Saturday, April 17, 2010

Al-Qur’an tentang Evolusi Manusia

Seperti telah didiskusikan di atas bahwa konsep penciptaan perempuan tidak terlepas dari konsep penciptaan laki-laki. Jika penciptaan manusia pertama (laki-laki) dilihat sebagai sebuah kreasi Tuhan dari tanah secara langsung jadi, maka penciptaan perempuan pertama pun akan dipahami tidak jauh berbeda dari itu. Jika dikatakan ia berasal dari tulang rusuk, ya, dari tulang rusuk. Tuhan memang Maha Kuasa atas segala-galanya. Namun pemahaman yang lebih ilmiah – dengan merujuk pada berbagai realitas penciptaan Tuhan dalam alam semesta ini – tidak melihat proses penciptaan sesederhana itu. Melalui pemahaman seperti ini, manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak dilihat sebagai dua makhluk yang diciptakan secara berbeda-beda dan terpisah-pisah; keduanya diciptakan melalui proses yang sama – sebuah proses yang sangat panjang dan tenggelam dalam berbagai misteri. Tegasnya, manusia yang ada sekarang dengan segala karakteristiknya yang sangat kompleks, fisikal dan spiritual, secara biologis adalah “keturunan” dari makhluk sebelumnya yang lebih sederhana. Sementara perbedaan jenis memang telah ada sejak awal, sejak makhluk bersel satu meninggalkan sistem perkembang-biakan dengan cara membelah diri.
Salah satu keberatan yang paling fundamental di kalangan sebagian Muslim terhadap pemahaman tersebut di atas adalah karena ia dianggap bertentangan dengan Kitab Suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Padahal persoalannya tidak demikian. Ulasan-ulasan al-Qur’an tentang penciptaan sangat universal dan tekanan al-Qur’an yang paling mendasar adalah tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tercermin dalam setiap kreasi-Nya di alam semesta ini. Evolusi dalam kreasi Tuhan tidak mengurangi keagungan dan keajaiban karya-Nya. Al-Qur’an tidak secara konkrit dan detail membicarakan persoalan penciptaan dan segala proses yang terlibat di dalamnya. Berbagai bahasan tentang hal tersebut dalam literatur Islam merupakan gagasan dan pemikiran manusia semata. Kita barangkali sepakat bahwa pembahasan di atas memang tidak sejalan dengan sejumlah literatur Islam klasik, tetapi itu tidak berarti bertentangan dengan Islam atau al-Qur’an; yang bertentangan adalah penafsiran sebagian orang dengan yang lainnya. Untuk itulah berikut ini kami nukilkan beberapa ayat al-Qur’an yang oleh sebagian sarjana Muslim justeru dipahami atau ditafsirkan sebagai isyarat akan adanya proses evolusi manusia tersebut.
Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 30 Allah berfirman:
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka menjawab: ‘Apakah Engkau menjadikan di bumi orang yang berbuat kerusakan dalamnya, padahal kami bertasbih dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu sekalian ketahui.
Mengapa malaikat mengajukan pertanyaan yang mengimplikasikan keberatan atau semacam “protes” ketika Tuhan hendak menjadikan seorang khalifah di bumi? Menurut ayat di atas, keberatan malaikat muncul karena di bumi orang yang djadikan khalifah itu akan melakukan kerusakan, dan ini bertentangan dengan watak malaikat yang selalu berzikir dan patuh kepada Allah. Dari mana malaikat tahu? Menurut Muhammad Syahrūr, seorang pemikir Muslim kontemporer, malaikat tahu dan mengatakan demikian berdasarkan kenyataan yang ada di bumi pada waktu itu. “Manusia” pada waktu itu belum menjadi manusia sempurna, belum ditiupkan ruh ke dalamnya, tetapi baru mampu berjalan tegak, menggunakan perkakas dan mengeluarkan bunyi suara berbeda-beda, belum menggunakan bahasa secara sempurna. Mereka masih dalam proses hominisasi. Karena itu tingkah laku mereka masih seperti binatang: menumpahkan darah dan melakukan kerusakan.
Kata jā‘ilun (menjadikan) berbeda dari khāliqun (menciptakan). Jā‘ilun menunjukkan kepada proses dan perubahan, bukan pernciptaan dari pertama. Karena itu ayat di atas, menurut Muhammad Syahrūr, bukan berbicara tentang penciptaan awal manusia, tetapi pengangkatan manusia menjadi khalifah, sebuah proses dari “bukan khalifah” ke “khalifah”, dimana mereka sudah mencapai bentuk fisikalnya seperti manusia namun belum memiliki kesadaran kemanusiaan. Ini dapat dibandingkan dengan firman Allah dalam surat Sād ayat 71 dimana malaikat tidak mengajukan protes, ketika Tuhan mengatakan hendak menciptakan manusia dari tanah, bukan menjadikannya sebagai khalifah: Sesungguhnya Aku manciptakan manusia dari tanah. Protes malaikat di sini tidak muncul karena manusia memang baru hendak diciptakan, belum terbentuk seperti manusia dan belum melakukan kerusakan di bumi.
Proses hominisasi mencapai puncaknya ketika manusia mulai dapat mengidentifikasikan segala sesuatu dengan memberinya nama-nama. Inilah yang disebut oleh Muhammad Syahrūr dengan marhalah (periode besar) pertama. Marhalah ini diisyaratkan oleh firman Allah (al-Baqarah [2]: 31):
Dan Ia [Tuhan] mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu kemudian Ia mengajukannya kepada para malaikat, lalu berfirman: sebutkan kepada-Ku nama-nama mereka itu jika kamu orang-orang yang benar!
Di sinilah Tuhan mulai menampakkan kelebihan manusia dari malaikat dan pada saat itu pula perintah sujud kepada Adam didatangkan. Pada saat itu manusia sudah benar-benar menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi karena Tuhan telah meniupkan ruh-Nya ke dalamnya.
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah.’ Maka tatkala telah Kusempurnakan [bentuknya] dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku, hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Maka semua malaikat [pun] sujud. Kecuali Iblis; ia menyombongkan diri dan ia termasuk di antara orang-orang kafir (Sād [38]: 71 – 74).
Dengan demikian masuklah manusia pada marhalah kedua, periode menghadapi tantangan dan mengalami kejatuhan. Manusia semakin sempurna dan sudah mulai berpikir dialektik. Mereka sudah dapat membanding-bandingkan baik dan buruk dan menentukan pilihan-pilihan; kesadaran hukum mulai tumbuh dan bisikan setan pun mulai memainkan perannya. Pada periode ini manusia hidup dalam “sorga” (al-Baqarah [2]: 35, al-A‘rāf [7]: 19), sebuah simbol dari kehidupan laki-laki dan perempuan yang penuh dengan kesenangan, sebuah dunia tanpa karya dan penuh cita-cita keabadian. Namun larangan sudah mulai ditetapkan. Manusia tergoda dan ia pun terjatuh.
Kejatuhan ini membawa manusia pada marhalah ketiga, yakni saat munculnya kesadaran spiritual atau kesadaran keagamaan yang mendalam. Manusia pada tahap ini mulai melihat dengan jelas makna baik dan buruk, kehormatan dan kekejian serta melakukan pertobatan dan pendekatan diri kepada Tuhan (al-Baqarah [2]: 36 – 37, al-A‘rāf [7]: 22 – 23). Maka manusia terlepas dari sorga dan hidup berkarya di dunia, dan pada waktu itu konsep waktu mulai dikenalnya.
Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu (al-Baqarah [2]: 36).
Marhalah yang keempat adalah zaman manusia purba, dari Adam sampai Nuh. Dan selanjutnya datanglah zaman manusia modern. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud dengan Adam pada setiap marhalah di atas adalah generasi Adam, bukan Adam sebagai personal. Dan Adam yang dipilih (sebagai Nabi) juga bukan seorang manusia yang bernama Adam, tetapi sebuah sosok atau pribadi yang diistilahkan dengan Adam, yang mungkin bermakna seorang manusia.
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran atas sekalian alam (Āli ‘Imrān [3]: 33).
Syahrūr menyimpulkan, bahwa lahirnya manusia di bumi ini adalah sebagai natijah dari proses perkembangan makhluk hidup yang melewati masa berjuta-juta tahun (290). Bisa jadi inilah yang diisyaratkan dalam surat al-A‘rāf [7] ayat 11:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, kemudian Kami sempurnakan kamu, kemudian barulah Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kepada Adam!’ …

No comments:

Post a Comment