak harus dilakukan dengan cara mengembangkan potensi yang ia miliki. Akan tetapi pendidikan moral menjadi sangat spesial karena ia bersentuhan dengan segala aspek pendidikan yang lain. Pendidikan moral menekankan pengembangan potensi jiwa anak sehingga ia menjadi tangguh menghadapi dunia di sekitarnya dan menjadi orang yang mampu mengapresiasi makna hidup bagi dirinya dan bagi orang lain. Ia tidak hanya harus mengenal dunia (berilmu: tahu), tetapi juga harus bisa menyayanginya (sadar); tidak hanya mampu mengelola dunia (alam dan lingkungannya), tetapi juga menghargainya (menjadi orang yang bersyukur).
Tugas seperti inilah yang sebenarnya membuat pendidikan itu menjadi tugas yang berat. Qur’an mengatakan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian). Pada kesempatan lain Qur’an mengatakan bahwa sebagian dari anak itu mungkin menjadi musuh bagi orang tuanya. Qur’an bukan ingin menakut-nakuti, tetapi menjelaskan realitas hidup yang akan dihadapi manusia, supaya mereka dapat mengadakan antisipasi dan mempersiapkan diri sehingga tidak mengalami frustrasi. Manusia tidak akan mampu menolak takdir, tatapi dengan kesiapan mental manusia dapat memasuki situasi itu dengan sebuah kekuatan dan persiapan yang memadai.
Pendidikan untuk anak adalah sebuah kewajiban; memang telah demikian takdir manusia. Manusia menjadi cerdas tidak secara instan, tetapi melalui proses yang panjang. Ia harus dibesarkan dan diasuh, dididik dan dilatih. Kekuatan manusia terletak pada potensi yang ia miliki, bukan pada innate instinct-nya. Ia tidak “cerdas” seperti lebah atau semut, tetapi ia berproses. Proses inilah yang harus dijaga dan dibimbing. Maka manusia perlu pendidikan, tarbiyyah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai pendidikan anak dalam kehidupan keluarga, terutama sekali pendidikan moral mereka:
Pertama, bahwa pendidikan dalam rumah tangga itu meliputi berbagai aspek: fisik, mental, sosial, emosi, perilaku, harga diri dan sebagainya. Karena itu sebelum memutuskan untuk memiliki anak, seseorang seharusnya sudah memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai untuk mendidik anaknya. Ia harus memiliki general knowledge tentang dunia dan kehidupan dan harus siap membekali diri tentang apa saja yang diperlukan untuk kepentingan pendidikan anaknya.
Kedua, potensi dan kecenderungan anak harus diperhatikan. Anak memang anak kita, tetapi ia sebenarnya ia bukan datang dari kita. Your children are not your children, kata Kahlil Gibran (1883-1931), ... they come through you but not from you ... Namun alam memiliki hukum yang amat menakjubkan yang mengikat orangtua dengan anaknya melalui kasih sayang yang luar biasa. Setiap anak kecil mempunyai kekuatan magis yang menggoda setiap mata memandang. Ayah dan Ibu tidak akan pernah rela apa pun menyakiti anaknya, walaupun, aneh sekali, kita juga kerap mendengar orangtua yang nekat melawan nuraninya dan rela membunuh anaknya sendiri. Sepertinya tidak mungkin. Tetapi kenyataan hidup yang pahit ataupun kebodohan kadang-kadang dapat membuat mata buta, telinga tuli dan akal tidak lagi waras. Pada zaman jahiliah ada orang yang membunuh anak perempuannya ketika baru lahir karena merasa aib. Di Pakistan, beberapa tahun lalu (2005), seorang laki-laki membunuh empat anak perempuannya (tiga anak kandung, satu anak tiri) dengan dalih menyelamatkan kehormatan keluarga.
Anak adalah sebuah anugerah, karena itu harus dijaga dan disyukuri. Biarkan ia menjadi dirinya; tugas kita sebagai orang tua adalah membimbingnya, bukan memaksakan kehendak kita atasnya.
Ketiga, pendidikan anak harus bersifat alami. Anak-anak harus diajarkan dengan jiwa dan hati nurani, bukan dengan kekerasan. Biarkan anak-anak belajar dengan cara yang nyaman dan menyenangkan.
Keempat, karena itu, orang tua harus mampu memberikan dorongan kepada anak, bukan memaksa mereka menguasai sesuatu. Memberikan dorongan berarti membuka jalan bagi pengetahuan yang ia (si anak) sendiri merasa senang dan menyukainya. Orang tua harus bisa membaca jalan mana yang mudah dan “lempang” bagi anaknya.
Kelima, orang tua adalah keteladanan, karena itu harus berwibawa, walaupun tidak perlu dibuat-buat. Orang tua akan berwibawa di hadapan anaknya kalau ia dapat
menghargai anaknya, bukan ketika ia dapat menggiring anaknya ke mana yang ia sukai. Wibawa adalah sebuah karakter alami yang lahir dari pesona jiwa yang dimiliki seseorang. Orang tua harus menjadi pesona bagi anak-anaknya. Ia hanya dapat melakukan itu dengan kasih sayang yang tulus, bukan dengan kecaman suaranya yang keras.
Semua poin di atas termasuk bagian dari perilaku yang harus ditunjukkan orang tua kepada anaknya supaya pendidikan moral dalam rumah tangga dapat terserap secara lebih signifikan. Sebuah poin terakhir yang harus dicatat adalah bahwa pendidikan dalam rumah tangga hanya akan berhasil jika kerja sama kedua orang tua terjalin dengan baik. Jika tidak, maka sebuah kegagalan akan mengintai.
6. Sekolah dan Masyarakat

Sekolah telah menjadi sebuah “kewajiban” dalam kehidupan masyarakat modern. Pendidikan seakan-akan tidak sah tanpa sekolah. Kita pun sebagai masyarakat modern seolah-olah tidak dapat lagi memisahkan antara sekolah dan hakikat pendidikan. Sekolah telah identik dengan pendidikan itu sendiri, pengetahuan sama dengan diploma, prestasi dengan nilai, keilmuan dengan kesarjanaan, dan segala simbol yang terkait dengan sekolah dikultuskan secara berlebihan.
Dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, tidak ada lagi orang yang tidak sekolah. Pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya agar semua anak-anak dapat sekolah. Akan tetapi sampai di mana pemerintah sanggup menyekolahkan anak-anak kita? Anak-anak siapa yang dapat melakukan akses ke pendidikan berkualitas atau ke jenjang yang lebih tinggi, yakni ke universitas? Mengapa sekolah-sekolah kita memiliki kualitas yang berbeda-beda? Siapa yang bertanggung jawab?
Lebih jauh lagi, apakah sekolah telah memberikan pelayanan pendidikan sebagaimana diharapkan? Apakah anak-anak kita telah mendapatkan pendidikan dari sekolah sebagaimana mestinya? Semua pertanyaan ini, dan sejumlah pertanyaan lain yang serupa, masih relevan, sejak sekolah didirikan di negeri ini, sampai hari ini. Keadilan dalam bidang pendidikan masih jauh dari yang diharapkan.
Pada tahun 1971 Ivan Illich menerbitkan sebuah buku Deschooling Society, yang berisi pikiran dan gagasannya yang sangat radikal tentang sekolah. Ia mengajak agar sekolah dihapuskan karena sekolah telah mengubah pola pikir dan mentalitas masyarakat. Mendirikan sekolah berarti menginstitusionalisasi-kan pendidikan dan ini berarti menginstitusionalisasikan masyarakat. Dengan cara seperti ini kita telah membunuh potensi masyarakat dan potensi serta kebebasan kreativitas anak-anak. Terlebih, sekolah telah dijadikan objek bisnis dan menjadi monopoli kelompok tertentu. Hal ini sangat berbahaya bagi kemerdekaan nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya amat luas.
Kritik Illich terhadap sekolah mungkin membuat kita agak sedikit tersentak, sebab sekolah telah memberikan kontribusi luar biasa dalam bidang pendidikan secara universal. Tetapi, yang menarik, Illich sebenarnya bukan hanya mengkritik, tetapi menawarkan sebuah solusi bagi pendidikan di zaman yang memiliki potensi dalam bidang teknologi sangat luar biasa. Illich mengajak semua masyarakat terlibat berkontribusi dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan pendidikan (seharing knowledge). Hal lain yang paling penting adalah mengembalikan kesadaran kita terhadap makna hakiki dari pendidikan, bahwa ia bukan sekedar untuk mendapatkan ijazah atau meraih gelar kesarjanaan.
Jika “nasihat” Illich mau didengarkan maka sekolah seharusnya menjadi milik masyarakat dan masyarakat bertanggung jawab atas maju atau mundurnya sebuah sekolah atau tempat pendidikan apa pun bentuknya. Demikian juga para guru, mereka harus menjadi penggali potensi anak-anak untuk dikembangkan menjadi kekuatan dahsyat yang mengubah keadaan menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat, bukan guru yang bekerja hanya untuk menghabiskan waktu saja karena tidak ada pekerjaan lain, atau hanya sebagai tempat pelarian agar jangan disebut penambah daftar pengangguran.
Guru adalah keteladanan, karena itu guru harus mampu berdiri di depan murid-muridnya sebagai sosok yang dapat memberikan pesona secara moral, bukan penampilan baju yang baru dan mahal.
Masyarakat juga harus menghargai guru. Guru tanpa penghargaan yang layak akan mengalami kemerosotan dalam dirinya. Mungkin seorang guru telah bekerja keras dan tulus untuk melaksanakan kewajibannya, tetapi tanpa dukungan yang layak dari masyarakat, maka sebagai manusia ia juga akan lemah.

7. Penutup

Hanya dua hal ingin saya katakan pada penutup makalah ini. Pertama: moralitas adalah sebuah divine power atau anugerah Tuhan untuk kita pelihara. Apabila kita mengabaikannya maka kita akan menjadi sangat rugi. Moralitas adalah sinyal jiwa yang membimbing kita dalam menata kehidupan di tengah-tengah keramaian dunia; jika mengabaikannya kita akan tersesat.
Kedua, moralitas bukan anugerah yang murah. Kita harus bekerja keras meraihnya dan harus dapat mewariskannya kepada anak-anak kita. Pendidikan moral adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin memberikan yang terbaik bagi generasi kita akan datang.
Maka yang menjadi saran saya juga dua hal: Pertama untuk masyarakat, perkuat hubungan dan kerja sama rumah tangga dan sekolah. Kedua untuk pemerintah, berikan perhatian yang maksimal untuk kepentingan pendidikan moral.
Wallāhu a‘lam!

No comments:

Post a Comment