Sunday, May 2, 2010

Darah Menstruasi

Adakah cercaan yang lebih menjijikkan dari penghinaan atas seseorang karena sesuatu yang tidak dapat ia elakkan secara alamiah? Tetapi itulah yang harus dialami oleh mareka yang dilahirkan ke dunia ini dengan membawa jenis kelamin perempuan. Ketika telah sampai umur, mereka dituduh sebagai harus menjalankan hukuman dalam bentuk menstruasi atau keluarnya darah haid melalui liang vagina setiap bulan. “Itulah darah kutukan” – sebuah tuduhan tanpa dasar yang diwariskan dari zaman kuno. Lama kelamaan penghinaan tersebut tidak lagi terasa karena telah ditunjang oleh sejumlah dogma atau ajaran yang diatas-namakan agama serta cerita-cerita dusta yang dikarang oleh para “pemuja jenis kelamin” untuk menjadikannya sebagai “kompensasi” sehingga rasa inferioritas kaum perempuan turun ke bawah sadarnya. Ketika dihina, mereka pun tidak lagi memberontak. Sebab, alasannya telah dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar kelihatan sangat kuat: “itu adalah ketetapan dari Tuhan yang Maha Kuasa, yang harus disembah, dan segala hukum-Nya harus diterima dan ditaati. Tuhan telah menghukum perempuan sejak awal penciptaan dan hukuman tersebut harus dirasakan oleh seluruh keturunannya. Perempuan memang telah berbuat salah, maka penghinaan tersebut layak diterimanya.”
Dogma ini berasal dari tradisi Yahudi-Kristen dan telah menghiasi berbagai literatur peradaban Barat hingga melampaui abad pertengahan. Sebuah sajak tua berasal dari karya Milne berbunyi (dalam bahasa Indonesia) sebagai berikut:
Duhai wanita yang sedang menstruasi
Kalian adalah Iblis
Darinya seluruh alam
Hendaknya dilindungi dengan seksama
Dalam tradisi masyarakat Barat, cercaan terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi telah demikian dalam mengakar pada sejarah keagamaan, filsafat dan juga budaya mereka. Pada saat menstruasi, perempuan harus dijauhkan, bahkan dari sentuhan segala sesuatu atau barang-barang berharga. Sebab apa pun yang bersentuhan dengannya akan membawa akibat buruk: buah-buahan jadi busuk, tanaman-tanaman akan mati, dan bahkan besi dan perunggu pun jadi berkarat. Jika menghirup bau darah tersebut “anjing-anjing akan menjadi gila dan gigitannya mengandung racun yang tak tersembuhkan.”
Warisan inilah, bukan dari Islam, yang berkembang dalam masyarakat Muslim sampai akhir-akhir ini. Perempuan yang sedang haid dipersepsikan tidak hanya sebagai mengalami masa “kotor” secara biologis tetapi juga sedang tidak bersih secara mental dan spiritual. Mereka tidak boleh memasak karena akan menghilangkan rasa sedap; mereka juga tidak diizinkan memasuki kebun karena akan membuat mati pohon-pohon di dalamnya. Jika mereka menanam pohon, maka pohon itu tidak akan tumbuh. Darah haid seakan-akan telah menjadi sebuah kekuatan mistik hitam yang mempengaruhi alam sekitarnya, dan si pemiliknya harus pasrah menjadi yang tertuduh sebagai pembawa sial dan malapetaka yang sangat tidak diinginkan. Bukan tidak ada dalam masyarakat kita yang percaya akan kekuatan jahat “darah pembawa sial” itu, sehingga begitu takut kepada perempuan yang sedang mengalami haid. Mereka bahkan menunjukkan bukti-bukti konkrit dari pengalamannya sendiri. Namun seorang perempuan desa terpelajar mengemukakan kepada kami ihwal keyakinannya tentang pengaruh darah menstruasi itu. Ia pertama yakin bahwa ketika sedang haid perempuan tidak boleh menanam pohon, sebab sia-sia saja karena pohon itu tidak akan tumbuh. Darah haid, demikian alasan dogmatis dikemukakan, berhawa panas, maka pohon yang ditanam perempuan berhaid akan mati. Apa yang diyakini itu benar-benar tejadi. Tetapi kemudian, setelah mengalami kematangan intelektual yang lebih baik, ia tidak lagi percaya akan “tahyul” tersebut. Ia kembali mempraktekkan percobaannya dengan suatu kemantapan hati dan rasa tawakkal. Ternyata, demikian ia mengisahkan, pohon itu tumbuh dengan subur. Ia menunjukkan kepada sebatang pohon mangga yang subur dan berbuah lebat di halaman rumahnya, yang ia katakan sebagai pohon yang sengaja ia tanam pada saat sedang mengalami menstruasi. Ternyata “hanya keyakinan bodoh yang akan membodohi kita,” katanya.
Banyak cerita yang dikarang, sejak zaman kuno, untuk menyudutkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Tidak kurang dari Aristoteles, seorang filosuf Yunani terkenal, berpendapat bahwa perempuan adalah manusia tidak sempurna. Menstruasi itu sendiri adalah salah satu bentuk cacat pada perempuan; ia tidak mampu memberikan air mani yang merupakan sumber kehidupan, satu-satunya yang dapat diberikannya adalah darah menstruasi sebagai gizi bagi janin dalam kandungan. Ini juga, menurut Aristoteles, menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya dari laki-laki.
Pandangan-pandangan sinis seperti itu ternyata menyusup juga ke dalam pikiran sebagian Muslim, walaupun al-Qur’an telah menjelaskan secara tegas tanpa sedikit pun menyisakan kebingungan:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘haid itu kotoran.’ Karenanya menjauhkan-dirilah kamu dari perempuan pada waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Bila mereka telah suci maka campurilah mereka sesuai yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang mensucikan diri (al-Baqarah [2]: 222).
Pandangan Islam tentang menstruasi jelas. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa menstruasi berada dalam keadaan tidak suci seacara fisik selama berlangsungnya menstruasi itu dan hubungan seksual dengan perempuan tersebut dilarang sampai ia telah menyucikan dirinya kembali. Tidak ada diskriminasi di sini; yang ada hanyalah sebuah pengakuan realistik akan kenyataan biologis yang dialami perempuan dan siapa pun harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan serta wajib menghargai perempuan sebagai seorang manusia meskipun sedang berhaid.
Mengenai perintah menjauhi perempuan yang sedang berhaid dalam ayat di atas, ‘Alī al-Sāyis mengemukakan bahwa di sana telah timbul beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian ulama mengatakan bahwa laki-laki wajib menjauhi seluruh tubuh isterinya yang sendang berhaid, dengan alasan bahwa perintah i‘tizāl (menjauhkan diri) dalam ayat tersebut diungkapkan secara umum dan tidak ada rinciannya; sementara ulama yang lain mengatakan bahwa yang harus dijauhi hanyalah tempat “kotor” saja. Artinya, yang dilarang hanyalah melakukan hubungan seksual. Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibn Jarīr, dari Masruq ibn al-Ajda‘, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Āisyah ‘apa saja yang dihalalkan kepada seorang suami dari isterinya yang sedang mengalami haid?’ Beliau menjawab: ‘Segala sesuatu dihalalkan, kecuali hubungan seksual’.” Namun ada satu pendapat yang mencoba mencari jalan tengah dengan mengatakan bahwa yang harus dijauhi oleh si suami adalah antara pusat dan lutut.
Bagaimana pun, yang jelas bahwa Islam tidak bersikap sinis sedikit pun terhadap perempuan yang mengalami menstruasi. Bahkan Islam telah melakukan perubahan yang sangat berarti dalam memandang perempuan berhaid. Sabāb al-nuzūl (Sebab turun) ayat di atas menggambarkan dengan jelas kesimpulan tersebut: Qatādah mengatakan bahwa kaum jahiliah tidak mengizinkan perempuan berhaid tinggal di dalam rumah dan tidak mau memberi makan mereka dalam piring. Maka turunlah ayat tersebut di atas; maka Allah mengharamkan faraj-nya saja tatkala ia berhaid, dan dihalalkan selainnya.
Muhammad ‛Abduh, seorang mufassir abad modern, lebih jauh mengemuka¬kan bahwa ayat tentang haid di atas diturunkan di Madinah setelah terjadi kontak antara orang-orang Arab dengan kaum Yahudi. Ayat ini diturunkan dalam rangka menjawab kebingungan yang terjadi dalam masyarakat Muslim atas pandangan dan sikap orang-orang Ahl al-Kitāb, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang persoalan haid. Orang-orang Yahudi cenderung berlebih-lebihan mengenai masalah ini. ‛Abduh mengutip Kitab Imamat Orang Levi: 15 yang berisi hukum Yahudi mengenai perempuan berhaid: “Pada hari-hari keluarnya darah haid, perempuan itu bernajis; siapa saja menyentuh tempat tidurnya, hendaklah ia mencuci pakaiannya serta mandi dengan air, dan ia bernajis sampai sore hari; dan jika seorang laki-laki tidur bersamanya, maka darah tersebut menjadikannya bernajis sampai tujuh hari dan setiap tempat tidur yang ia berbaring di atasnya akan menjadi najis … dst.” Sementara itu, orang-orang Nasrani malah terlalu meringan-ringankan hal tersebut. Mereka bahkan melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam syari’at agama mereka. Karena itu masyarakat Muslim bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya persoalan haid itu? Maka turunlah ayat (Q.S. al-Baqarah [2]: 222) tersebut untuk menghilangkan kebimbangan mereka.
Kata adhā dalam ayat itu (qul huwa adhā,), yang pada dasarnya berarti “rasa sakit”, dipahami atau ditakwilkan oleh kebanyakan mufassir dengan pengertian al-qadhr, artinya kotoran. Tetapi ‛Abduh berusaha memberikan penjelasan agak berbeda. Menurutnya, hubungan seksual dengan perempuan yang sedang dalam keadaan menstruasi dilarang karena dapat mendatangkan rasa sakit dan ad-darar, yakni kesulitan dan perasaan tidak nyaman. Laki-laki memang tidak merasakan hal tersebut namun bagi perempun hampir dapat dipastikan itu sangat mengganggu. Pada saat sedang haid, anggota tubuh reproduksi perempuan tidak siap untuk melakukan hubungan seksual karena sistem biologisnya sedang mengalami kesibukan lain. Karena itu, kata ‛Abduh, istilah adhā tersebut tidak perlu ditakwilkan; ia lebih tepat dipahami dengan makna asalnya. Oleh karena itu perintah “manjauhi” perempuan yang sedang mengalami masa haid dapat dipahami sebagai kiasan dari larangan melakukan hubungan seksual, bukan menjauhi dalam arti yang sebenarnya seperti dipahami oleh sebagian orang. Ini didukung oleh sebuah hadits, yang juga dikutip oleh ‛Abduh, dimana berkenaan dengan perempuan yang sedang haid Nabi mengatakan:
Lakukanlah segala sesuatu kecuali jimak (H.R. Muslim dan Ahmad).
‛Abduh juga mengutip pendapat yang agak berbeda beserta dalil yang digunakan dan ia menyadari bahwa para fuqaha memang sedikit berbeda pendapat dalam masalah ini. Namun poin paling penting yang diutarakan ‛Abduh adalah mengenai penafsiran kata adhā, sebagai konsep paling mendasar tentang pandangan Islam mengenai haid. Tafsiran yang diberikan ‛Abduh memberikan implikasi yang cukup signifikan: bahwa haid adalah sebuah peristiwa alamiah yang dialami perempuan dan karena sebab-sebab biologis tertentu perempuan mengalami kondisi tidak nyaman pada waktu tersebut sehingga laki-laki (suaminya) perlu berusaha memahami kondisi itu. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa makna “kotor” berkenaan dengan haid dapat diabaikan. ‛Abduh juga menyadari hal tersebut, dan ia mengatakan:
Ketentuan [al-Qur’an] ini muncul sebagai penengah di antara dua pandangan ekstrim, yaitu: yang menganggap perempuan berhaid serta setiap orang yang menyentuhnya, menyentuh pakaiannya atau tempat tidurnya sebagai bagian dari najis, dan yang terlalu mempermudah-mudahkan sehingga menghalalkan menggauli perempuan yang mengalami haid meskipun padanya terdapat penyakit dan kotoran.
Jadi meski Islam menganggap darah haid sebagai “kotor” dan perempuan harus menyucikan diri darinya (Q.S. al-Baqarah [2]: 222), pelarangan mendekati perempuan pada masa haid lebih disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang tidak kondusif, baik secara psikologis maupun medis. Karena itu ‛Abduh mengatakan pandangannya itu didukung oleh bukti-bukti dalam ilmu kedokteran. Jika pandangan ini dapat dianggap lebih tepat maka sesungguhnya kata adhā yang digunakan al-Qur’an mengandung hikmah yang sangat mendalam: al-Qur’an hendak menghapus kesan perempuan itu najis pada masa haid. Haid pada dasarnya adalah adhā, sakit atau kondisi tidak nyaman yang dialami perempuan.
Islam memang mengenal konsep hadats, yakni kotor atau tidak suci secara maknawi, hal mana membuat seseorang terlarang melakukan kegiatan-kegiatan ibadah ritual tertentu – seperti salat, puasa, tawwaf, membaca al-Qur’an dan i‛tikāf (diam dalam mesjid dengan niat ibadah) – sebelum orang tersebut bersuci. Mengenai masalah ini, diskusi telah dilakukan secara panjang lebar oleh para fuqaha dan di sana-sini terdapat beberapa perbedaan pendapat, terutama sekali berkenaan dengan syarat-syarat dan jenis pelarangan tersebut. Formulasi fiqh telah dibuat secara sistematis dan rinci tentang masalah ini sehingga tidak perlu di sini dibicarakan secara detail. Poin yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa haid termasuk hadats, yakni hadats besar, dan karena itu seorang perempuan diwajibkan mandi setelah haidnya selesai untuk menyucikan dirinya dari hadats besar tersebut. Hadats adalah sebuah istilah dalam fiqh yang berbeda sama sekali dari najis. Hadats sama sekali tidak memberikan kesan kotor dan menjijikkan. Orang berjunub (melakukan hubungan seksual, atau keluar mani/sperma) dan orang melahirkan disebut berhadats besar; karena itu mereka wajib mandi. Perempuan yang mengalami masa haid juga sama dengan mereka itu. Jadi meskipun perempuan diwajibkan mandi karena haid, tidak berarti ia dipandang telah diliputi najis atau mengalami hal menjijikkan.
Menstruasi atau haid dalam pandangan Islam tidak lebih dari sebuah sistem biologis tubuh di mana kotoran tertentu dikeluarkan melalui liang vagina, sehingga seorang perempuan yang mengalami menstruasi perlu melakukan penyucian fisik. Tidak ada tuduhan-tuduhan yang dibuat oleh Islam untuk menghina perempuan dengan mengatakan, misalnya, bahwa menstruasi adalah sebuah kutukan, hasil kerja setan, atau akibat dari sebuah dosa yang diwariskan. Dalam kenyataannya memang ada mitos yang beredar dalam masyarakat bahwa menstruasi merupakan akibat dari “buah terlarang” yang dimakan oleh perempuan pertama (Hawa) ketika masih bersama suaminya (Adam) dalam sorga. Tuhan telah melarang memakan buah kayu itu. Tetapi karena godaan setan, keduanya terpedaya; mereka memakan buah tersebut. Namun Adam sedikit beruntung karena tidak sempat menelannya sebab malaikat datang dan mencekek lehernya. Sementara Hawa, karena duluan memakannya maka buah tersebut terlanjur tertelan. Sayang sekali, malaikat kurang sigap dalam menangani peristiwa tersebut, sehingga perempuan tidak sempat terselamatkan. Buah “kayu terkutuk” itulah yang menyebabkan datangnya darah haid pada perempuan setiap bulan. Perempuan, dalam mitos tersebut, ternyata sejak awal memang kurang beruntung. Celakanya lagi, kemalangan tersebut diwariskan juga kepada semua perempuan lain dari anak cucunya yang telah pantas menerimanya, yakni telah dewasa atau sampai umur. Tetapi semua hikayat kuno ini tidak berasal dari ajaran Islam; ia tentu saja datang dari negeri “entah-berantah”.
Islam tidak pernah mengenal cerita seperti ini. Karya-karya Muslim klasik sekalipun, yang otoritatif, yakni diakui keabsahannya, tidak menyebutkan cerita-cerita serupa demikian. Fiqh Islam klasik, yang merupakan interpretasi atau hasil pikiran ulama atau sarjana Muslim zaman dahulu sekalipun, mengungkapkan persoalan haid ini dengan penuh respek. Syeikh Zakaria al-Ansārī, seorang Fāqih dan Qādī agung negeri Mesir abad pertengahan yang terkenal karena wibawa, keluasan ilmu dan keadilannya, mengatakan bahwa haid adalah darah jublah yang keluar dari rahim perempuan pada waktu-waktu tertentu. Kemudian al-Bujayrimī, ketika mengomentari pernyataan al-Anshārī, mempertegas bahwa yang dimaksud dengan jublah adalah tabī‘ah, yakni kebiasaan atau natural. Lebih lanjut al-Ansārī mengatakan bahwa peristiwa kedatangan haid pada setiap perempuan dewasa adalah ketetapan dari Allah atas setiap anak-cucu (perempuan) Adam. Sedikit pun tidak ada tendensi penghinaan atau pelecehan terhadap jenis kelamin dalam pernyataan-pernyataan di atas. Menstruasi itu berasal dari Allah dan telah menjadi kenyataan dalam hidup manusia. Ia tidak terkait dengan apa pun selain kehendak Allah; tidak ada sebab-sebab padanya yang berasal dari kemurkaan atau kutukan. Tradisi Islam, meskipun dalam hal-hal tertentu banyak dipengaruhi pandangan luar, memiliki konsep yang sangat jernih dan jenius terhadap perempuan. Demikian juga terhadap hal-hal lain. Khurafat, yakni mitos-mitos irrasional dan tak bersumber, sejak lama telah dibicarakan oleh ulama atau sarjana Muslim, dan telah dilakukan berbagai upaya serius untuk membersihkan masyarakat Muslim dan tradisi Islam darinya. Ihwal pandangan tentang perempuan, memang bukan tanpa kontroversi. Tetapi yang menarik adalah sikap kaum Muslim yang selalu berupaya merujuk berbagai persoalan yang dibicarakan pada sumber asli ajaran agama. Jadi perbedaan hanya sekitar penafsiran saja. Karena itu kritik dan rekonstruksi pemikiran dalam tradisi intelektual Muslim pada dasarnya adalah hal biasa, bukan sesuatu yang tabu dan menakutkan.
Namun perlu juga diingat bahwa kontroversi tersebut bukan hanya terkait dengan pemahaman saja tetapi juga mengenai metodologi. Terlebih lagi jika yang dipersoalkan adalah hadits, maka perdebatan bukan hanya sekitar matan atau teksnya tetapi juga soal periwayatan atau historisnya. Sebagai sebuah laporan, hadits mungkin saja didengar, disampaikan atau dicatat sebagian saja oleh seorang perawi, dan penjelasan yang tidak lengkap itu kemudian disampaikannya kepada orang lain. Atau bisa jadi seorang pembawa laporan telah memasukkan interpretasinya sendiri ke dalam teks. Kasus-kasus seperti ini tidak mustahil telah terjadi dalam berbagai catatan hadits. Karena itu hadits harus ditelaah secara cermat dan kritis.
Sebagai contoh adalah hadits riwayat al-Bukhārī dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa “Tiga hal yang membawa bencana: rumah, wanita dan kuda.” Fatimah Mernissi mengkritik dengan keras hadits tersebut. Menurutnya hadits tersebut adalah contoh sebuah kekeliruan yang dilakukan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits Nabi. Serangan pertama yang dilakukan Mernissi adalah terhadap Abu Hurairah sendiri. Menurut Mernissi, banyaknya riwayat Abu Hurairah tentang hadits-hadits yang memojokkan perempuan tidak mengherankan sebab orang ini memang terkenal antipati terhadap perempuan. Di samping itu pemahaman Abu Hurairah terhadap hadits Nabi dalam berbagai masalah juga tidak cermat. Tapi yang mengherankan, kata Mernissi, adalah sikap al-Bukhārī (seorang perawi hadits yang cermat dan kritis) yang memasukkan banyak hadits misoginis (yang menunjukkan kebencian akan perempuan) ke dalam kumpulan hadits shahihnya, bahkan tanpa koreksi sama sekali. Haditstersebut, demikian menurut Mernissi, telah dikritik atau dikoreksi oleh ‘Āisyah sendiri. Abu Hurairah, menurut keterangan ‘Āisyah, tidak mendengar penjelasan Rasulullah secara lengkap. Padahal yang dimaksud oleh Rasulullah justeru sebaliknya: Rasulullah sedang menjelaskan betapa kelirunya kaum Yahudi yang mengatakan bahwa tiga hal tersebut, yakni rumah, perempuan dan kuda, sebagai penyebab terjadinya bencana.
Karena itu Mernissi mengajak pembacanya mengkaji ulang berbagai masalah mengenai perempuan yang mungkin selama ini dianggap telah selesai. Banyak teks hadits tentang perempuan serta periwatan dan konteksnya perlu ditelaah kembali secara teliti dan mendalam. Mungkin saja Mernissi keliru dalam berbagai analisis yang ia buat tentang para sahabat Nabi, tentang Abū Hurayrah misalnya. Tetapi apa yang diungkap Mernissi, paling tidak, menyiratkan adanya keresahan seorang intelektual terhadap perlunya ruang dialog, diskusi, kereksi dan telaah ulang atas berbagai persepsi yang telah kita yakini selama ini berdasarkan sejarah dan hadits-hadits Nabi; bahwa kita harus meninjau sebuah “keyakinan” bukan berarti kita ingin menghancurkannya.

No comments:

Post a Comment