Thursday, April 8, 2010

Penciptaan Perempuan

Tersebutlah sebuah kisah: Setelah menciptakan manusia pertama, yakni Adam, Tuhan menempatkannya dalam surga. Di dalamnya Tuhan menyediakan bermacam-macam makanan dan kenikmatan supaya Adam dapat bersenang-senang dengan sepuas hatinya. Agar Adam tidak kesepian, maka Tuhan menciptakan berbagai macam binatang secara berpasang-pasangan. Mereka bermain-main di dalam surga dan membuat Adam merasa gembira. Namun Adam kemudian menyadari bahwa ada yang belum lengkap pada dirinya: ia belum memiliki pasangan seperti binatang-binatang yang ada di sekitarnya. Ia masih tetap merasa kesepian. Untuk memenuhi keinginan Adam, Tuhan pun berkehendak untuk menciptakan seorang perempuan, sebagai pasangan baginya. Mula-mula Tuhan membuat Adam tertidur; pada saat itulah salah satu tulang rusuknya dicabut, dan dari tulang rusuk itulah Hawa diciptakan. Maka Adam bersenang-senang dengan isterinya itu dalam surga, sampai suatu saat mereka tergoda oleh rayuan setan sehingga memakan buah terlarang, dan mereka dikeluarkan dari kebun yang indah serta penuh nikmat itu, untuk hidup di bumi dengan berbagai tantangan yang harus mereka hadapi.
Elaborasi atau pengembangan dari kisah tersebut juga telah menciptakan kegetiran nasib perempuan. Di situ dikisahkan bahwa perempuanlah, yakni Hawa, yang telah menggoda Adam untuk sama-sama memakan buah terlarang tersebut. Iblis/setan pada mulanya tidak sanggup menggoda Adam, tetapi ia menyusupkan tipudayanya melalui Hawa. Iblis tahu bahwa perempuan memiliki kelemahan dan ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tergodalah Adam gara-gara sang isteri tercinta. Maka, sekali lagi, dengan merujuk pada kisah itu, perempuan kembali menjadi “tertuduh” sebagai penyebab segala kesengsaraan anak cucu Adam di bumi ini. Hawalah yang telah menyebabkan Adam tergelincir dalam dosa, dan kita semua menanggung akibatnya.
Demikianlah secara ringkas kisah asal kejadian perempuan yang secara umum dikenal di kalangan masyarakat Muslim. Kisah tersebut terdapat dalam Genesis (Kitab Kejadian) Perjanjian Lama, Kitab Suci yang menjadi pegangan orang-orang Yahudi dan Kristen. Tradisi Yahudi inilah yang dikutip atau dijadikan sumber oleh kebanyakan mufassir atau ulama Islam lainnya pada zaman dahulu untuk mengisi lembaran-lembaran karya tulis mereka; bahkan kisah tersebut dikembangkan atau dilengkapkan lagi supaya menjadi lebih menarik dan kelihatan masuk akal. Ibnu Katsir, misalnya, dalam kitab tafsirnya mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa tatkala Adam terbangun dari tidurnya, ia terkejut melihat seorang perempuan telah berada di sampingnya. Adam bertanya: “engkau ini apa?” Hawa menjawab: “aku adalah perempuan.” “Untuk apa engkau diciptakan?”, tanya Adam lagi. Hawa menjawab: “Supaya engkau merasa tentram denganku.” Maka para malaikat, yang ingin menyaksikan kepintaran Adam menguasai nama segala sesuatu, bertanya: “wahai Adam, siapa namanya?” Langsung saja Adam menjawab: “Hawa!” Mereka bertanya lagi: “Mengapa Hawa?” Adam menjawab: “karena ia diciptakan dari sesuatu yang hidup (hayyun)!”
Penambahan pada bagian terakhir seperti tersebut di atas jelas sekali merupakan upaya untuk membumbui cerita agar memiliki keterkaitan dengan pernyataan al-Quran yang menyebutkan bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu ... (al-Baqarah [2]: 31). Penambahan tersebut tidak memiliki dasar sama sekali dari al-Qur’an maupun Hadits. Ibn Katsīr sendiri mengatakan bahwa riwayat tersebut berasal dari sebagian sahabat, para “ahli ilmu” (termasuk Yahudi) dan lain-lain, yang tidak disebut secara jelas darimana sumber aslinya.
Tetapi jika ditelusuri dalam Alkitab Perjanjian Lama, teks yang agak mirip dengan cerita di atas dapat ditemukan dalam Genesis atau Kitab Kejadian 3:20.
Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup.
Sebagai perbandingan, berikut ini kami kutip secara lebih lengkap beberapa ayat dari Kitab Kejadian (2:4-23) tersebut mengenai penciptaan dan kehidupan awal manusia pertama beserta pasangannya itu:
(4) Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit, – (5) belum ada semak apapun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab TUHAN Allah belum meurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang mengusahakan tanah itu; (6) tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu – (7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
(8) Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah Timur; disitulah ditempatkanNya manusia yang dibentukNya itu. …
(15) TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (16) Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, (17) tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
(18) TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. … (21) Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. (22) Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu. (23) Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
Ayat-ayat Alkitab di atas secara harfiah menggambarkan bahwa “manusia” dalam konsep penciptaannya yang paling awal adalah laki-laki. Untuk membantu dan memenuhi kebutuhan laki-laki inilah perempuan diciptakan. Ia tunduk kepada laki-laki karena ia adalah bagian atau darah daging dari laki-laki. Dengan kata kata lain, secara substansial, laki-laki lebih utama dari perempuan; perempuan adalah makhluk kelas dua.
Kisah-kisah seperti ini, yang berasal dari literatur dan tradisi Yahudi atau Kristen, dalam karya-karya kaum Muslim dikenal dengan istilah isrā’īliyyāt, yakni kisah-kisah yang berasal dari kaum Bani Israil atau Ahl al-Kitāb (baca: Ahli Kitab). Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kisah tersebut sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam? Jika tidak sejalan, mengapa kisah tersebut sampai demikian terkenal di kalangan umat Islam? Dan mengapa sebagian ulama bahkan dengan penuh semangat mengutip kisah-kisah dari tradisi Bani Israil itu ke dalam kitab-kitab mereka atau menyebarkannya dalam masyarakat?
Nabi Muhammad kelihatan agak toleran menyikapi berbagai pandangan kaum Ahl al-Kitāb. Dalam sebuah hadits (Riwayat al-Bukhārī) dinyatakan bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan juga tidak mendustakan kaum Ahl al-Kitāb; yang perlu ditegaskan adalah keimanan kepada Allah dan segala apa yang telah diturunkan Allah. Jadi mungkin saja pandangan atau tradisi kaum Ahl al-Kitāb itu benar dan mungkin juga salah. Karena itu ulama Islam umumnya berpendapat bahwa jika memang terbukti pandangan orang-orang Ahl al-Kitāb itu benar maka bisa saja dibenarkan dan demikian juga jika terbukti salah maka bisa saja disalahkan. Namun dalam hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya dengan hujjah yang kuat, maka hakikatnya diserahkan kepada Allah.

No comments:

Post a Comment