Wednesday, March 31, 2010

HUKUMAN DALAM ISLAM

Dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi terdapat berbagai macam ketentuan hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kejahatan, seperti zina, pencurian, pembunuhan dan penuduhan.

Dalam al-Qur’an, pelaku zina dikenakan hukuman cambuk. Namun berdasarkan hadits-hadits Nabi dapat dikatakan bahwa pelaku zina terbagi dua: muhsan dan ghairu muhsan, yakni pelaku zina yang telah kawin dan pelaku zina yang belum kawin. Pelaku zina yang telah kawin akan dirajam sebagai hukumannya, sedangkan yang belum kawin akan cambuk seratus kali, sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam teks al-Quran, dan diasingkan kalau ia masih hidup.

Mengenai masalah ini, telah muncul pandangan pro dan kontra di kalangan para sarjana Muslim: benarkah ada ketetapan hukum rajam dalam Islam? Bukankah itu adalah hukuman yang terdapat dalam tradisi Yahudi? Mengapa Islam kembali menerapkannya. Karena itu ada anggapan bahwa hukuman rajam yang diterapkan pada masa Nabi adalah terhadap pelaku zina di kalangan Yahudi, karena Islam juga memerintahkan Yahudi dan Nasrani menjalankan hukum-hukum yang tertera dalam Kitab mereka. Dalam hal ini muncul pula perdebatan mengenai hukuman syari’at Islam terhadap pelaku kejahatan yang bukan Muslim. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukuman diterapkan kepada semua pelaku kejahatan, baik Muslim atau non-Muslim, namun Malikiyah dan sebagian besar Hanafiyah mensyaratkan Islam agar seseorang dapat dikenakan hukuman had sesuai syari’at Islam.

Perdebatan di atas memperlihatkan terbukannya hukum Islam terhadap interpretasi yang luas. Nabi sendiri barangkali telah melakukan interpretasi ketika menerapkan rajam bagi pelaku zina Muslim – jika memang peristiwa itu benar telah terjadi. Sebab al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan hukuman seperti itu. Mungkin saja Nabi terispirasi oleh tradisi Yahudi yang menerapkan hukuman rajam itu, sehingga menambahkannya ke dalam tradisi Islam, dan diterapkan khusus bagi penzina yang telah kawin. Hikmahnya barangkali, karena orang yang telah kawin seharusnya telah dapat menjaga diri dari perbuatan zina; jika orang yang telah kawin melakukan zina maka hukumannya harus lebih berat.

Ada juga sarjana Muslim, seperti Muhammad Syahrur, yang menganggap bahwa hukuman yang ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah adalah hukuman pada hadd al-a‘lā, yakni batas maksimal. Hakim dapat mempelajari kejahatan yang dilakukan seseorang, sehingga ia dapat menetapkan apakah pelaku kejahatan tersebut pantas diberikan hukuman maksimal, atau cukup dengan hukuman lain yang lebih ringan.

Hukuman terhadap pelaku pencurian mungkin dapat dijadikan contoh lebih konkrit. Dalam al-Qur’an ditetapkan bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan dipotong tangannya. Tidak ada keterangan lebih jauh disebutkan, misalnya tentang jumlah atauharga barang curian, kondisi saat terjadi pencurian dan sebagainya. Karena itu ada pemikir Muslim, seprti al-Hasan dan kelompok zahiri, yang mengatakan setiap pencurian, dalam bentuk apapun dan sejumlah apapun, dikenakan had potong tangan. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan seseorang dipotong tangannya jika ia mencuri. Mereka berdalil dengan hadits Nabi yang menyebutkan: tangan seorang pencuri akan dipotong jika mencuri minimal seper empat dinar. Jadi pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan itu ada nisab atau batasnya yang jelas.

Pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, pernah seorang pencuri tidak dihukum potong tangan karena ia mencuri dalam keadaan krisis pangan. Umar sepertinya mengerti bahwa pencurian yang dilakukan orang tersebut bukan terdorong oleh semangat jahatnya, tetapi karena terdesak oleh kesulitan ekonomi semata. Ia “benar-benar” dalam keadaan “darurat.” Dalam hal ini Umar telah melakukan suatu interpretasi yang belum pernah dilakukan oleh siapapun pada masa tersebut. Namun tindakan Umar itu memperlihat kejeniusannya dalam memahami semangat hukum Islam. Hukuman adalah dalam rangka meredam kejahatan. Lalu bagaimana jika kejahatan itu sendiri bersifat “semu”, tidak disengaja, tidak “diniatkan” untuk menzalimi orang lain atau hanya karena terpaksa dan bersifat kasuistik? Umar menyimpulkan, itu dapat dimaafkan. Dan kalaupun dihukum, maka hukumannya dapat diringankan.

Bagaimana dengan hukuman seperti terhadap pemabuk, yang sama sekali tidak ditetapkan dalam al-Qur’an? Berdasarkan hadits-hadits Nabi, ia didera empat puluh kali, atau sekitar empat puluh. Demikian juga pada masa Umar, hukuman cambuk empat puluh kali ini ditambah menjadi delapan puluh. Umar melihat bahwa cambuk empat puluh kali kelihatan tidak “mapan” lagi, dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat besar seperti Ali, lalu mereka sepakat menetapkan cambuk delapan puluh kali bagi peminum minuman keras.

Semua ini memperlihatkan kelenturan hukum Islam dalam sejarah sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi sendiri dan para sahabat. Hukum itu dapat diinterpretasikan sejalan dengan perkembangan budaya dan psikologi masyarakat yang berada di suatu tempat dan zaman tertentu. Tidak ada kekakuan dalam hukum Islam sebab Islam bertujuan untuk mensejahterakan umat dan menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan untuk keselamatan hidup mereka di dunia ini dan di akhirat nanti.

Terlebih lagi jika diperhatikan bahwa hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan secara sangat hati-hati. Dalam kanun Umar pernah disebutkan bahwa kekeliruan dalam meniadakan hukuman lebih baik dari kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Empat orang saksi bagi ketetapan hukuman terhadap pelaku zina hampir-hampir saja dapat dikatakan mustahil dalam konteks zaman sekarang ini. Karena itu tidak ada salahnya persoalan ini didiskusikan kembali secara lebih mendalam sesuai dengan semangat hukum yang dikenal masyarakat sekarang ini.

Wallau a’lam!!!

No comments:

Post a Comment