Sunday, April 11, 2010

Kritk Quran terhadap Eskatologi Yahudi

A. Pendahuluan
Sejak awal berhijrah ke Medinah, Nabi Muhammad telah menunjukkan sikap positif dan apresiatif terhadap kaum Yahudi yang hidup di sana. Nabi sangat mengharapkan mereka menjadi pendukungnya dalam dakwah menyampaikan risalah agama, sebab mereka adalah juga umat yang memiliki kitab dari Tuhan. Al-Qur’an, melanjutkan tradisi Arab sebelumnya, memanggil mereka ahl al-kitāb. Jadi al-Qur’an telah mengenal kaum Yahudi sebagai umat dengan ajaran dan keyakinannya sendiri. Namun interaksi Nabi Muhammad dengan umat Yahudi di Medinah telah melahirkan berbagai perdebatan keagamaan dan telah menginspirasi sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang bahkan dengan keras mengkritik mereka.
Sikap dan pandangan al-Qur’an terhadap keyakinan keagamaan umat Yahudi merefleksikan pergumulan historis Nabi Islam dengan sebuah umat yang telah memiliki keyakinan mapan namun ditantang untuk bersikap jujur, hormat dan terbuka berhadapan dengan sebuah risalah baru yang juga menampilkan watak dasar yang sama. Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa ayat al-Qur’an tentang pandangan keakhiratan umat Yahudi.

B. Tuturan al-Qur’an dan Kritik terhadap Yahudi
Menurut al-Qur’an, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa melalui agama merekalah manusia akan terselamatkan di akhirat. Siapa pun tidak akan masuk sorga melainkan dia adalah seorang Yahudi atau Nasrani.
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau orang-orang Nasrani.” Yang demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka. Katakanlah: “Tunjukkanlah buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar.”

Ayat ini menunjukkan respon al-Qur’an terhadap sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang nampak seperti kekanak-kanakan dan bahkan menggelikan. Kedua mereka, menurut al-Qur’an bukan hanya telah terjebak dalam eksklusivisme, tetapi telah berbohong dan menipu diri sendiri dengan menciptakan angan-angan kosong. Lagi-lagi, ayat ini juga memperlihatkan gaya kritik al-Qur’an yang selalu merujuk kepada penggunaan nalar dan argumentasi yang jelas dan penekanan pada sikap yang tulus dan jujur. Ayat berikutnya merupakan formulasi lebih jelas dari gagasan universal al-Qur’an:
Tetapi sesungguhnya, barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Qur’an sepertinya ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani bagaimana seharusnya seseorang bersikap dalam beragama. Jika agama mereka sama-sama berasal dari Tuhan yang Esa mengapa mereka (Yahudi dan Nasrani) berselisih dan mengapa menentang Muhammad? Jika agama-agama mereka mengajarkan kebaikan, mengapa saling merendahkan dan menyombongkan diri? Mungkin setiap agama memiliki pandangan-pandangan teologi dan cara-cara beribadat yang berbeda. Tetapi apakah itu esensi dari ajaran agama tersebut? Al-Qur’an menawarkan pandangan yang menegaskan bahwa sesungguhnya yang paling penting adalah penyerahan diri kepada Tuhan dan beramal kebaikan.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang S{ābi’īn, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhannya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Pernyataan al-Qur’an ini merupakan sikap paling “berani” dalam mengapresiasi umat lain secara positif. Al-Qur’an memperlihatkan sikap tidak pernah takut kehilangan “harga diri” hanya karena mengakui kebenaran yang inklusif. Ini jelas merupakan bagian dari kritik al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani atas pandangan mereka yang eksklusif.
Ayat-ayat di atas berbicara mengenai hari akhirat, suatu hari di mana manusia dibangkitkan atau di hidupkan kembali, dikumpulkan, diadili dan diberikan ganjaran sesuai dengan amalnya. Orang-orang mukmin akan dimasukkan ke sorga, sedangkan orang-orang kafir ke neraka. Iman kepada Tuhan dan hari akhirat merupakan basis amat penting bagi keselamatan di hari itu dan bukti terhadap iman tersebut ditunjukkan oleh amal kebajikan yang dilakukan seseorang. Karena itu setiap kali al-Qur’an berbicara soal iman selalu dikaitkan amal saleh atau kebajikan.
Konsep tentang hari akhirat sangat jelas dalam al-Qur’an. Pernyataan bahwa manusia akan dihidupkan kembali dan diberikan balasan terhadap amalnya dapat ditemukan di berbagai ayat dalam puluhan surat. Istilah yang digunakan untuk itu juga bervariasi, sesuai dengan ciri dan fungsi hari tersebut, misalnya: yawm al-h}isāb (hari pembalasan), yawm al-qiyāmah, yawm al-ba‘ts (hari bangkit), yawm yub‘atsūn (hari mereka dibangkitkan), yawm al-ākhir (hari akhir), al-ākhirah, dan al-sā‘ah (waktu).
Kenyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang ditemukan dalam Bible Yahudi atau Taurat. Walaupun kepercayaan akan adanya hari akhirat dikenal secara luas dalam keyakinan dan pemikiran keagamaan Yahudi, Bible amat sedikit memberikan indikasi ke arah tersebut. Seorang penulis Muslim kontemporer, Ah}mad Syalabī, bahkan berkomentar, bahwa agama Yahudi lebih mementingkan amal, tidak terlalu melihat pada iman; ia adalah agama yang, pada intinya, mengatur jalan kehidupan, bukan akidah. Ini, demikian menurut Syalabī, sangat berbeda dari agama Kristen yang lebih mementingkan iman dari amal saleh. Karena itu, kebangkitan, hari akhirat dan pembalasan tidak dibicarakan dalam agama Yahudi; isyarat kepada adanya kehidupan sesudah mati sangat sedikit ditemukan. Tidak ada dalam agama tersebut konsep tentang kehidupan yang kekal; pahala dan dosa hanya disempurnakan di dunia ini.

C. Pandangan Yahudi terhadap Hari Akhirat
Apakah orang-orang Yahudi tidak percaya pada hari akhirat? Jika agama mereka berasal dari ajaran Musa dan bersumber dari tradisi Ibrahim, maka, berdasarkan al-Qur’an, kepercayaan akan hari akhirat mestilah merupakan fondasi iman yang utama. Ibrahim, demi untuk menenangkan hatinya, pernah bertanya kepada Tuhan ihwal bagaimana Ia menghidupkan orang mati. Tuhan lalu menunjukkan bukti yang kemudian menjadikan Ibrahim puas dengan keyakinannya.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: Apakah engkau belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Memang, aku telah percaya, tetapi (ini) untuk menenteramkan hatiku (memantapkan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Setelah itu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Tentang keimanan Musa akan hari akhirat juga terdapat isyarat dalam al-Qur’an. Musa menentang Firaun yang sombong dan tidak percaya akan hari pembalasan:
Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari pembalasan.”

Beberapa pernyataan al-Qur’an, misalnya al-Baqarah: 111-112 yang dikutip di atas, menggambarkan bahwa orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad pernah mengemukakan pandangan mereka tentang adanya hari akhirat, sorga dan neraka, walaupun konsep mereka tentang situasi kehidupan akhirat itu, yang hanya berpihak pada kepentingan mereka secara eksklusif, ditentang oleh al-Qur’an.
Kepercayaan akan hari akhirat umumnya dipahami sebagai gagasan yang mengacu pada sebuah janji tegaknya keadilan yang sungguh-sungguh dan menyeluruh – a final, cosmic justice. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Penderitaan, kezaliman, kesewenangan dan berbagai kejahatan tidak pernah dapat diimbangi oleh upaya manusia menegakkan keadilan. Banyak orang telah mati tanpa memiliki kesempatan menuntut hak-haknya yang telah dirampas; banyak orang telah kehilangan nyawanya sebelum keadilan ditegakkan baginya. Apakah keadilan hanya merupakan harapan ilusif belaka? Hari akhirat merupakan gagasan yang menampung harapan tersebut. Di hari akhiratlah semua amal manusia akan dikalkulasikan dengan sedetil-detilnya dan keadilan ditegakkan dengan sesungguhnya di hadapan mahkamah Tuhan yang Maha Kuasa. Hak-hak orang yang telah terampas akan dikembalikan dan orang-orang zalim akan diberikan hukuman yang setimpal. Karena itu tidak mengherankan, dalam sejarah keagamaan umat Yahudi, konsep tentang hari akhirat mulai berkembang sekitar dua abad sebelum Masehi, pada zaman Maccabees, ketika kehidupan mereka dihancurkan dan mereka mengalami suatu penderitan yang berat. In the face of such trauma, the old ideas of reward of good and punishment of evil seemed untenable, but the notion of another life after death promised a final, cosmic justice.
Dalam Bible terdapat dua ayat yang menunjuk pada kehidupan sesudah mati dan pembalasan bagi setiap amal manusia, baik maupun buruk. Akan tetapi kedua ayat tersebut, menurut perkiraan para sarjana Bible, dikomposisikan pada masa-masa terakhir, sehingga diduga doktrin tentang akhirat itu berasal dari pengaruh Persia. Kedua ayat tersebut berbunyi:
Thy dead shall live, my dead bodies shall arise--awake and sing, ye that dwell in the dust--for Thy dew is as the dew of light, and the earth shall bring to life the shades.
And many of them that sleep in the dust of the earth shall awake, some to everlasting life, and some to reproaches and everlasting abhorrence.

Terlepas dari pandangan para sarjana Bible dan terlepas dari pengaruh mana pun yang telah melahirkan ayat-ayat ini, konsep tentang hidup sesudah mati tentu saja mempunyai akar yang kuat dalam tradisi Yahudi. Walaupun hanya dua ayat yang menyatakannya secara eksplisit dalam Bible, para rabbi telah sering berbicara tentang the World to Come. Sebagaimana dalam Islam, penafsiran terhadap hari akhirat dan kebangkitan manusia juga berbeda-beda dalam tradisi Yahudi – tergantung jalur pemikiran yang diambil: simbolik atau literal! Apakah jiwa (soul) itu kekal, dan kematian berarti terlepasnya jiwa dari tubuh untuk hidup dalam keabadian, atau Tuhan memang mengembalikan jiwa itu ke dalam tubuh yang telah mati sehingga ia hidup kembali? Ini hanya pertengkaran para filosof dengan kaum literalis, sebagaimana dalam Islam.
Tetapi mengapa Bible hampir saja tidak memberikan perhatian pada persoalan kehidupan akhirat? Menurut Louis Jacobs, para penulis Bible tidak mungkin tidak mengetahui sama sekali tentang doktrin ini sementara mereka mengetahui tentang piramida dan bukti-bukti lain yang mengisahkan keyakinan orang-orang Mesir serta masyarakat kuno lainnya tentang kehidupan sesudah mati. Sikap Bible yang relatif diam soal eksistensi akhirat barangkali sebagai protes terhadap keterikatan doktrin tersebut dengan agama-agama pagan pada masa itu. Mungkin itu pula sebabnya sehingga, dalam Leviticus, melakukan kontak dengan orang meninggal sekalipun dilarang.
(1) And the LORD said unto Moses: Speak unto the priests the sons of Aaron, and say unto them: There shall none defile himself for the dead among his people; (2) except for his kin, that is near unto him, for his mother, and for his father, and for his son, and for his daughter, and for his brother; (3) and for his sister a virgin, that is near unto him, that hath had no husband, for her may he defile himself.

Namun sejak masa pasca-Biblikal sampai sekarang, kepercayaan akan hari akhirat menjadi dominan dalam pandangan dan pemikiran keagamaan Yahudi. Keyakinan akan keadilan Ilahi bagi setiap individu menjadikan keyakinan akan adanya hari pembalasan tidak dapat dielakkan, terlepas dari bagaimana bentuk dan konsep tentang hari akhir tersebut. Jika kehidupan di dunia tidak mampu mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, maka hanya tinggal satu harapan: Tuhan akan membangkitkan kembali manusia dan memberi mereka keadilan. Menurut Emil L. Fackenheim, jika ditanya mengapa Bible tidak memberikan perhatian pada masalah tersebut, maka respon para rabbi adalah bahwa itu hanya karena kita tidak mengerti. “There is not a single chapter in the Torah” … “which does not contain the doctrine of the resurrection of the dead; only we cannot understand it.” Karena itu, dalam puji-pujian yang telah menjadi bacaan resmi, orang-orang Yahudi membaca: Thou sustainest the living with kindness, and revivest the dead with great mercy … Thou canst be trusted to revive the dead. Praised be Thou, O God, who revivest the dead.
Doktrin kebangkitan dalam tradisi Yahudi memang diperselisihkan. Persoalannya adalah, seperti telah disebutkan, tidak tersurat secara eksplisit dalam Bible bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan manusia. Perselisihan ini sudah muncul sejak kelompok Sadducees dan Pharisees (abad kedua SM.) berbeda paham, bukan hanya soal agama tetapi juga politik. Lebih tiga abad sebelum Masehi, orang-orang Yahudi berada dalam kekuasaan Yunani dan Hellenisme mulai menyusupkan pengaruhnya kepada mereka. Bahkan tidak lama kemudian Bible pun diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Pengaruh sebuah peradaban tentu membawa dampak yang besar bagi kehidupan, pandangan dan perilaku suatu masyarakat. Tradisi dan adat istiadat lama mengalami perubahan dan tantangan. Ada yang sepakat dan ada yang tidak. Dari sinilah berawal munculnya kelompok pro-Hellenizer yang diwakili oleh Sadducees dan anti-Hellenizer yang diwakili oleh Pharisees. Saddusees adalah kelompok aristokrat, karena itu sangat segan merusak tatanan politik yang ada; namun dalam soal agama mereka sangat konservatif. Sebaliknya Pharisees, mereka berbasis pada grass root, rakyat jelata. Mereka konservatif dari sudut pandang politik, namun terbuka dan bersikap liberal dalam pemahaman keagamaan. Mereka membuka ruang yang lebih longgar dalam menalar kitab suci, dan memperkenalkan penafsiran yang lebih elastis. Paham merekalah yang menjadikan tradisi Yahudi terus hidup dan bertahan sampai hari ini dan mampu menjawab berbagai tantangan yang sulit berhadapan dengan perubahan-perubahan.
Tidak dapat dipastikan, apakah Yahudi yang berbasis pada aliran pemikiran Saddusees atau Pharisees, ataupun lainnya, yang bermigrasi dan menetap di Arabia sampai zaman Islam. Jika kita berpegang pada teori yang mengatakan bahwa gelombang migrasi Yahudi ke gurun Arabia terjadi setelah Romawi menguasai Jerussalem dan melakukan tindakan kekerasan dan supresi terhadap orang-orang Israel, maka ada kemungkinan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang konservatif secara politik dan liberal dalam pemikiran keagamaan. Aliran yang berakar pada Pharisees barangkali lebih dominan.
Dari mana pun asal mereka, orang-orang Yahudi Medinah ternyata memiliki ajaran yang mengenal hari akhirat; sorga dan neraka adalah gagasan yang telah familiar bagi mereka. Namun, dari catatan-catatan al-Qur’an, mereka terlihat lebih cenderung mempermainkan doktrin tersebut untuk merendahkan Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Menurut al-Qur’an, mereka telah mengalami krisis moral, dan keyakinan mereka akan hari akhirat telah kehilangan signifikansinya. Hari akhirat bagi mereka tidak lagi merupakan hal penting; kalaupun itu ada, mereka menganggap dapat memenangkannya. Artinya, sekiranya saja hari akhirat terjadi, dan mereka akan dihukum karena dosa-dosanya, itu hanya akan berlangsung sebentar saja. Karenanya, tidak begitu mengkhawatirkan. Berikut, ayat-ayat tersebut kita kutip kembali:
Dan mereka berkata: “Kami tidak akan pernah disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, atau kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.”
Katakanlah: “Jika negeri akhirat (yakni surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, tidak untuk orang lain, maka bercita-citalah untuk (segera) mati, jika kamu memang benar.”
Mereka tidak akan pernah mencita-citai kematian itu (segera) selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui tentang orang-orang yang aniaya.

Menurut apa yang dituturkan al-Qur’an, doktrin hari akhirat, sorga dan neraka, dalam tradisi Yahudi, tetap mengakar dengan kuat. Persoalan yang menjadi sorotan al-Qur’an adalah bagaimana orang-orang Yahudi menyikapi hari akhirat itu. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan mereka akan kerugian besar yang akan menimpa mereka jika mengabaikan pesan-pesan Tuhan dan bertingkah laku semata-mata atas pertimbangan kepentingan hawanafsu. Mereka telah berkata bohong. Ucapan-ucapan mereka tentang akhirat tidak lebih dari upaya mengelak seruan Nabi Muhammad kepada kebenaran atau ajaran Tuhan yang lurus. Buktinya – demikian al-Qur’an mencoba menyelami ke dalam perasaan batin mereka yang penuh keguncangan – mereka sangat takut menghadapi kematian. Sekiranya mereka yakin dengan sungguh-sungguh bahwa mereka akan selamat dari azab Tuhan di akhirat, atau akan menjalani kehidupan penuh bahagia di sorga, tentu mereka tidak perlu takut mati dan bahkan berharap dapat mengalaminya dalam waktu dekat. Sebagaimana diriwayatkan al-T{abarī, dari Abū al-‘Āliyah, ayat 94 di atas diturunkan sebagai respon terhadap pernyataan orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa tidak akan masuk sorga kecuali golongan mereka saja dan mereka adalah anak-anak dan kekasih Tuhan. Maka al-Qur’an turun menantang mereka dengan cita-cita segera mengalami kematian untuk meraih kebahagiaan akhirat itu, jika mereka jujur dengan ucapannya itu. Tetapi ternyata mereka menolaknya. Ibn ‘Abbās mengatakan, sekiranya pada waktu itu mereka berani bercita-cita segera mati, maka mereka benar-benar akan mati semunya.

D. Pesan Moral al-Qur’an
Sejauh ini, apa yang dapat dicerapi dari berbagai ekspresi al-Qur’an tentang sejumlah pandangan keagamaan Yahudi adalah bahwa al-Qur’an terutama sekali sangat concern soal prinsip-prinsip moral dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Al-Qur’an menolak dengan keras segala bentuk diskriminasi yang muncul dari pandangan kemanusiaan yang sempit, dan mengkritik dengan tajam paham-paham keagamaan yang telah terdistorsi oleh angan-angan kosong, arogansi rasial dan kesombongan religius serta penyelewengan-penyelewengan atas dasar mengikuti hawanafsu. Orang-orang Yahudi “dituduh” oleh al-Qur’an sebagai telah melakukan kecurangan-kecurangan tersebut. Mereka telah mempersempit agama Tuhan yang sesungguhnya amat luas, terbuka dan dinamis. Bagi al-Qur’an, ini adalah fakta – yakni fakta yang disaksikan sendiri secara langsung oleh Nabi Muhammad. Al-Qur’an jelas berbicara tentang orang-orang Yahudi Medinah, sebab dalam kenyataannya al-Qur’an memang tidak berbicara mengenai sesuatu beyond the scope of its natural environment.
Notasi al-Qur’an tentang Yahudi tidak dapat dikatakan meliputi seluruh aspek dari tradisi umat tersebut dengan beragam aliran pemikiran dan interpretasi keagamaan yang sangat variatif. Tidak dapat juga diklaim bahwa pandangan-pandangan Yahudi Medinah yang dikecam al-Qur’an telah mewakili seluruh pandangan yahudi di seluruh dunia. Hanya ada satu hal yang paling jelas untuk dikatakan, yaitu: bahwa al-Qur’an mengkritik segala bentuk arogansi: rasial, intelektual, religius ataupun lainnya. Sebab, arogansi tidak lebih dari sikap pengecut yang justeru menumbuhkan keberanian dalam bentuk lain: berani berdusta, berani melakukan penyelewengan-penyelewengan dan sebagainya. Al-Qur’an telah menjadikan Yahudi sebagai prototipe sejarah sebuah umat yang dapat dijadikan pelajaran bagi semua umat lain, mungkin karena al-Qur’an menemukan banyak hal “menarik” pada mereka.

E. Penutup
Banyak hal dapat disimpulkan dari diskusi si atas, namun memiliki implikasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan berbagai disiplin kajian ilmu-ilmu keislaman. Ini tentu saja memerlukan kepada penelitian yang lebih mendalam. Karena itu kesimpulan-kesimpulan tersebut tidak diambil di sini. Cukup untuk dikatakan bahwa studi al-Qur’an yang terkait dengan sejarah dan konsep-konsep keagamaan dalam konteks global masih perlu diperluas dan dipertajam. Dalam era kehidupan yang semakin plural, mengkaji apa pun, termasuk agama dan kitab suci, tidak cukup dengan mengandalkan otoritas dogma semata, ataupun hanya melihat pada literatur yang terbatas secara spesifik pada wilayah otoritas keyakinan tertentu.










BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an
Bible
Dimont, Max I. Jews, God and History, (New York: Penguin Books, Edisi Revisi 1994).
Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.$
Fackenheim, Emil L. What is Judaism: An Interpretation for the Present Age. New York: Collier Books, 1987.
Jacobs, Louis. The Book of Jewish Belief. Behrman House, t.t.
Newby, Gordon. A History of the Jews of Arabia. South Carolina: University of South Carolina Press, 1988.
Robinson, George. Essential Judaism: A Complete Guid to Beliefs, Customs and Ritual. New York: Pocket Books, 2000.
Syalabī, Ah}mad. Muqāranah al-Adyān 1: al-Yahūdiyyah. Kairo: Mktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah. Cet. V, 1978.
T{abarī, Ibn Jarīr al-. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1405 H. Vol. 1.

No comments:

Post a Comment