Semua pemeluk agama akan mengklaim agamanya
sebagai yang terbaik dan kelompoknya sebagai umat pilihan. Ini logis, sebab
jika tidak demikian maka dapat dipastikan bahwa landasan bagi pemilihan agama
yang dipeluk seseorang itu sangat rapuh. Apakah seseorang akan memilih agama
yang tidak sempurna untuk dianutnya? Memilih agama terbaik berarti menjadi umat
terbaik. Tapi adakah semua orang memilih agama yang dipeluknya? Bukankah hampir
semua orang memeluk agama yang “dibaptiskan” kepadanya pada waktu ia masih
kecil, ketika ia sendiri belum mengerti secara mendalam ajaran agama yang akan
harus ia pegang teguh itu? Jadi benarkah setiap orang telah memilih agama yang
terbaik untuk dirinya? Atau itu hanya sebuah pembenaran psikologis, agar setiap
orang puas dengan agama yang dipeluknya? Atau, tidakkah mungkin, itu hanya
politik penguasa agama agar dapat mempertahankan atau memperbanyak komunitas
agamanya? Siapa tahu, dan siapa yang akan dapat menjawabnya secara objektif?
Sebelum isu ini didiskusikan lebih jauh, yakni
pada bab selanjutnya, di sini beberapa analisa akan difokuskan pada sejumlah
ekspresi al-Qur’an mengenai umat pilihan atau umat terbaik. Dalam al-Qur’an,
umat Nabi Muhammad disebut sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang
diutus untuk manusia, karena mereka menyuruh perbuatan makruf dan mencegah
perbuatan mungkar.
Kamu adalah umat terbaik (khayr ummah) yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.[1]
Di samping itu, umat pengikut Musa, yakni Bani
Israil, juga dikatakan sebagai umat pilihan, di mana Tuhan telah memilih mereka
atau melebihkan mereka dari umat-umat lain di dunia.
Dan (ingatlah), ketika Musa
berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Ia
mengangkat nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja, dan memberimu
apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun (wa ātākum mālam
yu’ti ah}adan)
di antara umat-umat yang lain.”[2]
Dalam ayat lain,
al-Qur’an mengekspresikannya dengan lebih jelas:
Wahai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku
anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu (fad}d}altukum) atas segala
umat.[3]
Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka (ikhtarnā hum)
dengan pengetahuan (Kami) atas segala umat.[4]
Lalu siapa, menurut al-Qur’an, umat pilihan?
Umat Islam atau umat Yahudi? Pertanyaan ini tentu amat mudah dijawab oleh kedua
belah pihak. Tanpa diragukan, keduanya pasti memiliki cukup banyak argumentasi
untuk membela pihaknya masing-masing. Memang perdebatan linguistik mungkin
terjadi, sebab al-Qur’an menyebutkan apresiasi tersebut dengan ekspresi kata
berbeda: khayr ummah, ikhtarnā hum, fad}d}altukum,
wa’ātākum mā lam yu’ti ah}adan
dan lain-lain. Tapi hal ini tidak akan diperbincangkan lebih jauh dalam kajian
disertasi ini, karena sudah berada di luar fokus; yang jelas, al-Qur’an telah
mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ada umat yang diberikan
penilaian lebih tinggi dari yang lain. Jika persoalannya demikian, menurut
kebanyakan mufassir, maka dapat saja dipahami bahwa penilaian tersebut bersifat
relatif. Sebuah penilaian akan terbatas pada aspek-aspek tertentu. Jika
seseorang mendapatkan prestasi yang tinggi dalam satu hal maka tidak mustahil
dalam hal lain ia berkurang.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
menurut Ibn Katsīr, orang-orang Israel adalah umat yang terbaik pada zamannya
jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir dan Yunani.[5]
Mengenai pernyataan al-Qur’an bahwa Allah telah memilih bangsa Israel, para
mufassir secara general menganggap bahwa keunggulan mereka tersebut bersifat
relatif, tidak mutlak. Dalam beberapa hal mereka memang memiliki kelebihan,
namun ada juga bangsa-bangsa lain yang memiliki kelebihan berbeda. Namun dalam
hal agama, kepemimpinan, kedatangan nabi-nabi dan kitab suci, bangsa Yahudi
memang termasuk spesial pada zaman tersebut, seperti kata Ibn Katsīr di atas.
Demikian juga pendapat al-Rāzī.[6]
Namun al-Qurt}ubī
memiliki pendapat agak berbeda. Ketika menafsirkan ayat 47 surat al-Baqarah,
al-Qurt}ubī
berkata, bahwa Bani Israil telah dilebihkan oleh Tuhan atas segala umat, baik
umat di zamannya atau pun umat di zaman-zaman yang lain. Tuhan telah mengangkat
nabi-nabi yang banyak di kalangan mereka; ini merupakan kelebihan Bani Israil
secara khusus.[7] Tetapi ketika menjelaskan
ayat 32 surat al-Dukhān, al-Qurt}ubī
tampak ragu untuk bersikap tegas dengan pandangannya sebelum itu. Ia mengatakan
bahwa kelebihan Bani Israil adalah jika dibandingkan dengan umat-umat lain di
zamannya; ini berdasarkan ayat 110 surat Āli ‘Imrān yang menegaskan
keterpilihan umat Muhammad. Namun, setelah itu ia berkata: ini pendapat
Qatādah, sementara pendapat yang lain mengatakan, kelebihan mereka adalah atas
segala umat pada setiap zaman, karena mereka memiliki nabi-nabi yang banyak.[8]
Al-Qurt}ubī tidak
memberikan komentar yang banyak setelah itu. Tampaknya ia sendiri menyadari bahwa
kebanyakan mufassir pendahulunya juga memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ia
sendiri tentu saja tidak mungkin menolak bahwa umat Muhammad adalah umat
pilihan, berdasarkan al-Qur’an sediri. Menyambung al-Qurt}ubī, lalu apa salahnya
jika diterima bahwa kedua komunitas ini adalah umat pilihan?
Apa sesungguhnya arti “umat pilihan” itu?
Ketika Tuhan telah memilih suatu umat, apakah berarti Ia telah menyia-nyiakan
umat yang lain? “Kita” sepertinya cenderung menafikan setiap kelebihan pada
“orang lain” dan amat takut jika ternyata harus mengakui bahwa orang lain
mengungguli kita. Al-Qur’an sebenarnya telah memberikan isyarat bahwa Tuhan
telah memilih siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Tuhan
telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas sekalian
manusia; Tuhan juga telah menjadikan Maryam sebagai perempuan pilihan di atas
sekalian perempuan di dunia.[9]
Tuhan telah memilih banyak manusia dan melebihkan mereka dari manusia-manusia
yang lain. Namun Tuhan tidak memilih mereka begitu saja tanpa alasan.
Ketundukan mereka yang tulus kepada-Nya dan komitmen moral mereka yang berada
pada level standar tertinggi adalah alasan utama mengapa mereka menempati
posisi lebih terhormat di mata Tuhan. Dalam berbagai ayat dan surat, al-Qur’an
menegaskan hal tersebut. Ketika dipilih oleh Tuhan menjadi imam bagi sekalian
manusia, Ibrahim bermohon: “(Ya Tuhan! Demikian juga) dari anak keturunanku!”
Tuhan menjawab: “Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.”[10]
Al-Qur’an selalu mengacu pada prinsip-prinsip
yang universal. Al-Qur’an tidak mungkin dipahami dalam konteks yang sempit.
Menalar al-Qur’an dengan cara-cara yang tendensius akan berhadapan dengan
berbagai paradoks, dan membingungkan. Sejauh ini, kasus ayat-ayat yang telah
dibicarakan di atas adalah contoh-contoh yang jelas. Sekali lagi, ayat-ayat ini
menunjukkan historisitas al-Qur’an dan keterikatannya dengan sosial-budaya
masyarakat yang menjadi sasarannya. Ayat-ayat al-Qur’an pertama sekali
ditujukan kepada masyarakat Arab dan pembicaraan al-Qur’an mengenai orang-orang
Yahudi dan Nasrani pada intinya juga tidak terlepas dari persoalan hubungan
mereka dengan Nabi Muhammad dan orang-orang Arab. Orang-orang Bani Israil yang
dibicarakan al-Qur’an haruslah dilihat sebagai contoh-contoh untuk dijadikan
pelajaran. Mereka dipilih oleh Tuhan karena ketulusan hati dan kebaikan
amalnya; mereka dicela karena sikap-sikapnya yang menyimpang dari kebenaran dan
melanggar sumpah setia yang telah mereka ikrarkan.
Gagasan al-Qur’an mengenai keterpilihan Bani
Israil barangkali juga tidak terlepas dari klaim Bani Israil sendiri bahwa
mereka telah dipilih oleh Tuhan. Beberapa ayat al-Qur’an mengindikasikan bahwa
orang-orang Yahudi Medinah telah mengekspresikan hal tersebut, namun mungkin
dengan nada sinis dan merendahkan.
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak,
bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah di
antara orang-orang musyrik.”
Katakanlah (hai orang-orang Mukmin): “Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya.”[11]
Pada
ayat lain ekspresi ini tampak lebih tegas:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah: “Lalu mengapa Allah
menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang
yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi
serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala
sesuatu).[12]
Ayat-ayat ini turun mengoreksi sikap
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memandang diri mereka terlalu eksklusif.
Kedua komunitas ini dianggap al-Qur’an telah terjebak dalam kesesatan mental
yang sama. Tuhan telah memilih mereka dengan menurunkan agama yang benar, namun
mereka telah mengalihkan makna keterpilihan itu kepada bentuk-bentuk yang lebih
sempit: rasialisme dan formalitas. Al-Qur’an membantah klaim-klaim yang telah
merusak kebenaran universal dan merendahkan persaudaraan kemanusiaan itu.
Dalam konteks seperti ini, barangkali, ayat-ayat di atas
dapat dilihat secara lebih terang. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an tidak boleh
dilihat dengan perspektif yang sempit, sehingga seseorang terjebak kembali
dalam kekeliruan yang sama. Al-Qur’an adalah petunjuk dan peringatan, bukan
buku manual; ia harus dipahami melalui perspektif kehidupan yang lebih luas,
lebih real dan lebih bijaksana.
Kesadaran sebagai umat pilihan, melalui cara-cara
tertentu, telah terbentuk dalam berbagai komunitas agama yang percaya agamanya
sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan yang Esa; dan ini telah mencirikhaskan
ketiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam. Masing-masing memiliki
alasan, yakni dari kitab suci, untuk mengklaim dirinya sebagai umat pilihan
Tuhan; dan bahwa Tuhan sendiri telah berkata demikian. Namun, sesungguhnya yang
lebih penting adalah upaya mengeksplorasi makna yang lebih dalam dari
pernyataan bahwa Tuhan telah memilih seseorang atau suatu umat. Jika Yahudi
adalah umat pilihan, mengapa Tuhan menghukum mereka dengan berbagai siksaan?
Demikian al-Qur’an mengajukan kritikan. Namun kritik ini sering kali tidak
diterapkan oleh umat Islam (pemilik al-Qur’an) untuk diri mereka sendiri.
Artinya, meskipun umat Islam melihat dirinya sebagai umat pilihan, kebanyakan
mereka tidak berupaya dengan sungguh-sungguh untuk merealisasikan hal tersebut
dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan al-Qur’an.
Para sarjana Muslim sejak awal telah mengemukakan
pendapat berbeda dalam memahami ungkapan al-Qur’an: kuntum khayr ummah (kamu
adalah umat terbaik).[13]
Berdasarkan riwayat al-T{abarī,
Ibn ‘Abbās berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah para
sahabat Nabi yang berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Medinah. ‘Umar ibn
al-Khat}t}āb juga mengatakan
demikian. Menurutnya, mereka yang terpilih itu adalah khusus para sahabat
Rasulullah dan orang-orang yang berbuat seperti para sahabat Rasul berbuat.
Namun sejumlah riwayat lain yang barangkali lebih mencerminkan kepedulian akan
makna sejati ayat tersebut juga dikutip oleh al-T{abarī.
Menurut Mujāhid, demikian al-T{abarī
meriwayatkan, umat di zaman mana saja dapat menjadi umat terbaik sejauh mereka
memenuhi persyaratan yang telah dibuat al-Qur’an, yaitu: menyuruh yang makruf
dan mencegah yang mungkar; buktinya al-Qur’an mengatakan: “Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” Sayangnya, “di antara mereka ada
yang beriman, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”[14]
Umumnya kaum Muslim, sebagaimana terungkap dalam berbagai
literatur Islam sepanjang sejarah, menyadari bahwa menjadi pilihan Tuhan
tidaklah dengan serta-merta, tetapi harus dengan amal dan ketulusan hati. Akan
tetapi jika ditelusuri lebih jauh, dalam keyakinan yang lebih populer, pada
akhirnya umat Nabi Muhammadlah yang diyakini sebagai umat yang terbaik; sebaik
apa pun umat lain (umat terdahulu), tidak akan menyamai, apa lagi melebihi,
umat Nabi terakhir. Padahal, ini jelas amat sulit disejalankan dengan semangat
dasar al-Qur’an. Beberapa riwayat telah dijadikan sandaran untuk pandangan ini.
Al-T{barī,
misalnya, telah menukilkan riwayat-riwayat yang mengatakan – mengenai takwil
ayat 110 di atas – “kita adalah umat terakhir dan kita yang terbaik.” Bahkan
Nabi diriwayatkan bersabda: “Kamu sekalian telah menyempurnakan sembilan puluh
umat, dan kamu adalah yang terbaik dan termulia di sisi Allah.”[15]
Sementara itu al-Qur’an sendiri mengatakan
bahwa para rasul memang telah dilebihkan oleh Tuhan, sebagian mereka di atas
sebagian yang lain, namun masing-masing mereka mempunyai kelebihan tersendiri;
dan manusia sebagai umatnya serta sebagai hamba Tuhan tidaklah berhak
membanding-bandingkan mereka.
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung kepadanya)
dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada
Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Rūh} al-Qudus. Dan kalau
Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang)
sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka di antara mereka ada yang
beriman dan ada (pula) yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
berkata): “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya,”
dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdo‘a):
“Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[16]
Kedua ayat ini memperlihatkan pandangan al-Qur’an yang
cukup jelas soal bagaimana umat Muhammad seharusnya bersikap terhadap umat dan
nabi-nabi yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan secara sahih oleh
al-Bukhārī, Nabi Muhammad sendiri telah mengekspresikan sikap yang cukup tegas.
Pada suatu hari seorang Muslim bertengkar dengan seorang Yahudi; mereka saling
mencaci maki. Maka terucap oleh si Muslim: “Demi Tuhan yang telah memilih
Muhammad atas sekalian manusia.” Lalu Yahudi tersebut membalas: “Demi Tuhan
yang telah memilih Musa atas sekalian manusia.” Maka orang Muslim tadi marah
dan menampar si Yahudi. Yahudi itu mengadu kepada Rasulullah. Rasul memanggil
orang tersebut dan bertanya apakah benar pengaduan tersebut. Ia mengaku. Lalu
Rasul bersabda: “Janganlah engkau melebih-lebihkan aku atas Musa ...”[17]
Pertengkaran demi pertengkaran, baik politik maupun
ideologi, telah mewarnai sejarah hubungan Yahudi-Muslim dari awal sampai hari
ini. “Siapa yang telah memulainya?” Ini adalah pertanyaan yang keliru kalau
pertengkaran tersebut tidak ingin dilanjutkan lagi. Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut tidak akan pernah relevan bagi dialog antar umat. Jawaban yang
diberikan, baik itu “benar” atau keliru, justeru akan memperkeruh suasana.
Keinginan mencari jawaban tersebut telah mendorong masing-masing untuk saling
merendahkan dan mengindoktrinasi setiap pemeluk masing-masing untuk meyakini
diri merekalah yang lebih superior, dengan mencari berbagai legitimasi dari kitab
suci dan mengabaikan realitas kehidupan yang lebih nyata. Kadang-kadang
kebodohan atau kejahatan segelintir orang – atau bahkan satu orang – dalam
sebuah komunitas, harus ditanggung konsekuensinya oleh seluruh individu dalam
komunitas tersebut. Dalam setiap komunitas pasti ada orang, atau orang-orang,
yang berbuat bodoh, namun tidak adil kalau hal tersebut digeneralisir kepada
semua individu. Fakta bahwa al-Qur’an telah mengkritik orang-orang Yahudi dan
bahkan melemparkan beberapa tuduhan tercela, tidak dapat dijadikan alasan untuk
menghapus fakta bahwa al-Qur’an juga telah mengekspresikan sejumlah apresiasi
positif kepada mereka; bahwa Tuhan telah memilih Bani Israil telah
diekspresikan al-Qur’an secara nyata.
Klaim umat Islam sebagai khayr ummah jelas
merupakan tantangan bagi kaum Yahudi. Pertengkaran seorang Yahudi dengan
seorang Muslim di Medinah, sebagaimana tersebut dalam riwayat di atas,
memperlihatkan suasana tersebut. Masing-masing mengatakan Nabinya yang terhebat
dan, logikanya, masing-masing menganggap dirinya, sebagai pengikut Nabi
tersebut, adalah yang terhebat pula. Dalam situasi pergolakan pemikiran
keagamaan yang hebat, pada abad tengah, ketika kaum Muslim mengalami kejayaan
dan berkesempatan melancarkan misi Islam dengan gencar, Moses Maimonides
(1135-1204), untuk yang pertama kalinya dalam sejarah perkembangan agama
Yahudi, memformulasikan tiga belas prinsip dasar keyakinan Yahudi, di mana
salah satunya menyebutkan: Moses is the greatest of the prophets.[18]
Apa yang dilakukan Maimonides, hampir dapat dipastikan, adalah sebagai upaya
melawan klaim umat Islam atas “kebesaran” Nabi Muhammad.[19]
Maimonides jelas bukan yang pertama menciptakan gagasan tersebut, tetapi, dalam
kondisi pertentangan ideologi seperti di abad tengah itu, ia merasa perlu
menegaskannya kembali dalam rangka “memperteguh keimanan” kaumnya dan
“menyelamatkan” mereka dari “kemurtadan.” Kedua belah pihak sebenarnya sama
saja. Keinginan untuk menjadi yang terhebat, atau mendapat pengakuan sebagai
yang terhebat, barangkali, merupakan naluri dasar manusia. Lagi-lagi al-Qur’an
menegaskan bahwa seseorang menjadi hebat bukan karena keturunan atau
komunitasnya, tetapi karena hati dan amalnya. Maka Nabi Muhammad pun menolak
untuk disebut sebagai lebih hebat dari Nabi Musa. Hanya Tuhan yang berhak
menilai hati dan amal manusia.
Di kalangan Yahudi telah muncul pula kesadaran
untuk mengkritisi makna keberadaan mereka sebagai the chosen people.
Dalam tradisi Yahudi, gagasan bahwa Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi
sebagai umat istimewa yang akan melaksanakan kehendak-Nya dapat ditemukan
secara jelas dalam Bible – di antaranya sebagaimana telah dikutip di atas – dan
menjadi ajaran yang diyakini secara luas oleh masyarakat Yahudi. Namun, apakah
ketika Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi berarti Ia telah mengabaikan
umat-umat yang lain? Para sarjana Yahudi telah mengembangkan tafsiran
berbeda-beda dalam menjelaskan makna “umat pilihan Tuhan.” Sebagian mereka
menunjukkan bahwa persoalannya tidaklah sederhana. Bible memang mengatakan bahwa
Tuhan telah memilih bangsa Yahudi, tetapi
nowhere is it suggested that other peoples have no role to play in
God’s plan for humanity.[20]
Lebih jauh, doktrin tersebut tampak dengan jelas bertentangan dengan keyakinan
akan betapa luasnya rahmat Tuhan, whose care and providence extends equally
... to all human beings He has created in His image.[21]
Sebagian mereka bahkan merasa “risih” dengan
sebutan tersebut. Mengapa Tuhan harus memilih satu umat khusus untuk suatu
tugas tertentu? Mengapa orang-orang Yahudi sebagai pilihan terbaik? Why not
make the whole human race the instrument for the fulfillment of His purpose?
Kita tidak tahu, itu adalah urusan Tuhan, jawab Maimonides dan sejumlah pemikir
Yahudi lainnya.[22]
Namun sebagian mereka sangat yakin bahwa Tuhan
memang telah memilih ras Yahudi sebagai yang terbaik di antara umat manusia.
Jiwa orang-orang Yahudi lebih superior dari yang lainnya. Walaupun demikian,
ini tidak berarti orang-orang Yahudi dapat bertindak sekehendaknya terhadap
bangsa lain yang dianggap berjiwa inferior. Yang dituntut justeru sebaliknya:
Karena Tuhan telah memilih mereka, berarti Tuhan telah memundakkan tugas yang
lebih besar, yaitu memberikan servis kepada umat lain, bukan memanfaatkannya
untuk kepentingan diri sendiri; mengajak mereka ke jalan Tuhan dan membantu
mereka menjalankan kehendak Tuhan. Pandangan ini, walaupun mencoba menunjukkan
diri bersikap dan berniat baik, jelas sangat imperialistik. Kebanyakan sarjana
Yahudi menolak pandangan tersebut, atau dianggap sebagai pandangan yang kurang
meyakinkan.[23]
Mengenai hal ini George Robinson mengutip dua
kisah ilustratif. Yang pertama, Tuhan menawarkan Taurat kepada bangsa-bangsa
lain. Satu kelompok bertanya: “Apa di
dalam nya?” di mana Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh mencuri.” Mereka lalu berkata:
“Ya, bagaimana, itulah penghidupan kami. Kami tidak tertarik.” Kelompok lain
lagi juga bertanya apa isi Taurat itu, dan Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh
membunuh.” Mereka merespon: “Kami adalah bangsa pahlawan, maaf, kami tidak
dapat mengikutinya.” Akhirnya Tuhan menawarkan Taurat itu kepada orang-orang
Hebrew dan mereka setuju untuk menerimanya.
Dalam kisah kedua, Tuhan mengangkat gunung
Sinai ke atas kepala orang-orang Israel, lalu menahannya dan berkata bahwa jika
mereka tidak mau menerima Taurat, Ia akan menjatuhkan gunung tersebut.
Jadi, kata Robinson, orang-orang Yahudi tidak
dipilih karena superioritasnya, tetapi karena kemauannya mengikuti hukum Tuhan.
Mereka dipilih karena mereka tidak berani menolak. Either way, the worldview
these two stories propound is one in which being chosen is a responsibility and
a burden. In Deuteronomy 7: 7, God tells the Israelites that they were not
chosen because they were greater among the nations but because they were
small, the least of the nations.[24]
Apa yang dikemukakan al-Qur’an tentang keterpilihan Bani Israil adalah
konsep yang telah dikembangkan oleh Bani Israil itu sendiri. Dalam kenyataannya
sekarang, orang-orang Yahudi berselisih tentangnya. Al-Qur’an dalam hal ini
sebenarnya telah menawarkan konsep yang lebih tercerahkan bagi orang-orang
Yahudi dalam memaknai arti gagasan “keterpilihan” tersebut. Sekiranya saja para
pemeluk suatu agama tidak merasa segan mengambil kitab suci umat lain untuk
memperkaya pemahaman mereka tentang isi kitab suci mereka sendiri mungkin
mereka akan bisa melihat dunia ini agak lebih luas. Tapi bagi kebanyakan orang,
ini pasti amat menjijikkan dan dianggap sebagai cara beragama paling keliru.
Namun para sarjana Muslim ternyata telah mengambil inisiatif seperti ini sejak
awal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, walaupun pada akhirnya dikalahkan oleh
pendapat lain, yang mampu menciptakan kesan negatif bagi isrā’īliyyāt.
[1]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[2]Q.S. al-Mā’idah: 20.
[3]Q.S. al-Baqarah: 47 dan 122.
[4]Q.S. al-Dukhān: 32.
[7]Al-Qurt}ubī, al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Sya‘b, Cet. II, 1372 H.),
Vol. 1, 376. Pendapat ini didukung pula oleh Q.S. al-Jātsiyah: 16: “Dan
sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil kitab (Taurat), kekuasaan (al-h}ukm) dan kenabian (al-nubuwwah) dan Kami anugerahi mereka rezeki
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa yang lain.”
[9]Q.S. Āli ‘Imrān: 33 dan 42.
[10]Q.S. al-Baqarah: 124.
[11]Q.S. al-Baqarah: 135-136.
[12]Q.S. al-Mā’idah: 18.
[13]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[16]Q.S. al-Baqarah: 253 dan 285.
[17]Al-Bukhārī, S{ah}īh} al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, 1987 M./1407 H.),
Vol. 2, 849: Hadis No. 2280. Dalam teks lain disebutkan, mendengar itu “maka
Nabi s.a.w. marah ...” Lihat Ibid., Vol. 3, 1254: Hadis No. 3233.
[18]Tiga belas prinsip dasar keyakinan tersebut,
sebagaimana dikutip Tracey Rich, ialah: 1. G-d is one and
unique; 2.G-d is incorporeal; 3. G-d is eternal; 4. Prayer is to be directed to
G-d alone and to no other; 5. The words of the prophets are true; 6. Moses’s
prophecies are true, and Moses was the greatest of the prophets; 7. The Written
Torah (first 5 books of the Bible) and Oral Torah (teachings now contained in
the Talmud and other writings) were given to Moses; 8. There will be no other
Torah; 9. G-d knows the thoughts and deeds of men; 10. G-d will reward the good
and punish the wicked 11. The Messiah will come; 12. The dead will be
resurrected. Lihat
. Lihat juga Louis Jacobs, The Book of
Jewish Belief, (Behrman House, t.t.), 5.
[23]Ibid.
[24]George Robinson, Essential Judaism: A
Complete Guide to Beliefs, Customs, and Rituals, (New York: Pocket Boks, 2000), 73-74.