Wednesday, March 31, 2010

GUSDUR DAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

I. Pendahuluan:
Abdurrahman Wahid dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Greg Barton menempatkan Abdurrahaman Wahid pada posisi sama dengan Nurcholish Madjid sebagai dua orang intelektual Ulama dan pioneers gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang telah mensintesiskan pemikiran tradisional dan modern. Kedua tokoh ini, kata Barton, mewarisi tradisi pembaruan dari masing-masing orangtuanya yang juga teman akrab dan terikat hubungan persaudaraan karena perkawinan. Kedua tokoh tua ini lalu melahirkan dua tokoh muda yang langka; dua tokoh yang berangkat dari tradisi pesantren dan kemudian melakukan pengembaraan intelektuan yang jauh – bahkan terlalu jauh untuk sebagian orang. Pada posisi seperti inilah penulis mencoba mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid.
***
Dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban, Nurcholish Madjid sangat positif melihat perkembangan Islam di Indonesia. Islam di negeri ini, menurutnya, memang tidak memiliki masa silam, tetapi ia "mempunyai masa depan." Untuk menyongsong masa depan ini – kembali menurut Nurcholish – diperlukan sikap yang terbuka dan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam. Alumni Universitas Chicago yang juga teman dekat Gus Dur – panggilan akrab Abdurrahman Wahid – ini melihat bahwa keterbukaan adalah modal utama dalam membangun sebuah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Menulis di berbagai media massa dan berbicara dalam banyak forum, Nurcholish seringkali menekankan perlunya sikap keterbukaan ini. Manusia adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi the free will dan dilengkapi dengan kapasitas untuk mencari kebenaran (al-Haqq). Tuhan sebagai al-Haqq adalah tujuan atau objek pencarian manusia yang selalu nisbi dalam kemampuannya. Manusia bukan al-Haqq dan tidak mungkin mencapai atau menjadi al-Haqq itu sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya; manusia hanya dapat mendekatinya – hanya taqarrub. Dari itu, kebenaran penalaran manusia hanyalah kebenaran relatif; dan klaim kebenaran mutlak terhadap interpretasi manusia dapat mengarah kepada syirik – tindakan menyaingi Tuhan (the Absolute, the Truth).
Berangkat dari semangat pencarian kebenaran dan pengembangan Islam di Indonesia, Nurcholish sejak awal 1970-an tidak henti-hentinya menyerukan Islam sebagai Islam itu sendiri, sebagai ajaran yang universal, dan berupaya melepaskannya dari garis perjuangan politik yang telah membagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Seruan "Islam, yes!, Partai Islam, no!", menurutnya dapat mencakup semangat seluruh kaum Muslim sebagai sebuah umat. Dengan mempertimbangan garis perjuangan yang ditempuh kaum Muslim Indonesia pada waktu itu, tindakan Nurcholish melepaskan Islam dari politik dapat dikatakan terlalu berani. Sehingga, kritik dan kecaman mengalir deras terhadap pikirannya. Apalagi, istilah-istilah yang digunakan Nurcholish, seperti desakralisasi dan sekularisasi, dianggap sebagai cerminan dari keterpengaruhannya oleh Barat; akibatnya perdebatan sekitar pemikirannya pernah cenderung menjadi pertikaian sentimental dan menimbulkan caci-maki.
Namun, apa yang dilakukan Nurcholish tersebut bisa, mungkin, dianggap sebagai shock therapy untuk membangunkan umat Islam Indonesia yang "sedang tidur." Kenyataannya, Gerakan Pembaharuan yang dicanangkan Nurcholis itu telah menandai awal dari kemunculan semangat baru dalam kajian keagamaan dan pemahaman yang lebih liberal tentang ajaran Islam.
Tokoh-tokoh lain yang bergerak dengan semangat yang sama antara lain adalah Djohan Effendi, Ahmad Wahib (al-marhum), Dawam Raharjo dan Syu'bah Asa. Gerakan mereka kemudian lebih dikenal dengan – meminjam istilah Fazlur Rahman – neo-Modernisme. Ke dalam kelompok inilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), setelah pulang dari studinya di Timur Tengah, menggabungkan diri dan bahkan mempengaruhi banyak generasi muda dalam kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi-organisasi keulamaan lainnya untuk tidak tinggal diam.
Walaupun muncul belakangan, dan dengan latar belakang pendidikan tradisional, Gus Dur tidak dapat diabaikan dalam percaturan pembaruan pemikiran Keislaman di Indonesia. Gus Dur dan Nurcholish Madjid, seperti dikatakan Barton, adalah dua tokoh remarkable intellectual pioneers. Bukan hanya karena seorang "Gus", seorang anak Kiai ternama, K.H. Wahid Hasjim, tapi Gus Dur juga menjadi terkenal dan populer karena kualitas intelektual dan bahkan karakter yang bisa disebut unik yang ia miliki. Demikian pula ia menjadi Kiai, bukan hanya karena ascribed status, tetapi juga karena achieved status, sebuah perpaduan kualits yang memang "tak lazim."
Makalah ini mencoba menganalisa pemikiran Gus Dus dalam konteks pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dengan memetakan kembali latar belakang kehidupannya dan kondisi sosial politik di mana ia dibesarkan dan lingkungan di mana kemudian ia mencurahkan gagasan-gagasannya.

II. Kehidupan dan Karir

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang tahun 1940 "dari keluarga dengan garis NU tanpa cela." Ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, adalah anak dari Kiai Hasjim Asj'ari, tokoh pendiri NU, organisasi Ulama yang cukup berwibawa yang kelak Gus Dur melibatkan diri di dalamnya. Pada saat masih bocah, Gus Dus memilih tinggal bersama kakeknya, seorang Kiai besar. Di sinilah ia mulai merasakan percikan politik yang ia dengar dari setiap orang yang berkunjung ke rumah kakeknya itu. Pada 1950 ayah Gus Dus menjabat sebagai Menteri Agama R.I. dan karena itu Gus Dur bersama saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Untuk ke sekian kalinya Gus Dur kecil menjadi akrab dengan politik yang ia serap dari rekan-rekan ayahnya yang berkunjung ke rumah.
Ayah Gus Dur meninggal dunia pada usia yang relatif muda, 38 tahun, dalam sebuah kecelakaan mobil pada bulan April 1953, sementara Gus Dur pada saat itu baru berusia 13 tahun. Peristiwa tragis yang menyebabkan kematian ayahnya itu menjadi pengalaman traumatik bagi diri Gus Dur, mengingat ia sendiri ikut serta dalam mobil tersebut. Ini termasuk tempaan awal yang kelak menjadikan Gus Dur tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan membuatnya peka terhadap kehidupan dan penderitaan orang-orang di sekitarnya. Gus Dur lalu dididik dan diasuh oleh ibunya, Ny. Solichah, yang berkeinginan agar anaknya kembali menjadi generasi penerus gerakan NU. Sejak perpindahan ke Jakarta, Ny. Solichah sudah melihat adanya gejala kelunturan identitas tradisi keagamaan pada anak-anaknya yang selama ini mereka pegang dengan ketat. Kota metropolitan yang menarik setiap penghuninya ke arah kehidupan "modern" dan "liberal" rupanya juga telah mempengaruhi kehidupan Gus Dur kecil. Maka sangat wajar bila Ibunya menghendaki agar Gus Dus kembali ke – atau sekurang-kurangnya tidak menjauhi – dunia Pesantren.
Memahami keinginan Ibundanya, pada 1953 Gus Dur masuk SMEP Gowongan Yogyakarta sambil nyantri di Pesantren Krapyak. Setelah menyelesaikan sekolahnya, pada 1957 Gus Dur belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang selama dua tahun. Kemudian, dari 1959 sampai 1963 ia kembali lagi nyantri di Pesantren Krapyak sambil mengajar pada Pesantren Tambak Beras, Jombang.
Gus Dur sejak kecil memang kaya pengalaman. Hubungan orangtuanya dengan berbagai kalangan dari pejabat dan Ulama telah memperkenalkan kepada Gus Dur sejak dini hubungan atau interaksi kehidupan yang pluralistik. Ayahnya secara sengaja memperkenalkan Gus Dur bukan hanya dengan Kiai dan politisi NU, tetapi bahkan lebih jauh lagi dengan banyak orang kalangan non-Muslim. Sehingga kelak Gus Dur pun tidak pernah ragu-ragu memperkaya pengetahuannya dengan cara yang sangat liberal. Sejak kecil, umur sekitar 15 tahun, Gus Dur sudah membaca karya-karya tokoh dan pengarang besar dan bahkan yang kontroversial sekalipun seperti filsafat Plato dan Thalles, novel-novel William Bochner dan karya besar Karl Marx, Das Kapital. Berbagai buku lain juga dibacanya, dari cerita silat, sejarah, agama, filsafat, sampai sastra dan sebagainya. Tidak sulit dibayangkan kalau Gus Dur sendiri mengakui "nggak punya pacar." Dia, katanya, takut sama cewek, sehingga yang menjadi teman mainnya adalah "buku dan bola." Sebagai orang yang gemar membaca, Gus Dur memang sudah mempersiapkan diri dengan modal yang sangat penting, yakni penguasaan bahasa: Arab, Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis. Bahkan ketika masih kecil ia pernah diasuh oleh seorang Jerman yang telah masuk Islam, teman ayahnya, yang memperkenalkan kepadanya musik klasik.
Sejak 1964 sampai 1966, sebagaimana harapan Ibundanya, Gus Dur belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dalam bidang ilmu Syari'ah. Namun dalam waktu yang tidak lama Gus Dur sudah merasa bosan dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh al-Azhar, yang dinilainya terlalu kaku. Terlebih yang diajarkan di sana adalah ilmu-ilmu yang juga telah dipelajari Gus Dur di pesantren. "Yang diajarkan di sana, ya, Jalâlain," kata Gus Dur dengan nada menyesalkan. Merasa tidak betah di al-Azhar, pada 1966 Gus Dur pindah ke fakultas Sastra Universitas Baghdad di Irak di mana ia menekuni sartra Arab, filsafat Eropa dan teori sosial, selama empat tahun.
Namun demikian, keberadaan Gus Dur di Mesir bukan tanpa kesan. Meskipun sering absen di al-Azhar, ia tidak membuang-buang kesempatan dengan percuma. Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan the American University, Kairo, mengikuti seminar, diskusi dan belajar secara tidak formal. Di samping itu sisa waktunya juga digunakan untuk menonton bola dan film Perancis – kegemarannya yang tidak bisa ia tinggalkan sampai hari ini. Clearly Abdurrahman Wahid is no ordinary Ulama.
Sisi lain yang menarik dari kehidupan Gus Dur adalah bahwa ia seorang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan lain, "humoris dan pandai bicara." Gus Dur juga termasuk orang yang suka melakukan hal-hal yang tidak lazim. Kadang-kadang ia mengantuk dalam forum seminar, tapi tiba-tiba ia mengajukan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan kritis. Sehingga, ada orang yang menganggapnya memiliki ilmu "Laduni" atau memiliki "kelebihan khusus." Pada saat sedang menekuni pendidikannya di Baghdad Gus Dur sempat membuat "geger" orang-orang di kampungnya. Gus Dur menerima kabar bahwa adiknya akan melangsungkan perkawinan. Merasa tersaingi oleh adiknya, Gus Dur pun menulis surat kepada kakeknya Kiai Bisri Syamsuri untuk mewakili dirinya naik ke pelaminan. Pada 11 Juli 1968 terjadilah kawin "jarak jauh" antara Gus Dur dengan Nuryiah, yang tidak lain adalah muridnya ketika mengajar di Pesantren Tambak Beras. Melihat Nuriyah bersanding di pelaminan dengan seorang kakek, para tamu pun mengatakan: "Aduh, kasihan Si Nuriyah, suaminya sudah tua betul, ya!" Gus Dus ternyata sangat paham bahwa tertawa adalah obat terbaik pada saat-saat suasana menegangkan, sehingga mengkritik pun dilakukannya dengan gaya humor. Misalnya pada saat berlangsungnya "proyek" kuningisasi menjelang Pemilu 1997, Gus Dur justru mengkampanyekan "supaya orang Jawa Tengah tidak usah sikat gigi saja."
Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad, Gus Dur berharap dapat melanjutkan¬nya di Eropa, namun karena tidak menemukan lembaga yang mengakui kesarjanaannya dari Timur Tengah, ia terpaksa mengurungkan niatnya itu. Meski sedikit kecewa – mungkin – Gus Dur dapat berbesar hati karena mendengar kabar yang lebih menarik tentang perkembangan pesantren di Indonesia. Pada 1971 ia pulang ke tanah air dan langsung melibatkan diri di dunia Pesantren. Pada 1972 sampai 1974 ia menjabat sebagai Dosen dan Dekan fakultas Ushuluddin Universitas Hasjim Asj'ari, Jombang dan dari 1974 hingga 1980 ia menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU, misanya pada 1979 ia menjabat sebagai katib awwal Syuriah NU.
Gus Dur pindah ke Jakarta pada 1978 dan menjadi pengasuh Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Di sinilah, Gus Dur yang telah melakukan kontak intensif sejak dasawarsa 1970-an dengan tokoh-tokoh intelektual muda progresif, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, semangatnya mencapai momentum. Gus Dur langsung melibatkan diri dan bergabung dengan mereka dalam serangkaian forum akademik dan kelompok studi, membicarakan "wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan perkembangan masyarakat Muslim." Mungkin bagi sebagian orang, terutama dari kalangan NU, ini agak ganjil. Namun dengan memahami latar belakang kehidupan Gus Dur seperti yang kita lihat di atas, tidak seorang pun perlu merasa heran. Secara formal Gus Dur memang terdidik secara tradisional, namum kenyataannya, pendidikan non-formal tentang pemikiran modern yang ia tempuh sendiri secara otodidak dapat mengimbangi dan bahkan mungkin – to some extent – melampaui teman-temannya yang belajar di Barat.
Gus Dur sudah tiga periode menjabat sebagai Ketua PB NU, dari 1984 hingga sekarang. Hubungannya dengan Pemerintah mengalami pasang surut. Pada awal kenaikannya sebagai Ketua PB NU, ia disambut hangat oleh Pemerintah yang melihatnya sebagai tokoh pembaruan dan akan membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan umat Islam menuju "era tinggal landas." Namu pada periode selanjutnya hubungan tersebut mengalami sedikit keretakan karena Gus Dur juga mengkritik Pemerintah yang dilihatnya sebagai oportunis yang memanfaatkan Islam.
Demikianlah Gus Dur, sebuah sosok dengan karakteristik yang kompleks, sebuah pribadi yang merupakan perpaduan dari dua tradisi intelektual: tradisional dan Barat modern. Namun bagaimanapun, Abdurrahman Wahid adalah seorang Kiai; ia tetap "kerasan" untuk menginjakkan kaki di dunia tradisionalnya dan NU, dan mungkin tidak pernah berkeinginan untuk meninggalkannya, meskipun secara intelektual ia terus mengembara ke dunia yang asing.

III. Metode dan Pendekatan

Menurut Gus Dur sendiri pendekatan kajian Islam yang ia gunakan adalah sosio-kultural. Islam harus dipahami dalam wacana tumbuh dan berkembangnya kehidupan sosial-budaya suatu mayarakat, yang tidak lain adalah hasil kreatifitas akal yang progrsif dan terus bergerak tanpa henti. Dari sinilah Gus Dur melakukan start untuk melihat Islam secara universal dan liberal. Kunci pemikiran Keislaman Gus Dur, seperti kata Barton, terletak pada dua hal: komitmennya yang dalam terhadap rasionalitas dan keyakinan akan peran mendasar rasionalitas itu dalam proses pengembangan Islam menghadapi tantangan modernitas.
Agama dan budaya, menurut Gus Dur, memiliki "independensi masing-masing," namun di dalam keduanya terdapat wilayah yang dapat saling mengisi. Islam sebagai agama yang diwahyukan mempunyai norma-norma yang cenderung menjadi permanen, sedangkan budaya, karena merupakan hasil kreatifitas akan budi manusia, terus berkembang dan selalu berubah. Agama kemudian dapat ditarik ke dalam wilayah budaya dan menjadi simbol-simbol, dan begitu juga budaya dapat diangkat menjadi norma-norma kebaikan (keagamaan), sehingga seringkali keduanya seakan-akan tidak dapat dipisahkan dan juga tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman.
Karena itu dalam memahami Islam sebagai agama yang telah bergumul terlalu jauh dalam proses sejarah diperlukan kehati-hatian, keseriusan dan analisis yang tajam. Tanpa kepekaan yang tinggi dan pengetahuan yang komprehensif dalam mencermati dan mengidentifikasikan inti ajaran Islam akan membawa kepada konsekuensi yang sangat berbahaya. Wahyu harus dipahami dalam konteks sosial-historisnya, namun tidak boleh dicampur adukkan dengan budaya manusia. Seperti al-Qur'an misalnya, kata Gus Dur, "harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma."
Dalam konteks "fiqh" Gus Dur masih sangat kuat berpegang pada ayat-ayat al-Quran, Sunnah dan berbagai pendapat yang dipertimbangkan para "ulama." Sebagai seorang "kiai" Gus Dur tetap tradisional: ketika berbicara mengenai hukum, penyelesaian yang diberikan tetap sama dengan yang dilakukan para "fuqaha'." Soal jilbab, Gus Dur mengatakan, itu sebagai kewajiaban agama. Ketika ditanya tentang isteri dan anak-anaknya yang tidak berjilbab, ia dengan gampang menjawab: "Orang 'kan ada yang bisa menjalankan agama ada yang tidak … yah, biarkan saja." Inilah, kelihatannya, yang dimaksudkan Gus Dur dengan pendekatan sosio-kultural. Dengan mempertimbang¬kan budaya bangsa, "fiqh" tetap dirasa penting untuk kelestarian hukum di Indonesia. Sebaliknya ketika berbicara dalam wilayah kehidupan sosial yang lebih luas, agama dalam konteks yang lebih universal, filsafat, demokrasi dan pluralisme, pikiran-pikiran Gus Dur justru seringkali dinilai oleh umumnya para kiai sebagai tidak Islami. Ini juga dilakukan Gus Dus dalam konteks pendekatan "sosial-budaya" tersebut. Sebab, bagi Gus Dur, berbicara dalam wacana seperti di atas malah akan berbahaya jika yang dijadikan rujukan untuk penyelesaian masalah adalah "Islam" secara eksklusif atau "fiqh." Islam dalam tataran ini diletakkan Gus Dur pada intinya yang hakiki, yaitu iman dan kepasrahan kepada Tuhan. Karena itu Gus Dur menolak masuk ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena dinilainya eksklusif dan cenderung sektarian. Sebaliknya ia menggabungkan diri dan berkiprah di Forum Demokrasi, sebuah asosiasi tidak formal semacam "kelompok diskusi" yang di dalamnya bergabung sejumlah tokoh dengan latar belakang akademik dan agama yang berbeda.
Gus Dur dapat disebut sebagai orang yang mempunyai pemikiran "lentur." Baginya semua persoalan dapat diselesaikan dengan mudah, karena ia dapat menariknya ke wilayah mana saja yang dekat: ke Islam, filsafat, rasionalitas, Qur'an, dan lain-lain. Jika mau disimpulkan, pendekatan yang ditempuh Gus Dur dalam pemahaman keagamaan Islam adalah pendekatan "keterbukaan." Ia tetap berpijak atau mengamalkan ajaran Islam tradisional, tetapi berhadapan dengan pemikiran "luar" Gus Dur membuka diri selebar-lebarnya, meski terhadap non-Muslim.
IV
Gagasan-Gagasan

1. Demokrasi dan Keadilan

Gus Dur adalah seorang tokoh kontroversial. Sejak ia menjadi perhatian media massa pertengahan 1980-an, gagasan-gagasannya selalu menyentak banyak orang. Banyak pemikirannya yang dianggap telah keluar dari "mainstream" umat dan bahkan ada yang mengecamnya karena tuduhan membela kepentingan non-Muslim. Semua ini dilakukan Gus Dur sebagai upaya mendialogkan Islam tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan kebanyakan masyarakat Islam Indonesia dengan wacana pemikiran modern yang dianggap Gus Dus sebagai realitas yang harus dihadapi dan diresponi.
Pada prinsipnya, Gus Dur menginginkan masyarakat Muslim Indonesia menjadi masyarakat yang terbuka dan demokratis. Ia mengharapkan Islam di Indonesia menjadi model yang dapat dicontohi masyarakat luar. Seruan Gus Dur adalah agar Islam dipahami dalam konteks kemanusiaan. Ia jarang berurusan dengan teologi dan bentuk agama, tetapi perhatiannya lebih tertuju pada hal-hal yang substansial dan toleransi terhadap orang lain atau tegasnya non-Muslim. Ia lebih cenderung pragmatis. Ia ingin menghilangkan permusuhan. Namun sayang, kadang-kadang karena gagasannya itu ia dimusuhi.
Dalam mengembangkan demokratisasi di Indonesia, Gus Dur menekankan arti pentingnya Pancasila sebagai sebuah wadah "kompromi politik." Ia tidak setuju dengan pendapat yang mempertentangkan Pancasila dan Agama. Menurutnya tidak ada keharusan dalam Islam untuk membentuk sebuah negara Islam. Pancasila dapat dijadikan pegangan bersama karena ia menjamin sebuah negara yang religius, namun bukan eksklusif Islam. Di sinilah banyak kalangan Muslim tersinggung sebab seakan-akan Gus Dur tidak dapat mendengar kata "Islam", ingin lepas dan tidak mengikatkan diri dengan Islam. Namun yang dimaksudkan, seperti berulangkali dikemukakan Gus Dur, adalah bahwa mendirikan negara bukan sebuah perintah wajib dalam Islam. Negara adalah kontrak bersama sebuah masyakarat baik terdiri atas satu kelompok agama semata atau terdiri atas kelompok agama dan bahkan ras yang berbeda-beda. Kebetulan saja kita, di Indonesia, adalah masyarakat yang majemuk. Maka umat Islam tidak perlu secara eksklusif mengidentifi¬kasi¬kan negara ini sebagai negara milik mereka, sementara yang lain didiskriminasikan.
Bersamaan dengan demokratisasi ini Gus Dur menekankan nilai-nilai keadilan sosial. Dalam sebuah negara yang telah dikontrakkan secara bersama-sama tidak boleh dibedakan antara satu kelompok dengan yang lain atau antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain. Konsep ini berasal dari ajaran Islam, sebagaiamana Nabi Muhammad sendiri bersikap adil dan toleran terhadap kaum Ahlul Kitab. Keadilan dan demokrasi harus diterapkan kepada siapapun.
Dalam hal ini Gus Dur mempunyai konsep yang jelas, meski disalah mengertikan. Ketika terjadi kasus Monitori pada 1990 misalnya banyak kalangan yang mengkritik Gus Dur karena membela Arswendo. Namun Gus Dur menjawab dengan tegas bahwa ia tidak membela siap-siapa. "Saya nggak membela Arswendo, memang Arswendo juga kurang ajar, kok ... persoalannya bukan di situ … tetapi bahwa demokrasi itu tidak bisa menerima adanya pencabutan SIUPP, terhadap itu siapapun. Itu … nggak demokratis."
Gus Dur juga tidak ingin Islam dijadikan alat legitimasi baik oleh negara atau kelompok tertentu. Islam harus dikembalikan kepada Islam, sebuah agama universal yang menekankan kesejahteraan umat manusia. Dari itu ia mengkritik ICMI karena dilihatnya memiki kedekatan dengan penguasa dan berpotensi dieksploitasi. Selanjutnya ICMI juga dinilai elit dan kurang menyentuh ke bawah.

2. Islam, Kemanusiaan dan Pluralisme

Dalam pandangan Gus Dur Islam adalah agama universal, agama yang menekankan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika memberikan kata pengantar untuk buku Kiri Islam Kazuo Shimogaki, Gus Dur dengan bersemangat menjelaskan betapa pentingnya pembebasan manusia dari tekanan feodalistik, kebodohan dan keterbelakangan. Kaum Muslim harus dibekali dengan wawasan Keislaman yang menyeluruh dan menyatu dalam rangka menegakkan martabat dan hak-hak asasi manusia, kedaulatan hukum dan penguatan massa rakyat jelata. Langkah-langkah ke arah itu harus diletakkan atas sendi-sendi kultural ekonomi dan politis yang kukuh.
Persoalan yang juga menjadi perhatian Gus Dur adalah kenyataan adanya keterpisahan antara sistem keyakinan umat Islam dengan pengalaman kehidupan sosial dalam kenyataan sehari-hari. Ini sangat menggelisahkan Gus Dur karena hal itu telah merupakan fenomena yang merata di kalangan masyarakat Muslim. Ibadah ritual yang dilakukan setiap hari telah kehilangan fungsi sosialnya. Karenanya ada persoalan yang perlu dipecahkan di sini yaitu bagaimana menerjemahkan berbagai kegiatan ritual tersebut ke dalam dimensi sosial. Dalam hal ini Gus Dur menekankan pentingnya pembelaan terhadap kaum lemah dan penegakan kesejahteraan sosial. Tanpa ada usaha untuk menjembatani kesenjangan ini maka Islam akan mejadi agama kering dari ruh atau semangat kemanusiaan.
Dari semangat Islam yang menyatu dan menyeluruh itulah kemanusiaan dapat ditegakkan. Dan atas dasar semangat kemanusiaan itu pula, saling pengertian antara sesama umat manusia dapat diujudkan.
Pluralisme yang ditekankan Gus Dur bukan hanya berangkat dari kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan banyak agama, tetapi juga karena kondisi umat Islam sendiri yang memprihatinkan. Perbedaan pendapat di kalangan Muslim sendiri tidak jarang berujung pada keretakan. Maka dalam mengisahkan kehidupan seorang Kiai, Gus Dur mengutip sebuah statemen: "hormatilah pendapat yang berbeda dengan pendi¬rianmu!" Dari situlah seseorang harus berangkat untuk dapat hidup dalam kema¬jemukan
V
Analisis

Gus Dur lahir dan dibesarkan dalam keluarga Pesantren, sebuah dunia yang banyak menyentuh kehidupan sosial masyarakat kelas bawah; ini membuatnya memiliki kepekaan sosial yang tajam. Ia mengembara secara intelektual ke Timur dan ke Barat, bergabung dengan kelompok yang beragam; ini membuatnya jadi toleran dan terbuka. Gus Dur yang telah ditempa sejak kecil dengan semangat ketabahan, tidak takut kepada siapapun, tidak takut dicela, dan tidak takut mendapatkan label yang bermacam-macam. Ia sangat yakin bahwa ia tetap menjadi dirinya sendiri.
Menjelaskan pemikiran Gus Dur tidak terlalu sulit lagi kalau latar belakang kehidupannya sudah dipetakan. Gus Dur juga produk alam dan lingkungan di sekitarnya. Jadi ia tampil seperti yang ada sekarang adalah karena serentetan proses sejarah masa lalu yang telah ditempuhnya. Gus Dur tidak lepas dari Pesantren, NU dan kehidupan tradisional karena itu adalah dunianya sejak kecil yang telah membentuknya. Ketika ia membela Pancasila, subjektifitasnya juga berperan di sana. Dalam hal ini ia sering menunjuk kepada Ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, seorang pemimpin NU, yang juga mendukung sebuah negara nasional non-Islam.
Pluralisme dan toleransi bukanlah hal baru yang dicanangkan Gus Dur. Ia hanya menegaskan kembali gagasan yang dilihatnya belum cukup kuat mengakar dalam masyarakat Muslim. Di sini Gus Dur juga sebetulnya memiliki kepentingan dengan NU dan dunia Pesantren yang mau tidak mau akan berhadapan dengan kemajemukan yang kalau tidak diresponi sejak awal akan menggoyangkan sendi-sendi kebudayaan tradisionalnya. Di samping itu Gus Dur juga sudah terlatih sejak kecil bergaul dengan kelompok non-Muslim sehingga dalam hal ini secara psikologis ia telah mempunyai basis percaya diri yang cukup kuat.
Dalam bentuk yang nyata memang tidak ada hal baru dalam wacana Keislaman yang digagas Gus Dur. Namun dalam konteks Keindonesiaan, ia telah tampil sebagai pemberani dan berada pada garis depan bersama tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, sementara ia sendiri berlatar belakang pendidikan tradisional dan non-Barat. Dalam segi ini siapapun perlu "salut" kepada Gus Dur, sebagai seorang yang gigih dan mampu mengidentifikasikan perubahan-perubahan dan tuntutan ke depan secara tepat sekali.
Terakhir, Gus Dur adalah manusia biasa, bukan tanpa kekurangan. Bahwa Gus Dur bisa dan pernah keliru, no doubt, namun tidak mesti dianggap tercela. Seperti telah disinggung di atas Gus Dur juga penuh dengan subjektifitas. Ketika menentang sektarianisme dan mengajak kepada demokrasi, ia sendiri telah terjebak dalam sektarian. Sebab, apa yang dimaksudkan dengan sektarianisme juga tidak dalam kerangka yang jelas. Di samping itu, meskipun gebrakan sosial, perhatian kepada masyarakat kelas bawah, dan pembaruan yang dicanangkannya dapat disejajarkan dengan apa yang dilakukan tokoh-tokoh pembaruan lainya seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, secara mendetil Gus Dur tidak dapat diparalelkan dengan siapapun. Itulah kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Jika dalam sikap liberal dan toleran, misalnya, ia dapat dikatakan melebihi Nurcholish, dalam hal kedalaman dan ketajaman analisis kajian Keislaman ia tertinggal jauh dari Nurcholish. Gus Dur adalah seorang budayawan, bukan pakar Keislaman. Ia seorang humanis tulen, bukan seorang pemikir dalam satu bidang khusus.
VI
Penutup

Menjelaskan sesuatu, kata Daniel L. Pals, atau melihatnya dengan dimensi yang baru, meskipun keliru, adalah lebih baik dan lebih penting dari upaya mengemukakan sesuatu yang semua orang dengan mudah dapat mengklaim sebagai hal yang biasa. Sebuah teori tidak dapat diberikan jastifikasi benar atau salah, sebab ia sendiri berada di luar hukum benar-salah itu. Selanjutnya, sebuah teori juga tidak bertujuan memberikan jastifikasi, tetapi ia hanya melihat persoalan dengan dimensi yang berbeda. Barangkali dalam perspektif seperti inilah apresiasi yang memadai terhadap pemikiran Gus Dur dapat diberikan. Gus Dur selalu menampilkan wajah baru dari pemikirannya meski isinya hanyalah penegasan kembali apa yang telah pernah dikemukakan orang lain. Ia mencoba melihat sesuatu dengan kaca mata berbeda; dengan cara seperti itulah ia berupaya menunjukkan kepada orang lain bahwa kebenaran dapat disentuh lewat pendekatan yang tidak sama, dan kebenaran tidak perlu diklaim sebagai milik siapa pun. Dalam analisa terakhir, Gus Dur telah banyak berperan dalam menghiasi dinamika perkembangan pemikiran Keislaman di negeri ini sebagai upaya meresponi tantangan modernitas yang sedang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia. Ini pantas dihargai.
Wallâhu a‘lam!

Yogyakarta, 26 Desember 1998



BIBLIOGRAFI:


Abdurahman Wahid, "Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya," dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Juli 1997).

Abdurrahman Wahid, "Kiai Nyentrik membela Pemerintah", (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Oktober 1997).

Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (peny.), Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta: Perhimpuan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], 1989).

Abdurrahman Wahid (wawancara), "Sastra Islam versus Penyempitan Ilmu Islam," Horisan, (No. 7, tahun XIX, 1984).

Amanah, (edisi 8-21 Mei 1987).

Barton, Greg, "Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual Ulama: the Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in neo-Modernist Thought", dalam Islam and Christian-Muslim Relations, (Vol. 8, No. 3, 1997).

Barton, Greg, "Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid," dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed.), Tadisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk., (Yogyakarta: LKíS, 1997).

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998).

Editor, (22 Desember 1990).

Mohamad Sobary, "Membaca dengan Sikap Total dan Empati," dalam Abdurrahman Wahid, "Kiai Nyentrik membela Pemerintah", (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Oktober 1997).

Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. III, 1995).

Pals, Danial L., Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hal. 269.

Ramage, Douglas E., "Demokrasi, Toleransi Agama dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid," dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed.), Tadisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk., (Yogyakarta: LKíS, 1997).

No comments:

Post a Comment