Monday, April 19, 2010

Perempuan Makhluk Penuh Tipudaya?

Perempuan Makhluk Penuh Tipudaya?

Tersebutlah sebuah kisah: Suatu hari Yusuf digoda oleh seorang perempuan cantik yang tidak lain adalah isteri Tuannya sendiri, seorang pembesar negeri Mesir zaman Fir‘awn. Yusuf hampir saja tergoda, sekiranya ia bukan seorang yang jujur dan berhati tulus. Perempuan tersebut (Zulaikha) menyekap Yusuf dalam sebuah ruangan istana dan mengajaknya melakukan hal tak senonoh. Yusuf menolak dan secepatnya berlari ke pintu. Zulaikha mengejarnya, dan ketika keduanya sampai di pintu, mereka terpergok oleh suaminya. Terjadilah pertengkaran dan adu argumentasi. Perempuan itu dan Yusuf saling menuduh. Namun semuanya didiamkan oleh sebuah kesaksian yang diberikan oleh keluarga Zulaikha sendiri. Yusuf terbebaskan dari tuduhan dan perempuan itu terbukti bersalah. Sang pembesar itu berkata kepada isterinya: “Sesungguhnya hal tersebut adalah bagian dari tipudaya kalian (perempuan). Sesungguhnya tipudaya kalian sangat besar.” Ucapan inilah, sebagaimana dikutip al-Qur’an (Yūsuf [12]: 28), yang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melemparkan tuduhan atas bahayanya godaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “biang” kejahatan yang membawa malapetaka bagi laki-laki. Jika tidak berhati-hati, siapa saja akan dijerumuskannya.
Dalam tafsir Al-Jawāhir dikatakan bahwa sebagian ulama pernah membuat sebuah statemen: “Aku lebih takut kepada perempuan daripada setan, sebab Allah SWT mengatakan ‘sesungguhnya tipudaya kalian (perempuan) sangat besar’ (Yūsuf: 28) sedangkan (mengenai setan Allah mengatakan) ‘sesungguhnya tipudaya setan itu lemah’ (al-Nisā’ [4]: 76).” Tidak ada komentar apapun yang diberikan oleh Tantāwī Jawharī, pengerang tafsir tersebut, mengenai pernyataan ulama itu. Sehingga kesannya adalah: bahwa perempuan memang benar-benar melebihi setan dalam wataknya yang penuh tipudaya itu. Jadi sebenarnya pandangan kebanyakan masyarakat kita mengenai eksistensi perempuan sebagai agen setan dapat dilacak sumber-sumbernya dalam karya-karya Muslim sendiri. K.H. Masdar F. Mas’udi dalam sebuah seminar bahkan menyitir sebuah syair yang amat menyakitkan perempuan, yang dikatakannya telah sangat populer di kalangan masyarakat pesantren: “Innan nisa-a syayathinu khuliqna lahum; na’udhu billahi min syarris syayathini (Bahwa perempuan adalah syetan yang diciptakan untuk laki-laki, maka berlindunglah aku dari seburuk-buruk syetan itu). Seharusnya,” lanjut Masdar, “ungkapan seperti ini tidak pernah lagi beredar di kalangan masyarakat.”
Tanpa disadari, pandangan seperti di atas memang telah melahirkan sikap arogan laki-laki atas lawan jenisnya. Sebab dengan adanya pandangan seperti itu, alasan untuk mendiskreditkan perempuan menjadi amat jelas: perempuan, pada wataknya yang paling mendasar, dianggap berbahaya. Karena itu mereka harus selalu diawasi, ditekan dan dibatasi ruang geraknya. Sebab jika diberikan kelonggaran ia akan dengan leluasa memainkan peran setannya.
Akan tetapi alasan untuk menopang pandangan di atas sebenarnya tidak memiliki fondasi yang kuat, dan bahkan dapat dikatakan tidak berdasar sama sekali. Apa yang dinyatakan dalam surat Yusuf itu hanyalah berkaitan dengan sebuah kasus. Al-‘Azīz, sang pembesar negeri Mesir itu, tentu saja sangat kecewa dan marah dengan sikap isterinya itu, maka tidak mengherankan ungkapan seperti itu keluar dari mulutnya. Ungkapan dalam ayat tersebut hanyalah ucapan pribadinya, yang dikutip oleh al-Qur’an, bukan sebuah ketetapan dari Tuhan sendiri. Dari itu ayat tersebut sama sekali tidak dapat digeneralisasikan, apalagi dijadikan alasan untuk menuduh kaum perempuan sebagai sumber segala kejahatan seksual. Perempuan yang tidak menjaga atau memelihara kehormatannya memang pantas dicela, tetapi hal yang sama juga berlaku pada laki-laki.
Pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentu saja tidak dapat dilakukan secara sepintas atau sambil lalu. Mengambil satu ayat atau sepotong ayat dan mengabaikan yang lainnya adalah tindakan serampangan yang akan merusak pemahaman terhadap esensi makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an. Kasus di atas adalah sebuah contoh pemahaman literal terhadap sepenggal ayat saja.
Isteri al-‘Azīz (Zulaikha) dalam ayat di atas bukanlah figur dominan, tetapi hanya diceritakan sambil lalu. Kisah dalam surat Yusuf itu, figur dominannya adalah Yusuf sendiri dan saudara-saudaranya. Liku-liku perjalanan hidup mereka itulah yang dipresentasikan al-Qur’an sebagai gambaran pertarungan antara yang baik dan yang buruk. Di dalamnya terlukis dengan cermat dan indah bagaimana pertarungan antara jiwa yang bersih, tulus dan sabar dengan jiwa yang penuh arogan dan ketamakan pada akhirnya dimenangkan oleh yang pertama. Zulaikha adalah bagian dari pertarungan tersebut. Jiwa yang menyuruhnya melakukan perbuatan jahat pada akhirnya menyerah dan tunduk karena rahmat Tuhan (Yūsuf: 50 – 53). Zulaikha bukanlah sosok teladan dalam “skenario” jahatnya, tetapi kemudian ia menjadi perempuan teladan karena kejujuran dan perbaikan dirinya. Nafsu (diri)-nya memang pernah mengajaknya untuk melakukan perbuatan tercela, namun rahmat Allah telah melepaskannya dari nafsu jahat tersebut dan menyelamatkannya dari kehancuran.
Tipu daya tidak khas pada jenis kelamin tertentu. Tipudaya dapat dilakukan oleh siapa saja, perempuan dan laki-laki. Sumber tipu daya adalah setan, bisikan jahat yang dapat merasuk pada siapa saja yang tidak waspada. Al-Qur’an juga menyebutkan saudara-saudara (laki-laki) Yusuf sebagai orang-orang yang melakukan tipudaya terhadap saudaranya, yakni Yusuf itu sendiri.
(Ya‘qub) berkata: wahai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, sebab mereka akan melakukan tipudaya terhadapmu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia (Yūsuf: 5).
Ini cukup jelas menunjukkan bahwa laki-laki juga makhluk yang berpotensi untuk melakukan tipudaya, sehingga istilah kayd, yakni tipudaya, tidak hanya pantas dilekatkan pada perempuan semata, tetapi laki-laki juga terbukti mempunyai jiwa yang penuh tipudaya.
Lebih penting lagi untuk diperhatikan, bahwa tipudaya yang dimaksudkan dalam beberapa ayat yang didiskusikan di atas adalah sebuah tindakan licik untuk memenangkan diri sendiri secara tidak fair atau tindakan curang. Ini perlu ditegaskan di sini untuk memberikan catatan kepada sebagian orang yang sering memahami perempuan sebagai sumber tipudaya dalam pengertian bahwa perempuan adalah sumber godaan terhadap laki-laki. Dengan kata lain, jika terjadi perzinaan, misalnya, perempuanlah yang disalahkan; perempuanlah yang seringkali dianggap sebagai penggoda laki-laki, penyebab terjadinya perbuatan lacur. Dalam hal ini laki-laki seakan-akan dapat membebaskan diri atau – kalaupun dianggap bersalah – kesalahannya tidak sebesar kesalahan perempuan. Kata kayd (tipudaya) yang dibicarakan al-Qur’an sebenarnya tidak ada kaitannya dengan godaan seksual, tetapi ia adalah watak atau sikap mental seseorang yang telah dirasuki setan sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Perbedaan jenis kelamin sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbedaan watak tersebut; yang membedakannya adalah pribadi setiap individu itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan.
Di samping itu, kita dapat mencatat bahwa tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang perempuan-perempuan yang dimuliakan Tuhan karena kualitas spiritual yang mereka miliki, seperti isteri Fir‘awn dan Maryam.
Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’awn ketika ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam sorga dan selamatkan aku dari Fir’awn dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim.
Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan ia adalah di antara orang-orang yang taat (al-Tahrīm [66]: 11 – 12).
Namun demikian, sebuah catatan patut dipertimbangkan di sini, bahwa daya tarik perempuan terhadap laki-laki dan daya tarik laki-laki terhadap perempuan tidaklah sama. Bagian-bagian tubuh perempuan barangkali jauh lebih sensitif terhadap rangsangan seksual laki-laki ketimbang sebaliknya. Karena itulah mungkin aurat perempuan dalam pandangan Islam lebih detil dari aurat laki-laki. Namun perlu juga diingat bahwa aurat dalam Islam bukan semata-mata dibicarakan dalam konteks rangsangan seksual, tetapi lebih dari itu, aurat sangat terkait dengan perlambang kehormatan pribadi seseorang. Pakaian adalah bahasa kepribadian atau cerminan dari kelakuan batin pemakainya. Ketika perintah menutup aurat secara lebih detil ditujukan kepada perempuan, maka ini memberikan pengertian bahwa kehormatan perempuan adalah sangat penting untuk dilindungi. Tentu saja di sini sebuah pertanyaan muncul: ‘dilindungi dari apa?’ Satu-satunya jawaban yang mungkin diberikan adalah: ‘dilindungi dari “kejahatan” laki-laki.’ Artinya, kejahatan seksual ternyata dapat juga dituduh bersumber dari laki-laki.
Dalam al-Qur’an (surat al-Nūr [24]: 30-31) laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga pandangannya dan memelihara kehormatannya. Sebab, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi menjadi sumber kejahatan seksual, meskipun mungkin, seperti telah disebutkan di atas, tingkat sensitifitas rangsangan yang pertama terhadap yang terakhir dan juga sebaliknya tidak sama. Jika memang kita mau mengatakan bahwa umumnya perempuan lebih “menggoda” bagi laki-laki, kita juga dapat mengatakan bahwa umumnya laki-laki lebih “agresif” terhadap perempuan.
Ada sebuah riwayat, dari Sa‘d Ibn Jubīr, menyebutkan bahwa Nabi Daud suatu hari berkata kepada anaknya, Nabi Sulaiman: “Wahai anakku, boleh saja engkau berjalan di belakang seekor singa dan ular naga, namun janganlah engkau berjalan di belakang seorang perempuan!”
Pernyataan di atas, jika memang dapat dijadikan sumber norma, menggambarkan besarnya bahaya perempuan bagi laki-laki. Bahaya seekor binatang buas, menurut sumber tersebut, tidak seberapa dibanding bahaya perempuan. Akan tetapi harap diingat bahwa riwayat di atas hanya bersumber dari seorang sahabat Nabi, bukan dari Nabi sendiri. Karena itu ia tidak cukup otoritatif untuk dapat dijadikan sebagai alasan dalam rangka membentuk suatu sikap keagamaan jika ternyata bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan hadits Nabi. Atau, barangkali pernyataan Nabi Daud di atas dapat saja di pahami sebagai peringatan bagi seorang anak muda (laki-laki) untuk menjaga dirinya (pandangan dan kehormatannya); dan ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, hal itu dapat juga dipahami dalam konteks diskriminasi gender; inilah yang menjadi problem. Ketika perempuan dilihat sebagai bahaya dan sumber kejahatan bagi laki-laki, lalu di mana kita akan menempatkan berbagai ayat-al-Qur’an dan hadits Nabi yang memuliakan kedudukan perempuan?
Tidak diragukan bahwa setan adalah sumber bencana bagi manusia. Karena itu dalam al-Qur’an Tuhan terus menerus memperingatkan anak cucu Adam agar waspada terhadapnya.
Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu hai Anak Bani Adam supaya tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu (Yāsīn [36]: 60).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kamu, maka jadikanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya untuk menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (Fātir [35]: 6).
Namun demikian manusia sendiri juga dapat menjadi setan ketika ia ikut memusuhi manusia atau fitrah kemanusiaan.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah (namun) penuh tipudaya. Jika Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (al-An‘ām [6]: 112).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa musuh utama manusia adalah setan. Di samping itu, setan juga bisa berasal dari manusia. Dengan demikian, setan bukanlah sejenis makhluk, tetapi lebih merupakan karakteristik yang bisa saja disandang oleh jin dan juga manusia. Hal lain yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa manusia yang menyandang karakter setan disebutkan oleh al-Qur’an secara general, bisa jadi laki-laki dan bisa jadi perempuan. Siapa saja yang mengikuti langkah-langkah setan atau bergabung dalam kelompok yang menyesatkan manusia atau menghalangi manusia dari kebaikan dan kebenaran maka ia pantas disebut setan.
Munculnya perilaku atau sikap mental masyarakat yang sinis terhadap perempuan adalah akibat dari kelemahan sebagian kaum laki-laki sendiri dalam mengendalikan dirinya, lalu melemparkan kesalahan tersebut kepada perempuan. Hal seperti ini sebenarnya hanya bisa terjadi dalam masyarakat dengan budaya patriarki, dimana laki-laki lebih dominan dalam menentukan berbagai perilaku sosial. Dalam kondisi seperti ini, cukup satu orang saja yang melecehkan perempuan dan cukup dengan satu alasan saja, pelecehan tersebut kemudian dengan sekejap akan menjadi tradisi yang dikenal luas. Suara laki-laki dianggap suara kebenaran dan suara perempuan hanyalah awal dari sebuah bencana. Karena itu pandangan laki-laki dapat mengalahkan pandangan perempuan.
Tetapi jika dicermati dengan baik, Islam, dari sejak awal, telah berupaya membersihkan umatnya dari sikap dan tindakan-tindakan diskriminatif berdasarkan asal kejadian – dengan kata lain berdasarkan biologis dan natural. Tuhan pun telah mendengarkan suara perempuan, pada saat-saat Nabi Muhammad sendiri tidak sanggup meresponinya dengan baik karena terdesak oleh pertimbangan-pertimbangan budaya masyarakatnya pada waktu itu. Adalah Khaulah, seorang perempuan Arab zaman wahyu, yang mengadu kepada Nabi karena suaminya menziharnya. Nabi tidak memberikan solusi apa-apa, karena zihar memang merupakan tradisi Arab sejak sebelum Islam, sampai turunnya ayat al-Qur’an (al-Mujādilah [58]: 1). Pengaduan perempuan tersebut dijawab langsung oleh Tuhan:
Sungguh Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) ihwal suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar pebincangan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Allah sendiri menurunkah solusi berkenaan dengan persoalan perempuan tersebut dan Allah memenangkan gugatannya, sebagaimana tersebut dalam ayat-ayat berikutnya: 2,3 dan 4), bahwa zihar tersebut hanyalah sebuah ucapan mungkar dan dosa: mana mungkin isterinya berubah menjadi ibunya; ibunya adalah orang yang telah melahirkannya. Keterlanjuran tersebut harus dibayar dengan denda yaitu: memerdekakan seorang budak. Jika ia tidak sanggup, dapat diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut dan jika ini juga tidak sanggup ia dapat menggantinya dengan memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
Khaulah kemudian menjadi fugur legendaris dan berwibawa di mata orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan yang karenanya beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Ketika menjabat sebagai Khalifah – ketika perempuan tersebut telah tua – ‘Umar Ibn al-Khattāb pernah disuruh berhenti olehnya karena suatu keperluan, padahal ‘Umar sedang melakukan perjalanan dengan orang banyak. ‘Umar berhenti dan memperhatikan kata-katanya dengan serius sampai ia selesai dan pergi. Seseorang bertanya kepada ‘Umar: “Wahai Amīr al-Mu’minīn! Mengapa engkau menahan kaki-kaki orang Quraysy hanya karena perempuan tua tersebut?”
“Celaka engkau!” jawab ‘Umar. “Kamu tahu siapa dia?”
“Tidak,” jawab laki-laki tadi.
“Dialah,” demikian ‘Umar menjelaskan, “perempuan yang pengaduannya telah didengarkan Tuhan dari langit ketujuh. Dialah Khaulah binti Tsa‘labah. Demi Allah, sekiranya ia tidak berpaling dariku sampai malam hari, aku pun tidak akan berpaling meninggalkannya sampai ia menyelesaikan urusannya, kecuali untuk mengerjkan shalat, dan setelah itu pun aku akan kembali lagi mendengarkannya.”
Ini bisa jadi merupakan fenomena mencengangkan jika kita melihatnya dalam konteks kehidupan bangsa Arab sebelum Islam dan masa awal Islam. Sebelum Islam, perempuan – tidak beda dari perempuan berbagai masyarakat dan peradaban zaman tersebut – tidak dihargai layaknya seorang manusia, karena dalam pandangan mereka manusia hanyalah mereka yang bernama laki-laki. Sisa-sisa atau gema dari pandangan seperti itu terasa sampai masa awal Islam. Islam kemudian, perlahan-lahan, mendobraknya. Perempuan diangkat derajatnya dan segala kualitas intelektual dan spiritualnya “dihargakan” sama dengan laki-laki. Suara perempuan, meskipun kritis asal saja tulus, didengarkan. Tuhan sendiri yang mencontohkannya – dalam bahasa Sayyidina ‘Umar – “dari atas langit yang ketujuh” sana. Perempuan bukan makhluk yang ditakuti sehingga harus ditinggalkan dalam percaturan peradaban dan bukan pula, lebih sinis lagi, makhluk yang dapat dilecehkan. Tidak malukah seorang laki-laki, ketika malam hari ia mencumbui isterinya, sementara di siang hari ia memukul dan menghinanya?
Beberapa hadits Nabi barangkali telah disalah-artikan untuk mengukuhkan pandangan bahwa perempuan harus diwaspadai atau ditakuti.
Tidak ada sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada perempuan (HaditsMuttafaq ‘alayh, disepakati al-Bukharī dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
Takutlah (waspadalah) terhadap dunia dan takutlah (waspadalah) terhadap perempuan, karena bencana pertama Bani Israil adalah (karena) perempuan.
Tetapi adakah hadits-hadits ini atau yang seumpamanya berbicara tentang keburukan perempuan? Bukankah hadits-hadits ini justeru mengimplikasikan kelemahan kaum laki-laki menghadapi perempuan? Apakah yang disebutkan di sini adalah sebuah gambaran tentang watak dasar perempuan dan berlaku pada semua perempuan? Ataukah ini hanya merupakan penjelasan tentang konsekuensi dari penilaian yang salah terhadap perempuan? Artinya, jika seorang laki-laki telah secara berlebihan “jatuh hati” kepada seorang perempuan (sebagaimana sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari), maka perempuan tersebut akan sangat “berbahaya” baginya – bukankah itu makna yang terkandung dalam hadits di atas? Jika demikian kasusnya, bukankah hadits tersebut juga berlaku sebaliknya?
Jika pertanyaan-pertanyaan ini dipertimbangkan dan juga sejumlah ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang memberikan penghargaan begitu besar kepada perempuan, maka tidak mungkin kedua hadits di atas dipahami secara sangat simplistik sebagai merendahkan perempuan hanya karena perbedaan jenis kelamin. Dari teksnya saja jelas bahwa hadits di atas ditujukan kepada kaum laki-laki. Perlu diingat bahwa telah merupakan karakteristik pembicaraan al-Qur’an dan juga hadits Nabi bahwa meskipun sebuah ungkapan ditujukan kepada laki-laki (secara gramatikal), pelajaran yang terkandung di dalamnya mencakup untuk seluruh umat manusia, tanpa perbedaan jenis kelamin. Kalau Nabi mengatakan bahwa perempuan berbahaya bagi laki-laki, maka dalam kasus yang serupa, laki-laki juga bisa berbahaya bagi perempuan. Bukankah dalam al-Qur’an laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga diri?

No comments:

Post a Comment