Monday, April 19, 2010

Perempuan dan Dosa Warisan

Sisi lain dari mitos yang berkaitan dengan asal kejadian perempuan adalah peran yang dimainkannya dalam menjatuhkan Adam dari sorga ke dunia ini. Seperti telah tersebut di atas, Hawa telah menjadi “tertuduh” dalam kasus tergelincirnya Adam ke dalam dosa. Bersalahkah “isteri manusia pertama” itu? Jika memang beliau bersalah, apakah semua perempuan sampai sekarang ikut mewarisi dosanya?
Jika diskusi di atas telah kita anggap hal yang krusial atau penting, maka jawaban atas pertanyaan ini juga merupakan suatu keniscayaan. Ada beberapa poin mendasar yang perlu dipertegas di sini. Pertama, menurut al-Qur’an, tidak ada dosa warisan. Siapapun yang berbuat salah ia sendiri yang harus menanggung dosanya. Dosa dan takwa tidak dapat diwariskan. Ketika Nabi Ibrahim mendapat anugerah Allah karena telah menjalani semua ujian-Nya dengan penuh kesabaran, Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menjadikanmu imam bagi sekalian manusia.” Nabi Ibrahim berkata: “Aku mohon juga untuk anak keturunanku.” Tetapi Allah menjawab: “Janjiku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim” (al-Baqarah [2]: 124). Ayat ini menjelaskan bahwa kemuliaan atau ketakwaan orangtua tidak dapat diwariskan kepada anak cucunya, kalau si anak cucu tersebut tidak berusaha untuk meraihnya. Demikian juga dengan dosa atau kejahatan. Kejahatan yang dilakukan seseorang tidak dapat dialihkan dosanya kepada orang lain.
Barangsiapa mengikuti petunjuk maka sesungguhnya keselamatan karena petunjuk itu untuk dirinya, dan barangsiapa mengikuti jalan sesat maka kesesatan itu untuk dirinya sendiri; seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain ... (al-Isrā’ [17]: 15).
Mengomentari ayat (al-Isrā’: 15) di atas, Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa doktrin vicarious atonement (pelepasan dosa melalui orang lain) sangat dicela al-Qur’an. “Seorang manusia tidak dapat menanggung beban dosa orang lain: itu akan sangat tidak adil, setiap manusia harus bertanggung jawab terhadap amalnya sendiri.” Kritik ini terutama sekali ditujukan kepada kebanyakan orang Kristen yang percaya kepada doktrin tersebut, bahwa penyaliban Yesus adalah sebagai penebusan dosa anak manusia, asal saja mereka mau percaya kepadanya. Lihatlah, bagaimana orang baik harus menaggung penderitaan untuk menebus dosa orang-orang jahat. Inilah yang tidak disepakati dan bahkan dikecam keras oleh al-Qur’an.
Islam tidak mengadopsi doktrin seperti ini, tetapi bukan tidak ada di kalangan Muslim yang terpengaruh dengannya, walaupun dalam bentuk yang agak berbeda. Ada sementara masyarakat yang menghormati seseorang karena ia datang dari keluarga terpandang, atau sebaliknya, tidak menghargai seseorang secara layak hanya karena orangtuanya bukan seorang yang terkenal. Sikap seperti ini menunjukkan, sengaja atau tidak, bahwa orang tersebut telah melihat bahwa baik dan buruk itu dapat diwariskan atau diwarisi. Cara pandang seperti ini juga telah berefek pada penilaian yang keliru terhadap perempuan. Kekeliruan ini sebenarnya bukan hanya pada cara pandang semata, tetapi konsep pertamanya memang telah salah, seperti akan kita lihat di bawah ini.
Kedua, al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa Hawa telah menggelincirkan Adam dari sorga. Tetapi Iblis/setan yang menggelincirkan keduanya.
Lalu setan menggelincirkan keduanya dari sorga tersebut; maka [dengan demikian] ia telah mengeluarkan keduanya dari tempat yang pernah mereka tempati itu ... (al-Baqarah [2]: 36).
Rayuan setan tidak hanya mengenai perempuan, tetapi laki-laki juga tidak luput darinya. Karena itu setan dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai musuh bagi semua manusia.
Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kamu (al-Baqarah: 208).
Dengan kata lain, sama sekali tidak ada alasan untuk menuduh perempuan sebagai penyebab terusirnya Adam dari sorga. Dalam ayat lain Allah mengatakan:
Maka ia (setan) membujuk keduanya dengan sebuah tipudaya. Maka tatkala keduanya merasai pohon tersebut, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun sorga. Dan Tuhan [pun] menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu ‘sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu?’ (al-A‘rāf [7]: 22).
Terlepas dari pertikaian pendapat mengenai apakah kisah al-Qur’an ini adalah metafor yakni cerita kiasan saja ataukah kisah ini benar-benar terjadi dalam sejarah, yang jelas dalam kisah tersebut keduanya, Adam dan isterinya, telah terlibat dalam sebuah perbuatan terlarang dan penyebabnya adalah ketidak-wapadaan mereka terhadap godaan setan. Inilah di antara pelajaran yang paling penting dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengutarakan kisah tersebut. Adam dan insterinya di sini adalah cerminan dari seluruh anak-cucu mereka, seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Tidak seorang manusia pun yang luput dari intaian setan, dan karena itu semua orang atau semua anak-cucu Adam harus waspada setiap saat. Apabila mereka lengah maka setan mudah menggelincirkannya.

No comments:

Post a Comment