Wednesday, April 21, 2010

Keperawanan Perempuan

Kelanjutan dari pembicaraan di atas adalah menyangkut keperawanan perempuan. Keperawanan telah seringkali dipahami secara sangat dangkal oleh sebagian masyarakat, dan kehilangan “keperawanan” (dalam pengertian biologis dan anatomis) telah dipandang sebagai hal paling menakutkan – lebih menakutkan dari kehilangan nilai-nilai moral itu sendiri. Selembar selaput dara seakan-akan identik dengan sebuah kehormatan. Maksudnya, kehormatan itu telah diukur dan diberi harga dengan sesuatu yang bersifat material – dengan sebuah takaran anatomis. Tidak adanya bekas tetesan darah “malam pertama” di atas alas tidur akan sangat menggelisahkan sang pengantin perempuan dan keluarganya. Kejadian seperti ini seolah-olah hakikat dari sebuah aib besar … dan jangan tanya soal perilakunya sebelum perkawinan, karena keperawanan lebih dilihat sebagai paradigma nilai yang lebih penting dari realitas moral dalam keseluruhan sikap hidupnya sehari-hari! Inilah “moralitas seksual biologis” – sebuah warisan dari tradisi Yahudi-Kristen abad pertengahan yang menyebar dalam bawah sadar kebanyakan masyarakat Muslim.
Malam pertama perkawinan menjadi sebuah “upacara ritual” yang khas dan sang pengantin perempuan tidak lain adalah “kurban” yang dipersembahkan di hadapan altar yang bernama tradisi atau kebudayaan. Di Arab dan berbagai negara Muslim lainnya hal seperti itu terjadi. Keperawanan benar-benar menjadi barang “keramat” dan menghinanya dapat mendatangkan hukuman mati. Banyak kisah antropologis ditulis ihwal pemujaan tehadap “selaput suci” tersebut di berbagai masyarakat Muslim, seperti Aljazair, Moroko dan Mesir. Mereka dengan sungguh-sungguh merayakan “malam pertama” pengantin. Tetesan darah keperawanan di atas selembar kain akan diperlihatkan kepada orang banyak dengan rasa bangga. Itulah bukti kehormatan sebuah keluarga – kehormatan laki-laki yang harus dipertanggung-jawabkan oleh perempuan. Jika memang ternyata keperawanan pengantin perempuan sudah tidak ada lagi, atau lebih tegas, jika tetesan darah akibat pecahnya selaput dara itu tidak dapat diperlihatkan, maka Ayahnya atau saudara laki-lakinya sendiri yang akan membunuhnya.
Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kegilaan yang sama sekali sangat jauh dari moral Islam. Dalam paradigma moral seperti ini perempuan tentu saja akan menjadi kelompok paling rentan terhadap berbagai tuduhan kecurangan seksual, sementara laki-laki selalu aman dan terbebas dari tuduhan kekejian serupa. “Keperawanan” seperti itu hanya dapat dituntut dari kaum perempuan, tidak dari laki-laki, dan mereka secara otomatis terbebaskan dari tuduhan kehilangan keperawanan.
Islam tidak mengenal paradigma moral yang penuh pelecehan seperti di atas. Aturan tentang perilaku seksual seorang Muslim tidak bergantung pada “biologi selaput dara”. Artinya batasan-batasan moral dalam perilaku seksual seorang Muslim “tidak dimulai dan diakhiri dengan selembar kain yang ternoda darah dari selaput dara seorang perawan.” Karena itu upaya-upaya penipuan selaput dara dan kerja para “dukun klinik” menciptakan berbagai teknik “pengembalian” keperawanan untuk membuktikan sebuah kehormatan palsu, dalam pandangan moral Islam, tentu dianggap sebagai tindakan-tindakan bodoh dan menertawakan. Sekali lagi dapat ditegaskan bahwa Islam menolak paradigma biologis sebagai alasan utama bagi perilaku moral manusia. Tidak ada spesifikasi gender dalam tatanan moral Islam. Laki-laki dan perempuan, seperti telah didiskusikan di atas, dituntun oleh Islam untuk sama-sama menjaga diri dan memelihara kehormatan.
Sama sekali tidak ada ketentuan dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa pria mempunyai hak istimewa untuk meminta dari wanita bukti kesucian moral. Juga tidak perlu seorang wanita menuntut dari pria bukti yang sama. Al-Quran sedikit pun tidak menyebutkan bahwa seorang pria harus meminta bukti anatomis dari keperawanan seorang wanita dan kemudian memamerkanya di muka umum.
Keperawanan memang mempunyai nilai dan makna simbolik tersendiri. Keperawanan menyiratkan kesucian dan kesetiaan pada norma dan kemulian perilaku yang berkaitan dengan hubungan seksual. Akan tetapi keperawanan tidak dapat dijadikan sebagai ukuran hakiki kehormatan seseorang dengan harga mati. Di sinilah kita perlu berhati-hati untuk tidak terlalu mensakralkan keperawanan dan tidak pula merendahkan nilainya.
Sebenarnya tidak semua masyarakat memiliki pandangan dan tradisi yang sama mengenai keperawanan. Meski sebagian orang sangat terobsesi oleh keperawanan anatomis seperti tersebut di atas, ada juga kelompok-kelompok masyarakat atau kebudayaan tertentu yang sama sekali tidak sensitif terhadap hal ini, seperti beberapa suku di benua Afrika. Munawar Ahmad Anees juga menyebutkan bahwa di Jawa “banyak pria Tengger lebih menyukai janda-janda daripada wanita-wanita muda.” Lebih ekstrim lagi, orang-orang Votiak dari suku Finno Urgia menganggap keperawanan sebagai sebuah aib karena, menurut mereka, hal tersebut menunjukkan ketidak-mampuan seorang wanita memikat pria.
Sikap ektrim dalam memandang keperawanan perempuan, baik ekstrim kiri ataupun kanan, telah terjadi, dan berbagai legenda pun telah dikarang. Ada yang memuja keperawanan secara berlebih-lebihan sampai kepada suatu keyakinan mistis dan ada pula yang menyepelekannya sampai menganggapnya aib. Hukum-hukum Yahudi dan Kristen telah menetapkan hukuman rajam atau hukuman mati kepada gadis-gadis yang telah kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Dan puncak dari perkembangan pemahaman tersebut adalah pada sebuah pemujaan yang ekstrim, sebuah keyakinan akan Perawan Maria sebagai Theotokos, Ibu Tuhan. Berbagai kesesatan lain yang bercampur mistik tentang keperawanan perempuan juga telah membodohi sejumlah bagian dunia Eropa. Fondasi-fondasi London Bridge, dikabarkan, dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan tulang belulang yang berasal dari para perawan; mereka percaya bahwa tulang-tulang para perawan memiliki kekuatan magis. Ada juga yang menyarankan kepada perempuan-perempuan cantik dan kaya agar darah perawan diminum untuk memulihkan kecantikan dan menghilangkan kerut-kerut serta noda-noda di wajahnya. Tidak kurang juga dahsyatnya di Rusia, sisa-sisa mayat para perawan yang dibunuh dimanfaatkan untuk membuat lilin-lilin khusus yang diyakini dapat membawa keberuntungan. Tidak sedikit di Eropa gadis-gadis muda yang meninggal akibat penyakit kelamin karena dimanfaatkan oleh pria-pria tua dan kaya tapi “busuk” yang percaya bahwa hubungan intim dengan seorang perawan akan memulihkan keremajaan dan merupakan obat yang paling mujarab dan “menyenangkan”. Semua ini mencerminkan angan-angan kaum pria yang tidak terbatas dalam penjelajahan seksualnya, sehingga perempuan jadi korban. “Kehormatan” dan agama tentu saja selalu akan digunakan sebagai hujah untuk memenuhi segala hasrat duniawi mereka secara sepihak.
Sepertinya penting juga dikemukan di sini apa sebenarnya keperwanan anatomis itu dan apa yang dicari kaum laki-laki dalam pengelanaan seksualnya serta angan-angan mereka ihwal pemecahan simbol keperawanan tersebut. Inti dari seluruh legenda, mistik dan berbagai kegilaan tentang perawan adalah robeknya selaput dara, yakni sebuah jaringan yang sangat halus dalam vagina, sehingga menyebabkan terjadinya pendarahan. Selaput lendir yang menghalangi lubang vagina ini berbeda-beda bentuk, potongan dan ukurannya. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, liang vagina tertutup sama sekali. Sebaliknya mungkin juga selaput dara itu telah tidak ada lagi atau lenyap akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan masa kanak-kanak.
“Anatomi,” seperti kata Munawar Ahmad Anees, “dapat menipu!” Selaput dara ternyata tidak hanya sekedar sebuah komponen dengan fungsi biologis tersendiri dalam tubuh manusia, tetapi lebih dari itu, ia telah memainkan peran yang mempunyai risiko tinggi bagi nasib kaum perempuan dalam banyak kebudayaan. Namun, sampai masa-masa terakhir, sedikit perhatian yang diberikan pada kenyataan bahwa selaput dara bukan ukuran mutlak sebuah keperawanan. Bukan tidak ada kasus-kasus ditemukannya selaput dara masih utuh pada beberapa pelacur. Begitu juga dalam sejarah kedokteran, terdapat catatan-catatan yang menunjukkan adanya selaput dara yang masih sempurna pada perempuan-perempuan yang telah melahirkan seklipun. Karena itu “pengkeramatan” atas darah keperawanan atau “ritus” malam pertama perkawinan hanyalah sebuah mitos yang dikarang untuk memenuhi hasrat nafsu “keledai patriarki” yang tidak pernah puas dengan petualangan seksualnya. Islam sama sekali tidak berurusan dengan pembuktian anatomis itu dan moral Islam lebih bertumpu pada nilai-nilai spiritual yang tercermin dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Tuduhan yang dapat merusak kehormatan atau nama baik seorang perempuan atas dasar seperti itu sama sekali tidak dapat diterima oleh Islam. Sebuah dimensi spiritual tidak akan tertepis dengan runtuhnya dimensi-dimensi material.
Tuntutan yang paling penting dalam membina sebuah perkawinan adalah kejujuran dan saling percaya. Apa jadinya jika sebuah perkawinan harus dimulai dengan kecurigaan. Hubungan seksual pra-nikah dalam Islam disebut zina dan merupakan dosa besar. Pelakunya dimurkai Tuhan dan akan mendapat azab api neraka. Tetapi jangan coba-coba menuduh perempuan mukmin yang baik-baik (muhsanāt) melakukan zina. Jika tuduhan tersebut tidak dapat ditunjang oleh empat orang saksi yang melihat secara langsung perbuatan tersebut, maka yang menuduhnya akan dicambuk delapan puluh kali. Inilah hukuman Islam atas tindakan yang merusak nama baik perempuan.
Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Nūr [24]: 4 – 5).
Ayat ini menunjukkan sakralnya kehormatan perempuan dan kehormatan tersebut tidak diukur secara anatomis; ia adalah sebuah kepribadian yang mulia, kejujuran, ketakwaan dan amanah; ia tercermin pada segenap tingkah laku dalam kehidupan keseharian. Perintah menghadirkan empat orang saksi – suatu hal yang hampir saja dapat dikatakan mustahil – atas tuduhan zina mengindikasikan beratnya tuduhan tersebut. Kehormatan itu bermula dan berakhir pada kesadaran moral, ketakwaan, kesucian hati, ketulusan dan kesetiaan, bukan pada sebuah pembuktian klinis yang bisa saja direkayasa.

No comments:

Post a Comment