Wednesday, April 21, 2010

Keperawanan Perempuan

Kelanjutan dari pembicaraan di atas adalah menyangkut keperawanan perempuan. Keperawanan telah seringkali dipahami secara sangat dangkal oleh sebagian masyarakat, dan kehilangan “keperawanan” (dalam pengertian biologis dan anatomis) telah dipandang sebagai hal paling menakutkan – lebih menakutkan dari kehilangan nilai-nilai moral itu sendiri. Selembar selaput dara seakan-akan identik dengan sebuah kehormatan. Maksudnya, kehormatan itu telah diukur dan diberi harga dengan sesuatu yang bersifat material – dengan sebuah takaran anatomis. Tidak adanya bekas tetesan darah “malam pertama” di atas alas tidur akan sangat menggelisahkan sang pengantin perempuan dan keluarganya. Kejadian seperti ini seolah-olah hakikat dari sebuah aib besar … dan jangan tanya soal perilakunya sebelum perkawinan, karena keperawanan lebih dilihat sebagai paradigma nilai yang lebih penting dari realitas moral dalam keseluruhan sikap hidupnya sehari-hari! Inilah “moralitas seksual biologis” – sebuah warisan dari tradisi Yahudi-Kristen abad pertengahan yang menyebar dalam bawah sadar kebanyakan masyarakat Muslim.
Malam pertama perkawinan menjadi sebuah “upacara ritual” yang khas dan sang pengantin perempuan tidak lain adalah “kurban” yang dipersembahkan di hadapan altar yang bernama tradisi atau kebudayaan. Di Arab dan berbagai negara Muslim lainnya hal seperti itu terjadi. Keperawanan benar-benar menjadi barang “keramat” dan menghinanya dapat mendatangkan hukuman mati. Banyak kisah antropologis ditulis ihwal pemujaan tehadap “selaput suci” tersebut di berbagai masyarakat Muslim, seperti Aljazair, Moroko dan Mesir. Mereka dengan sungguh-sungguh merayakan “malam pertama” pengantin. Tetesan darah keperawanan di atas selembar kain akan diperlihatkan kepada orang banyak dengan rasa bangga. Itulah bukti kehormatan sebuah keluarga – kehormatan laki-laki yang harus dipertanggung-jawabkan oleh perempuan. Jika memang ternyata keperawanan pengantin perempuan sudah tidak ada lagi, atau lebih tegas, jika tetesan darah akibat pecahnya selaput dara itu tidak dapat diperlihatkan, maka Ayahnya atau saudara laki-lakinya sendiri yang akan membunuhnya.
Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kegilaan yang sama sekali sangat jauh dari moral Islam. Dalam paradigma moral seperti ini perempuan tentu saja akan menjadi kelompok paling rentan terhadap berbagai tuduhan kecurangan seksual, sementara laki-laki selalu aman dan terbebas dari tuduhan kekejian serupa. “Keperawanan” seperti itu hanya dapat dituntut dari kaum perempuan, tidak dari laki-laki, dan mereka secara otomatis terbebaskan dari tuduhan kehilangan keperawanan.
Islam tidak mengenal paradigma moral yang penuh pelecehan seperti di atas. Aturan tentang perilaku seksual seorang Muslim tidak bergantung pada “biologi selaput dara”. Artinya batasan-batasan moral dalam perilaku seksual seorang Muslim “tidak dimulai dan diakhiri dengan selembar kain yang ternoda darah dari selaput dara seorang perawan.” Karena itu upaya-upaya penipuan selaput dara dan kerja para “dukun klinik” menciptakan berbagai teknik “pengembalian” keperawanan untuk membuktikan sebuah kehormatan palsu, dalam pandangan moral Islam, tentu dianggap sebagai tindakan-tindakan bodoh dan menertawakan. Sekali lagi dapat ditegaskan bahwa Islam menolak paradigma biologis sebagai alasan utama bagi perilaku moral manusia. Tidak ada spesifikasi gender dalam tatanan moral Islam. Laki-laki dan perempuan, seperti telah didiskusikan di atas, dituntun oleh Islam untuk sama-sama menjaga diri dan memelihara kehormatan.
Sama sekali tidak ada ketentuan dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa pria mempunyai hak istimewa untuk meminta dari wanita bukti kesucian moral. Juga tidak perlu seorang wanita menuntut dari pria bukti yang sama. Al-Quran sedikit pun tidak menyebutkan bahwa seorang pria harus meminta bukti anatomis dari keperawanan seorang wanita dan kemudian memamerkanya di muka umum.
Keperawanan memang mempunyai nilai dan makna simbolik tersendiri. Keperawanan menyiratkan kesucian dan kesetiaan pada norma dan kemulian perilaku yang berkaitan dengan hubungan seksual. Akan tetapi keperawanan tidak dapat dijadikan sebagai ukuran hakiki kehormatan seseorang dengan harga mati. Di sinilah kita perlu berhati-hati untuk tidak terlalu mensakralkan keperawanan dan tidak pula merendahkan nilainya.
Sebenarnya tidak semua masyarakat memiliki pandangan dan tradisi yang sama mengenai keperawanan. Meski sebagian orang sangat terobsesi oleh keperawanan anatomis seperti tersebut di atas, ada juga kelompok-kelompok masyarakat atau kebudayaan tertentu yang sama sekali tidak sensitif terhadap hal ini, seperti beberapa suku di benua Afrika. Munawar Ahmad Anees juga menyebutkan bahwa di Jawa “banyak pria Tengger lebih menyukai janda-janda daripada wanita-wanita muda.” Lebih ekstrim lagi, orang-orang Votiak dari suku Finno Urgia menganggap keperawanan sebagai sebuah aib karena, menurut mereka, hal tersebut menunjukkan ketidak-mampuan seorang wanita memikat pria.
Sikap ektrim dalam memandang keperawanan perempuan, baik ekstrim kiri ataupun kanan, telah terjadi, dan berbagai legenda pun telah dikarang. Ada yang memuja keperawanan secara berlebih-lebihan sampai kepada suatu keyakinan mistis dan ada pula yang menyepelekannya sampai menganggapnya aib. Hukum-hukum Yahudi dan Kristen telah menetapkan hukuman rajam atau hukuman mati kepada gadis-gadis yang telah kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Dan puncak dari perkembangan pemahaman tersebut adalah pada sebuah pemujaan yang ekstrim, sebuah keyakinan akan Perawan Maria sebagai Theotokos, Ibu Tuhan. Berbagai kesesatan lain yang bercampur mistik tentang keperawanan perempuan juga telah membodohi sejumlah bagian dunia Eropa. Fondasi-fondasi London Bridge, dikabarkan, dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan tulang belulang yang berasal dari para perawan; mereka percaya bahwa tulang-tulang para perawan memiliki kekuatan magis. Ada juga yang menyarankan kepada perempuan-perempuan cantik dan kaya agar darah perawan diminum untuk memulihkan kecantikan dan menghilangkan kerut-kerut serta noda-noda di wajahnya. Tidak kurang juga dahsyatnya di Rusia, sisa-sisa mayat para perawan yang dibunuh dimanfaatkan untuk membuat lilin-lilin khusus yang diyakini dapat membawa keberuntungan. Tidak sedikit di Eropa gadis-gadis muda yang meninggal akibat penyakit kelamin karena dimanfaatkan oleh pria-pria tua dan kaya tapi “busuk” yang percaya bahwa hubungan intim dengan seorang perawan akan memulihkan keremajaan dan merupakan obat yang paling mujarab dan “menyenangkan”. Semua ini mencerminkan angan-angan kaum pria yang tidak terbatas dalam penjelajahan seksualnya, sehingga perempuan jadi korban. “Kehormatan” dan agama tentu saja selalu akan digunakan sebagai hujah untuk memenuhi segala hasrat duniawi mereka secara sepihak.
Sepertinya penting juga dikemukan di sini apa sebenarnya keperwanan anatomis itu dan apa yang dicari kaum laki-laki dalam pengelanaan seksualnya serta angan-angan mereka ihwal pemecahan simbol keperawanan tersebut. Inti dari seluruh legenda, mistik dan berbagai kegilaan tentang perawan adalah robeknya selaput dara, yakni sebuah jaringan yang sangat halus dalam vagina, sehingga menyebabkan terjadinya pendarahan. Selaput lendir yang menghalangi lubang vagina ini berbeda-beda bentuk, potongan dan ukurannya. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, liang vagina tertutup sama sekali. Sebaliknya mungkin juga selaput dara itu telah tidak ada lagi atau lenyap akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan masa kanak-kanak.
“Anatomi,” seperti kata Munawar Ahmad Anees, “dapat menipu!” Selaput dara ternyata tidak hanya sekedar sebuah komponen dengan fungsi biologis tersendiri dalam tubuh manusia, tetapi lebih dari itu, ia telah memainkan peran yang mempunyai risiko tinggi bagi nasib kaum perempuan dalam banyak kebudayaan. Namun, sampai masa-masa terakhir, sedikit perhatian yang diberikan pada kenyataan bahwa selaput dara bukan ukuran mutlak sebuah keperawanan. Bukan tidak ada kasus-kasus ditemukannya selaput dara masih utuh pada beberapa pelacur. Begitu juga dalam sejarah kedokteran, terdapat catatan-catatan yang menunjukkan adanya selaput dara yang masih sempurna pada perempuan-perempuan yang telah melahirkan seklipun. Karena itu “pengkeramatan” atas darah keperawanan atau “ritus” malam pertama perkawinan hanyalah sebuah mitos yang dikarang untuk memenuhi hasrat nafsu “keledai patriarki” yang tidak pernah puas dengan petualangan seksualnya. Islam sama sekali tidak berurusan dengan pembuktian anatomis itu dan moral Islam lebih bertumpu pada nilai-nilai spiritual yang tercermin dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Tuduhan yang dapat merusak kehormatan atau nama baik seorang perempuan atas dasar seperti itu sama sekali tidak dapat diterima oleh Islam. Sebuah dimensi spiritual tidak akan tertepis dengan runtuhnya dimensi-dimensi material.
Tuntutan yang paling penting dalam membina sebuah perkawinan adalah kejujuran dan saling percaya. Apa jadinya jika sebuah perkawinan harus dimulai dengan kecurigaan. Hubungan seksual pra-nikah dalam Islam disebut zina dan merupakan dosa besar. Pelakunya dimurkai Tuhan dan akan mendapat azab api neraka. Tetapi jangan coba-coba menuduh perempuan mukmin yang baik-baik (muhsanāt) melakukan zina. Jika tuduhan tersebut tidak dapat ditunjang oleh empat orang saksi yang melihat secara langsung perbuatan tersebut, maka yang menuduhnya akan dicambuk delapan puluh kali. Inilah hukuman Islam atas tindakan yang merusak nama baik perempuan.
Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Nūr [24]: 4 – 5).
Ayat ini menunjukkan sakralnya kehormatan perempuan dan kehormatan tersebut tidak diukur secara anatomis; ia adalah sebuah kepribadian yang mulia, kejujuran, ketakwaan dan amanah; ia tercermin pada segenap tingkah laku dalam kehidupan keseharian. Perintah menghadirkan empat orang saksi – suatu hal yang hampir saja dapat dikatakan mustahil – atas tuduhan zina mengindikasikan beratnya tuduhan tersebut. Kehormatan itu bermula dan berakhir pada kesadaran moral, ketakwaan, kesucian hati, ketulusan dan kesetiaan, bukan pada sebuah pembuktian klinis yang bisa saja direkayasa.

Monday, April 19, 2010

Perempuan Makhluk Penuh Tipudaya?

Perempuan Makhluk Penuh Tipudaya?

Tersebutlah sebuah kisah: Suatu hari Yusuf digoda oleh seorang perempuan cantik yang tidak lain adalah isteri Tuannya sendiri, seorang pembesar negeri Mesir zaman Fir‘awn. Yusuf hampir saja tergoda, sekiranya ia bukan seorang yang jujur dan berhati tulus. Perempuan tersebut (Zulaikha) menyekap Yusuf dalam sebuah ruangan istana dan mengajaknya melakukan hal tak senonoh. Yusuf menolak dan secepatnya berlari ke pintu. Zulaikha mengejarnya, dan ketika keduanya sampai di pintu, mereka terpergok oleh suaminya. Terjadilah pertengkaran dan adu argumentasi. Perempuan itu dan Yusuf saling menuduh. Namun semuanya didiamkan oleh sebuah kesaksian yang diberikan oleh keluarga Zulaikha sendiri. Yusuf terbebaskan dari tuduhan dan perempuan itu terbukti bersalah. Sang pembesar itu berkata kepada isterinya: “Sesungguhnya hal tersebut adalah bagian dari tipudaya kalian (perempuan). Sesungguhnya tipudaya kalian sangat besar.” Ucapan inilah, sebagaimana dikutip al-Qur’an (Yūsuf [12]: 28), yang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melemparkan tuduhan atas bahayanya godaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “biang” kejahatan yang membawa malapetaka bagi laki-laki. Jika tidak berhati-hati, siapa saja akan dijerumuskannya.
Dalam tafsir Al-Jawāhir dikatakan bahwa sebagian ulama pernah membuat sebuah statemen: “Aku lebih takut kepada perempuan daripada setan, sebab Allah SWT mengatakan ‘sesungguhnya tipudaya kalian (perempuan) sangat besar’ (Yūsuf: 28) sedangkan (mengenai setan Allah mengatakan) ‘sesungguhnya tipudaya setan itu lemah’ (al-Nisā’ [4]: 76).” Tidak ada komentar apapun yang diberikan oleh Tantāwī Jawharī, pengerang tafsir tersebut, mengenai pernyataan ulama itu. Sehingga kesannya adalah: bahwa perempuan memang benar-benar melebihi setan dalam wataknya yang penuh tipudaya itu. Jadi sebenarnya pandangan kebanyakan masyarakat kita mengenai eksistensi perempuan sebagai agen setan dapat dilacak sumber-sumbernya dalam karya-karya Muslim sendiri. K.H. Masdar F. Mas’udi dalam sebuah seminar bahkan menyitir sebuah syair yang amat menyakitkan perempuan, yang dikatakannya telah sangat populer di kalangan masyarakat pesantren: “Innan nisa-a syayathinu khuliqna lahum; na’udhu billahi min syarris syayathini (Bahwa perempuan adalah syetan yang diciptakan untuk laki-laki, maka berlindunglah aku dari seburuk-buruk syetan itu). Seharusnya,” lanjut Masdar, “ungkapan seperti ini tidak pernah lagi beredar di kalangan masyarakat.”
Tanpa disadari, pandangan seperti di atas memang telah melahirkan sikap arogan laki-laki atas lawan jenisnya. Sebab dengan adanya pandangan seperti itu, alasan untuk mendiskreditkan perempuan menjadi amat jelas: perempuan, pada wataknya yang paling mendasar, dianggap berbahaya. Karena itu mereka harus selalu diawasi, ditekan dan dibatasi ruang geraknya. Sebab jika diberikan kelonggaran ia akan dengan leluasa memainkan peran setannya.
Akan tetapi alasan untuk menopang pandangan di atas sebenarnya tidak memiliki fondasi yang kuat, dan bahkan dapat dikatakan tidak berdasar sama sekali. Apa yang dinyatakan dalam surat Yusuf itu hanyalah berkaitan dengan sebuah kasus. Al-‘Azīz, sang pembesar negeri Mesir itu, tentu saja sangat kecewa dan marah dengan sikap isterinya itu, maka tidak mengherankan ungkapan seperti itu keluar dari mulutnya. Ungkapan dalam ayat tersebut hanyalah ucapan pribadinya, yang dikutip oleh al-Qur’an, bukan sebuah ketetapan dari Tuhan sendiri. Dari itu ayat tersebut sama sekali tidak dapat digeneralisasikan, apalagi dijadikan alasan untuk menuduh kaum perempuan sebagai sumber segala kejahatan seksual. Perempuan yang tidak menjaga atau memelihara kehormatannya memang pantas dicela, tetapi hal yang sama juga berlaku pada laki-laki.
Pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentu saja tidak dapat dilakukan secara sepintas atau sambil lalu. Mengambil satu ayat atau sepotong ayat dan mengabaikan yang lainnya adalah tindakan serampangan yang akan merusak pemahaman terhadap esensi makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an. Kasus di atas adalah sebuah contoh pemahaman literal terhadap sepenggal ayat saja.
Isteri al-‘Azīz (Zulaikha) dalam ayat di atas bukanlah figur dominan, tetapi hanya diceritakan sambil lalu. Kisah dalam surat Yusuf itu, figur dominannya adalah Yusuf sendiri dan saudara-saudaranya. Liku-liku perjalanan hidup mereka itulah yang dipresentasikan al-Qur’an sebagai gambaran pertarungan antara yang baik dan yang buruk. Di dalamnya terlukis dengan cermat dan indah bagaimana pertarungan antara jiwa yang bersih, tulus dan sabar dengan jiwa yang penuh arogan dan ketamakan pada akhirnya dimenangkan oleh yang pertama. Zulaikha adalah bagian dari pertarungan tersebut. Jiwa yang menyuruhnya melakukan perbuatan jahat pada akhirnya menyerah dan tunduk karena rahmat Tuhan (Yūsuf: 50 – 53). Zulaikha bukanlah sosok teladan dalam “skenario” jahatnya, tetapi kemudian ia menjadi perempuan teladan karena kejujuran dan perbaikan dirinya. Nafsu (diri)-nya memang pernah mengajaknya untuk melakukan perbuatan tercela, namun rahmat Allah telah melepaskannya dari nafsu jahat tersebut dan menyelamatkannya dari kehancuran.
Tipu daya tidak khas pada jenis kelamin tertentu. Tipudaya dapat dilakukan oleh siapa saja, perempuan dan laki-laki. Sumber tipu daya adalah setan, bisikan jahat yang dapat merasuk pada siapa saja yang tidak waspada. Al-Qur’an juga menyebutkan saudara-saudara (laki-laki) Yusuf sebagai orang-orang yang melakukan tipudaya terhadap saudaranya, yakni Yusuf itu sendiri.
(Ya‘qub) berkata: wahai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, sebab mereka akan melakukan tipudaya terhadapmu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia (Yūsuf: 5).
Ini cukup jelas menunjukkan bahwa laki-laki juga makhluk yang berpotensi untuk melakukan tipudaya, sehingga istilah kayd, yakni tipudaya, tidak hanya pantas dilekatkan pada perempuan semata, tetapi laki-laki juga terbukti mempunyai jiwa yang penuh tipudaya.
Lebih penting lagi untuk diperhatikan, bahwa tipudaya yang dimaksudkan dalam beberapa ayat yang didiskusikan di atas adalah sebuah tindakan licik untuk memenangkan diri sendiri secara tidak fair atau tindakan curang. Ini perlu ditegaskan di sini untuk memberikan catatan kepada sebagian orang yang sering memahami perempuan sebagai sumber tipudaya dalam pengertian bahwa perempuan adalah sumber godaan terhadap laki-laki. Dengan kata lain, jika terjadi perzinaan, misalnya, perempuanlah yang disalahkan; perempuanlah yang seringkali dianggap sebagai penggoda laki-laki, penyebab terjadinya perbuatan lacur. Dalam hal ini laki-laki seakan-akan dapat membebaskan diri atau – kalaupun dianggap bersalah – kesalahannya tidak sebesar kesalahan perempuan. Kata kayd (tipudaya) yang dibicarakan al-Qur’an sebenarnya tidak ada kaitannya dengan godaan seksual, tetapi ia adalah watak atau sikap mental seseorang yang telah dirasuki setan sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Perbedaan jenis kelamin sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbedaan watak tersebut; yang membedakannya adalah pribadi setiap individu itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan.
Di samping itu, kita dapat mencatat bahwa tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang perempuan-perempuan yang dimuliakan Tuhan karena kualitas spiritual yang mereka miliki, seperti isteri Fir‘awn dan Maryam.
Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’awn ketika ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam sorga dan selamatkan aku dari Fir’awn dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim.
Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan ia adalah di antara orang-orang yang taat (al-Tahrīm [66]: 11 – 12).
Namun demikian, sebuah catatan patut dipertimbangkan di sini, bahwa daya tarik perempuan terhadap laki-laki dan daya tarik laki-laki terhadap perempuan tidaklah sama. Bagian-bagian tubuh perempuan barangkali jauh lebih sensitif terhadap rangsangan seksual laki-laki ketimbang sebaliknya. Karena itulah mungkin aurat perempuan dalam pandangan Islam lebih detil dari aurat laki-laki. Namun perlu juga diingat bahwa aurat dalam Islam bukan semata-mata dibicarakan dalam konteks rangsangan seksual, tetapi lebih dari itu, aurat sangat terkait dengan perlambang kehormatan pribadi seseorang. Pakaian adalah bahasa kepribadian atau cerminan dari kelakuan batin pemakainya. Ketika perintah menutup aurat secara lebih detil ditujukan kepada perempuan, maka ini memberikan pengertian bahwa kehormatan perempuan adalah sangat penting untuk dilindungi. Tentu saja di sini sebuah pertanyaan muncul: ‘dilindungi dari apa?’ Satu-satunya jawaban yang mungkin diberikan adalah: ‘dilindungi dari “kejahatan” laki-laki.’ Artinya, kejahatan seksual ternyata dapat juga dituduh bersumber dari laki-laki.
Dalam al-Qur’an (surat al-Nūr [24]: 30-31) laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga pandangannya dan memelihara kehormatannya. Sebab, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi menjadi sumber kejahatan seksual, meskipun mungkin, seperti telah disebutkan di atas, tingkat sensitifitas rangsangan yang pertama terhadap yang terakhir dan juga sebaliknya tidak sama. Jika memang kita mau mengatakan bahwa umumnya perempuan lebih “menggoda” bagi laki-laki, kita juga dapat mengatakan bahwa umumnya laki-laki lebih “agresif” terhadap perempuan.
Ada sebuah riwayat, dari Sa‘d Ibn Jubīr, menyebutkan bahwa Nabi Daud suatu hari berkata kepada anaknya, Nabi Sulaiman: “Wahai anakku, boleh saja engkau berjalan di belakang seekor singa dan ular naga, namun janganlah engkau berjalan di belakang seorang perempuan!”
Pernyataan di atas, jika memang dapat dijadikan sumber norma, menggambarkan besarnya bahaya perempuan bagi laki-laki. Bahaya seekor binatang buas, menurut sumber tersebut, tidak seberapa dibanding bahaya perempuan. Akan tetapi harap diingat bahwa riwayat di atas hanya bersumber dari seorang sahabat Nabi, bukan dari Nabi sendiri. Karena itu ia tidak cukup otoritatif untuk dapat dijadikan sebagai alasan dalam rangka membentuk suatu sikap keagamaan jika ternyata bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan hadits Nabi. Atau, barangkali pernyataan Nabi Daud di atas dapat saja di pahami sebagai peringatan bagi seorang anak muda (laki-laki) untuk menjaga dirinya (pandangan dan kehormatannya); dan ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, hal itu dapat juga dipahami dalam konteks diskriminasi gender; inilah yang menjadi problem. Ketika perempuan dilihat sebagai bahaya dan sumber kejahatan bagi laki-laki, lalu di mana kita akan menempatkan berbagai ayat-al-Qur’an dan hadits Nabi yang memuliakan kedudukan perempuan?
Tidak diragukan bahwa setan adalah sumber bencana bagi manusia. Karena itu dalam al-Qur’an Tuhan terus menerus memperingatkan anak cucu Adam agar waspada terhadapnya.
Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu hai Anak Bani Adam supaya tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu (Yāsīn [36]: 60).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kamu, maka jadikanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya untuk menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (Fātir [35]: 6).
Namun demikian manusia sendiri juga dapat menjadi setan ketika ia ikut memusuhi manusia atau fitrah kemanusiaan.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah (namun) penuh tipudaya. Jika Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (al-An‘ām [6]: 112).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa musuh utama manusia adalah setan. Di samping itu, setan juga bisa berasal dari manusia. Dengan demikian, setan bukanlah sejenis makhluk, tetapi lebih merupakan karakteristik yang bisa saja disandang oleh jin dan juga manusia. Hal lain yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa manusia yang menyandang karakter setan disebutkan oleh al-Qur’an secara general, bisa jadi laki-laki dan bisa jadi perempuan. Siapa saja yang mengikuti langkah-langkah setan atau bergabung dalam kelompok yang menyesatkan manusia atau menghalangi manusia dari kebaikan dan kebenaran maka ia pantas disebut setan.
Munculnya perilaku atau sikap mental masyarakat yang sinis terhadap perempuan adalah akibat dari kelemahan sebagian kaum laki-laki sendiri dalam mengendalikan dirinya, lalu melemparkan kesalahan tersebut kepada perempuan. Hal seperti ini sebenarnya hanya bisa terjadi dalam masyarakat dengan budaya patriarki, dimana laki-laki lebih dominan dalam menentukan berbagai perilaku sosial. Dalam kondisi seperti ini, cukup satu orang saja yang melecehkan perempuan dan cukup dengan satu alasan saja, pelecehan tersebut kemudian dengan sekejap akan menjadi tradisi yang dikenal luas. Suara laki-laki dianggap suara kebenaran dan suara perempuan hanyalah awal dari sebuah bencana. Karena itu pandangan laki-laki dapat mengalahkan pandangan perempuan.
Tetapi jika dicermati dengan baik, Islam, dari sejak awal, telah berupaya membersihkan umatnya dari sikap dan tindakan-tindakan diskriminatif berdasarkan asal kejadian – dengan kata lain berdasarkan biologis dan natural. Tuhan pun telah mendengarkan suara perempuan, pada saat-saat Nabi Muhammad sendiri tidak sanggup meresponinya dengan baik karena terdesak oleh pertimbangan-pertimbangan budaya masyarakatnya pada waktu itu. Adalah Khaulah, seorang perempuan Arab zaman wahyu, yang mengadu kepada Nabi karena suaminya menziharnya. Nabi tidak memberikan solusi apa-apa, karena zihar memang merupakan tradisi Arab sejak sebelum Islam, sampai turunnya ayat al-Qur’an (al-Mujādilah [58]: 1). Pengaduan perempuan tersebut dijawab langsung oleh Tuhan:
Sungguh Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) ihwal suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar pebincangan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Allah sendiri menurunkah solusi berkenaan dengan persoalan perempuan tersebut dan Allah memenangkan gugatannya, sebagaimana tersebut dalam ayat-ayat berikutnya: 2,3 dan 4), bahwa zihar tersebut hanyalah sebuah ucapan mungkar dan dosa: mana mungkin isterinya berubah menjadi ibunya; ibunya adalah orang yang telah melahirkannya. Keterlanjuran tersebut harus dibayar dengan denda yaitu: memerdekakan seorang budak. Jika ia tidak sanggup, dapat diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut dan jika ini juga tidak sanggup ia dapat menggantinya dengan memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
Khaulah kemudian menjadi fugur legendaris dan berwibawa di mata orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan yang karenanya beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Ketika menjabat sebagai Khalifah – ketika perempuan tersebut telah tua – ‘Umar Ibn al-Khattāb pernah disuruh berhenti olehnya karena suatu keperluan, padahal ‘Umar sedang melakukan perjalanan dengan orang banyak. ‘Umar berhenti dan memperhatikan kata-katanya dengan serius sampai ia selesai dan pergi. Seseorang bertanya kepada ‘Umar: “Wahai Amīr al-Mu’minīn! Mengapa engkau menahan kaki-kaki orang Quraysy hanya karena perempuan tua tersebut?”
“Celaka engkau!” jawab ‘Umar. “Kamu tahu siapa dia?”
“Tidak,” jawab laki-laki tadi.
“Dialah,” demikian ‘Umar menjelaskan, “perempuan yang pengaduannya telah didengarkan Tuhan dari langit ketujuh. Dialah Khaulah binti Tsa‘labah. Demi Allah, sekiranya ia tidak berpaling dariku sampai malam hari, aku pun tidak akan berpaling meninggalkannya sampai ia menyelesaikan urusannya, kecuali untuk mengerjkan shalat, dan setelah itu pun aku akan kembali lagi mendengarkannya.”
Ini bisa jadi merupakan fenomena mencengangkan jika kita melihatnya dalam konteks kehidupan bangsa Arab sebelum Islam dan masa awal Islam. Sebelum Islam, perempuan – tidak beda dari perempuan berbagai masyarakat dan peradaban zaman tersebut – tidak dihargai layaknya seorang manusia, karena dalam pandangan mereka manusia hanyalah mereka yang bernama laki-laki. Sisa-sisa atau gema dari pandangan seperti itu terasa sampai masa awal Islam. Islam kemudian, perlahan-lahan, mendobraknya. Perempuan diangkat derajatnya dan segala kualitas intelektual dan spiritualnya “dihargakan” sama dengan laki-laki. Suara perempuan, meskipun kritis asal saja tulus, didengarkan. Tuhan sendiri yang mencontohkannya – dalam bahasa Sayyidina ‘Umar – “dari atas langit yang ketujuh” sana. Perempuan bukan makhluk yang ditakuti sehingga harus ditinggalkan dalam percaturan peradaban dan bukan pula, lebih sinis lagi, makhluk yang dapat dilecehkan. Tidak malukah seorang laki-laki, ketika malam hari ia mencumbui isterinya, sementara di siang hari ia memukul dan menghinanya?
Beberapa hadits Nabi barangkali telah disalah-artikan untuk mengukuhkan pandangan bahwa perempuan harus diwaspadai atau ditakuti.
Tidak ada sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada perempuan (HaditsMuttafaq ‘alayh, disepakati al-Bukharī dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
Takutlah (waspadalah) terhadap dunia dan takutlah (waspadalah) terhadap perempuan, karena bencana pertama Bani Israil adalah (karena) perempuan.
Tetapi adakah hadits-hadits ini atau yang seumpamanya berbicara tentang keburukan perempuan? Bukankah hadits-hadits ini justeru mengimplikasikan kelemahan kaum laki-laki menghadapi perempuan? Apakah yang disebutkan di sini adalah sebuah gambaran tentang watak dasar perempuan dan berlaku pada semua perempuan? Ataukah ini hanya merupakan penjelasan tentang konsekuensi dari penilaian yang salah terhadap perempuan? Artinya, jika seorang laki-laki telah secara berlebihan “jatuh hati” kepada seorang perempuan (sebagaimana sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari), maka perempuan tersebut akan sangat “berbahaya” baginya – bukankah itu makna yang terkandung dalam hadits di atas? Jika demikian kasusnya, bukankah hadits tersebut juga berlaku sebaliknya?
Jika pertanyaan-pertanyaan ini dipertimbangkan dan juga sejumlah ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang memberikan penghargaan begitu besar kepada perempuan, maka tidak mungkin kedua hadits di atas dipahami secara sangat simplistik sebagai merendahkan perempuan hanya karena perbedaan jenis kelamin. Dari teksnya saja jelas bahwa hadits di atas ditujukan kepada kaum laki-laki. Perlu diingat bahwa telah merupakan karakteristik pembicaraan al-Qur’an dan juga hadits Nabi bahwa meskipun sebuah ungkapan ditujukan kepada laki-laki (secara gramatikal), pelajaran yang terkandung di dalamnya mencakup untuk seluruh umat manusia, tanpa perbedaan jenis kelamin. Kalau Nabi mengatakan bahwa perempuan berbahaya bagi laki-laki, maka dalam kasus yang serupa, laki-laki juga bisa berbahaya bagi perempuan. Bukankah dalam al-Qur’an laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga diri?

Perempuan dan Dosa Warisan

Sisi lain dari mitos yang berkaitan dengan asal kejadian perempuan adalah peran yang dimainkannya dalam menjatuhkan Adam dari sorga ke dunia ini. Seperti telah tersebut di atas, Hawa telah menjadi “tertuduh” dalam kasus tergelincirnya Adam ke dalam dosa. Bersalahkah “isteri manusia pertama” itu? Jika memang beliau bersalah, apakah semua perempuan sampai sekarang ikut mewarisi dosanya?
Jika diskusi di atas telah kita anggap hal yang krusial atau penting, maka jawaban atas pertanyaan ini juga merupakan suatu keniscayaan. Ada beberapa poin mendasar yang perlu dipertegas di sini. Pertama, menurut al-Qur’an, tidak ada dosa warisan. Siapapun yang berbuat salah ia sendiri yang harus menanggung dosanya. Dosa dan takwa tidak dapat diwariskan. Ketika Nabi Ibrahim mendapat anugerah Allah karena telah menjalani semua ujian-Nya dengan penuh kesabaran, Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menjadikanmu imam bagi sekalian manusia.” Nabi Ibrahim berkata: “Aku mohon juga untuk anak keturunanku.” Tetapi Allah menjawab: “Janjiku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim” (al-Baqarah [2]: 124). Ayat ini menjelaskan bahwa kemuliaan atau ketakwaan orangtua tidak dapat diwariskan kepada anak cucunya, kalau si anak cucu tersebut tidak berusaha untuk meraihnya. Demikian juga dengan dosa atau kejahatan. Kejahatan yang dilakukan seseorang tidak dapat dialihkan dosanya kepada orang lain.
Barangsiapa mengikuti petunjuk maka sesungguhnya keselamatan karena petunjuk itu untuk dirinya, dan barangsiapa mengikuti jalan sesat maka kesesatan itu untuk dirinya sendiri; seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain ... (al-Isrā’ [17]: 15).
Mengomentari ayat (al-Isrā’: 15) di atas, Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa doktrin vicarious atonement (pelepasan dosa melalui orang lain) sangat dicela al-Qur’an. “Seorang manusia tidak dapat menanggung beban dosa orang lain: itu akan sangat tidak adil, setiap manusia harus bertanggung jawab terhadap amalnya sendiri.” Kritik ini terutama sekali ditujukan kepada kebanyakan orang Kristen yang percaya kepada doktrin tersebut, bahwa penyaliban Yesus adalah sebagai penebusan dosa anak manusia, asal saja mereka mau percaya kepadanya. Lihatlah, bagaimana orang baik harus menaggung penderitaan untuk menebus dosa orang-orang jahat. Inilah yang tidak disepakati dan bahkan dikecam keras oleh al-Qur’an.
Islam tidak mengadopsi doktrin seperti ini, tetapi bukan tidak ada di kalangan Muslim yang terpengaruh dengannya, walaupun dalam bentuk yang agak berbeda. Ada sementara masyarakat yang menghormati seseorang karena ia datang dari keluarga terpandang, atau sebaliknya, tidak menghargai seseorang secara layak hanya karena orangtuanya bukan seorang yang terkenal. Sikap seperti ini menunjukkan, sengaja atau tidak, bahwa orang tersebut telah melihat bahwa baik dan buruk itu dapat diwariskan atau diwarisi. Cara pandang seperti ini juga telah berefek pada penilaian yang keliru terhadap perempuan. Kekeliruan ini sebenarnya bukan hanya pada cara pandang semata, tetapi konsep pertamanya memang telah salah, seperti akan kita lihat di bawah ini.
Kedua, al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa Hawa telah menggelincirkan Adam dari sorga. Tetapi Iblis/setan yang menggelincirkan keduanya.
Lalu setan menggelincirkan keduanya dari sorga tersebut; maka [dengan demikian] ia telah mengeluarkan keduanya dari tempat yang pernah mereka tempati itu ... (al-Baqarah [2]: 36).
Rayuan setan tidak hanya mengenai perempuan, tetapi laki-laki juga tidak luput darinya. Karena itu setan dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai musuh bagi semua manusia.
Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kamu (al-Baqarah: 208).
Dengan kata lain, sama sekali tidak ada alasan untuk menuduh perempuan sebagai penyebab terusirnya Adam dari sorga. Dalam ayat lain Allah mengatakan:
Maka ia (setan) membujuk keduanya dengan sebuah tipudaya. Maka tatkala keduanya merasai pohon tersebut, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun sorga. Dan Tuhan [pun] menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu ‘sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu?’ (al-A‘rāf [7]: 22).
Terlepas dari pertikaian pendapat mengenai apakah kisah al-Qur’an ini adalah metafor yakni cerita kiasan saja ataukah kisah ini benar-benar terjadi dalam sejarah, yang jelas dalam kisah tersebut keduanya, Adam dan isterinya, telah terlibat dalam sebuah perbuatan terlarang dan penyebabnya adalah ketidak-wapadaan mereka terhadap godaan setan. Inilah di antara pelajaran yang paling penting dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengutarakan kisah tersebut. Adam dan insterinya di sini adalah cerminan dari seluruh anak-cucu mereka, seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Tidak seorang manusia pun yang luput dari intaian setan, dan karena itu semua orang atau semua anak-cucu Adam harus waspada setiap saat. Apabila mereka lengah maka setan mudah menggelincirkannya.

Saturday, April 17, 2010

Al-Qur’an tentang Evolusi Manusia

Seperti telah didiskusikan di atas bahwa konsep penciptaan perempuan tidak terlepas dari konsep penciptaan laki-laki. Jika penciptaan manusia pertama (laki-laki) dilihat sebagai sebuah kreasi Tuhan dari tanah secara langsung jadi, maka penciptaan perempuan pertama pun akan dipahami tidak jauh berbeda dari itu. Jika dikatakan ia berasal dari tulang rusuk, ya, dari tulang rusuk. Tuhan memang Maha Kuasa atas segala-galanya. Namun pemahaman yang lebih ilmiah – dengan merujuk pada berbagai realitas penciptaan Tuhan dalam alam semesta ini – tidak melihat proses penciptaan sesederhana itu. Melalui pemahaman seperti ini, manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak dilihat sebagai dua makhluk yang diciptakan secara berbeda-beda dan terpisah-pisah; keduanya diciptakan melalui proses yang sama – sebuah proses yang sangat panjang dan tenggelam dalam berbagai misteri. Tegasnya, manusia yang ada sekarang dengan segala karakteristiknya yang sangat kompleks, fisikal dan spiritual, secara biologis adalah “keturunan” dari makhluk sebelumnya yang lebih sederhana. Sementara perbedaan jenis memang telah ada sejak awal, sejak makhluk bersel satu meninggalkan sistem perkembang-biakan dengan cara membelah diri.
Salah satu keberatan yang paling fundamental di kalangan sebagian Muslim terhadap pemahaman tersebut di atas adalah karena ia dianggap bertentangan dengan Kitab Suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Padahal persoalannya tidak demikian. Ulasan-ulasan al-Qur’an tentang penciptaan sangat universal dan tekanan al-Qur’an yang paling mendasar adalah tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tercermin dalam setiap kreasi-Nya di alam semesta ini. Evolusi dalam kreasi Tuhan tidak mengurangi keagungan dan keajaiban karya-Nya. Al-Qur’an tidak secara konkrit dan detail membicarakan persoalan penciptaan dan segala proses yang terlibat di dalamnya. Berbagai bahasan tentang hal tersebut dalam literatur Islam merupakan gagasan dan pemikiran manusia semata. Kita barangkali sepakat bahwa pembahasan di atas memang tidak sejalan dengan sejumlah literatur Islam klasik, tetapi itu tidak berarti bertentangan dengan Islam atau al-Qur’an; yang bertentangan adalah penafsiran sebagian orang dengan yang lainnya. Untuk itulah berikut ini kami nukilkan beberapa ayat al-Qur’an yang oleh sebagian sarjana Muslim justeru dipahami atau ditafsirkan sebagai isyarat akan adanya proses evolusi manusia tersebut.
Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 30 Allah berfirman:
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka menjawab: ‘Apakah Engkau menjadikan di bumi orang yang berbuat kerusakan dalamnya, padahal kami bertasbih dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu sekalian ketahui.
Mengapa malaikat mengajukan pertanyaan yang mengimplikasikan keberatan atau semacam “protes” ketika Tuhan hendak menjadikan seorang khalifah di bumi? Menurut ayat di atas, keberatan malaikat muncul karena di bumi orang yang djadikan khalifah itu akan melakukan kerusakan, dan ini bertentangan dengan watak malaikat yang selalu berzikir dan patuh kepada Allah. Dari mana malaikat tahu? Menurut Muhammad Syahrūr, seorang pemikir Muslim kontemporer, malaikat tahu dan mengatakan demikian berdasarkan kenyataan yang ada di bumi pada waktu itu. “Manusia” pada waktu itu belum menjadi manusia sempurna, belum ditiupkan ruh ke dalamnya, tetapi baru mampu berjalan tegak, menggunakan perkakas dan mengeluarkan bunyi suara berbeda-beda, belum menggunakan bahasa secara sempurna. Mereka masih dalam proses hominisasi. Karena itu tingkah laku mereka masih seperti binatang: menumpahkan darah dan melakukan kerusakan.
Kata jā‘ilun (menjadikan) berbeda dari khāliqun (menciptakan). Jā‘ilun menunjukkan kepada proses dan perubahan, bukan pernciptaan dari pertama. Karena itu ayat di atas, menurut Muhammad Syahrūr, bukan berbicara tentang penciptaan awal manusia, tetapi pengangkatan manusia menjadi khalifah, sebuah proses dari “bukan khalifah” ke “khalifah”, dimana mereka sudah mencapai bentuk fisikalnya seperti manusia namun belum memiliki kesadaran kemanusiaan. Ini dapat dibandingkan dengan firman Allah dalam surat Sād ayat 71 dimana malaikat tidak mengajukan protes, ketika Tuhan mengatakan hendak menciptakan manusia dari tanah, bukan menjadikannya sebagai khalifah: Sesungguhnya Aku manciptakan manusia dari tanah. Protes malaikat di sini tidak muncul karena manusia memang baru hendak diciptakan, belum terbentuk seperti manusia dan belum melakukan kerusakan di bumi.
Proses hominisasi mencapai puncaknya ketika manusia mulai dapat mengidentifikasikan segala sesuatu dengan memberinya nama-nama. Inilah yang disebut oleh Muhammad Syahrūr dengan marhalah (periode besar) pertama. Marhalah ini diisyaratkan oleh firman Allah (al-Baqarah [2]: 31):
Dan Ia [Tuhan] mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu kemudian Ia mengajukannya kepada para malaikat, lalu berfirman: sebutkan kepada-Ku nama-nama mereka itu jika kamu orang-orang yang benar!
Di sinilah Tuhan mulai menampakkan kelebihan manusia dari malaikat dan pada saat itu pula perintah sujud kepada Adam didatangkan. Pada saat itu manusia sudah benar-benar menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi karena Tuhan telah meniupkan ruh-Nya ke dalamnya.
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah.’ Maka tatkala telah Kusempurnakan [bentuknya] dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku, hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Maka semua malaikat [pun] sujud. Kecuali Iblis; ia menyombongkan diri dan ia termasuk di antara orang-orang kafir (Sād [38]: 71 – 74).
Dengan demikian masuklah manusia pada marhalah kedua, periode menghadapi tantangan dan mengalami kejatuhan. Manusia semakin sempurna dan sudah mulai berpikir dialektik. Mereka sudah dapat membanding-bandingkan baik dan buruk dan menentukan pilihan-pilihan; kesadaran hukum mulai tumbuh dan bisikan setan pun mulai memainkan perannya. Pada periode ini manusia hidup dalam “sorga” (al-Baqarah [2]: 35, al-A‘rāf [7]: 19), sebuah simbol dari kehidupan laki-laki dan perempuan yang penuh dengan kesenangan, sebuah dunia tanpa karya dan penuh cita-cita keabadian. Namun larangan sudah mulai ditetapkan. Manusia tergoda dan ia pun terjatuh.
Kejatuhan ini membawa manusia pada marhalah ketiga, yakni saat munculnya kesadaran spiritual atau kesadaran keagamaan yang mendalam. Manusia pada tahap ini mulai melihat dengan jelas makna baik dan buruk, kehormatan dan kekejian serta melakukan pertobatan dan pendekatan diri kepada Tuhan (al-Baqarah [2]: 36 – 37, al-A‘rāf [7]: 22 – 23). Maka manusia terlepas dari sorga dan hidup berkarya di dunia, dan pada waktu itu konsep waktu mulai dikenalnya.
Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu (al-Baqarah [2]: 36).
Marhalah yang keempat adalah zaman manusia purba, dari Adam sampai Nuh. Dan selanjutnya datanglah zaman manusia modern. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud dengan Adam pada setiap marhalah di atas adalah generasi Adam, bukan Adam sebagai personal. Dan Adam yang dipilih (sebagai Nabi) juga bukan seorang manusia yang bernama Adam, tetapi sebuah sosok atau pribadi yang diistilahkan dengan Adam, yang mungkin bermakna seorang manusia.
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran atas sekalian alam (Āli ‘Imrān [3]: 33).
Syahrūr menyimpulkan, bahwa lahirnya manusia di bumi ini adalah sebagai natijah dari proses perkembangan makhluk hidup yang melewati masa berjuta-juta tahun (290). Bisa jadi inilah yang diisyaratkan dalam surat al-A‘rāf [7] ayat 11:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, kemudian Kami sempurnakan kamu, kemudian barulah Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kepada Adam!’ …

Manusia Diciptakan dari Tanah (Sudut Pandang Sains)

Ilmu pengetahuan modern atau sains menjelaskan kepada kita bahwa makhluk hidup yang ada di bumi ini dengan berbagai ragamnya, tidak tercipta secara langsung atau sekaligus seperti yang kita lihat sekarang; apa yang kita saksikan hari ini merupakan hasil evolusi yang telah berjalan ratusan juta tahun. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan terhadap fosil atau sisa-sisa kehidupan pada batuan-batuan tua di berbagai lokasi dan lapisan bumi menunjukkan hal tersebut. Fosil manusia ternyata menempati lapisan kerak bumi yang paling muda. Mamalia atau binatang menyusui telah hidup lebih awal dan fosilnya ditemukan pada lapisan geologis yang lebih tua. Dan begitu seterusnya. Sehingga dapat diidentifikasikan bahwa yang paling tua adalah makhluk bersel tunggal. Makhluk bersel tunggal ini berkembang-biak dengan membelah diri. Kemudian (ratusan juta tahun) ia berkembang menjadi makhluk lunak yang bersel banyak, lalu makhluk bertulang keras yang hidup di air, dan seterusnya (dalam masa yang beratus-ratus juta tahun) sampai munculnya makhluk yang bisa terbang atau burung dan makhluk menyusui yang hidup di darat.
Apakah manusia juga merupakan hasil evolusi? Menurut dugaan atau hipotesis sains, benar. Tetapi sains menjelaskan evolusi tersebut hanya secara fisik atau biologis. Artinya, bentuk tubuh atau paras manusia seperti yang ada sekarang adalah hasil evolusi atau pengembangan dari yang lebih sederhana. Namun, dengan berlandas pada ajaran Islam, kita dapat mengatakan bahwa manusia sebagai “manusia” dalam pengertian makhluk spiritual yang mempunyai akal dan kesadaran, adalah makhluk “baru” di bumi, bukan hasil evolusi dari akal yang lebih sederhana sebelumnya. Kepada manusia telah ditiupkan ruh oleh Allah (Q.S. al-Dukhān [44]: 9) dan diberikan akal serta kesadaran sehingga pantas dibebankan tugas untuk menjadi khalifah-Nya di bumi ini. Akal dan kesadaran kemanusiaan adalah dimensi Ilahiyah yang tertanam dalam diri manusia. Ia (kesadaran kemanusiaan) datang dari Tuhan bukan dari hasil evolusi. Dengan demikian, manusia tetap berbeda dari binatang, sebab manusia memiliki kesadaran kemanusiaan; dengan kata lain, manusia memiliki akal dan kesadaran spiritual. Dari sudut pandang ini, laki-laki dan perempuan adalah sama saja, satu jenis; hanya mereka mempunyai fungsi kelamin atau fungsi biologis yang berbeda, seperti makhluk hidup lainnya juga. Dan perempuan bukan berasal dari laki-laki.
Ini mungkin kelihatan “ganjil” bagi sebagian orang, terutama sekali mereka yang percaya kepada dogma penciptaan alam semesta sebagaimana diceritakan dalam Kitab Kejadian. Dalam hal ini Tuhan seakan-akan telah kehilangan peran-Nya. Ketika kita mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi secara bertahap dan makhluk hidup di bumi ini juga berkembang melalui proses evolusi yang panjang, seakan-akan kita mengatakan Tuhan tidak lagi Maha Kuasa. Ini tidak benar. Tuhan memang Maha Kuasa menjadikan segala sesuatu dengan cara bagaimana pun. Tetapi Tuhan menunjukkan kepada hamba-Nya bahwa semua ciptaan-Nya disempurnakan melalui tahapan-tahapan atau proses tertentu untuk dijadikan pelajaran dan pedoman dalam beramal. Tidak ada jalan pintas dalam hukum alam. Demikianlah Tuhan telah mendesainnya. Proses evolusi itu sendiri adalah kehendak Tuhan, bukan kehendak alam itu sendiri. Dengan memahami hal ini, kita tidak menemukan adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan Kitab Suci Islam, dalam hal berevolusinya alam semesta ini.
Patut disebutkan di sini, bahwa dalam sejarah filsafat dan pemikiran keagamaan, seperti dikatakan Anton Bakker, memang telah muncul pandangan yang berbeda mengenai konsep kosmologi. Secara umum mereka terbagi kepada dua. Sebagian filosuf dan agamawan menganut aliran kreasionisme dan sebagian yang lain menganut evolusionisme. Aliran pertama percaya bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan dari tidak ada (from ex nihilo) dan secara terpisah-pisah; tidak ada proses evolusi; bumi pada awalnya bukan bagian dari langit dan manusia bukan berasal dari hewan. Semua jenis makhluk diciptakan sebagaimana ada sekarang sejak dari awal.
Sedangkan aliran evolusionisme memandang kosmos (alam semesta) ini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Alam ini diciptakan secara terbuka dan kreatif. Ia berkembang dan membentuk dirinya melalui proses-proses yang sangat menakjubkan. Perubahan secara perlahan ini disebut dengan evolusi.
Para ilmuan modern, berdasarkan data-data yang dihimpun oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, menyimpulkan bahwa alam semesta ini berkembang melalui proses evolusi (perubahan secala gradual atau perlahan-lahan). Evolusi aktual kosmos ini diperkirakan sejak 15.000 juta tahun yang lalu. Mereka tidak menyatakan secara tegas bahwa proses evolusi adalah sebuah kemestian. Tetapi mereka tidak dapat membayangkan bahwa alam ini dengan segala isinya seperti yang dapat kita saksikan sekarang terjadi tanpa proses evolusi. Jadi teori evolusi itu sendiri sebenarnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah kesimpulan ilmiah yang final, tetapi baru merupakan sebuah hipotesis (dugaan ilmiah). Namun ini tentu saja bukan sembarang hipotesis. Hipotesis ini dibangun berdasarkan berbagai data yang secara keilmuan dapat dipertanggung-jawabkan.
Begitu pula “dugaan” mereka terhadap proses penciptaan manusia. Adalah Charles Darwin (1809 – 1882) melalui bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection dan The Decendent of Men yang pertama sekali secara terbuka mengetengahkan teori bahwa berbagai jenis makhluk hidup, termasuk manusia, tercipta melalui proses evolusi. Berbagai kritik telah diajukan bukan hanya oleh kalangan agamawan tetapi juga oleh kalangan ilmuan. Keberatan yang diajukan kalangan ilmuan umumnya berkenaan dengan apa yang disebut missing link (mata rantai yang terputus). Tidak ada bukti yang jelas bagaimana sebenarnya proses “hominisasi” (perubahan dari hewan ke manulia) itu terjadi. Apakah manusia pertama itu dilahirkan oleh seekor hewan? Para ilmuan kontemporer lebih banyak berusaha menyempurnakan teori tersebut, meskipun ada sebagian yang berusaha mendestruksikannya. Kemungkinan real, menurut mereka yang membelanya, bahwa sekelompok primat (hewan yang berjalan tegak atau generasi hewan yang paling dekat dengan manusia) telah memperanakkan manusia. Tetapi ini tidaklah sederhana; bukan seperti seekor sapi melahirkan anak kambing. Hominisasi itu tersembunyi dalam proses yang sangat lama, sekitar 2 – 3 juta tahun atau sekitar 100.000 generasi. Sebab, hominisasi itu meliputi berjuta aspek dan unsur.

Manusia Diciptakan dari Tanah

Terlepas dari polemik di atas, yang jelas, menurut al-Qur’an, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah (al-Mu’minūn [23]: 12).
Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (al-Rah}mān [55]:14).
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Ia menciptakannya dari tanah, kemudian berfirman: “jadilah!”, maka jadilah ia (seorang manusia) (Āli ‘Imrān [3]: 59).
Sepertinya ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang serupa, ingin mengingatkan kita akan keagungan dan keajaiban proses penciptaan manusia, sebagai salah satu āyāt (tanda-tanda kebesaran Allah) kepada orang-orang yang beriman. Semua kita berasal dari tanah atau sari pati tanah. Air mani yang dipancarkan ke dalam rahim berasal dari makanan yang kita makan; makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan dan tumbuh-tumbuhan juga berasal dari sari pati tanah. Bukankah hal tersebut sangat menakjubkan? Sari pati tanah yang merupakan benda mati, setelah melewati sejumlah proses, berubah menjadi sel-sel hidup dalam tubuh kita.
Pembacaan secara cermat terhadap ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dan pengkajian terhadap ayat-ayat Allah dalam alam semesta akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah melalui proses yang sama yang penuh dengan keajaiban. Allah tidak merincinya dalam Kitab Suci melalui wahyu karena hal tersebut merupakan rahasia-Nya agar dikaji oleh manusia sendiri sesuai dengan kapasitas akal dan ilmu yang ada pada mereka.

Thursday, April 15, 2010

Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki


Sepertinya kecenderungan kebanyakan ulama klasik dalam memahami ayat tentang penciptaan Adam dan Hawa seperti tersebut di atas bersumber dari sebuah hadits “sahīh” yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, Muslim dan al-Tirmizī. Dalam hadits tersebut dikatakan:
Saling berpesanlah kamu untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok ...
Ulama dahulu, dengan segala kelebihan dan juga segala keterbatasan pengetahuan dan peradaban yang mereka miliki, memahami hadits di atas secara harfiah, yakni sebagaimana lahirnya. Demikian juga yang dilakukan oleh sebagian ulama sekarang, yang tetap bersikeras mempertahan¬kan keunggulan dan kejeniusan peradaban masa silam, walaupun di sisi lain, berkenaan dengan kepentingan-kepentingan hidup pribadinya, dengan perasaan malu-malu terpaksa menerima kemajuan peradaban modern. Pemahaman ulama dahulu mengenai “penciptaan” sangat sederhana, karena peradaban mereka memang tidak menuntut pemahaman-pemahaman yang lebih kompleks. “Adam diciptakan oleh Tuhan dari tanah yang dibentuk seperti rupa manusia yang ada sekarang, lalu ditiupkan ruh ke dalamnya, maka jadilah Adam seorang manusia. Kemudian Tuhan mencabut tulang rusuk Adam, lalu dibuatnya menjadi seorang perempuan.” Sangat praktis dan sederhana. Sehingga tidak jarang menimbulkan kesan di kalangan masyarakat awam bahwa Tuhan dalam hal ini mirip seorang tukang sulap yang mengeluarkan sebutir telur dari tangannya atau melepaskan seekor merpati yang keluar dari saputangannya. Demikian sederhanakah proses sunnah Allah dalam alam semesta ini? Mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk memahami pengetahuan dan peradaban modern akan menjawab: “ya!” Bagi mereka, alasannya mudah saja: karena Tuhan adalah Maha Kuasa, maka segalanya akan diselesaikan oleh Tuhan dengan kun, fa yakūn. Dalam satu detik semuanya beres. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa kun, fa yakūn di sisi Allah yang tidak terikat dengan ruang dan waktu tidak dapat diparalelkan dengan dunia kita yang berdimensi ruang dan waktu. Hal ini tentu saja tidak dijadikan pertimbangan oleh mereka yang menolak landasan berpikir filosofis atau memahami agama sebatas uangkapan teks-teks semata.
“Hawa” tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’an, dan bahwa Adam adalah manusia pertama juga tidak pernah dijelaskan dengan rinci oleh al-Qur’an. Bahkan menurut Muahammad Iqbal, seperti telah didiskusikan di atas, Adam bukan nama seorang manusia, tetapi lebih merupakan sebuah konsep tentang makhluk yang bernama manusia. Kisah Adam bukan kisah tentang sebuah figur yang ada secara konkrit dalam sejarah, tetapi sebuah kisah simbolik yang mengungkapkan karakteristik manusia yang ingin dijadikan khalifah oleh Tuhan di bumi ini. Ini didukung pula oleh pendapat para ahli bahasa yang mengatakan bahwa Adam berasal dari bahasa Ibrani yang berarti manusia, atau mungkin berasal dari kata adīm dalam bahasa Arab yang berarti tanah.

Sunday, April 11, 2010

Kritk Quran terhadap Eskatologi Yahudi

A. Pendahuluan
Sejak awal berhijrah ke Medinah, Nabi Muhammad telah menunjukkan sikap positif dan apresiatif terhadap kaum Yahudi yang hidup di sana. Nabi sangat mengharapkan mereka menjadi pendukungnya dalam dakwah menyampaikan risalah agama, sebab mereka adalah juga umat yang memiliki kitab dari Tuhan. Al-Qur’an, melanjutkan tradisi Arab sebelumnya, memanggil mereka ahl al-kitāb. Jadi al-Qur’an telah mengenal kaum Yahudi sebagai umat dengan ajaran dan keyakinannya sendiri. Namun interaksi Nabi Muhammad dengan umat Yahudi di Medinah telah melahirkan berbagai perdebatan keagamaan dan telah menginspirasi sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang bahkan dengan keras mengkritik mereka.
Sikap dan pandangan al-Qur’an terhadap keyakinan keagamaan umat Yahudi merefleksikan pergumulan historis Nabi Islam dengan sebuah umat yang telah memiliki keyakinan mapan namun ditantang untuk bersikap jujur, hormat dan terbuka berhadapan dengan sebuah risalah baru yang juga menampilkan watak dasar yang sama. Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa ayat al-Qur’an tentang pandangan keakhiratan umat Yahudi.

B. Tuturan al-Qur’an dan Kritik terhadap Yahudi
Menurut al-Qur’an, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa melalui agama merekalah manusia akan terselamatkan di akhirat. Siapa pun tidak akan masuk sorga melainkan dia adalah seorang Yahudi atau Nasrani.
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau orang-orang Nasrani.” Yang demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka. Katakanlah: “Tunjukkanlah buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar.”

Ayat ini menunjukkan respon al-Qur’an terhadap sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang nampak seperti kekanak-kanakan dan bahkan menggelikan. Kedua mereka, menurut al-Qur’an bukan hanya telah terjebak dalam eksklusivisme, tetapi telah berbohong dan menipu diri sendiri dengan menciptakan angan-angan kosong. Lagi-lagi, ayat ini juga memperlihatkan gaya kritik al-Qur’an yang selalu merujuk kepada penggunaan nalar dan argumentasi yang jelas dan penekanan pada sikap yang tulus dan jujur. Ayat berikutnya merupakan formulasi lebih jelas dari gagasan universal al-Qur’an:
Tetapi sesungguhnya, barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Qur’an sepertinya ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani bagaimana seharusnya seseorang bersikap dalam beragama. Jika agama mereka sama-sama berasal dari Tuhan yang Esa mengapa mereka (Yahudi dan Nasrani) berselisih dan mengapa menentang Muhammad? Jika agama-agama mereka mengajarkan kebaikan, mengapa saling merendahkan dan menyombongkan diri? Mungkin setiap agama memiliki pandangan-pandangan teologi dan cara-cara beribadat yang berbeda. Tetapi apakah itu esensi dari ajaran agama tersebut? Al-Qur’an menawarkan pandangan yang menegaskan bahwa sesungguhnya yang paling penting adalah penyerahan diri kepada Tuhan dan beramal kebaikan.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang S{ābi’īn, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhannya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Pernyataan al-Qur’an ini merupakan sikap paling “berani” dalam mengapresiasi umat lain secara positif. Al-Qur’an memperlihatkan sikap tidak pernah takut kehilangan “harga diri” hanya karena mengakui kebenaran yang inklusif. Ini jelas merupakan bagian dari kritik al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani atas pandangan mereka yang eksklusif.
Ayat-ayat di atas berbicara mengenai hari akhirat, suatu hari di mana manusia dibangkitkan atau di hidupkan kembali, dikumpulkan, diadili dan diberikan ganjaran sesuai dengan amalnya. Orang-orang mukmin akan dimasukkan ke sorga, sedangkan orang-orang kafir ke neraka. Iman kepada Tuhan dan hari akhirat merupakan basis amat penting bagi keselamatan di hari itu dan bukti terhadap iman tersebut ditunjukkan oleh amal kebajikan yang dilakukan seseorang. Karena itu setiap kali al-Qur’an berbicara soal iman selalu dikaitkan amal saleh atau kebajikan.
Konsep tentang hari akhirat sangat jelas dalam al-Qur’an. Pernyataan bahwa manusia akan dihidupkan kembali dan diberikan balasan terhadap amalnya dapat ditemukan di berbagai ayat dalam puluhan surat. Istilah yang digunakan untuk itu juga bervariasi, sesuai dengan ciri dan fungsi hari tersebut, misalnya: yawm al-h}isāb (hari pembalasan), yawm al-qiyāmah, yawm al-ba‘ts (hari bangkit), yawm yub‘atsūn (hari mereka dibangkitkan), yawm al-ākhir (hari akhir), al-ākhirah, dan al-sā‘ah (waktu).
Kenyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang ditemukan dalam Bible Yahudi atau Taurat. Walaupun kepercayaan akan adanya hari akhirat dikenal secara luas dalam keyakinan dan pemikiran keagamaan Yahudi, Bible amat sedikit memberikan indikasi ke arah tersebut. Seorang penulis Muslim kontemporer, Ah}mad Syalabī, bahkan berkomentar, bahwa agama Yahudi lebih mementingkan amal, tidak terlalu melihat pada iman; ia adalah agama yang, pada intinya, mengatur jalan kehidupan, bukan akidah. Ini, demikian menurut Syalabī, sangat berbeda dari agama Kristen yang lebih mementingkan iman dari amal saleh. Karena itu, kebangkitan, hari akhirat dan pembalasan tidak dibicarakan dalam agama Yahudi; isyarat kepada adanya kehidupan sesudah mati sangat sedikit ditemukan. Tidak ada dalam agama tersebut konsep tentang kehidupan yang kekal; pahala dan dosa hanya disempurnakan di dunia ini.

C. Pandangan Yahudi terhadap Hari Akhirat
Apakah orang-orang Yahudi tidak percaya pada hari akhirat? Jika agama mereka berasal dari ajaran Musa dan bersumber dari tradisi Ibrahim, maka, berdasarkan al-Qur’an, kepercayaan akan hari akhirat mestilah merupakan fondasi iman yang utama. Ibrahim, demi untuk menenangkan hatinya, pernah bertanya kepada Tuhan ihwal bagaimana Ia menghidupkan orang mati. Tuhan lalu menunjukkan bukti yang kemudian menjadikan Ibrahim puas dengan keyakinannya.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: Apakah engkau belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Memang, aku telah percaya, tetapi (ini) untuk menenteramkan hatiku (memantapkan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Setelah itu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Tentang keimanan Musa akan hari akhirat juga terdapat isyarat dalam al-Qur’an. Musa menentang Firaun yang sombong dan tidak percaya akan hari pembalasan:
Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari pembalasan.”

Beberapa pernyataan al-Qur’an, misalnya al-Baqarah: 111-112 yang dikutip di atas, menggambarkan bahwa orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad pernah mengemukakan pandangan mereka tentang adanya hari akhirat, sorga dan neraka, walaupun konsep mereka tentang situasi kehidupan akhirat itu, yang hanya berpihak pada kepentingan mereka secara eksklusif, ditentang oleh al-Qur’an.
Kepercayaan akan hari akhirat umumnya dipahami sebagai gagasan yang mengacu pada sebuah janji tegaknya keadilan yang sungguh-sungguh dan menyeluruh – a final, cosmic justice. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Penderitaan, kezaliman, kesewenangan dan berbagai kejahatan tidak pernah dapat diimbangi oleh upaya manusia menegakkan keadilan. Banyak orang telah mati tanpa memiliki kesempatan menuntut hak-haknya yang telah dirampas; banyak orang telah kehilangan nyawanya sebelum keadilan ditegakkan baginya. Apakah keadilan hanya merupakan harapan ilusif belaka? Hari akhirat merupakan gagasan yang menampung harapan tersebut. Di hari akhiratlah semua amal manusia akan dikalkulasikan dengan sedetil-detilnya dan keadilan ditegakkan dengan sesungguhnya di hadapan mahkamah Tuhan yang Maha Kuasa. Hak-hak orang yang telah terampas akan dikembalikan dan orang-orang zalim akan diberikan hukuman yang setimpal. Karena itu tidak mengherankan, dalam sejarah keagamaan umat Yahudi, konsep tentang hari akhirat mulai berkembang sekitar dua abad sebelum Masehi, pada zaman Maccabees, ketika kehidupan mereka dihancurkan dan mereka mengalami suatu penderitan yang berat. In the face of such trauma, the old ideas of reward of good and punishment of evil seemed untenable, but the notion of another life after death promised a final, cosmic justice.
Dalam Bible terdapat dua ayat yang menunjuk pada kehidupan sesudah mati dan pembalasan bagi setiap amal manusia, baik maupun buruk. Akan tetapi kedua ayat tersebut, menurut perkiraan para sarjana Bible, dikomposisikan pada masa-masa terakhir, sehingga diduga doktrin tentang akhirat itu berasal dari pengaruh Persia. Kedua ayat tersebut berbunyi:
Thy dead shall live, my dead bodies shall arise--awake and sing, ye that dwell in the dust--for Thy dew is as the dew of light, and the earth shall bring to life the shades.
And many of them that sleep in the dust of the earth shall awake, some to everlasting life, and some to reproaches and everlasting abhorrence.

Terlepas dari pandangan para sarjana Bible dan terlepas dari pengaruh mana pun yang telah melahirkan ayat-ayat ini, konsep tentang hidup sesudah mati tentu saja mempunyai akar yang kuat dalam tradisi Yahudi. Walaupun hanya dua ayat yang menyatakannya secara eksplisit dalam Bible, para rabbi telah sering berbicara tentang the World to Come. Sebagaimana dalam Islam, penafsiran terhadap hari akhirat dan kebangkitan manusia juga berbeda-beda dalam tradisi Yahudi – tergantung jalur pemikiran yang diambil: simbolik atau literal! Apakah jiwa (soul) itu kekal, dan kematian berarti terlepasnya jiwa dari tubuh untuk hidup dalam keabadian, atau Tuhan memang mengembalikan jiwa itu ke dalam tubuh yang telah mati sehingga ia hidup kembali? Ini hanya pertengkaran para filosof dengan kaum literalis, sebagaimana dalam Islam.
Tetapi mengapa Bible hampir saja tidak memberikan perhatian pada persoalan kehidupan akhirat? Menurut Louis Jacobs, para penulis Bible tidak mungkin tidak mengetahui sama sekali tentang doktrin ini sementara mereka mengetahui tentang piramida dan bukti-bukti lain yang mengisahkan keyakinan orang-orang Mesir serta masyarakat kuno lainnya tentang kehidupan sesudah mati. Sikap Bible yang relatif diam soal eksistensi akhirat barangkali sebagai protes terhadap keterikatan doktrin tersebut dengan agama-agama pagan pada masa itu. Mungkin itu pula sebabnya sehingga, dalam Leviticus, melakukan kontak dengan orang meninggal sekalipun dilarang.
(1) And the LORD said unto Moses: Speak unto the priests the sons of Aaron, and say unto them: There shall none defile himself for the dead among his people; (2) except for his kin, that is near unto him, for his mother, and for his father, and for his son, and for his daughter, and for his brother; (3) and for his sister a virgin, that is near unto him, that hath had no husband, for her may he defile himself.

Namun sejak masa pasca-Biblikal sampai sekarang, kepercayaan akan hari akhirat menjadi dominan dalam pandangan dan pemikiran keagamaan Yahudi. Keyakinan akan keadilan Ilahi bagi setiap individu menjadikan keyakinan akan adanya hari pembalasan tidak dapat dielakkan, terlepas dari bagaimana bentuk dan konsep tentang hari akhir tersebut. Jika kehidupan di dunia tidak mampu mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, maka hanya tinggal satu harapan: Tuhan akan membangkitkan kembali manusia dan memberi mereka keadilan. Menurut Emil L. Fackenheim, jika ditanya mengapa Bible tidak memberikan perhatian pada masalah tersebut, maka respon para rabbi adalah bahwa itu hanya karena kita tidak mengerti. “There is not a single chapter in the Torah” … “which does not contain the doctrine of the resurrection of the dead; only we cannot understand it.” Karena itu, dalam puji-pujian yang telah menjadi bacaan resmi, orang-orang Yahudi membaca: Thou sustainest the living with kindness, and revivest the dead with great mercy … Thou canst be trusted to revive the dead. Praised be Thou, O God, who revivest the dead.
Doktrin kebangkitan dalam tradisi Yahudi memang diperselisihkan. Persoalannya adalah, seperti telah disebutkan, tidak tersurat secara eksplisit dalam Bible bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan manusia. Perselisihan ini sudah muncul sejak kelompok Sadducees dan Pharisees (abad kedua SM.) berbeda paham, bukan hanya soal agama tetapi juga politik. Lebih tiga abad sebelum Masehi, orang-orang Yahudi berada dalam kekuasaan Yunani dan Hellenisme mulai menyusupkan pengaruhnya kepada mereka. Bahkan tidak lama kemudian Bible pun diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Pengaruh sebuah peradaban tentu membawa dampak yang besar bagi kehidupan, pandangan dan perilaku suatu masyarakat. Tradisi dan adat istiadat lama mengalami perubahan dan tantangan. Ada yang sepakat dan ada yang tidak. Dari sinilah berawal munculnya kelompok pro-Hellenizer yang diwakili oleh Sadducees dan anti-Hellenizer yang diwakili oleh Pharisees. Saddusees adalah kelompok aristokrat, karena itu sangat segan merusak tatanan politik yang ada; namun dalam soal agama mereka sangat konservatif. Sebaliknya Pharisees, mereka berbasis pada grass root, rakyat jelata. Mereka konservatif dari sudut pandang politik, namun terbuka dan bersikap liberal dalam pemahaman keagamaan. Mereka membuka ruang yang lebih longgar dalam menalar kitab suci, dan memperkenalkan penafsiran yang lebih elastis. Paham merekalah yang menjadikan tradisi Yahudi terus hidup dan bertahan sampai hari ini dan mampu menjawab berbagai tantangan yang sulit berhadapan dengan perubahan-perubahan.
Tidak dapat dipastikan, apakah Yahudi yang berbasis pada aliran pemikiran Saddusees atau Pharisees, ataupun lainnya, yang bermigrasi dan menetap di Arabia sampai zaman Islam. Jika kita berpegang pada teori yang mengatakan bahwa gelombang migrasi Yahudi ke gurun Arabia terjadi setelah Romawi menguasai Jerussalem dan melakukan tindakan kekerasan dan supresi terhadap orang-orang Israel, maka ada kemungkinan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang konservatif secara politik dan liberal dalam pemikiran keagamaan. Aliran yang berakar pada Pharisees barangkali lebih dominan.
Dari mana pun asal mereka, orang-orang Yahudi Medinah ternyata memiliki ajaran yang mengenal hari akhirat; sorga dan neraka adalah gagasan yang telah familiar bagi mereka. Namun, dari catatan-catatan al-Qur’an, mereka terlihat lebih cenderung mempermainkan doktrin tersebut untuk merendahkan Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Menurut al-Qur’an, mereka telah mengalami krisis moral, dan keyakinan mereka akan hari akhirat telah kehilangan signifikansinya. Hari akhirat bagi mereka tidak lagi merupakan hal penting; kalaupun itu ada, mereka menganggap dapat memenangkannya. Artinya, sekiranya saja hari akhirat terjadi, dan mereka akan dihukum karena dosa-dosanya, itu hanya akan berlangsung sebentar saja. Karenanya, tidak begitu mengkhawatirkan. Berikut, ayat-ayat tersebut kita kutip kembali:
Dan mereka berkata: “Kami tidak akan pernah disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, atau kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.”
Katakanlah: “Jika negeri akhirat (yakni surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, tidak untuk orang lain, maka bercita-citalah untuk (segera) mati, jika kamu memang benar.”
Mereka tidak akan pernah mencita-citai kematian itu (segera) selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui tentang orang-orang yang aniaya.

Menurut apa yang dituturkan al-Qur’an, doktrin hari akhirat, sorga dan neraka, dalam tradisi Yahudi, tetap mengakar dengan kuat. Persoalan yang menjadi sorotan al-Qur’an adalah bagaimana orang-orang Yahudi menyikapi hari akhirat itu. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan mereka akan kerugian besar yang akan menimpa mereka jika mengabaikan pesan-pesan Tuhan dan bertingkah laku semata-mata atas pertimbangan kepentingan hawanafsu. Mereka telah berkata bohong. Ucapan-ucapan mereka tentang akhirat tidak lebih dari upaya mengelak seruan Nabi Muhammad kepada kebenaran atau ajaran Tuhan yang lurus. Buktinya – demikian al-Qur’an mencoba menyelami ke dalam perasaan batin mereka yang penuh keguncangan – mereka sangat takut menghadapi kematian. Sekiranya mereka yakin dengan sungguh-sungguh bahwa mereka akan selamat dari azab Tuhan di akhirat, atau akan menjalani kehidupan penuh bahagia di sorga, tentu mereka tidak perlu takut mati dan bahkan berharap dapat mengalaminya dalam waktu dekat. Sebagaimana diriwayatkan al-T{abarī, dari Abū al-‘Āliyah, ayat 94 di atas diturunkan sebagai respon terhadap pernyataan orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa tidak akan masuk sorga kecuali golongan mereka saja dan mereka adalah anak-anak dan kekasih Tuhan. Maka al-Qur’an turun menantang mereka dengan cita-cita segera mengalami kematian untuk meraih kebahagiaan akhirat itu, jika mereka jujur dengan ucapannya itu. Tetapi ternyata mereka menolaknya. Ibn ‘Abbās mengatakan, sekiranya pada waktu itu mereka berani bercita-cita segera mati, maka mereka benar-benar akan mati semunya.

D. Pesan Moral al-Qur’an
Sejauh ini, apa yang dapat dicerapi dari berbagai ekspresi al-Qur’an tentang sejumlah pandangan keagamaan Yahudi adalah bahwa al-Qur’an terutama sekali sangat concern soal prinsip-prinsip moral dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Al-Qur’an menolak dengan keras segala bentuk diskriminasi yang muncul dari pandangan kemanusiaan yang sempit, dan mengkritik dengan tajam paham-paham keagamaan yang telah terdistorsi oleh angan-angan kosong, arogansi rasial dan kesombongan religius serta penyelewengan-penyelewengan atas dasar mengikuti hawanafsu. Orang-orang Yahudi “dituduh” oleh al-Qur’an sebagai telah melakukan kecurangan-kecurangan tersebut. Mereka telah mempersempit agama Tuhan yang sesungguhnya amat luas, terbuka dan dinamis. Bagi al-Qur’an, ini adalah fakta – yakni fakta yang disaksikan sendiri secara langsung oleh Nabi Muhammad. Al-Qur’an jelas berbicara tentang orang-orang Yahudi Medinah, sebab dalam kenyataannya al-Qur’an memang tidak berbicara mengenai sesuatu beyond the scope of its natural environment.
Notasi al-Qur’an tentang Yahudi tidak dapat dikatakan meliputi seluruh aspek dari tradisi umat tersebut dengan beragam aliran pemikiran dan interpretasi keagamaan yang sangat variatif. Tidak dapat juga diklaim bahwa pandangan-pandangan Yahudi Medinah yang dikecam al-Qur’an telah mewakili seluruh pandangan yahudi di seluruh dunia. Hanya ada satu hal yang paling jelas untuk dikatakan, yaitu: bahwa al-Qur’an mengkritik segala bentuk arogansi: rasial, intelektual, religius ataupun lainnya. Sebab, arogansi tidak lebih dari sikap pengecut yang justeru menumbuhkan keberanian dalam bentuk lain: berani berdusta, berani melakukan penyelewengan-penyelewengan dan sebagainya. Al-Qur’an telah menjadikan Yahudi sebagai prototipe sejarah sebuah umat yang dapat dijadikan pelajaran bagi semua umat lain, mungkin karena al-Qur’an menemukan banyak hal “menarik” pada mereka.

E. Penutup
Banyak hal dapat disimpulkan dari diskusi si atas, namun memiliki implikasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan berbagai disiplin kajian ilmu-ilmu keislaman. Ini tentu saja memerlukan kepada penelitian yang lebih mendalam. Karena itu kesimpulan-kesimpulan tersebut tidak diambil di sini. Cukup untuk dikatakan bahwa studi al-Qur’an yang terkait dengan sejarah dan konsep-konsep keagamaan dalam konteks global masih perlu diperluas dan dipertajam. Dalam era kehidupan yang semakin plural, mengkaji apa pun, termasuk agama dan kitab suci, tidak cukup dengan mengandalkan otoritas dogma semata, ataupun hanya melihat pada literatur yang terbatas secara spesifik pada wilayah otoritas keyakinan tertentu.










BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an
Bible
Dimont, Max I. Jews, God and History, (New York: Penguin Books, Edisi Revisi 1994).
Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.$
Fackenheim, Emil L. What is Judaism: An Interpretation for the Present Age. New York: Collier Books, 1987.
Jacobs, Louis. The Book of Jewish Belief. Behrman House, t.t.
Newby, Gordon. A History of the Jews of Arabia. South Carolina: University of South Carolina Press, 1988.
Robinson, George. Essential Judaism: A Complete Guid to Beliefs, Customs and Ritual. New York: Pocket Books, 2000.
Syalabī, Ah}mad. Muqāranah al-Adyān 1: al-Yahūdiyyah. Kairo: Mktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah. Cet. V, 1978.
T{abarī, Ibn Jarīr al-. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1405 H. Vol. 1.

Perempuan Pertama dalam al-Qur'an

Al-Qur’an, berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya, lahir di bawah cahaya sejarah yang terang. Ia ditulis dan dikumpulkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup dan sekaligus di bawah pengawasannya. Tidak ada percampuran di dalamnya dengan perkataan-perkataan manusia. Dari itu sejumlah pernyataan al-Qur’an mengenai masalah-masalah tertentu berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya. Ini tidak dalam rangka membenarkan sebagian Kitab Suci dan menyalahkan yang lain, tetapi hanya menegaskan bahwa Kitab-kitab Suci sebelumnya lahir dan ditulis dalam sebuah proses sejarah yang panjang dan pergulatan tradisi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya dikatakan bahwa validitas kewahyuan Kitab-kitab tersebut tidak memiliki kekuatan seperti Kitab Suci al-Qur’an.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan di atas, dengan mendiskusikan beberapa ayat al-Qur’an tentang penciptaan perempuan. Islam pada dasarnya memandang semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah SWT; tinggi atau rendahnya kedudukan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, tergantung pada kualitas ketakwaannya. Asal usul seorang manusia, warna kulit atau kebangsaannya bukanlah hal penting atau menentukan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Kemudian, dari keduanya) Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa. (al-Hujurāt [49]: 13).
Ayat di atas menunjukkan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan. Karena itu tidak ada alasan untuk melebihkan seseorang atau satu kelompok dari yang lainnya. Memang Islam tidak menutup mata terhadap realitas keberagaman peradaban dan sejarah umat manusia, namun al-Qur’an, bukan hanya dalam ayat di atas, menegaskan bahwa faktor yang paling menentukan dalam peradaban manusia adalah sikap mentalnya dalam membina hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya yang merupakan anugerah Tuhan. Sikap mental inilah yang tercakup dalam sebagian makna kata taqwa atau ketakwaan.
Laki-laki dan perempuan dalam pandangan Tuhan sama saja: Amalan atau nilai ibadah seseorang tidak akan dikurangi hanya karena ia seorang perempuan.
Barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki ataupun perempuan, sedang ia adalah orang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam sorga, dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun. (al-Nisā’[4]: 124).
Mengenai asal mula kejadian perempuan, al-Qur’an tidak menyebutnya secara tegas dan rinci. Bahkan demikian juga dengan asal mula kejadian laki-laki. Keduanya, laki-laki dan perempuan, diciptakan dari nafs (diri, jiwa, individu) yang satu. Ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan bukan berasal dari materi yang berbeda dan bukan pula diciptakan melalui proses yang tidak sama.
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu individu (nafs wāhidah); darinya Allah menciptakan pasangannya (zawjahā) dan dari keduanya Allah mengembak-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak... (al-Nisā’ [4]: 1).
Menarik sekali bahwa kata nafs (diri, individu) dalam bahasa Arab – meskipun secara gramatikal mu’annats (perempuan) – secara konseptual adalah kata benda netral, yakni tidak menunjukkan kepada laki-laki ataupun perempuan. Demikian juga kata zawj, bisa bermakna laki-laki atau perempuan. Jadi zawj bukan berarti “isteri”, tetapi “pasangan”; boleh jadi laki-laki dan boleh jadi perempuan. Jadi ayat di atas tidak bisa secara tegas dijadikan alasan bahwa manusia pertama adalah laki-laki atau perempuan, di mana yang satu merupakan asal bagi yang lain.
Ulama tafsir tradisional, seperti Ibn Katsīr, al-Jalālayn dan al-Qurtubī, dan juga sebagian mufassir kontemporer, menafsirkan kata nafs wāhidah dengan Adam dan zawjahā sebagai Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Bahkan at-T{abarsi dalam Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, mengatakan: seluruh ulama tafsir telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs wāhidah adalah Adam, manusia pertama. Tetapi pernyataan tersebut, demikian menurut Quraish Shihab, sebenarnya keliru, sebab ternyata ada sejumah ulama, seperti al-Rāzī, Rasyīd Ridā, al-Qāsimī dan al-Tabātabā’ī yang tidak berpendapat demikian. Mereka yang terakhir ini berpendapat bahwa min nafs wāhidah maksudnya adalah dari jenis yang satu. Artinya, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki, yakni jenis manusia.
‘Alī al-Sāyis, seorang mufassir dan ahli hukum Islam kontemporer, ketika mengomentari ayat 1 surat an-Nisā’ tersebut mengatakan bahwa Abū Muslim [al-Asfahānī] telah menolak penciptaan perempuan dari tulang rusuk, dengan alasan bahwa Allah SWT Maha Kuasa menciptakannya dari tanah; lalu apa faedah Allah menciptakannya dari tulang rusuk. Abū Muslim juga mengatakan bahwa pengertian min hā dalam ayat di atas adalah min jinsihā (dari jenisnya). Tetapi ‘Alī al-Sāyis kemudian membantah semua pendapat Abū Muslim dan mengatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk telah disebutkan secara tegas dalam hadits yang diriwayatkan oleh dua orang Imām hadits terkenal, yakni al-Bukhārī dan Muslim. Demikian juga, kata al-Sāyis, kemampuan (ke-Maha-Kuasa-an) Allah menciptakan Hawa dari tanah sama sekali tidak menghalangi-Nya untuk menciptakannya dari yang lain [yakni dari tulang rusuk].
Al-Sāyis nampak cenderung kepada pemahaman literal dan melihat ayat-ayat al-Qur’an dan hadits pada tataran lahirnya. Tidak boleh ada takwil, kecuali memang terdapat nas yang mengharuskannya. Seperti kebanyakan fuqahā’ dan teolog Muslim lainnya juga, al-Sāyis lebih suka melihat ayat-ayat al-Qur’an sebagai aturan-aturan hukum yang berbicara tentang perintah dan larangan, atau sebagai landasan teologis yang menetapkan apa yang harus diimani dan apa yang tidak boleh diimani. Mereka memahami al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan bahkan sumber sagala ilmu pengetahuan dalam pengertian yang sangat teknis dan bahkan manual. Sikap seperti ini tentu saja dapat dipahami dengan melihat latar belakang lingkungan budaya serta spesialisasi ilmu mereka. Tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan mereka; demikian juga tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan orang-orang yang mengkritik mereka. Peradaban menawarkan beragam alternatif kepada kita dan setiap generasi yang datang kemudian dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan secara lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi terakhir mesti lebih tercerahkan dari yang dahulu, jangan “jalan di tempat” ataupun surut ke belakang. Kita yang hidup di zaman ini dapat belajar dari mereka yang yang hidup di zaman lampau, tetapi tidak perlu menirunya secara fanatik. Pemahaman manusia terhadap realitas tidak perlu dilihat secara hitam-putih, tetapi dapat didialogkan untuk memperkaya pemahaman itu sendiri. Pemahaman manusia juga tidak harus seragam, karena setiap individu memiliki kebebasan masing-masing. Semakin banyak informasi yang kita temukan mengenai suatu persoalan, semakin jernih pemahaman kita tentang persoalan tersebut.
Al-Marāghī, seorang Guru Besar al-Azhār, kelihatan lebih terbuka dan toleran. Beliau, ketika menafsirkan ayat di atas, juga mengutip pandangan Abū Muslim al-Asfahānī, tetapi tidak untuk kemudian membantahnya. Beliau mengutip pendapat tersebut sebagai sebuah perbandingan dan untuk menunjukkan bahwa dalam hal tersebut memang terdapat perbedaan pendapat. Al-Marāghī juga mengutip pendapat gurunya al-ustādh al-Imām [Muhammad ‛Abduh] yang menegaskan bahwa secara lahiriah tidak tepat menafsirkan kata nafs wāhidah dalam ayat di atas dengan Adam. Tidak banyak komentar yang diberikan oleh al-Marāghī mengenai perbedaan pandangan ulama dalam masalah ini. Walaupun beliau sendiri mungkin cenderung kepada pemahaman ulama klasik, beliau lebih banyak memberikan isyarat kepada keterbukaan dan kelonggaran dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Pendapat-pendapat yang berbeda dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an sering dikutipnya, namun tidak disebutnya sebagai bātil atau salah bila ia tidak sependapat dengannya.
Seorang penulis kisah Nabi-nabi, ‘Abd al-Wahhāb an-Najjār, juga menunjukkan sikap yang hampir sama dalam mengomentari ayat di atas. Meskipun lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, beliau tidak menolak kemungkinan bahwa Allah telah menciptakan Hawa melalui proses yang sama dengan menciptakan Adam. Jadi kata minhā dalam ayat di atas bermakna min jinsihā wa ‘alā sūratihā, yakni dari jenis yang sama dan dengan rupa yang sama.
Dengan demikian, ayat di atas tidak secara tegas dan konkrit dapat dijadikan alasan bahwa perempuan diciptakan dari (tulang rusuk) laki-laki. Ayat itu pun tidak secara terang menyebutkan bahwa manusia pertama dan kedua itu bernama Adam dan Hawa.
Beberapa ayat yang lain yang menyebutkan tentang Adam dan pasangannya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 35 – 36 dan al-A‘rāf ayat 19 – 24. Lengkapnya terbaca sebagai berikut:
Surat al-Baqarah [2]:
35-Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu dan makanlah makanan-makanannya yang lezat sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
36-Lalu setan menggelincirkan keduanya dari sorga tersebut; maka [dengan demikian] ia telah mengeluarkan keduanya dari tempat yang pernah mereka tempati itu. Dan Tuhan [pun] berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.

Surat al-A‘rāf [7]:
19-Dan [Allah berfirman]: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu, lalu makanlah sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
20-Maka setan menggoda keduanya, supaya ia [dapat] menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup, yakni aurat keduanya, dan ia berkata: ‘Tuhanmu tidaklah melarang kedua kamu dari [mendekati] pohon ini melainkan [karena kamu nanti, jika mendekatinya] akan menjadi dua malaikat atau menjadi sebagian dari orang-orang yang kekal.
21-Dan ia bersumpah kepada keduanya: ‘sesungguhnya aku benar-benar termasuk di antara orang-orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua’.
22-Maka ia membujuk keduanya dengan sebuah tipudaya. Maka tatkala keduanya merasai pohon tersebut, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun sorga. Dan Tuhan [pun] menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu ‘sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu?’.
23-Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami benar-benar termasuk di antara orang-orang yang rugi.
24-Tuhan berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu’.
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menceritakan bagaimana perempuan diciptakan. Tetapi di situ digambarkan bagaimana manusia, laki-laki dan perempuan, berjuang menghadapi tipudaya setan yang menyesatkan. Pergelutan menghadapi setan itu telah dimulai sejak zaman dahulu kala, sejak zaman immemorial, zaman yang tidak terjelaskan oleh sejarah; pokoknya sejak “manusia pertama”. Inilah di antara makna yang dapat dilukiskan.
Skenario dan dialog-dialog dalam ayat di atas bukan sebuah permainan konkrit di atas sebuah panggung teater, tetapi lebih merupakan drama yang dimainkan umat manusia di atas panggung sejarah. Ia adalah gambaran dari siklus kehidupan manusia yang tidak pernah berhenti: kesenangan, kesengsaraan, godaan, kemenangan, kejatuhan, penyesalan dan tobat adalah bagian dari liku-liku kehidupan sepanjang sejarah manusia. Dari itu sebagian pemikir kontemporer, seperti Iqbal, lebih cenderung melihat kisah-kisah dunia sorgawi masa lalu itu sebagai kiasan semata. Karenanya dogma-dogma yang kemudian muncul sekitar persoalan tersebut dianggap sebagai mengada-ada belaka.

Thursday, April 8, 2010

Penciptaan Perempuan

Tersebutlah sebuah kisah: Setelah menciptakan manusia pertama, yakni Adam, Tuhan menempatkannya dalam surga. Di dalamnya Tuhan menyediakan bermacam-macam makanan dan kenikmatan supaya Adam dapat bersenang-senang dengan sepuas hatinya. Agar Adam tidak kesepian, maka Tuhan menciptakan berbagai macam binatang secara berpasang-pasangan. Mereka bermain-main di dalam surga dan membuat Adam merasa gembira. Namun Adam kemudian menyadari bahwa ada yang belum lengkap pada dirinya: ia belum memiliki pasangan seperti binatang-binatang yang ada di sekitarnya. Ia masih tetap merasa kesepian. Untuk memenuhi keinginan Adam, Tuhan pun berkehendak untuk menciptakan seorang perempuan, sebagai pasangan baginya. Mula-mula Tuhan membuat Adam tertidur; pada saat itulah salah satu tulang rusuknya dicabut, dan dari tulang rusuk itulah Hawa diciptakan. Maka Adam bersenang-senang dengan isterinya itu dalam surga, sampai suatu saat mereka tergoda oleh rayuan setan sehingga memakan buah terlarang, dan mereka dikeluarkan dari kebun yang indah serta penuh nikmat itu, untuk hidup di bumi dengan berbagai tantangan yang harus mereka hadapi.
Elaborasi atau pengembangan dari kisah tersebut juga telah menciptakan kegetiran nasib perempuan. Di situ dikisahkan bahwa perempuanlah, yakni Hawa, yang telah menggoda Adam untuk sama-sama memakan buah terlarang tersebut. Iblis/setan pada mulanya tidak sanggup menggoda Adam, tetapi ia menyusupkan tipudayanya melalui Hawa. Iblis tahu bahwa perempuan memiliki kelemahan dan ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tergodalah Adam gara-gara sang isteri tercinta. Maka, sekali lagi, dengan merujuk pada kisah itu, perempuan kembali menjadi “tertuduh” sebagai penyebab segala kesengsaraan anak cucu Adam di bumi ini. Hawalah yang telah menyebabkan Adam tergelincir dalam dosa, dan kita semua menanggung akibatnya.
Demikianlah secara ringkas kisah asal kejadian perempuan yang secara umum dikenal di kalangan masyarakat Muslim. Kisah tersebut terdapat dalam Genesis (Kitab Kejadian) Perjanjian Lama, Kitab Suci yang menjadi pegangan orang-orang Yahudi dan Kristen. Tradisi Yahudi inilah yang dikutip atau dijadikan sumber oleh kebanyakan mufassir atau ulama Islam lainnya pada zaman dahulu untuk mengisi lembaran-lembaran karya tulis mereka; bahkan kisah tersebut dikembangkan atau dilengkapkan lagi supaya menjadi lebih menarik dan kelihatan masuk akal. Ibnu Katsir, misalnya, dalam kitab tafsirnya mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa tatkala Adam terbangun dari tidurnya, ia terkejut melihat seorang perempuan telah berada di sampingnya. Adam bertanya: “engkau ini apa?” Hawa menjawab: “aku adalah perempuan.” “Untuk apa engkau diciptakan?”, tanya Adam lagi. Hawa menjawab: “Supaya engkau merasa tentram denganku.” Maka para malaikat, yang ingin menyaksikan kepintaran Adam menguasai nama segala sesuatu, bertanya: “wahai Adam, siapa namanya?” Langsung saja Adam menjawab: “Hawa!” Mereka bertanya lagi: “Mengapa Hawa?” Adam menjawab: “karena ia diciptakan dari sesuatu yang hidup (hayyun)!”
Penambahan pada bagian terakhir seperti tersebut di atas jelas sekali merupakan upaya untuk membumbui cerita agar memiliki keterkaitan dengan pernyataan al-Quran yang menyebutkan bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu ... (al-Baqarah [2]: 31). Penambahan tersebut tidak memiliki dasar sama sekali dari al-Qur’an maupun Hadits. Ibn Katsīr sendiri mengatakan bahwa riwayat tersebut berasal dari sebagian sahabat, para “ahli ilmu” (termasuk Yahudi) dan lain-lain, yang tidak disebut secara jelas darimana sumber aslinya.
Tetapi jika ditelusuri dalam Alkitab Perjanjian Lama, teks yang agak mirip dengan cerita di atas dapat ditemukan dalam Genesis atau Kitab Kejadian 3:20.
Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup.
Sebagai perbandingan, berikut ini kami kutip secara lebih lengkap beberapa ayat dari Kitab Kejadian (2:4-23) tersebut mengenai penciptaan dan kehidupan awal manusia pertama beserta pasangannya itu:
(4) Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit, – (5) belum ada semak apapun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab TUHAN Allah belum meurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang mengusahakan tanah itu; (6) tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu – (7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
(8) Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah Timur; disitulah ditempatkanNya manusia yang dibentukNya itu. …
(15) TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (16) Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, (17) tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
(18) TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. … (21) Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. (22) Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu. (23) Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
Ayat-ayat Alkitab di atas secara harfiah menggambarkan bahwa “manusia” dalam konsep penciptaannya yang paling awal adalah laki-laki. Untuk membantu dan memenuhi kebutuhan laki-laki inilah perempuan diciptakan. Ia tunduk kepada laki-laki karena ia adalah bagian atau darah daging dari laki-laki. Dengan kata kata lain, secara substansial, laki-laki lebih utama dari perempuan; perempuan adalah makhluk kelas dua.
Kisah-kisah seperti ini, yang berasal dari literatur dan tradisi Yahudi atau Kristen, dalam karya-karya kaum Muslim dikenal dengan istilah isrā’īliyyāt, yakni kisah-kisah yang berasal dari kaum Bani Israil atau Ahl al-Kitāb (baca: Ahli Kitab). Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kisah tersebut sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam? Jika tidak sejalan, mengapa kisah tersebut sampai demikian terkenal di kalangan umat Islam? Dan mengapa sebagian ulama bahkan dengan penuh semangat mengutip kisah-kisah dari tradisi Bani Israil itu ke dalam kitab-kitab mereka atau menyebarkannya dalam masyarakat?
Nabi Muhammad kelihatan agak toleran menyikapi berbagai pandangan kaum Ahl al-Kitāb. Dalam sebuah hadits (Riwayat al-Bukhārī) dinyatakan bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan juga tidak mendustakan kaum Ahl al-Kitāb; yang perlu ditegaskan adalah keimanan kepada Allah dan segala apa yang telah diturunkan Allah. Jadi mungkin saja pandangan atau tradisi kaum Ahl al-Kitāb itu benar dan mungkin juga salah. Karena itu ulama Islam umumnya berpendapat bahwa jika memang terbukti pandangan orang-orang Ahl al-Kitāb itu benar maka bisa saja dibenarkan dan demikian juga jika terbukti salah maka bisa saja disalahkan. Namun dalam hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya dengan hujjah yang kuat, maka hakikatnya diserahkan kepada Allah.

Friday, April 2, 2010

PENDIDIKAN MORAL


1. Pendahuluan

Moralitas adalah bukti kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya. Tuhan hanya memberikan bimbingan dan petunjuk, tidak memaksa manusia. Manusialah yang memilih; adakala ia mengambil jalan kebaikan, adakala ia mengambil jalan kejahatan. Moralitas adalah sikap mental di mana seseorang lebih memilih kebaikan dari keburukan, kebenaran dari kebatilan, keadilan dari kezaliman. Moralitas adalah komitmen yang menuntut seseorang lebih mempertimbangkan kebaikan untuk sesama ketimbang kepentingan diri sendiri, spiritualitas di atas nafsu dan kepentingan duniawi; moralitas mencerminkan kesabaran, kasih sayang, kemampuan menahan diri dan kemampuan meletakkan nilai-nilai di atas segala bentuk tekanan emosi dan nafsu.
Dunia tanpa moral dalam kehidupan manusia akan membawa kepada destruksi peradaban. Kekosongan moral akan menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa moral manusia tidak berbeda dari hewan: akal tidak banyak memberikan manfaat. Jika akal merupakan alat untuk melakukan kalkulasi dan analisis rasional, maka moralitas adalah kesadaran nurani yang menentukan pengambilan sikap. Kecerdasan akal mampu secara kreatif membangun peradaban yang mencengangkan, tetapi tanpa moral peradaban itu rapuh. Peradaban yang dibangun seorang penguasa di atas puing-puing nestapa dan penderitaan rakyat jelata akan menuai kehancuran dalam waktu yang tidak lama. Peradaban Fir’aun yang dibangun dengan darah dan air mata kaum Bani Israil, misalnya, dihancurkan Tuhan dalam waktu sesaat. Kemegahan duniawi yang dibangun tanpa fondasi moral, hanya sebuah ilusi yang akan lenyap dalam sekejap.
Moralitas, dengan demikian, adalah basis bagi ketahanan sebuah masyarakat dan bangsa. Moralitas memberikan keseimbangan dalam hubungan dan interaksi sesama manusia sehingga menguatkan cita-cita bersama serta mendistribusikan ketenteraman secara merata. Moralitas berdampak pada semua lini kehidupan: sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan keagamaan. Jadi persoalan moralitas sangat penting, tidak bisa diabaikan. Tulisan ini memberikan penekanan pada aspek tanggung jawab keluarga dan masyarakat dalam rangka memberikan dan menguatkan pendidikan moral.

2. Moralitas dalam Wacana

Moralitas sering disebut dengan a code of conduct, aturan berperilaku. Dalam bertindak dan melakukan berbagai aktivitas yang bersinggungan dengan orang lain diperlukan aturan yang merupakan tatanan sikap. Seseorang tidak boleh berkelakuan “seenaknya” ketika berinteraksi dengan orang lain, melainkan harus sesuai dengan ketentuan tertentu baik berdasarkan ajaran agama atau adat istiadat, yakni aturan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Tata tutur, cara berbicara, bahasa yang digunakan, cara berdiri dan duduk, sampai pada cara meletakkan tangan serta cara mengedipkan mata, dianggap punya makna tersendiri oleh kebanyakan orang; di hadapan orang lain kita tidak boleh melakukannya secara sebarangan. Akan tetapi, dalam hal ini ada problem yang muncul, yakni soal standar moral. Aturan-aturan moral yang dianut suatu masyarakat boleh jadi berbeda dari yang dianut masyarakat lain. Lalu yang mana harus dijadikan standar?
Dalam wacana filsafat, moralitas dan etika memang merupakan persoalan yang pelik dan telah menimbulkan perdebatan yang panjang. Apa sebenarnya moralitas itu? Ia berasal dari mana? Apakah ia hanya terkait dengan persoalan tindakan dan didasarkan pada alasan-alasan praktis? Apakah kita berbuat baik, hanya supaya orang lain berbuat baik kepada kita? Kalau orang lain tidak mau berbuat baik kepada kita, bagaimana? Ataukah moralitas hanya a matter of emotion, sympathy [and] motive? Atau apakah ia adalah sebuah karakter yang hanya tergantung pada pendidikan moral yang didapatkan seseorang, seperti pandangan Aristoteles?
Para agamawan percaya bahwa moralitas mesti berasal dari keyakinan. Moralitas tanpa Tuhan hanyalah omong kosong. Untuk apa orang melakukan sebuah kebaikan jika tidak ada konsekuensi apa pun? Seorang Mario Teguh pun pernah berkata: “Saya dulu protes kalau hidup kita itu untuk Tuhan. Lalu, untuk aku apa? Kebebasanku di mana? Harus begini untuk menyenangkan Tuhan, lalu untuk menyenangkan saya mana?”
Dalam kegelisahannya, Mario mengajukan protes, mengapa kita berbuat baik untuk Tuhan? Mengapa bukan untuk kita sendiri? Perjalanan hidupnya dan kesungguhannya mencari jawaban tentang kebaikan pada akhirnya memberinya kemantapan soal mengapa kita harus melakukan kebaikan, sehingga Mario berkata: “ ... sampai saya mengerti bahwa kesenangan itu justru karena kita mengabdikan diri pada kebaikan.” Dan kepada generasi muda ia nasihatkan “bahwa jika yang kamu pikirkan kebaikan, yang kamu rasakan kebaikan, yang kamu katakan kebaikan, yang kamu lakukan kebaikan, maka kebaikan itu yang mencari jalan.”
Dalam wacana filsafat dikatakan, orang melakukan kebaikan adalah karena kebaikan itu sendiri. Bagi sebagian filosof, moralitas adalah sifat alamiah manusia, sementara bagian yang lain, moralitas muncul sebagai sebuah kontrak sosial karena manusia menginginkan hidup damai. Moralitas bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari manusia itu sendiri; ia adalah sebuah produk nalar dan bagian dari kebutuhan manusia. Pemahaman seperti ini tidak masuk akal para agamawan. Para agamawan percaya bahwa tidak ada moralitas tanpa Tuhan. Manusia berbuat baik atau meninggalkan kejahatan karena mereka yakin akan konsekuensinya. Untuk apa seseorang melakukan perjuangan berat atau merelakan nyawanya melayang, jika setelah itu ia musnah dan hanya menjadi debu?
Namun sebuah situs filsafat menyebutkan sebuah laporan sebagai berikut: “The most significant predictor of a person's moral behavior may be religious commitment. People who consider themselves very religious were least likely to report deceiving their friends, having extramarital affairs, cheating on their expenses accounts, or even parking illegally.” Based on this finding, what we believe about Creation has a decided effect on our moral thinking and our behavior. (“Yang paling dapat memprediksikan perilaku moral seseorang barangkali adalah komitmen keagamaannya. Orang yang menganggap dirinya paling religius ternyata adalah yang paling sedikit dilaporkan telah melakukan penipuan terhadap temannya, melakukan zina, melakukan penipuan keuangan, atau bahkan melakukan parkir ilegal.” Berdasarkan laporan ini, maka apa yang kita yakini mengenai Penciptaan memiliki dampak paling menentukan tentang moral berpikir dan perilaku kita).
Sebuah situs Kristen Kanada menyampaikan laporan hasil survei bahwa anak-anak remaja Kanada cenderung lebih bermoral tetapi kurang religius (TEENAGERS are becoming more moral but less religious). Di sini yang dimaksudkan dengan moral adalah hal-hal yang bersifat kebaikan praktis seperti kejujuran, persahabatan dan keadilan. Pelaksana survei, seorang sosiolog pada Universitas Lethbridge mengatakan bahwa People “can be good without God,” (orang bisa menjadi baik tanpa Tuhan). Namun kemudian ia mengatakan bahwa kelompok yang menganggap dirinya beragama ternyata, dari hasil survei, lebih konsisten dalam mengapresiasi kebaikan seperti kehormatan, kejujuran dan saling tolong menolong, dibandingkan mereka yang menganggap dirinya ateis. Jadi sebenarnya potensi moral yang dimiliki orang-orang beragama lebih kuat dan konsisten dibanding dengan apa yang mungkin ada pada moral sekuler. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah realitas yang membuat perasaan hati kita sangat tidak nyaman, yaitu: terdapat sejumlah orang beragama (baca: mengaku beragama) yang menunjukkan sikap tidak bermoral. Telah menjadi rahasia umum bahwa survei-survei menunjukkan bahwa korupsi sangat merajalela di tengah-tengah kehidupan umat Islam, di negara-negara Islam, atau dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim. Perbuatan-perbuatan curang tidak pernah terkecuali terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslim. Bahkan ada sebuah survei internasional yang menyebutkan bahwa negara yang paling sedikit tindakan kriminalnya adalah Jepang, bukan Indonesia, atau Afghanistan, atau Mesir, atau Saudi Arabia.
Dalam Islam diajarkan bahwa inti agama adalah kemuliaan akhlak. Nabi Muhammad diriwayatkan telah menyatakan bahwa beliau diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak. Ketika berbicara akhlak, itu berarti menyangkut dengan perilaku dan ketika berbicara soal perilaku, itu artinya berbicara mengenai interaksi seseorang dengan yang lain, baik manusia maupun alam semesta. Dalam Islam, Nabi Muhammad menjadi manusia agung dan terhormat bukan karena kehebatan mukjizatnya atau karena kemampuan supranaturalnya, tetapi karena keagungan akhlaknya. Pujian yang diberikan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah berkaitan dengan perilaku beliau yang sangat santun dan mulia.
Islam memandang moralitas itu berasal dari Tuhan: melaksanakan yang baik dan menjauhkan yang buruk adalah perintah. Akan tetapi perintah itu tidak sekedar perintah, tanpa makna dan nilai. Dalam pandangan Islam, sepanjang pemahaman saya, setiap perintah dan larangan dari Tuhan merujuk pada karakteristik manusia itu sendiri (the nature of human being). Manusia adalah khalifah Tuhan dan karena itu ia mengejawantahkan sifat-sifat-Nya. Tuhan telah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan hal itu menjadikan manusia memiliki kesadaran ketuhanan yang amat dalam. Namun di sisi lain manusia adalah hamba-Nya, karena itu ia harus tunduk kepada-Nya. Jadi nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai ketuhanan. Keadilan Tuhan adalah keadilan yang dipahami manusia juga; kebaikan Tuhan adalah kebaikan yang dipahami manusia juga. Tuhan yang dipahami dalam Islam bukanlah Tuhan yang tidak logis. Atas landasan teologis itulah moralitas dalam Islam dibangun.

3. Moralitas dan Tantangan Dunia Modern

Dunia modern sering kali dikaitkan dengan dunia barat atau peradaban barat yang rasional dan sekuler. Dunia Islam juga sering kali dipertentangkan dengan dunia barat atau dunia modern. Jika terjadi kerusakan-kerusakan moral dalam masyarakat Muslim, maka tidak jarang juga yang disalahkan adalah dunia barat atau peradaban modern.
Kita hidup di zaman yang bergerak sangat cepat. Perubahan terjadi dalam berbagai segi kehidupan dan dengan cara-cara yang tidak terduga sebelumnya. Kecanggihan dalam bidang teknologi informasi menjadikan dunia ini bagai sebuah perkampungan sempit yang dapat terjangkau ke mana-mana. Manusia di seluruh dunia dapat berkomunikasi dalam jaringan yang sangat luas dan bahkan tanpa batas. Ini adalah sebuah potensi besar, sekaligus bahaya raksasa. Orang dapat melakukan kebaikan tanpa batas, sekaligus kejahatan tanpa batas.
Inilah tantangan dunia modern terhadap moralitas yang paling besar, yakni sebagai akibat dari akses informasi yang terbuka lebar bagi siapa saja dan kapan saja serta di mana saja.
Tantangan yang kedua, ketiga dan seterusnya adalah tidak lebih dari akibat atau dampak dari hal tersebut. Seluruh informasi dapat menjangkau segala lini kehidupan kita. Kepada semua orang dapat disuguhkan kebaikan, kotoran atau pun sampah; terserah kita mau memakannya atau tidak. Tanpa moralitas seluruh hidup kita akan teracuni.
Industrialisasi, eksploitasi manusia, penjajahan ekonomi, monopoli kekayaan, kecurangan politik, dan segala bentuk kejahatan sosial dan kemanusiaan lain yang dapat dilakukan secara lebih mudah dan terorganisir menjadikan dunia ini terasa lebih tidak aman dan lebih menakutkan. Bagaimana dengan anak-anak kita yang akan diculik, nyawa kita yang mudah melayang, para mahasiswa kita yang diprovokasi, politikus kita yang dibohongi, para hakim kita yang disuap, pemimpin kita yang ditipu ... dan sebagainya. Salah dan benar menjadi sangat mudah disembunyikan; baik dan buruk sangat mudah dikaburkan.
Modernitas adalah sebuah prestasi peradaban yang sangat mengagumkan, namun jika manusia tidak saling membangun kepercayaan untuk mengarahkan potensi itu untuk kebaikan dunia ini, maka yang ditakutkan adalah destruksi yang semakin parah.

4. Realitas Kehidupan Manusia

Manusia adalah pendosa, tetapi sebaik-baik pendosa adalah yang bertobat. Kisah turunnya Adam dari surga dalam ajaran agama mencerminkan watak alami manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki kelemahan, namun ia mendapatkan apresiasi dan bahkan amanah karena ia dapat mengoreksi dirinya dan dengan kesadarannya ia dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi. Memilih kebaikan di antara berbagai pilihan baik dan buruk adalah sebuah prestasi. Demikian juga melakukan koreksi terhadap kesalahan adalah sebuah pertanda adanya ketulusan. Kemauan untuk melakukan koreksi adalah bukti pengakuan yang tulus. Karena itu manusia yang bertobat adalah manusia yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, sebab menolak bertobat sama dengan menolak terhadap dosa itu sendiri.
Ini tidak berarti manusia dibolehkan melakukan dosa. Dosa itu adalah sebuah pelanggaran. Apa yang terlihat pada konsep ini adalah sebuah dinamika dan proses penyempurnaan manusia yang terjadi secara dinamis. Manusia tidak terlahir seperti anak ayam yang langsung dapat berjalan dan mencari makan sendiri. Manusia pada watak dasarnya tidak terlepas dari kebutuhannya akan bimbingan dan petunjuk. Manusia berangkat dari nalurinya dan potensi yang ia bawa sejak lahir. Itulah kekuatan manusia: kemampuan untuk mengembangkan diri. Ini tentu saja tidak bisa terjadi tanpa kebebasan. Manusia adalah makhluk yang memiliki free will: ia dalam hal ini “seperti Tuhan” yakni memiliki iradah, sebab Tuhan memang telah meniupkan ruh-Nya kepadanya, dan karena itu ia diangkat menjadi khalifah-Nya, yakni wakil-Nya di bumi.
Iradah yang diberikan Tuhan kepada manusia itulah yang telah membuat dunia ini seperti ini: penuh dinamika. Manusia saling menumpahkan darah, berperang, saling membunuh, menganiaya, menipu, melakukan tindakan-tindakan korup atau curang, saling menyakiti dan sebagainya. Sebaliknya ada juga manusia yang saleh, tulus, suka berbuat baik, rendah hati, berbuat baik tanpa pamrih, memuji Tuhan, tidak lupa berdoa dan berterima kasih serta selalu bersikap santun.
Namun, realitas kehidupan yang kita saksikan hari ini ternyata lebih banyak mengandung kepiluan dari pada rasa bahagia. Perang terjadi di mana-mana. Kejahatan tidak mengenal batas peradaban. Orang seakan-akan tidak dapat lagi menemukan di mana ada bagian tanah di dunia ini yang aman untuk dihuni. Sedemikian parahkah kehidupan umat manusia hari ini?
Lebih jauh dari itu, agama yang selalu dirujuk sebagai ajaran yang diturunkan untuk membahagiakan dan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat, seakan tidak berdaya. Pemimpin-pemimpin masyarakat beragama justeru ditemukan yang paling banyak melakukan pelanggaran kemanusiaan dan paling korup. Social justice menjadi isu paling sentral di negara-negara Muslim. Kedisiplinan, kemanusiaan, keadilan, kecintaan kepada ilmu pengetahuan adalah di antara hal-hal paling terabaikan di negara-negara Muslim. Ini fenomena apa sebenarnya? Apakah agama telah mengabaikan moralitas? Atau umatnya yang telah mengabaikan makna yang sesungguhnya dari agama mereka?

5. Pendidikan Moral dalam Rumah Tangga

Menjadi orang tua adalah sebuah pilihan, bukan karena kebetulan, karena itu tanggung jawab seorang orang tua tidak dapat diabaikan. Menjadi orang tua kadang-kadang dianggap berat karena tanggung jawab yang dipikul sangat besar, namun ajaran agama juga mengajarkan bahwa kompensasi dan reward bagi orang tua yang berkomitmen dan bertanggung jawab adalah luar biasa. “Surga di bawah telapak kaki ibu,” kata Nabi Muhammad; demikian pula Qur’an memberikan peringatan: “... Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah” dan janganlah kamu membentak mereka; ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Apresiasi kepada orang tua diberikan agama sangat tinggi. Seorang anak yang durhaka kepada orang tua mendapatkan ancaman yang sangat berat.
Pendidikan harus dimulai dari keluarga, dari rumah, yakni oleh orang tua atau orang yang mengasuh si anak. Bahkan sesungguhnya pendidikan itu berkaitan dengan berbagai sisi dari kehidupan dalam keluarga. Demikian juga, kekuatan dan kelemahan sebuah masyarakat sangat terkait dengan kekuatan dan kelemahan kehidupan-kehidupan rumah tangga dalam masyarakat tersebut. Rumah tangga yang kokoh dan harmonis akan berdampak bagus pada kehidupan di sekitarnya. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu akan memiliki jiwa dan semangat hidup yang lebih positif; keretakan rumah tangga akan berdampak sangat buruk bagi si sanak. Jadi rumah tangga adalah pilar-pilar kehidupan sosial yang sangat menentukan.
Soal pendidikan moral sebenarnya sudah masuk dalam pendidikan secara general untuk anak, yakni bahwa pendidikan untuk anak harus dilakukan dengan cara mengembangkan potensi yang ia miliki. Akan tetapi pendidikan moral menjadi sangat spesial karena ia bersentuhan dengan segala aspek pendidikan yang lain. Pendidikan moral menekankan pengembangan potensi jiwa anak sehingga ia menjadi tangguh menghadapi dunia di sekitarnya dan menjadi orang yang mampu mengapresiasi makna hidup bagi dirinya dan bagi orang lain. Ia tidak hanya harus mengenal dunia (berilmu: tahu), tetapi juga harus bisa menyayanginya (sadar); tidak hanya mampu mengelola dunia (alam dan lingkungannya), tetapi juga menghargainya (menjadi orang yang bersyukur).
Tugas seperti inilah yang sebenarnya membuat pendidikan itu menjadi tugas yang berat. Qur’an mengatakan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian). Pada kesempatan lain Qur’an mengatakan bahwa sebagian dari anak itu mungkin menjadi musuh bagi orang tuanya. Qur’an bukan ingin menakut-nakuti, tetapi menjelaskan realitas hidup yang akan dihadapi manusia, supaya mereka dapat mengadakan antisipasi dan mempersiapkan diri sehingga tidak mengalami frustrasi. Manusia tidak akan mampu menolak takdir, tatapi dengan kesiapan mental manusia dapat memasuki situasi itu dengan sebuah kekuatan dan persiapan yang memadai.
Pendidikan untuk anak adalah sebuah kewajiban; memang telah demikian takdir manusia. Manusia menjadi cerdas tidak secara instan, tetapi melalui proses yang panjang. Ia harus dibesarkan dan diasuh, dididik dan dilatih. Kekuatan manusia terletak pada potensi yang ia miliki, bukan pada innate instinct-nya. Ia tidak “cerdas” seperti lebah atau semut, tetapi ia berproses. Proses inilah yang harus dijaga dan dibimbing. Maka manusia perlu pendidikan, tarbiyyah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai pendidikan anak dalam kehidupan keluarga, terutama sekali pendidikan moral mereka:
Pertama, bahwa pendidikan dalam rumah tangga itu meliputi berbagai aspek: fisik, mental, sosial, emosi, perilaku, harga diri dan sebagainya. Karena itu sebelum memutuskan untuk memiliki anak, seseorang seharusnya sudah memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai untuk mendidik anaknya. Ia harus memiliki general knowledge tentang dunia dan kehidupan dan harus siap membekali diri tentang apa saja yang diperlukan untuk kepentingan pendidikan anaknya.
Kedua, potensi dan kecenderungan anak harus diperhatikan. Anak memang anak kita, tetapi ia sebenarnya ia bukan datang dari kita. Your children are not your children, kata Kahlil Gibran (1883-1931), ... they come through you but not from you ... Namun alam memiliki hukum yang amat menakjubkan yang mengikat orangtua dengan anaknya melalui kasih sayang yang luar biasa. Setiap anak kecil mempunyai kekuatan magis yang menggoda setiap mata memandang. Ayah dan Ibu tidak akan pernah rela apa pun menyakiti anaknya, walaupun, aneh sekali, kita juga kerap mendengar orangtua yang nekat melawan nuraninya dan rela membunuh anaknya sendiri. Sepertinya tidak mungkin. Tetapi kenyataan hidup yang pahit ataupun kebodohan kadang-kadang dapat membuat mata buta, telinga tuli dan akal tidak lagi waras. Pada zaman jahiliah ada orang yang membunuh anak perempuannya ketika baru lahir karena merasa aib. Di Pakistan, beberapa tahun lalu (2005), seorang laki-laki membunuh empat anak perempuannya (tiga anak kandung, satu anak tiri) dengan dalih menyelamatkan kehormatan keluarga.
Anak adalah sebuah anugerah, karena itu harus dijaga dan disyukuri. Biarkan ia menjadi dirinya; tugas kita sebagai orang tua adalah membimbingnya, bukan memaksakan kehendak kita atasnya.
Ketiga, pendidikan anak harus bersifat alami. Anak-anak harus diajarkan dengan jiwa dan hati nurani, bukan dengan kekerasan. Biarkan anak-anak belajar dengan cara yang nyaman dan menyenangkan.
Keempat, karena itu, orang tua harus mampu memberikan dorongan kepada anak, bukan memaksa mereka menguasai sesuatu. Memberikan dorongan berarti membuka jalan bagi pengetahuan yang ia (si anak) sendiri merasa senang dan menyukainya. Orang tua harus bisa membaca jalan mana yang mudah dan “lempang” bagi anaknya.
Kelima, orang tua adalah keteladanan, karena itu harus berwibawa, walaupun tidak perlu dibuat-buat. Orang tua akan berwibawa di hadapan anaknya kalau ia dapat
menghargai anaknya, bukan ketika ia dapat menggiring anaknya ke mana yang ia sukai. Wibawa adalah sebuah karakter alami yang lahir dari pesona jiwa yang dimiliki seseorang. Orang tua harus menjadi pesona bagi anak-anaknya. Ia hanya dapat melakukan itu dengan kasih sayang yang tulus, bukan dengan kecaman suaranya yang keras.
Semua poin di atas termasuk bagian dari perilaku yang harus ditunjukkan orang tua kepada anaknya supaya pendidikan moral dalam rumah tangga dapat terserap secara lebih signifikan. Sebuah poin terakhir yang harus dicatat adalah bahwa pendidikan dalam rumah tangga hanya akan berhasil jika kerja sama kedua orang tua terjalin dengan baik. Jika tidak, maka sebuah kegagalan akan mengintai.
6. Sekolah dan Masyarakat

Sekolah telah menjadi sebuah “kewajiban” dalam kehidupan masyarakat modern. Pendidikan seakan-akan tidak sah tanpa sekolah. Kita pun sebagai masyarakat modern seolah-olah tidak dapat lagi memisahkan antara sekolah dan hakikat pendidikan. Sekolah telah identik dengan pendidikan itu sendiri, pengetahuan sama dengan diploma, prestasi dengan nilai, keilmuan dengan kesarjanaan, dan segala simbol yang terkait dengan sekolah dikultuskan secara berlebihan.
Dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, tidak ada lagi orang yang tidak sekolah. Pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya agar semua anak-anak dapat sekolah. Akan tetapi sampai di mana pemerintah sanggup menyekolahkan anak-anak kita? Anak-anak siapa yang dapat melakukan akses ke pendidikan berkualitas atau ke jenjang yang lebih tinggi, yakni ke universitas? Mengapa sekolah-sekolah kita memiliki kualitas yang berbeda-beda? Siapa yang bertanggung jawab?
Lebih jauh lagi, apakah sekolah telah memberikan pelayanan pendidikan sebagaimana diharapkan? Apakah anak-anak kita telah mendapatkan pendidikan dari sekolah sebagaimana mestinya? Semua pertanyaan ini, dan sejumlah pertanyaan lain yang serupa, masih relevan, sejak sekolah didirikan di negeri ini, sampai hari ini. Keadilan dalam bidang pendidikan masih jauh dari yang diharapkan.
Pada tahun 1971 Ivan Illich menerbitkan sebuah buku Deschooling Society, yang berisi pikiran dan gagasannya yang sangat radikal tentang sekolah. Ia mengajak agar sekolah dihapuskan karena sekolah telah mengubah pola pikir dan mentalitas masyarakat. Mendirikan sekolah berarti menginstitusionalisasi-kan pendidikan dan ini berarti menginstitusionalisasikan masyarakat. Dengan cara seperti ini kita telah membunuh potensi masyarakat dan potensi serta kebebasan kreativitas anak-anak. Terlebih, sekolah telah dijadikan objek bisnis dan menjadi monopoli kelompok tertentu. Hal ini sangat berbahaya bagi kemerdekaan nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya amat luas.
Kritik Illich terhadap sekolah mungkin membuat kita agak sedikit tersentak, sebab sekolah telah memberikan kontribusi luar biasa dalam bidang pendidikan secara universal. Tetapi, yang menarik, Illich sebenarnya bukan hanya mengkritik, tetapi menawarkan sebuah solusi bagi pendidikan di zaman yang memiliki potensi dalam bidang teknologi sangat luar biasa. Illich mengajak semua masyarakat terlibat berkontribusi dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan pendidikan (seharing knowledge). Hal lain yang paling penting adalah mengembalikan kesadaran kita terhadap makna hakiki dari pendidikan, bahwa ia bukan sekedar untuk mendapatkan ijazah atau meraih gelar kesarjanaan.
Jika “nasihat” Illich mau didengarkan maka sekolah seharusnya menjadi milik masyarakat dan masyarakat bertanggung jawab atas maju atau mundurnya sebuah sekolah atau tempat pendidikan apa pun bentuknya. Demikian juga para guru, mereka harus menjadi penggali potensi anak-anak untuk dikembangkan menjadi kekuatan dahsyat yang mengubah keadaan menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat, bukan guru yang bekerja hanya untuk menghabiskan waktu saja karena tidak ada pekerjaan lain, atau hanya sebagai tempat pelarian agar jangan disebut penambah daftar pengangguran.
Guru adalah keteladanan, karena itu guru harus mampu berdiri di depan murid-muridnya sebagai sosok yang dapat memberikan pesona secara moral, bukan penampilan baju yang baru dan mahal.
Masyarakat juga harus menghargai guru. Guru tanpa penghargaan yang layak akan mengalami kemerosotan dalam dirinya. Mungkin seorang guru telah bekerja keras dan tulus untuk melaksanakan kewajibannya, tetapi tanpa dukungan yang layak dari masyarakat, maka sebagai manusia ia juga akan lemah.

7. Penutup

Hanya dua hal ingin saya katakan pada penutup makalah ini. Pertama: moralitas adalah sebuah divine power atau anugerah Tuhan untuk kita pelihara. Apabila kita mengabaikannya maka kita akan menjadi sangat rugi. Moralitas adalah sinyal jiwa yang membimbing kita dalam menata kehidupan di tengah-tengah keramaian dunia; jika mengabaikannya kita akan tersesat.
Kedua, moralitas bukan anugerah yang murah. Kita harus bekerja keras meraihnya dan harus dapat mewariskannya kepada anak-anak kita. Pendidikan moral adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin memberikan yang terbaik bagi generasi kita akan datang.
Maka yang menjadi saran saya juga dua hal: Pertama untuk masyarakat, perkuat hubungan dan kerja sama rumah tangga dan sekolah. Kedua untuk pemerintah, berikan perhatian yang maksimal untuk kepentingan pendidikan moral.
Wallāhu a‘lam!