Wednesday, March 31, 2010

HUKUMAN DALAM ISLAM

Dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi terdapat berbagai macam ketentuan hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kejahatan, seperti zina, pencurian, pembunuhan dan penuduhan.

Dalam al-Qur’an, pelaku zina dikenakan hukuman cambuk. Namun berdasarkan hadits-hadits Nabi dapat dikatakan bahwa pelaku zina terbagi dua: muhsan dan ghairu muhsan, yakni pelaku zina yang telah kawin dan pelaku zina yang belum kawin. Pelaku zina yang telah kawin akan dirajam sebagai hukumannya, sedangkan yang belum kawin akan cambuk seratus kali, sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam teks al-Quran, dan diasingkan kalau ia masih hidup.

Mengenai masalah ini, telah muncul pandangan pro dan kontra di kalangan para sarjana Muslim: benarkah ada ketetapan hukum rajam dalam Islam? Bukankah itu adalah hukuman yang terdapat dalam tradisi Yahudi? Mengapa Islam kembali menerapkannya. Karena itu ada anggapan bahwa hukuman rajam yang diterapkan pada masa Nabi adalah terhadap pelaku zina di kalangan Yahudi, karena Islam juga memerintahkan Yahudi dan Nasrani menjalankan hukum-hukum yang tertera dalam Kitab mereka. Dalam hal ini muncul pula perdebatan mengenai hukuman syari’at Islam terhadap pelaku kejahatan yang bukan Muslim. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukuman diterapkan kepada semua pelaku kejahatan, baik Muslim atau non-Muslim, namun Malikiyah dan sebagian besar Hanafiyah mensyaratkan Islam agar seseorang dapat dikenakan hukuman had sesuai syari’at Islam.

Perdebatan di atas memperlihatkan terbukannya hukum Islam terhadap interpretasi yang luas. Nabi sendiri barangkali telah melakukan interpretasi ketika menerapkan rajam bagi pelaku zina Muslim – jika memang peristiwa itu benar telah terjadi. Sebab al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan hukuman seperti itu. Mungkin saja Nabi terispirasi oleh tradisi Yahudi yang menerapkan hukuman rajam itu, sehingga menambahkannya ke dalam tradisi Islam, dan diterapkan khusus bagi penzina yang telah kawin. Hikmahnya barangkali, karena orang yang telah kawin seharusnya telah dapat menjaga diri dari perbuatan zina; jika orang yang telah kawin melakukan zina maka hukumannya harus lebih berat.

Ada juga sarjana Muslim, seperti Muhammad Syahrur, yang menganggap bahwa hukuman yang ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah adalah hukuman pada hadd al-a‘lā, yakni batas maksimal. Hakim dapat mempelajari kejahatan yang dilakukan seseorang, sehingga ia dapat menetapkan apakah pelaku kejahatan tersebut pantas diberikan hukuman maksimal, atau cukup dengan hukuman lain yang lebih ringan.

Hukuman terhadap pelaku pencurian mungkin dapat dijadikan contoh lebih konkrit. Dalam al-Qur’an ditetapkan bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan dipotong tangannya. Tidak ada keterangan lebih jauh disebutkan, misalnya tentang jumlah atauharga barang curian, kondisi saat terjadi pencurian dan sebagainya. Karena itu ada pemikir Muslim, seprti al-Hasan dan kelompok zahiri, yang mengatakan setiap pencurian, dalam bentuk apapun dan sejumlah apapun, dikenakan had potong tangan. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan seseorang dipotong tangannya jika ia mencuri. Mereka berdalil dengan hadits Nabi yang menyebutkan: tangan seorang pencuri akan dipotong jika mencuri minimal seper empat dinar. Jadi pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan itu ada nisab atau batasnya yang jelas.

Pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, pernah seorang pencuri tidak dihukum potong tangan karena ia mencuri dalam keadaan krisis pangan. Umar sepertinya mengerti bahwa pencurian yang dilakukan orang tersebut bukan terdorong oleh semangat jahatnya, tetapi karena terdesak oleh kesulitan ekonomi semata. Ia “benar-benar” dalam keadaan “darurat.” Dalam hal ini Umar telah melakukan suatu interpretasi yang belum pernah dilakukan oleh siapapun pada masa tersebut. Namun tindakan Umar itu memperlihat kejeniusannya dalam memahami semangat hukum Islam. Hukuman adalah dalam rangka meredam kejahatan. Lalu bagaimana jika kejahatan itu sendiri bersifat “semu”, tidak disengaja, tidak “diniatkan” untuk menzalimi orang lain atau hanya karena terpaksa dan bersifat kasuistik? Umar menyimpulkan, itu dapat dimaafkan. Dan kalaupun dihukum, maka hukumannya dapat diringankan.

Bagaimana dengan hukuman seperti terhadap pemabuk, yang sama sekali tidak ditetapkan dalam al-Qur’an? Berdasarkan hadits-hadits Nabi, ia didera empat puluh kali, atau sekitar empat puluh. Demikian juga pada masa Umar, hukuman cambuk empat puluh kali ini ditambah menjadi delapan puluh. Umar melihat bahwa cambuk empat puluh kali kelihatan tidak “mapan” lagi, dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat besar seperti Ali, lalu mereka sepakat menetapkan cambuk delapan puluh kali bagi peminum minuman keras.

Semua ini memperlihatkan kelenturan hukum Islam dalam sejarah sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi sendiri dan para sahabat. Hukum itu dapat diinterpretasikan sejalan dengan perkembangan budaya dan psikologi masyarakat yang berada di suatu tempat dan zaman tertentu. Tidak ada kekakuan dalam hukum Islam sebab Islam bertujuan untuk mensejahterakan umat dan menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan untuk keselamatan hidup mereka di dunia ini dan di akhirat nanti.

Terlebih lagi jika diperhatikan bahwa hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan secara sangat hati-hati. Dalam kanun Umar pernah disebutkan bahwa kekeliruan dalam meniadakan hukuman lebih baik dari kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Empat orang saksi bagi ketetapan hukuman terhadap pelaku zina hampir-hampir saja dapat dikatakan mustahil dalam konteks zaman sekarang ini. Karena itu tidak ada salahnya persoalan ini didiskusikan kembali secara lebih mendalam sesuai dengan semangat hukum yang dikenal masyarakat sekarang ini.

Wallau a’lam!!!

KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN ACEH DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA


Ibu, istri, anak perempuan dan kakak atau adik perempuan memiliki posisi dan peran yang berbeda, sesuai dengan wilayah dan tingkatannya masing-masing dalam masyarakat Aceh. Setiap posisi memiliki citra tersendiri dan setiap peran ada nilainya.
A. Perempuan Sebagai Ibu

Ibu akan dihormati oleh anak-anaknya sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarkan mereka. Walaupun Ayah dianggap sebagai kepala rumah tangga, peran Ibu lebih signifikan; walaupun keturunan dinisbahkan kepada Ayah, keluarga pihak Ibu sering sekali merasa lebih dekat dengan seorang anak. Kemarahan seorang Ayah memang menakutkan, tetapi kutukan seorang Ibu jauh lebih mengerikan. Seseorang bisa saja berubah jadi batu atau menjadi ular karena durhaka kepada Ibunya – demikianlah cerita dalam masyarakat berkembang. Mungkin dapat disepakati bahwa hubungan lebih erat antara Ibu dan anak, dibandingkan dengan Ayahnya, adalah natural dan bersifat universal. Saya pernah mendengar seorang Ibu (seorang perempuan setengah baya) ditanyakan oleh seorang aktivis perempuan asing soal mengapa ia menaruh nama ayahnya di belakang namanya (maksudnya: apakah dengan demikian ia tidak merasa telah mendiskreditkan Ibunya?). Ia menjawab: “Dengan demikianlah nama Ayah saya jelas terpampang; Ibu saya tidak membutuhkan itu, sebab ia selalu jelas, ia adalah orang yang telah melahirkan saya dan tidak seorang pun dapat mengingkarinya.”
Dalam struktur keluarga masyarakat Aceh, keturunan dinasabkan kepada Ayah, namun keturunan dapat ditelusuri pada kedua belah pihak: Ibu dan Ayah. Keluarga pihak ayah disebut dengan wali dan pihak Ibu karong. Siegel, yang meneliti tentang Aceh lebih empat puluh tahun lalu, telah mendiskusikan masalah ini secara panjang lebar, dan dalam banyak hal masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Seperti telah disebutkan, kedekatan seorang anak dengan keluarga pihak Ibu sangat kentara dalam masyarakat Aceh. Siegel menulis begini: Children grow up in the house of their mother and in the company of the children of their mother’s sisters (anak-anak dibesarkan di rumah ibunya dan ditemani oleh anak-anak dari saudara perempuan Ibunya). Menurut kebanyakan orang, hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi kelebihan keluarga pihak Ayah yang telah dijadikan sebagai nisbah keturunan (seorang anak dinasabkan kepada Ayahnya).
Ibu sangat terkait dengan anak-anak baik dalam peran, struktur keluarga maupun dalam simbol-simbol. Jika orang tua bercerai maka anak-anak secara umum akan ikut bersama Ibu atau keluarga Ibunya. Perempuan sebagai Ibu selalu disanjung, berbeda dengan peran istri, anak atau saudara. Hadis-hadis Nabi tentang kemuliaan Ibu dibacakan dalam berbagai kesempatan, terdengar dalam khutbah-khutbah; anak-anak atau remaja yang mengikuti lomba pidato di sekolah, di mesjid atau di mana-mana, yang mengambil topik “Berbakti kepada Orangtua” akan menyanjung dengan amat tinggi Sang Ibu, perempuan yang telah melahirkan mereka. Ini dapat dimengerti karena dalam konteks tradisional, peran Ibu memang amat sangat luar biasa. Kita mungkin dapat saja khawatir, bagaimana jika dalam kehidupan modern peran-peran mereka telah digantikan dengan yang lain? Bagaimana dengan kemungkinan rahim di luar kandungan manusia? Bagaimana dengan kehidupan keluarga urban yang memiliki pembantu dan penjaga anak selain dari kalangan keluarga sendiri, yang digaji dan bekerja secara profesional? Apakah kemuliaan dan penghormatan terhadap Ibu akan mengalami pergeseran makna? Kebanyakan orang memandang hal ini sebagai tantangan bagi masyarakat Muslim. Sering sekali saya mendengar kekhawatiran orang-orang yang menyaksikan kehidupan sebagian anak-anak kota yang kurang menunjukkan respek kepada orangtuanya, terutama sekali kepada Ibunya. Sebagian orang lalu berasumsi bahwa perhatian dan kepedulian yang kurang terhadap anak di daerah-daerah perkotaan adalah sumber malapetaka tersebut. Sebenarnya, di kampung-kampung pun saya juga pernah melihat sikap anak-anak yang kurang respek terhadap Ibunya; sementara itu, mereka hanya hormat kepada Ayahnya karena takut semata. Kalau diperhatikan secara lebih seksama, tradisi dan sikap seperti itu pada hakikatnya berasal dari ajaran agama dan kebiasaan yang dibangun oleh masyarakat sendiri, baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Penghormatan terhadap orangtua, terutama Ibu, mempunyai referensi yang kuat dari ayat Qur’an. Di sekolah-sekolah, ayat tersebut pasti diperdengarkan kepada para siswa. Ketika saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, murid-murid kelas 4 sudah disuruh menghafal ayat tersebut, yaitu ayat 14 surat Luqmān (31) yang artinya sebagai berikut:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orangtuamu; hanya kepada-Kulah tempat kembali.

Penghormatan terhadap orangtua bahkan melampaui batas agama. Seseorang tetap wajib berbakti kepada kedua orangtuanya di dunia ini walaupun mereka memilih jalan hidup berbeda. Ini disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu ayat 15 surat yang sama:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Qur’an juga secara langsung memberikan perintah kepada para Ibu agar menyusui anaknya sampai dua tahun (Q.S. al-Baqarah [4]: 233). Ayat tentang perintah menyusui ini menjadi sangat favorit, terutama sekali bagi pemerintah yang mengampanyekan KB (Keluarga Berencana) dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) bagi anak. Di kantor-kantor KB dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) pasti ditempelkan tulisan ayat tersebut beserta artinya. Di Rumah Sakit dan klinik-klinik kesehatan, kita juga dapat melihat tulisan ayat tersebut terpampang. Terjemahan lengkap ayat tersebut sebagai berikut:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayah dan Ibu dalam ayat di atas mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengurus anaknya, tidak boleh ada yang menderita dan teraniaya gara-gara lahirnya seorang anak. Perbedaan gender sangat jelas di sini. Ibu yang sedang sangat sibuk menyusui dan mengurus bayinya tentu saja tidak sempat memikirkan dan melakukan pekerjaan lain. Karena itu Ayah berkewajiban memikirkan dan mengurus hal lain untuk kepentingan keluarga yang dalam bahasa Qur’an disebut dengan “memberikan makanan dan pakaian.” Qur’an juga menyadari bahwa kemampuan setiap orang berbeda-beda dan semua manusia memiliki keterbatasan. Karena itu Qur’an menegaskan bahwa setiap kewajiban itu disesuaikan dengan kesanggupan dan dilakukan dengan prosedur dan cara-cara yang makruf, yakni yang baik, patut dan rasional. Menurut saya, petunjuk paling penting dari arahan Qur’an di sini adalah mengacu pada keseimbangan tugas dan tanggung jawab antara Ayah dan Ibu dalam mengasuh dan memelihara anaknya. Mereka harus bersikap adil, jangan ada pihak-pihak yang terlalu terbebani, terutama Ibu yang telah mengandung sekian lama dan kemudian melahirkan. Ia harus diberikan waktu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan kesehatannya; Ayah harus mempertimbangkan hal tersebut. Kalau mereka menginginkan, demikian menurut Qur’an, bahkan mereka dapat menggaji seorang profesional untuk menyusui dan mengasuh anaknya. Di Aceh hal seperti ini jarang dilakukan.
Pemberian alternatif penyusuan anak pada orang lain, sebagaimana tersebut di atas, adalah indikasi bahwa peran gender yang dimainkan oleh Ibu dalam hal mengasuh anak, yang telah sering kali dianggap sebagai tugas alamiah (natural) Ibu, menurut Qur’an adalah sebuah tugas profesional, di mana Ayah harus mengompensasikannya dengan cara yang makruf. Anak adalah milik mereka berdua, karena itu mereka harus memikirkan cara-cara yang adil dalam memelihara dan membesarkan anak tersebut. Kalau keduanya “sibuk” maka menggaji orang lain untuk tugas tersebut adalah sebuah alternatif.
Di Aceh – dan mungkin juga dalam kebanyakan masyarakat di dunia ini – Ibu hampir sepenuhnya mengambil tugas menyusui dan mengasuh anak, dan Ayah mencari nafkah serta memenuhi segala keperluan Ibu dan anak. Seorang perempuan biasanya melahirkan di rumah Ibunya (nenek si bayi). Karena itu partisipasi nenek, dan juga saudara-saudara perempuan Ibu, sangat signifikan dalam mengasuh si bayi. Kalau bayi menangis di waktu malam, maka Ibu akan memberinya ASI atau pergi ke dapur dan membuat susu untuknya. Demikian pula kalau bayi kencing atau berak, maka yang paling sibuk adalah Ibu atau nenek, atau perempuan yang lain, bukan Ayah atau laki-laki. Kalau seorang laki-laki sedang menggendong bayi, lalu bayi itu kencing, misalnya, maka ia akan menyerahkannya kepada Ibunya atau perempuan yang lain untuk mengurusnya (membersihkan dan menggantikan pakaiannya). Itu adalah kebiasaan yang saya lihat, tidak berarti seratus persen prakteknya demikian. Laki-laki kadang-kadang juga melakukan tugas tersebut, terutama di kalangan keluarga muda terpelajar. Keluarga yang kaya tentu saja memiliki pembantu yang digaji untuk melaksanakan tugas-tugas dalam rumah tangga. Kalau keluarga miskin, kadang-kadang terlalu sedih untuk diceritakan. Di kampung, beberapa tahun yang lalu, saya pernah melihat seorang nenek mengasuh seorang bayi yang kedua orangtuanya telah meninggal. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Makanan yang diberikan kepada si bayi hanya nasi dan pisang yang telah digiling sampai halus, sementara minumannya hanya air putih – tidak ada ASI, tidak ada susu apa pun. Kami berusaha menyuplai sedikit bantuan, tetapi beberapa bulan kemudian saya mendengar bayi itu telah meninggal. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal mengasuh anak, peran perempuan, mulai dari yang masih anak-anak sampai nenek-nenek, luar biasa.

B. Anak dan Saudara Perempuan

Anak adalah karunia dari Tuhan. Ia bukan milik kita; ia hanya datang melalui kita. Your children are not your children, kata Kahlil Gibran (1883-1931), ... they come through you but not from you ... Namun alam memiliki hukum yang amat menakjubkan yang mengikat orangtua dengan anaknya melalui kasih sayang yang luar biasa. Setiap anak kecil mempunyai kekuatan magis yang menggoda setiap mata memandang. Ayah dan Ibu tidak akan pernah rela apa pun menyakiti anaknya, walaupun, aneh sekali, kita juga kerap mendengar orangtua yang nekat melawan nuraninya dan rela membunuh anaknya sendiri. Sepertinya tidak mungkin. Tetapi kenyataan hidup yang pahit ataupun kebodohan kadang-kadang dapat membuat mata buta, telinga tuli dan akal tidak lagi waras. Pada zaman jahiliah ada orang yang membunuh anak perempuannya ketika baru lahir karena merasa aib. Di Pakistan, tahun lalu (2005), seorang laki-laki membunuh empat anak perempuannya (tiga anak kandung, satu anak tiri) dengan dalih menyelamatkan kehormatan keluarga.
“Anak,” demikian sering kita dengar, “adalah amanah dari Tuhan.” Karena itu kita harus menjaga dan memeliharanya. Namun, bagi sebagian orang di dunia ini, jenis kelamin tetap menjadi masalah sampai sekarang. Bukan hanya di zaman jahiliah, di zaman yang kita sebut modern pun, masih banyak anak yang menjadi korban kebencian hanya karena dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan. “Ratusan gadis kecil dan dewasa dibunuh oleh anggota keluarga mereka setiap tahunnya di Pakistan,” kata Detiknews. Di beberapa wilayah di India dan di pedalaman-pedalaman Cina masih terjadi pembunuhan anak perempuan. Laki-laki mungkin tidak sadar akan akibat dari perbuatannya itu. Kasus di India bahkan telah menginspirasikan lahirnya sebuah film berjudul Matrubhoomi – A Nation Without Women (Tanah Air – Sebuah Bangsa Tanpa Perempuan), semacam film futuristik yang mengeksplorasi kehidupan di pedalaman India di mana akibat dari pembunuhan bayi perempuan, perempuan secara praktis punah. Akibatnya, laki-laki lari ke alternatif lain seperti pornografi, homoseksual, kekerasan dan sebagainya. Ketika seorang gadis ditemukan, ia dijual dan bahkan dikawini oleh lima laki-laki bersaudara. Manish Jha, sutradara film yang dirilis tahun 2004 tersebut, mengatakan bahwa semua itu berawal ketika ia membaca sebuah artikel dalam sebuah majalah tentang kehidupan di sebuah desa di Gujarat: akibat dari pembunuhan bayi-bayi perempuan, laki-laki menghadapi persoalan serius ketika merasa kekurangan perempuan pada umur perkawinan. Manish Jha mempelajari lebih jauh dan amat terkejut ketika menemukan bahwa, berdasarkan laporan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), sekitar 50 juta perempuan hilang dari populasi India akibat dari diskriminasi gender.
Demikiankah nasib perempuan selamanya di dunia ini? Kalau pun tidak dilenyapkan, bayi perempuan kadang-kadang tidak atau kurang disukai. Benarkah? Joni Seager menulis: Everywhere, boys tend to be privileged over girls. A cultural preference for sons over daughters is almost universal (di mana-mana, anak laki-laki cenderung diistimewakan dari anak perempuan. Pengistimewaan kultural anak laki-laki atas anak perempuan hampir bersifat universal).
Apakah anak perempuan di Aceh didiskriminasi atau didiskreditkan? Dalam sebuah diskusi pada 2003 di Banda Aceh saya pernah mengangkat isu son preference; saya mengatakan bahwa masih banyak orang yang lebih senang ketika dikaruniai bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan, dan bahkan dalam kehidupan keluarga, anak laki-laki diistimewakan. Sebagian peserta (laki-laki) membantah, tetapi bantahan itu saya anggap sebagai keterbatasan pengalamannya saja. Kalau benar mereka (sebagai anak laki-laki) mengalami demikian (tidak pernah diistimewakan dari anak perempuan) dan juga bersikap demikian terhadap anak-anak mereka, itu bagus sekali. Tetapi seorang Dosen IAIN Ar-Raniry, belum lama ini, pernah mengekspresikan keresahannya soal ketidakadilan gender dalam keluarga yang disebutnya dengan “Suatu Stigma dalam Masyarakat Aceh.” Menurut premis yang diajukannya, masih “ada perbedaan pandangan dan perlakuan orangtua dalam masyarakat Aceh terhadap anak laki-laki dan perempuan.” Anak laki-laki, menurut penulis tersebut, memiliki daya pikat dan posisi yang istimewa di mata orangtuanya, terutama Ibu.
Sejauh pengalaman saya yang pernah hidup di kampung dan di kota, kehidupan perempuan sebagai anak atau saudara dalam masyarakat Aceh memang bervariasi; ia tidak universal seperti Ibu. Secara umum, anak laki-laki atau anak perempuan bagi orang Aceh sama saja. Bentuk paling ekstrem dari diskriminasi dan kebencian terhadap anak perempuan sampai pada bentuk pembunuhan, karena alasan ekonomi atau kultural, tidak pernah terjadi. Tetapi pembunuhan anak karena alasan keagamaan atau kehormatan keluarga (tanpa memandang laki-laki atau perempuan) memang pernah terjadi. Sultan Iskandar Muda pernah membunuh anak laki-lakinya sendiri karena melanggar kehormatan agama dan adat budaya masyarakat Muslim Aceh, setelah seorang laki-laki membunuh anak perempuannya sendiri yang kemudian dilaporkannya kepada Baginda Raja sebagai telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah anak kandung Baginda sendiri. Perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan yang merusak kehormatan dan nama baik keluarga dan karena itu pelakunya harus dihabisi. Hamka pernah menyebut hal seperti itu sebagai ghirah (bahasa Arab, artinya: kecemburuan, antusiasme, zeal, semangat) keagamaan. Sebuah keluarga akan merasa sangat terhina bila ada salah seorang di antara anggotanya yang melakukan perbuatan tercela; laki-laki, biasanya Ayah atau saudara tertua, akan mengambil tindakan. Hal seperti itu mungkin tidak terjadi lagi sekarang. Akan tetapi dalam sebuah keluarga yang taat, seorang laki-laki kadang-kadang akan sangat marah ketika melihat, misalnya, seorang perempuan dari anggota keluarganya tidak mengenakan jilbab, yakni menutup aurat dengan sempurna, atau kedapatan berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram-nya. Pembunuhan anak karena “alasan-alasan” (dalih) tertentu kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Anak kadang-kadang dibunuh karena tidak diharapkan kehadirannya, atau sebagai “protes sosial” terhadap kondisi kehidupan yang dianggap tidak adil. Ada juga perempuan yang membunuh anaknya dengan dalih “kasihan” sebab masa depan anak tersebut dalam anggapannya tidak menentu. Beberapa tahun yang lalu saya mendengar berita seorang perempuan di sebuah daerah di Aceh Utara membunuh anaknya karena alasan seperti itu.
Privilege atau keistimewaan yang diberikan kepada anak laki-laki secara umum kadang-kadang juga terasa. Walaupun kelahiran bayi laki-laki mungkin akan dirayakan sama dengan kelahiran bayi perempuan, sembelihan untuk akikah (‘aqīqah) anak laki-laki lebih istimewa dari anak perempuan – untuk anak laki-laki dua ekor kambing, untuk anak perempuan satu ekor. Ini merujuk pada pandangan kebanyakan ulama yang membedakan antara akikah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam mazhab H{anafī, Syāfi‘ī dan H{anbalī memang ketentuannya demikian: bagi anak laki-laki dua ekor kambing, bagi anak perempuan satu ekor kambing. Tetapi Imam Malik menganggap tidak ada perbedaan antara akikah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, yaitu masing-masing seekor kambing. Perbedaan pendapat ini terjadi karena memang terdapat beberapa hadis yang berbeda dan semuanya, dari segi periwayatan, sahih. Hadis yang meriwayatkan tentang sembelihan yang dilakukan Nabi untuk akikah cucunya, Hasan dan Husain, juga berbeda: yang satu meriwayatkan Nabi menyembelih dua ekor kambing untuk masing-masing mereka, sementara yang satu lagi mengatakan satu ekor kambing. Sementara hal tersebut masih dapat diperdebatkan, kebanyakan orang dengan mudah menjadikannya sebagai justifikasi agama bagi pengistimewaan anak laki-laki atas anak perempuan.
Selain dari itu, anak laki-laki dianggap sebagai pemilik garis keturunan, sehingga seorang yang tidak mempunyai anak laki-laki akan dianggap keturunannya telah putus. Akan tetapi kebanyakan masyarakat Aceh tidak terlalu risau dengan garis keturunan. Setiap orang akan melekatkan nama Ayahnya di belakang namanya, bukan nama marga, nama nenek moyang ataupun nama suku. Setiap orang dianggap sebagai anak dari kedua orangtuanya, tidak terlalu penting ke mana garis keturunan itu akan menuju. Sebagian orang, terutama dari kalangan ampon atau hulubalang, memang masih mempertimbangkan pentingnya garis keturunan laki-laki itu.
Dalam kehidupan orang biasa, anak laki-laki dan perempuan tidak begitu berbeda. Nenek saya (kami termasuk dalam kelompok “orang biasa”) sering menyuruh saya bekerja membersihkan rumput di sekitar rumah dan pergi ke sawah; kalau saya bermalas-malasan di akan marah. Hal ini sangat berbeda dengan suasana dalam kehidupan keluarga keturunan ulee balang atau ampon. Dalam “kelompok” ini, menurut informasi yang saya dapatkan dari teman-teman yang mengalami kehidupan dalam keluarga tersebut, anak laki-laki sangat spesial. Kalau ia sedang tidur tidak boleh diganggu, dan berbeda dari saudara-saudaranya yang perempuan, anak laki-laki sangat “pantang” pergi ke dapur atau disuruh mengerjakan “pekerjaan-pekerjaan perempuan” seperti memasak dan mencuci piring.
Dalam keluarga orang biasa, baik petani atau pedagang, anak-anak laki-laki dan perempuan sering membatu orangtuanya bekerja di sawah atau di pasar. Anak laki-laki juga tidak dilarang pergi ke dapur. Siegel memang pernah mencatat keluarga yang melarang anak laki-laki pergi ke dapur, tetapi kemudian menambahkan: These prohibitions against participating in girls’ activities are not very strong (larangan-larangan berpartisipasi dalam pekerjaan anak-anak perempuan ini tidak terlalu kuat). Saya sendiri sewaktu kecil, sebelum meninggalkan kampung untuk merantau, sering membantu Ibu, bibi atau nenek di dapur. Memarut kelapa dan menggiling bumbu masak sering saya lakukan. Tidak ada perempuan yang keberatan.
Sebagian keluarga kadang-kadang cenderung memaksa anak-anak perempuan untuk mahir mengerjakan “pekerjaan-pekerjaan perempuan,” yakni seperti pekerjaan-pekerjaan dapur, sementara anak laki-laki di suruh bekerja di luar rumah. Saya pernah menyaksikan dalam sebuah keluarga seorang Ibu dengan tekun mengajarkan anak perempuannya bagaimana cara yang benar menghidangkan makanan, bagaimana seharusnya menerima tamu dan kata-kata apa yang harus diucapkan dan sebagainya. Sebaliknya, suatu waktu adik perempuan saya pernah mengeluh ketika prestasinya di sekolah tampak menurun. Ia “mengomel” dan mengatakan itu gara-gara Ibu menyuruhnya melakukan ini dan itu, sehingga ia tidak sempat belajar dengan maksimal. Ibu tidak marah dan setelah itu ia membiarkannya menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar. Bagi Ibu kami, sepertinya pekerjaan-pekerjaan itu, walaupun dianggap telah terbagi secara kultural berdasarkan gender, dapat dikerjakan secara fleksibel. Jadi anak laki-laki dan perempuan pada prinsipnya tidak diperlakukan berbeda dalam pengertian diskriminatif, atau yang satu memiliki privilege di atas yang lain.
Pekerjaan lain anak perempuan adalah menjaga adiknya yang masih kecil. Kalau Ibunya pergi ke sawah atau sedang melakukan pekerjaan tertentu maka biasanya anak perempuanlah yang bertanggung jawab menggantikan peran Ibunya. Kalau dalam keluarga tersebut tidak ada anak perempuan, maka anak perempuan saudara si Ibu atau bahkan anak-anak perempuan tetangga akan sangat senang mengambil posisi tersebut. Anak laki-laki sangat jarang berpartisipasi dalam pekerjaan ini, walaupun bukan tidak ada sama sekali.
Dalam hubungan saudara tidak ada perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Usia lebih berperan menentukan siapa harus menghormati siapa. Seorang adik harus selalu menghormati kakaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi jika di antara mereka (biasanya bagi orang-orang yang sudah dewasa) ada persoalan yang membutuhkan kepada suatu permusyawaratan maka saudara laki-laki tertua biasanya memiliki otoritas lebih tinggi dari yang lain.

C. Istri dan Kehidupan Rumah Tangga

Perempuan sebagai istri berbeda lagi. Hubungan antara suami dan istri berbeda dari hubungan antara orangtua dan anak atau antara seorang saudara dengan saudaranya yang lain, karena hubungan antara suami dan istri terbentuk oleh sebuah akad – sebuah jalinan perjanjian yang disengajakan dan dapat diubah; Ibu, anak dan saudara secara biologis bersifat permanen: tidak dapat diubah. Karena hubungan tersebut dibuat maka ia harus dipelihara dan dirawat. Tanpa pemeliharaan yang baik bisa saja ia rusak, lentur dan putus.
Hubungan perkawinan dibangun atas dasar suka sama suka. Di zaman kontemporer sekarang, kawin paksa jarang terjadi. Akan tetapi, persetujuan orangtua atau keluarga hampir saja merupakan syarat mutlak. Seorang anak muda biasanya akan memberi tahu kepada orangtuanya siapa calon istrinya dan orangtuanya akan melakukan semacam penilaian untuk setuju atau tidak. Jika orangtuanya tidak setuju, ia mungkin akan mencari calon yang lain. Kasus seperti ini pernah terjadi pada seorang teman saya (orang Pidie). Orang Pidie biasanya kawin dengan sesama orang Pidie. Itu seakan-akan telah menjadi tradisi. Teman saya tersebut pertama sekali menunjukkan calon istrinya orang luar Pidie; orangtuanya tidak setuju dan menyuruhnya mencari calon yang lain, dari orang lokal. Ia mencari calon yang lain (juga bukan orang Pidie), orangtuanya juga tidak setuju. Ia terus berusaha dan berargumentasi sampai ia menemukan calon yang disetujui orangtuanya, walaupun bukan orang Pidie. Teman saya yang lain (laki-laki), seorang Dosen sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Aceh, ditentukan jodohnya oleh orangtuanya. Ia menolak, sebab ia tidak mencintainya. Ia menginginkan seorang istri yang ia kawini berdasarkan hubungan cinta dan kasih sayang. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa penolakannya itu berdasarkan alasan moral. Ia tidak suka perjodohan yang ditentukan orangtuanya sebab mereka menginginkan harta kekayaan. Orangtuanya mengatakan – berdasarkan penuturan teman tersebut – bahwa perempuan calon istrinya itu sangat kaya: punya rumah, mobil dan tanah persawahan yang luas. Ia serta-merta menolak dan berkata: “Saya kawin karena menginginkan seorang teman dan pendamping hidup, bukan untuk mencari harta kekayaan.” Akhirnya orangtunya merelakan saja ia menentukan pilihannya sendiri.
Kasus pada anak perempuan juga lebih kurang seperti itu. Memang sekarang ini tidak ada kawin paksa seperti kisah Siti Nurbaya dalam roman klasik Indonesia, tetapi persetujuan orangtua adalah hal ini yang amat sangat penting. Para orangtua, terutama Ayah, mempunyai otoritas yang sangat tinggi dalam keluarga, namun mereka secara umum bersifat toleran. Kasus-kasus yang berakibat fatal dalam hubungan orangtua dan anak jarang terjadi di Aceh. Saya pernah mendengar cerita Ayah saya marah dan mengucapkan kata-kata yang “berat” (ungkapan seperti “putus dunia-akhirat”) kepada kemenakan perempuannya karena ada suatu ketegangan mengenai hubungannya dan calon suaminya. Kakak sepupu saya itu akhirnya menangis dan meminta maaf serta mengikuti nasihat orangtunya dan Ayah saya. Ayah, paman, saudara laki-laki tertua sering kali memainkan peran penting dalam persoalan-persoalan keluarga, terutama sekali menyangkut perkawinan. Pihak perempuan sering diharapkan untuk tunduk dan seia sekata. Dalam situasi-situasi yang menimbulkan ketegangan antara pihak laki-laki dan perempuan, biasanya persoalan hanya dapat diatasi dengan tenang jika pihak perempuan mau mengalah, tidak sebaliknya.
Sebagian orangtua kadang-kadang berusaha mencarikan jodoh bagi anak perempuannya dan mereka memberi tahu serta meminta pendapat anaknya tentang calon suaminya itu. Dalam hal ini, orangtua kadang-kadang sangat pintar menggoda anaknya dan memberikan berbagai alasan agar dapat menaklukkan hati anak gadisnya supaya ia menyukai pilihan orangtuanya itu. Dalam kasus seperti ini orangtua lebih sering menang. Tetapi kadang kala, jika orangtua merasa akan kalah, terutama Ayah, ia akan menggunakan wibawa dan otoritasnya untuk berusaha memaksa, sampai si anak merasa harus mengalah dan menyatakan setuju dengan pendapat orangtuanya. Orangtua sering merasa lebih tahu dan lebih berpengalaman. Mereka juga sering menganggap bahwa semua yang dilakukannya adalah untuk kepentingan anaknya juga. Dalam hal ini mereka dapat dengan mudah menunjukkan contoh-contoh kasus yang membenarkan pendapatnya dan mereka akan berkata: “anak-anak tidak mengerti, tetapi suatu saat nanti dia akan menyadari bahwa yang kita katakan itu benar.” Seorang teman kami (perempuan) di Banda Aceh kawin dengan laki-laki pilihan Ayahnya, seorang tokoh dan ulama terkenal. Laki-laki calon suaminya itu juga seorang ‘alīm, alumni IAIN Ar-Raniry; dia juga teman dan senior kami di pesantren. Sebelum perkawinan berlangsung kami sudah tahu akan hal itu, dan kadang-kadang kalau bertemu dengan perempuan tersebut kami mengganggunya dengan menanyakan “Teungku (panggilan untuk orang ‘alīm dan dihormati) di mana?” Ia pasti akan melempari kami dengan benda-benda kecil yang ada di dekatnya. Ia pernah mengatakan “aku membenci laki-laki itu.” Saya tidak tahu persis apakah ia benar-benar membencinya atau tidak. Hanya saja, sikap dan ekspresinya selalu menunjukkan kebenaran ucapannya. Pesta perkawinan pun berlangsung. Ia kini kelihatan berbeda: sangat ceria dan bahagia; ia selalu nampak sangat bangga di samping suaminya. Orang tua mungkin benar: “anak-anak tidak mengerti.” Mungkin juga perempuan itu telah berubah pikiran: dulu ia benci, sekarang sayang. Jika kasusnya demikian, maka perasaan saya mungkin benar: “perempuan memang aneh dan penuh misteri.”
Dalam kehidupan rumah tangga, istri bertugas melayani suami: memasak, mencuci pakaian, menata dan merapikan kamar, membersihkan rumah dan sebagainya. Pokoknya, kalau di rumah, suami terima beres. Istri mulai bekerja sejak subuh dan berhenti ketika tidur di waktu malam; itu pun jika tidak ada anak kecil atau bayi yang harus dikasih susu ketika menangis di tengah malam. Perempuan-perempuan yang menjaga bayi mungkin hanya “mencuri” tidur pada waktu-waktu tertentu saja. Perempuan selalu siap melakukan apa pun demi anaknya. Di meunasah, ketika masih kecil, saya sering mendengar teman-teman membaca sebuah bait tentang Ibu dalam bahasa Aceh: bak saboh jamok poma meulet-let, bak saboh pijet poma meujaga (karena seekor nyamuk Ibu berkejar-kejaran, karena seekor kutu busuk Ibu berjaga malam). Ketika mengasuh dua anak kembarnya yang pertama, bibi saya (yang saya ceritakan pada Prolog buku ini) bekerja mati-matian. Kami (saya, kakak dan adik) kadang-kadang datang dan menginap di rumahnya untuk menjadi “pembantu.” Suatu hari, ketika saya di rumahnya untuk membantu dan menjaga anak-anak, seorang anaknya menangis dan tidak mau berhenti; sementara itu, di dapur makanan sedang mendidih dan bibi sedang melaksanakan sembahyang. Bibi ternyata mempercepat sembahyangnya, sampai-sampai pada rakaat kedua dan seterusnya ia tidak (sempat) lagi berdiri, tetapi dilaksanakannya sambil duduk, dan gerakan-gerakan sembahyangnya menjadi super express. (Saya tidak mempermasalahkan sah atau tidaknya sembahyang bibi, tetapi ia sendiri pernah mengatakan: “itu darurat”). Panggilan tugas seorang istri atau Ibu kadang-kadang cukup membuat hati kita berdebar.
Menjadi istri bagi sebagian perempuan barangkali berat, melajang terus menerus juga akan menjadi pembicaraan orang. “Perawan tua” adalah istilah yang menyakitkan. Tetapi bagi perempuan, kadang-kadang apa pun pilihannya sama saja. Dalam bahasa Aceh “perempuan” dan “istri” sering disebut dengan ungkapan yang sama, yaitu: inong. Aneuk inong berarti anak perempuan, inong lon (perempuan saya) berarti istri saya. Inong, baik sebelum atau sesudah kawin, pekerjaannya tetap di dalam dan sekitar rumah, di sekitar dapur dan sumur. Perempuan-perempuan karier juga demikian. Pulang dari kantor, ia akan ganti pakaian dan langsung ke dapur dan sumur. Ia akan memasak, mencuci piring dan pakaian, serta mempersiapkan segala keperluan pelayanan bagi suaminya – perempuan adalah an endless working creature. Perempuan-perempuan di kampung lebih-lebih lagi. Di samping memasak, mencuci dan sebagainya – untuk suaminya – ia juga bekerja mencari nafkah: pergi ke sawah, menjahit pakaian, berjualan atau apa pun pekerjaan yang dapat dikerjakannya. Kedudukan istri dan anak perempuan memang tidak sama, tetapi dalam soal bekerja, mereka termasuk dalam kategori tidak berbeda. Walaupun ada pembantu di rumah, istri tetap sebagai pengontrol dan bertanggung jawab atas semua urusan dalam rumah. Kalau ada hal yang tidak beres maka istri yang kena marah. Istri yang “tidak tahan” mungkin pada akhirnya akan minta cerai.
Nasihat perkawinan “alakadar” diberikan kepada suami dan istri pada saat acara peresmian perkawinan, biasanya ketika diadakan serah terima antara pihak suami (lintobaro) dan istri (darabaro) yang diwakili oleh tokoh masyarakat kampung masing-masing. Di sela-sela pidato serah terima itu, pembicara akan menyampaikan wejangan-wejangan kepada kedua mempelai, kadang-kadang dengan nada humor dan ditambah dengan pantun-pantun Aceh, yang membuat para hadirin tertawa. Nasihat perkawinan secara resmi di kampung-kampung jarang diberikan. Saya pernah melihat Ayah saya menikahkan orang di kampung atau di KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan. Dia hanya membaca khutbah nikah dalam bahasa Arab, lalu dilanjutkan dengan ijab kabul. Akan tetapi sebelum ritual resmi pernikahan dilakukan, biasanya Penghulu atau Pak Kuakec akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah agama (seperti niat dan tata cara mandi junub) dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan berumah tangga. Sering juga para calon darabaro dan lintobaro disuruh membaca dua kalimah syahadat, surat al-Fatihah atau ayat-ayat Qur’an yang lain untuk memastikan bahwa mereka secara keagamaan telah siap untuk memasuki kehidupan berumah tangga. Saya sendiri mengalami hal itu. Beberapa hari sebelum acara pernikahan, saya dan calon istri saya dipanggil ke KUA untuk “diinterogasi” dan diberikan nasihat perkawinan. Di kampung-kampung, proses “interogasi” ini kadang-kadang berujung pada suasana menegangkan. (Saya pernah beberapa kali mendengar peristiwa seperti ini sekitar awal 1980an). Jika calon suami yang mau menikah itu seorang pemuda agak “gengsi,” alumni pesantren misalnya, dan merasa dirinya cukup mengerti masalah agama dan tidak suka ditanyakan “ini itu” terkait soal-soal keagamaan yang “sepele,” maka ia akan berkata: “Saya hadir di sini bukan untuk mengikuti ujian, tetapi untuk menikah.” Suasana tentu saja menjadi panas serta dirasakan tidak nyaman (oleh sebagian orang, walaupun sebagian yang lain mungkin menyukainya) dan mungkin perdebatan akan terjadi beberapa saat, sebelum orang yang lebih bijak meredamnya. Semua ini mengindikasikan bahwa kematangan beragama dan pengetahuan tentang kehidupan suami istri pada dasarnya merupakan prerequisite (prasyarat) sebelum kedua calon suami dan istri diizinkan melanjutkan kehidupan mereka ke jenjang perkawinan. Karena itu sebagian pemuda yang merasa “belum siap” akan takut menghadapi pernikahan – mereka takut “ujian”nya.
Sekarang tentu telah banyak perubahan, terutama di daerah-daerah perkotaan. Pada acara akad nikah biasanya nasihat perkawinan akan diberikan Pak Kuakec. Keluarga tertentu – dari kalangan orang berada – sering mengundang seorang ustaz, penceramah, Teungku atau ulama untuk secara khusus menyampaikan nasihat perkawinan. Majalah-majalah nasihat perkawinan dan buku-buku saku untuk bimbingan suami istri yang baru menikah sudah banyak disediakan oleh KUA. Bahkan ketika menjabat sebagai Kepala KUA (sebelum dan awal 1990an), Ayah saya sering membawa pulang majalah Nasihat Perkawinan. Tetapi saya hampir tidak pernah melihat Ibu membacanya; kami anak-anak yang sering membacanya, padahal waktu itu belum menikah. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja, perempuan adalah pihak yang paling ditekankan dalam pemberian nasihat. Istri saya pernah menceritakan bahwa Ibunya sering sekali menasihati begini: “agar rumah tangga bahagia hendaklah istri mengalah jika terjadi keributan.” Saya tentu saja tertawa. Itu adalah nasihat yang telah berulang kali kita dengar. Saya bertanya dalam hati: Mengapa laki-laki tidak boleh mengalah? Mengapa ia tidak pernah boleh disalahkan dalam setiap perkara keributan rumah tangga?
Di mana juga high status perempuan? “Ada, di Pidie dan Aceh Besar,” demikian sebagian teman diskusi saya menjawab. Memang dalam sebagian kehidupan rumah tangga, perempuan memiliki peran dan otoritas yang lebih besar, apabila perempuan itu lebih kaya, lebih tinggi pendidikannya, lebih terkenal (terhormat) asal usulnya (misalnya, keturunan hulubalang atau uleebalang), lebih cerdas, atau lebih tua umurnya. Di daerah Pidie dan Aceh Besar, ketika seorang anak perempuan mau dikawinkan oleh orangtuanya, biasanya akan disediakan rumah dan diberikan sepetak (atau beberapa petak, tergantung kekayaan orangtua) sawah. Jadi dengan demikian, si istri lebih merasa memiliki otoritas di rumahnya. Kalau mereka bercerai maka suamilah yang harus meninggalkan rumah. Karena itu ada istilah lain untuk “istri” dalam bahasa Aceh, yaitu peurumoh yang berasal dari kata po rumoh, yakni pemilik rumah. Perempuan di Pidie, menurut deskripsi Siegel, lebih otoritatif dalam kehidupan keluarga mereka, dan laki-laki powerless (tidak memiliki kekuasaan). Ketika menceritakan kehidupan Maun di Pidie, Siegel menulis: Regardless of how well he provided, he could never exercise what he felt was his right to participate in making decisions (betapa pun bagus ia menyediakan [nafkah], ia tidak akan mendapatkan apa yang dirasakan sebagai haknya untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan-keputusan). Menurut perspektif perempuan, famili atau keluarga adalah mereka sendiri (para istri), saudara-saudara perempuannya, Ibu dan anak-anak. Their husbands have no place and hence no right to make decisions (suami mereka tidak ada tempat [di sana] dan karena itu tidak punya hak untuk membuat keputusan-keputusan).
Mungkin juga high status perempuan itu ada dalam norma, dalam teori, dalam kitab; ia sepertinya jarang terdapat dalam praktek. Ketika berumur sekitar sepuluh tahun, saya pernah mendengar Ayah mengajarkan kitab kepada murid-murid perempuan di rumah mengenai soal pernikahan. Pada waktu itu, saya masih ingat, Ayah sedang menjelaskan tentang nafkah: “Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, berupa tempat tinggal, makanan dan pakaian. Yang dimaksudkan dengan makanan,” demikian ia melanjutkan, “adalah makanan yang siap untuk dimakan dan pakaian adalah pakaian yang siap untuk dikenakan; jadi bukan kewajiban istri untuk memasak dan menjahit pakaian ... itu kewajiban suami.” Ayah membaca paragraf demi paragraf dalam kitab itu (saya tidak tahu kitab apa yang dibacakan ketika itu) sambil sesekali, dengan merendahkan kacamatanya, menengok ke Ibu yang tersenyum-senyum dan duduk agak jauh. Tetapi dalam kenyataannya, saya tidak pernah melihat Ayah pergi ke dapur, memasak atau menjahit pakaian. Bagaimana mungkin, saya berpikir, Ayah mengajarkan sesuatu yang ia sendiri tidak pernah mengerjakannya. Baru belakangan saya mengerti bahwa dalam kehidupan suami istri di Aceh tradisinya memang begitu. Suami dan istri sama-sama bekerja dengan pembagian tugas yang jelas: suami bekerja di luar rumah, istri di dalam rumah. Semua harta kekayaan yang mereka dapatkan selama perkawinan adalah milik bersama. Karena itu jika salah seorang suami istri meninggal dunia, maka ia (suami atau istri yang ditinggalkan) akan mengambil setengah (tergantung tradisi yang dianut masyarakat setempat; masing-masing daerah memiliki cara pembagian yang agak berbeda) dari harta yang ditinggalkan sebelum dibagi-bagikan sebagai harta warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi, pada dasarnya istri tidak bekerja sebagai budak, kuli atau babu, tetapi sebagai seorang profesional yang di sana ia juga mendapatkan bagian atau haknya; statusnya tetap sebagai partner laki-laki. Sikap merendahkan perempuan tidak dikenal dalam tradisi Aceh, dan penghinaan terhadap istri serta pembebanan tugas yang tidak wajar terhadapnya akan mendapatkan celaan dari masyarakat.
Dalam sebagian rumah tangga, perempuan memang sama sekali tidak boleh membantah suaminya, atau bersuara lantang terhadap laki-laki yang lebih senior dalam keluarga. Jika mereka mengadakan musyawarah keluarga di mana hadir beberapa famili yang lain baik laki-laki maupun perempuan, maka tugas perempuan adalah mendengar semata. Jika perempuan ada yang berani bicara, apa lagi dengan nada yang agak membantah, maka suaminya akan berkata: ta’iem gata (diam engkau). Tetapi dalam sebagian rumah tangga yang lain, suasananya bisa jadi berbeda atau sebaliknya. Dalam beberapa keluarga dari famili yang agak dekat, saya bahkan pernah melihat laki-laki yang sengaja memanggil istrinya untuk meminta pendapat dalam sebuah permusyawaratan kecil di rumah. Sebagian suami – ini sering terjadi di Pidie, seperti telah disinggung di atas – bahkan memberikan otoritas penuh kepada istrinya mengenai soal-soal seperti pengaturan biaya rumah tangga, pengadaan acara kenduri, perbaikan rumah dan urusan pendidikan anak; suami memfokuskan diri pada pekerjaan atau usaha, yakni mencari uang atau nafkah.
Perceraian tidak pernah diinginkan. Perceraian dirasakan sebagai cerminan dari ketidakmampuan seseorang membina rumah tangga sebagaimana diharapkan. Perceraian menandakan kelemahan kepribadian dan ketidaksabaran. “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak,” demikian sabda Nabi Muhammad. Hadis ini sangat populer. Namun, dalam masyarakat Aceh perceraian juga tidak terlalu tabu, dan penyebabnya bisa bermacam-macam: ekonomi, kesehatan, kecemburuan, pengkhianatan, perselisihan, dan bahkan politik yang menyebabkan terjadinya kekacauan sosial. Seorang mantan DI/TII dan TNI di kampung saya (tempat tinggal sekarang: Banda Aceh) pernah menceritakan bahwa pada masa pergolakan di Aceh setelah kemerdekaan, ia pernah menceraikan istrinya karena mereka harus hidup di wilayah yang berbeda dan tidak memungkinkan untuk bertemu. Daripada istrinya menderita, demikian ia mengatakan, lebih baik mereka bercerai saja; masing-masing mencari jodohnya yang lain. Dalam kasus ini, kebersamaan merupakan prioritas utama.
Di daerah Pidie adat istiadatnya agak unik. Laki-laki pergi merantau setelah kawin adalah hal yang biasa. Tradisi di sana menganjurkan laki-laki pergi merantau jika penghasilan di daerahnya tidak mencukupi. Kebersamaan tidak selalu dan tidak terlalu penting, asal saja kehidupan ekonomi keluarga dapat terpenuhi dengan baik. Namun perlu dicatat bahwa maksud dari kehidupan ekonomi di sini tidak melulu bermakna kekayaan harta; tanggung jawab barangkali adalah istilah yang lebih tepat. Jika seorang laki-laki telah pergi merantau berarti ia telah menunjukkan usaha dan kemauan untuk bertanggung jawab. Kehidupan di kampung kadang-kadang tidak kondusif bagi seseorang untuk menjadi gigih bekerja; suasana kehidupan di desa sendiri cenderung membuat orang lebih suka bermalas-malasan. Siegel mengisahkan perempuan pedesaan yang kadang-kadang mengalami paradoks dalam dirinya. Ketika ditanya mengenai suami yang merantau, apakah ia tidak merindukannya pulang, perempuan itu menjawab (Siegel mengutipnya dalam bahasa Inggris): Yes and no. If he comes, there is a lot of work cooking for him. But without him there is no money. No husband, no money (ya dan tidak. Jika ia pulang, banyak sekali pekerjaan memasak untuknya. Tetapi tanpa dia tidak ada uang. Tidak ada suami, tidak ada uang). Karena itu, masih menurut Siegel, kebanyakan konflik perkawinan (dalam masyarakat Aceh yang ditelitinya) terkait dengan masalah finansial atau nafkah.
Uang, finansial, atau apa pun namanya yang terkait dengan kebutuhan fisik, adalah masalah universal. “Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang.” Tidak dapat dipungkiri bahwa uang itu perlu. Akan tetapi sebuah perkawinan tentu saja tidak dilangsungkan hanya karena uang. Dalam masyarakat Aceh, istilah “nafkah lahir” dan “nafkah batin” yang harus dipenuhi oleh seorang suami kepada istrinya sudah kerap kita dengar. Nafkah lahir tentu saja segala kebutuhan fisik istri, baik makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Di Pidie, seperti telah didiskusikan, seorang istri barangkali lebih mengharapkan suaminya membawa banyak uang ketika pulang dari perantauan. Itulah nafkah lahir. Mereka tidak terlalu risau dengan makanan dan tempat tinggal; mereka memiliki padi di sawah dan rumah sendiri yang diberikan orangtuanya. Sementara itu, nafkah batin sering diasumsikan sebagai hubungan seksual. Ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa hubungan seksual lebih merupakan kebutuhan istri ketimbang kebutuhan suami. Hubungan seksual seakan-akan merupakan kewajiban suami, dan istri menerimanya sebagai nafkah. Saya bahkan sering mendengar orang mengatakan bahwa nafsu (keinginan melakukan hubungan seksual) perempuan jauh lebih besar dari nafsu laki-laki. (Saya akan mendiskusikan lebih jauh masalah ini nanti pada bagian yang lain). Cukup dikatakan bahwa di sini ada semacam paradoks: sementara hubungan seksual dianggap juga sebagai nafkah, persoalan yang acap kali diasumsikan telah menyeret kehidupan rumah tangga pada perpecahan adalah finansial. Orang enggan berbicara soal seks, mungkin karena merasa malu, maka yang sering dikemukakan adalah masalah finansial – nafkah lahir. Seorang perempuan pernah datang ke KUA (Kantor Urusan Agama) salah satu Kecamatan di wilayah kota Banda Aceh (berdasarkan informasi dari Kepala KUA tersebut), untuk mengonsultasikan masalah konflik dengan suaminya. Ia menceritakan panjang lebar tentang masalah yang dihadapinya dalam rumah tangga. Setiap pertanyaan yang diajukan Pak Kuakec (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) dijawabnya dengan lancar, dan Pak Kuakec pun menyampaikan berbagai penjelasan dan nasihat. Namun Pak Kepala KUA dapat membaca perasaan tidak puas dari wajah perempuan itu, lalu ia mengajukan satu pertanyaan lagi: “Bagaimana dengan masalah nafkah batin?” Perempuan tersebut seperti terperanjat dan langsung mengatakan: “Sebenarnya itulah yang mau saya bicarakan dari tadi!”
Masalah nafkah, baik lahir maupun batin, dan perselisihan dalam rumah tangga adalah alasan paling menonjol yang dikemukakan dalam setiap perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama atau dalam setiap konsultasi keluarga di KUA Kecamatan. Dalam soal nafkah, laki-laki dilaporkan sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan bahkan ada yang meninggalkan istrinya bertahun-tahun tanpa menghiraukan kewajibannya dalam bentuk apa pun. Dalam kondisi seperti itu, perempuan tentu saja merasa dizalimi dan mereka mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Di samping itu, untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, perempuan bekerja membanting tulang, melawan gersangnya alam dan kerasnya kehidupan, bekerja mati-matian walau hanya dengan upah yang sangat minim.

Canberra, Musim Panas 2006

GUSDUR DAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

I. Pendahuluan:
Abdurrahman Wahid dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Greg Barton menempatkan Abdurrahaman Wahid pada posisi sama dengan Nurcholish Madjid sebagai dua orang intelektual Ulama dan pioneers gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang telah mensintesiskan pemikiran tradisional dan modern. Kedua tokoh ini, kata Barton, mewarisi tradisi pembaruan dari masing-masing orangtuanya yang juga teman akrab dan terikat hubungan persaudaraan karena perkawinan. Kedua tokoh tua ini lalu melahirkan dua tokoh muda yang langka; dua tokoh yang berangkat dari tradisi pesantren dan kemudian melakukan pengembaraan intelektuan yang jauh – bahkan terlalu jauh untuk sebagian orang. Pada posisi seperti inilah penulis mencoba mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid.
***
Dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban, Nurcholish Madjid sangat positif melihat perkembangan Islam di Indonesia. Islam di negeri ini, menurutnya, memang tidak memiliki masa silam, tetapi ia "mempunyai masa depan." Untuk menyongsong masa depan ini – kembali menurut Nurcholish – diperlukan sikap yang terbuka dan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam. Alumni Universitas Chicago yang juga teman dekat Gus Dur – panggilan akrab Abdurrahman Wahid – ini melihat bahwa keterbukaan adalah modal utama dalam membangun sebuah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Menulis di berbagai media massa dan berbicara dalam banyak forum, Nurcholish seringkali menekankan perlunya sikap keterbukaan ini. Manusia adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi the free will dan dilengkapi dengan kapasitas untuk mencari kebenaran (al-Haqq). Tuhan sebagai al-Haqq adalah tujuan atau objek pencarian manusia yang selalu nisbi dalam kemampuannya. Manusia bukan al-Haqq dan tidak mungkin mencapai atau menjadi al-Haqq itu sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya; manusia hanya dapat mendekatinya – hanya taqarrub. Dari itu, kebenaran penalaran manusia hanyalah kebenaran relatif; dan klaim kebenaran mutlak terhadap interpretasi manusia dapat mengarah kepada syirik – tindakan menyaingi Tuhan (the Absolute, the Truth).
Berangkat dari semangat pencarian kebenaran dan pengembangan Islam di Indonesia, Nurcholish sejak awal 1970-an tidak henti-hentinya menyerukan Islam sebagai Islam itu sendiri, sebagai ajaran yang universal, dan berupaya melepaskannya dari garis perjuangan politik yang telah membagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Seruan "Islam, yes!, Partai Islam, no!", menurutnya dapat mencakup semangat seluruh kaum Muslim sebagai sebuah umat. Dengan mempertimbangan garis perjuangan yang ditempuh kaum Muslim Indonesia pada waktu itu, tindakan Nurcholish melepaskan Islam dari politik dapat dikatakan terlalu berani. Sehingga, kritik dan kecaman mengalir deras terhadap pikirannya. Apalagi, istilah-istilah yang digunakan Nurcholish, seperti desakralisasi dan sekularisasi, dianggap sebagai cerminan dari keterpengaruhannya oleh Barat; akibatnya perdebatan sekitar pemikirannya pernah cenderung menjadi pertikaian sentimental dan menimbulkan caci-maki.
Namun, apa yang dilakukan Nurcholish tersebut bisa, mungkin, dianggap sebagai shock therapy untuk membangunkan umat Islam Indonesia yang "sedang tidur." Kenyataannya, Gerakan Pembaharuan yang dicanangkan Nurcholis itu telah menandai awal dari kemunculan semangat baru dalam kajian keagamaan dan pemahaman yang lebih liberal tentang ajaran Islam.
Tokoh-tokoh lain yang bergerak dengan semangat yang sama antara lain adalah Djohan Effendi, Ahmad Wahib (al-marhum), Dawam Raharjo dan Syu'bah Asa. Gerakan mereka kemudian lebih dikenal dengan – meminjam istilah Fazlur Rahman – neo-Modernisme. Ke dalam kelompok inilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), setelah pulang dari studinya di Timur Tengah, menggabungkan diri dan bahkan mempengaruhi banyak generasi muda dalam kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi-organisasi keulamaan lainnya untuk tidak tinggal diam.
Walaupun muncul belakangan, dan dengan latar belakang pendidikan tradisional, Gus Dur tidak dapat diabaikan dalam percaturan pembaruan pemikiran Keislaman di Indonesia. Gus Dur dan Nurcholish Madjid, seperti dikatakan Barton, adalah dua tokoh remarkable intellectual pioneers. Bukan hanya karena seorang "Gus", seorang anak Kiai ternama, K.H. Wahid Hasjim, tapi Gus Dur juga menjadi terkenal dan populer karena kualitas intelektual dan bahkan karakter yang bisa disebut unik yang ia miliki. Demikian pula ia menjadi Kiai, bukan hanya karena ascribed status, tetapi juga karena achieved status, sebuah perpaduan kualits yang memang "tak lazim."
Makalah ini mencoba menganalisa pemikiran Gus Dus dalam konteks pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dengan memetakan kembali latar belakang kehidupannya dan kondisi sosial politik di mana ia dibesarkan dan lingkungan di mana kemudian ia mencurahkan gagasan-gagasannya.

II. Kehidupan dan Karir

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang tahun 1940 "dari keluarga dengan garis NU tanpa cela." Ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, adalah anak dari Kiai Hasjim Asj'ari, tokoh pendiri NU, organisasi Ulama yang cukup berwibawa yang kelak Gus Dur melibatkan diri di dalamnya. Pada saat masih bocah, Gus Dus memilih tinggal bersama kakeknya, seorang Kiai besar. Di sinilah ia mulai merasakan percikan politik yang ia dengar dari setiap orang yang berkunjung ke rumah kakeknya itu. Pada 1950 ayah Gus Dus menjabat sebagai Menteri Agama R.I. dan karena itu Gus Dur bersama saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Untuk ke sekian kalinya Gus Dur kecil menjadi akrab dengan politik yang ia serap dari rekan-rekan ayahnya yang berkunjung ke rumah.
Ayah Gus Dur meninggal dunia pada usia yang relatif muda, 38 tahun, dalam sebuah kecelakaan mobil pada bulan April 1953, sementara Gus Dur pada saat itu baru berusia 13 tahun. Peristiwa tragis yang menyebabkan kematian ayahnya itu menjadi pengalaman traumatik bagi diri Gus Dur, mengingat ia sendiri ikut serta dalam mobil tersebut. Ini termasuk tempaan awal yang kelak menjadikan Gus Dur tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan membuatnya peka terhadap kehidupan dan penderitaan orang-orang di sekitarnya. Gus Dur lalu dididik dan diasuh oleh ibunya, Ny. Solichah, yang berkeinginan agar anaknya kembali menjadi generasi penerus gerakan NU. Sejak perpindahan ke Jakarta, Ny. Solichah sudah melihat adanya gejala kelunturan identitas tradisi keagamaan pada anak-anaknya yang selama ini mereka pegang dengan ketat. Kota metropolitan yang menarik setiap penghuninya ke arah kehidupan "modern" dan "liberal" rupanya juga telah mempengaruhi kehidupan Gus Dur kecil. Maka sangat wajar bila Ibunya menghendaki agar Gus Dus kembali ke – atau sekurang-kurangnya tidak menjauhi – dunia Pesantren.
Memahami keinginan Ibundanya, pada 1953 Gus Dur masuk SMEP Gowongan Yogyakarta sambil nyantri di Pesantren Krapyak. Setelah menyelesaikan sekolahnya, pada 1957 Gus Dur belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang selama dua tahun. Kemudian, dari 1959 sampai 1963 ia kembali lagi nyantri di Pesantren Krapyak sambil mengajar pada Pesantren Tambak Beras, Jombang.
Gus Dur sejak kecil memang kaya pengalaman. Hubungan orangtuanya dengan berbagai kalangan dari pejabat dan Ulama telah memperkenalkan kepada Gus Dur sejak dini hubungan atau interaksi kehidupan yang pluralistik. Ayahnya secara sengaja memperkenalkan Gus Dur bukan hanya dengan Kiai dan politisi NU, tetapi bahkan lebih jauh lagi dengan banyak orang kalangan non-Muslim. Sehingga kelak Gus Dur pun tidak pernah ragu-ragu memperkaya pengetahuannya dengan cara yang sangat liberal. Sejak kecil, umur sekitar 15 tahun, Gus Dur sudah membaca karya-karya tokoh dan pengarang besar dan bahkan yang kontroversial sekalipun seperti filsafat Plato dan Thalles, novel-novel William Bochner dan karya besar Karl Marx, Das Kapital. Berbagai buku lain juga dibacanya, dari cerita silat, sejarah, agama, filsafat, sampai sastra dan sebagainya. Tidak sulit dibayangkan kalau Gus Dur sendiri mengakui "nggak punya pacar." Dia, katanya, takut sama cewek, sehingga yang menjadi teman mainnya adalah "buku dan bola." Sebagai orang yang gemar membaca, Gus Dur memang sudah mempersiapkan diri dengan modal yang sangat penting, yakni penguasaan bahasa: Arab, Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis. Bahkan ketika masih kecil ia pernah diasuh oleh seorang Jerman yang telah masuk Islam, teman ayahnya, yang memperkenalkan kepadanya musik klasik.
Sejak 1964 sampai 1966, sebagaimana harapan Ibundanya, Gus Dur belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dalam bidang ilmu Syari'ah. Namun dalam waktu yang tidak lama Gus Dur sudah merasa bosan dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh al-Azhar, yang dinilainya terlalu kaku. Terlebih yang diajarkan di sana adalah ilmu-ilmu yang juga telah dipelajari Gus Dur di pesantren. "Yang diajarkan di sana, ya, Jalâlain," kata Gus Dur dengan nada menyesalkan. Merasa tidak betah di al-Azhar, pada 1966 Gus Dur pindah ke fakultas Sastra Universitas Baghdad di Irak di mana ia menekuni sartra Arab, filsafat Eropa dan teori sosial, selama empat tahun.
Namun demikian, keberadaan Gus Dur di Mesir bukan tanpa kesan. Meskipun sering absen di al-Azhar, ia tidak membuang-buang kesempatan dengan percuma. Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan the American University, Kairo, mengikuti seminar, diskusi dan belajar secara tidak formal. Di samping itu sisa waktunya juga digunakan untuk menonton bola dan film Perancis – kegemarannya yang tidak bisa ia tinggalkan sampai hari ini. Clearly Abdurrahman Wahid is no ordinary Ulama.
Sisi lain yang menarik dari kehidupan Gus Dur adalah bahwa ia seorang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan lain, "humoris dan pandai bicara." Gus Dur juga termasuk orang yang suka melakukan hal-hal yang tidak lazim. Kadang-kadang ia mengantuk dalam forum seminar, tapi tiba-tiba ia mengajukan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan kritis. Sehingga, ada orang yang menganggapnya memiliki ilmu "Laduni" atau memiliki "kelebihan khusus." Pada saat sedang menekuni pendidikannya di Baghdad Gus Dur sempat membuat "geger" orang-orang di kampungnya. Gus Dur menerima kabar bahwa adiknya akan melangsungkan perkawinan. Merasa tersaingi oleh adiknya, Gus Dur pun menulis surat kepada kakeknya Kiai Bisri Syamsuri untuk mewakili dirinya naik ke pelaminan. Pada 11 Juli 1968 terjadilah kawin "jarak jauh" antara Gus Dur dengan Nuryiah, yang tidak lain adalah muridnya ketika mengajar di Pesantren Tambak Beras. Melihat Nuriyah bersanding di pelaminan dengan seorang kakek, para tamu pun mengatakan: "Aduh, kasihan Si Nuriyah, suaminya sudah tua betul, ya!" Gus Dus ternyata sangat paham bahwa tertawa adalah obat terbaik pada saat-saat suasana menegangkan, sehingga mengkritik pun dilakukannya dengan gaya humor. Misalnya pada saat berlangsungnya "proyek" kuningisasi menjelang Pemilu 1997, Gus Dur justru mengkampanyekan "supaya orang Jawa Tengah tidak usah sikat gigi saja."
Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad, Gus Dur berharap dapat melanjutkan¬nya di Eropa, namun karena tidak menemukan lembaga yang mengakui kesarjanaannya dari Timur Tengah, ia terpaksa mengurungkan niatnya itu. Meski sedikit kecewa – mungkin – Gus Dur dapat berbesar hati karena mendengar kabar yang lebih menarik tentang perkembangan pesantren di Indonesia. Pada 1971 ia pulang ke tanah air dan langsung melibatkan diri di dunia Pesantren. Pada 1972 sampai 1974 ia menjabat sebagai Dosen dan Dekan fakultas Ushuluddin Universitas Hasjim Asj'ari, Jombang dan dari 1974 hingga 1980 ia menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU, misanya pada 1979 ia menjabat sebagai katib awwal Syuriah NU.
Gus Dur pindah ke Jakarta pada 1978 dan menjadi pengasuh Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Di sinilah, Gus Dur yang telah melakukan kontak intensif sejak dasawarsa 1970-an dengan tokoh-tokoh intelektual muda progresif, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, semangatnya mencapai momentum. Gus Dur langsung melibatkan diri dan bergabung dengan mereka dalam serangkaian forum akademik dan kelompok studi, membicarakan "wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan perkembangan masyarakat Muslim." Mungkin bagi sebagian orang, terutama dari kalangan NU, ini agak ganjil. Namun dengan memahami latar belakang kehidupan Gus Dur seperti yang kita lihat di atas, tidak seorang pun perlu merasa heran. Secara formal Gus Dur memang terdidik secara tradisional, namum kenyataannya, pendidikan non-formal tentang pemikiran modern yang ia tempuh sendiri secara otodidak dapat mengimbangi dan bahkan mungkin – to some extent – melampaui teman-temannya yang belajar di Barat.
Gus Dur sudah tiga periode menjabat sebagai Ketua PB NU, dari 1984 hingga sekarang. Hubungannya dengan Pemerintah mengalami pasang surut. Pada awal kenaikannya sebagai Ketua PB NU, ia disambut hangat oleh Pemerintah yang melihatnya sebagai tokoh pembaruan dan akan membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan umat Islam menuju "era tinggal landas." Namu pada periode selanjutnya hubungan tersebut mengalami sedikit keretakan karena Gus Dur juga mengkritik Pemerintah yang dilihatnya sebagai oportunis yang memanfaatkan Islam.
Demikianlah Gus Dur, sebuah sosok dengan karakteristik yang kompleks, sebuah pribadi yang merupakan perpaduan dari dua tradisi intelektual: tradisional dan Barat modern. Namun bagaimanapun, Abdurrahman Wahid adalah seorang Kiai; ia tetap "kerasan" untuk menginjakkan kaki di dunia tradisionalnya dan NU, dan mungkin tidak pernah berkeinginan untuk meninggalkannya, meskipun secara intelektual ia terus mengembara ke dunia yang asing.

III. Metode dan Pendekatan

Menurut Gus Dur sendiri pendekatan kajian Islam yang ia gunakan adalah sosio-kultural. Islam harus dipahami dalam wacana tumbuh dan berkembangnya kehidupan sosial-budaya suatu mayarakat, yang tidak lain adalah hasil kreatifitas akal yang progrsif dan terus bergerak tanpa henti. Dari sinilah Gus Dur melakukan start untuk melihat Islam secara universal dan liberal. Kunci pemikiran Keislaman Gus Dur, seperti kata Barton, terletak pada dua hal: komitmennya yang dalam terhadap rasionalitas dan keyakinan akan peran mendasar rasionalitas itu dalam proses pengembangan Islam menghadapi tantangan modernitas.
Agama dan budaya, menurut Gus Dur, memiliki "independensi masing-masing," namun di dalam keduanya terdapat wilayah yang dapat saling mengisi. Islam sebagai agama yang diwahyukan mempunyai norma-norma yang cenderung menjadi permanen, sedangkan budaya, karena merupakan hasil kreatifitas akan budi manusia, terus berkembang dan selalu berubah. Agama kemudian dapat ditarik ke dalam wilayah budaya dan menjadi simbol-simbol, dan begitu juga budaya dapat diangkat menjadi norma-norma kebaikan (keagamaan), sehingga seringkali keduanya seakan-akan tidak dapat dipisahkan dan juga tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman.
Karena itu dalam memahami Islam sebagai agama yang telah bergumul terlalu jauh dalam proses sejarah diperlukan kehati-hatian, keseriusan dan analisis yang tajam. Tanpa kepekaan yang tinggi dan pengetahuan yang komprehensif dalam mencermati dan mengidentifikasikan inti ajaran Islam akan membawa kepada konsekuensi yang sangat berbahaya. Wahyu harus dipahami dalam konteks sosial-historisnya, namun tidak boleh dicampur adukkan dengan budaya manusia. Seperti al-Qur'an misalnya, kata Gus Dur, "harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma."
Dalam konteks "fiqh" Gus Dur masih sangat kuat berpegang pada ayat-ayat al-Quran, Sunnah dan berbagai pendapat yang dipertimbangkan para "ulama." Sebagai seorang "kiai" Gus Dur tetap tradisional: ketika berbicara mengenai hukum, penyelesaian yang diberikan tetap sama dengan yang dilakukan para "fuqaha'." Soal jilbab, Gus Dur mengatakan, itu sebagai kewajiaban agama. Ketika ditanya tentang isteri dan anak-anaknya yang tidak berjilbab, ia dengan gampang menjawab: "Orang 'kan ada yang bisa menjalankan agama ada yang tidak … yah, biarkan saja." Inilah, kelihatannya, yang dimaksudkan Gus Dur dengan pendekatan sosio-kultural. Dengan mempertimbang¬kan budaya bangsa, "fiqh" tetap dirasa penting untuk kelestarian hukum di Indonesia. Sebaliknya ketika berbicara dalam wilayah kehidupan sosial yang lebih luas, agama dalam konteks yang lebih universal, filsafat, demokrasi dan pluralisme, pikiran-pikiran Gus Dur justru seringkali dinilai oleh umumnya para kiai sebagai tidak Islami. Ini juga dilakukan Gus Dus dalam konteks pendekatan "sosial-budaya" tersebut. Sebab, bagi Gus Dur, berbicara dalam wacana seperti di atas malah akan berbahaya jika yang dijadikan rujukan untuk penyelesaian masalah adalah "Islam" secara eksklusif atau "fiqh." Islam dalam tataran ini diletakkan Gus Dur pada intinya yang hakiki, yaitu iman dan kepasrahan kepada Tuhan. Karena itu Gus Dur menolak masuk ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena dinilainya eksklusif dan cenderung sektarian. Sebaliknya ia menggabungkan diri dan berkiprah di Forum Demokrasi, sebuah asosiasi tidak formal semacam "kelompok diskusi" yang di dalamnya bergabung sejumlah tokoh dengan latar belakang akademik dan agama yang berbeda.
Gus Dur dapat disebut sebagai orang yang mempunyai pemikiran "lentur." Baginya semua persoalan dapat diselesaikan dengan mudah, karena ia dapat menariknya ke wilayah mana saja yang dekat: ke Islam, filsafat, rasionalitas, Qur'an, dan lain-lain. Jika mau disimpulkan, pendekatan yang ditempuh Gus Dur dalam pemahaman keagamaan Islam adalah pendekatan "keterbukaan." Ia tetap berpijak atau mengamalkan ajaran Islam tradisional, tetapi berhadapan dengan pemikiran "luar" Gus Dur membuka diri selebar-lebarnya, meski terhadap non-Muslim.
IV
Gagasan-Gagasan

1. Demokrasi dan Keadilan

Gus Dur adalah seorang tokoh kontroversial. Sejak ia menjadi perhatian media massa pertengahan 1980-an, gagasan-gagasannya selalu menyentak banyak orang. Banyak pemikirannya yang dianggap telah keluar dari "mainstream" umat dan bahkan ada yang mengecamnya karena tuduhan membela kepentingan non-Muslim. Semua ini dilakukan Gus Dur sebagai upaya mendialogkan Islam tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan kebanyakan masyarakat Islam Indonesia dengan wacana pemikiran modern yang dianggap Gus Dus sebagai realitas yang harus dihadapi dan diresponi.
Pada prinsipnya, Gus Dur menginginkan masyarakat Muslim Indonesia menjadi masyarakat yang terbuka dan demokratis. Ia mengharapkan Islam di Indonesia menjadi model yang dapat dicontohi masyarakat luar. Seruan Gus Dur adalah agar Islam dipahami dalam konteks kemanusiaan. Ia jarang berurusan dengan teologi dan bentuk agama, tetapi perhatiannya lebih tertuju pada hal-hal yang substansial dan toleransi terhadap orang lain atau tegasnya non-Muslim. Ia lebih cenderung pragmatis. Ia ingin menghilangkan permusuhan. Namun sayang, kadang-kadang karena gagasannya itu ia dimusuhi.
Dalam mengembangkan demokratisasi di Indonesia, Gus Dur menekankan arti pentingnya Pancasila sebagai sebuah wadah "kompromi politik." Ia tidak setuju dengan pendapat yang mempertentangkan Pancasila dan Agama. Menurutnya tidak ada keharusan dalam Islam untuk membentuk sebuah negara Islam. Pancasila dapat dijadikan pegangan bersama karena ia menjamin sebuah negara yang religius, namun bukan eksklusif Islam. Di sinilah banyak kalangan Muslim tersinggung sebab seakan-akan Gus Dur tidak dapat mendengar kata "Islam", ingin lepas dan tidak mengikatkan diri dengan Islam. Namun yang dimaksudkan, seperti berulangkali dikemukakan Gus Dur, adalah bahwa mendirikan negara bukan sebuah perintah wajib dalam Islam. Negara adalah kontrak bersama sebuah masyakarat baik terdiri atas satu kelompok agama semata atau terdiri atas kelompok agama dan bahkan ras yang berbeda-beda. Kebetulan saja kita, di Indonesia, adalah masyarakat yang majemuk. Maka umat Islam tidak perlu secara eksklusif mengidentifi¬kasi¬kan negara ini sebagai negara milik mereka, sementara yang lain didiskriminasikan.
Bersamaan dengan demokratisasi ini Gus Dur menekankan nilai-nilai keadilan sosial. Dalam sebuah negara yang telah dikontrakkan secara bersama-sama tidak boleh dibedakan antara satu kelompok dengan yang lain atau antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain. Konsep ini berasal dari ajaran Islam, sebagaiamana Nabi Muhammad sendiri bersikap adil dan toleran terhadap kaum Ahlul Kitab. Keadilan dan demokrasi harus diterapkan kepada siapapun.
Dalam hal ini Gus Dur mempunyai konsep yang jelas, meski disalah mengertikan. Ketika terjadi kasus Monitori pada 1990 misalnya banyak kalangan yang mengkritik Gus Dur karena membela Arswendo. Namun Gus Dur menjawab dengan tegas bahwa ia tidak membela siap-siapa. "Saya nggak membela Arswendo, memang Arswendo juga kurang ajar, kok ... persoalannya bukan di situ … tetapi bahwa demokrasi itu tidak bisa menerima adanya pencabutan SIUPP, terhadap itu siapapun. Itu … nggak demokratis."
Gus Dur juga tidak ingin Islam dijadikan alat legitimasi baik oleh negara atau kelompok tertentu. Islam harus dikembalikan kepada Islam, sebuah agama universal yang menekankan kesejahteraan umat manusia. Dari itu ia mengkritik ICMI karena dilihatnya memiki kedekatan dengan penguasa dan berpotensi dieksploitasi. Selanjutnya ICMI juga dinilai elit dan kurang menyentuh ke bawah.

2. Islam, Kemanusiaan dan Pluralisme

Dalam pandangan Gus Dur Islam adalah agama universal, agama yang menekankan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika memberikan kata pengantar untuk buku Kiri Islam Kazuo Shimogaki, Gus Dur dengan bersemangat menjelaskan betapa pentingnya pembebasan manusia dari tekanan feodalistik, kebodohan dan keterbelakangan. Kaum Muslim harus dibekali dengan wawasan Keislaman yang menyeluruh dan menyatu dalam rangka menegakkan martabat dan hak-hak asasi manusia, kedaulatan hukum dan penguatan massa rakyat jelata. Langkah-langkah ke arah itu harus diletakkan atas sendi-sendi kultural ekonomi dan politis yang kukuh.
Persoalan yang juga menjadi perhatian Gus Dur adalah kenyataan adanya keterpisahan antara sistem keyakinan umat Islam dengan pengalaman kehidupan sosial dalam kenyataan sehari-hari. Ini sangat menggelisahkan Gus Dur karena hal itu telah merupakan fenomena yang merata di kalangan masyarakat Muslim. Ibadah ritual yang dilakukan setiap hari telah kehilangan fungsi sosialnya. Karenanya ada persoalan yang perlu dipecahkan di sini yaitu bagaimana menerjemahkan berbagai kegiatan ritual tersebut ke dalam dimensi sosial. Dalam hal ini Gus Dur menekankan pentingnya pembelaan terhadap kaum lemah dan penegakan kesejahteraan sosial. Tanpa ada usaha untuk menjembatani kesenjangan ini maka Islam akan mejadi agama kering dari ruh atau semangat kemanusiaan.
Dari semangat Islam yang menyatu dan menyeluruh itulah kemanusiaan dapat ditegakkan. Dan atas dasar semangat kemanusiaan itu pula, saling pengertian antara sesama umat manusia dapat diujudkan.
Pluralisme yang ditekankan Gus Dur bukan hanya berangkat dari kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan banyak agama, tetapi juga karena kondisi umat Islam sendiri yang memprihatinkan. Perbedaan pendapat di kalangan Muslim sendiri tidak jarang berujung pada keretakan. Maka dalam mengisahkan kehidupan seorang Kiai, Gus Dur mengutip sebuah statemen: "hormatilah pendapat yang berbeda dengan pendi¬rianmu!" Dari situlah seseorang harus berangkat untuk dapat hidup dalam kema¬jemukan
V
Analisis

Gus Dur lahir dan dibesarkan dalam keluarga Pesantren, sebuah dunia yang banyak menyentuh kehidupan sosial masyarakat kelas bawah; ini membuatnya memiliki kepekaan sosial yang tajam. Ia mengembara secara intelektual ke Timur dan ke Barat, bergabung dengan kelompok yang beragam; ini membuatnya jadi toleran dan terbuka. Gus Dur yang telah ditempa sejak kecil dengan semangat ketabahan, tidak takut kepada siapapun, tidak takut dicela, dan tidak takut mendapatkan label yang bermacam-macam. Ia sangat yakin bahwa ia tetap menjadi dirinya sendiri.
Menjelaskan pemikiran Gus Dur tidak terlalu sulit lagi kalau latar belakang kehidupannya sudah dipetakan. Gus Dur juga produk alam dan lingkungan di sekitarnya. Jadi ia tampil seperti yang ada sekarang adalah karena serentetan proses sejarah masa lalu yang telah ditempuhnya. Gus Dur tidak lepas dari Pesantren, NU dan kehidupan tradisional karena itu adalah dunianya sejak kecil yang telah membentuknya. Ketika ia membela Pancasila, subjektifitasnya juga berperan di sana. Dalam hal ini ia sering menunjuk kepada Ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, seorang pemimpin NU, yang juga mendukung sebuah negara nasional non-Islam.
Pluralisme dan toleransi bukanlah hal baru yang dicanangkan Gus Dur. Ia hanya menegaskan kembali gagasan yang dilihatnya belum cukup kuat mengakar dalam masyarakat Muslim. Di sini Gus Dur juga sebetulnya memiliki kepentingan dengan NU dan dunia Pesantren yang mau tidak mau akan berhadapan dengan kemajemukan yang kalau tidak diresponi sejak awal akan menggoyangkan sendi-sendi kebudayaan tradisionalnya. Di samping itu Gus Dur juga sudah terlatih sejak kecil bergaul dengan kelompok non-Muslim sehingga dalam hal ini secara psikologis ia telah mempunyai basis percaya diri yang cukup kuat.
Dalam bentuk yang nyata memang tidak ada hal baru dalam wacana Keislaman yang digagas Gus Dur. Namun dalam konteks Keindonesiaan, ia telah tampil sebagai pemberani dan berada pada garis depan bersama tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, sementara ia sendiri berlatar belakang pendidikan tradisional dan non-Barat. Dalam segi ini siapapun perlu "salut" kepada Gus Dur, sebagai seorang yang gigih dan mampu mengidentifikasikan perubahan-perubahan dan tuntutan ke depan secara tepat sekali.
Terakhir, Gus Dur adalah manusia biasa, bukan tanpa kekurangan. Bahwa Gus Dur bisa dan pernah keliru, no doubt, namun tidak mesti dianggap tercela. Seperti telah disinggung di atas Gus Dur juga penuh dengan subjektifitas. Ketika menentang sektarianisme dan mengajak kepada demokrasi, ia sendiri telah terjebak dalam sektarian. Sebab, apa yang dimaksudkan dengan sektarianisme juga tidak dalam kerangka yang jelas. Di samping itu, meskipun gebrakan sosial, perhatian kepada masyarakat kelas bawah, dan pembaruan yang dicanangkannya dapat disejajarkan dengan apa yang dilakukan tokoh-tokoh pembaruan lainya seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, secara mendetil Gus Dur tidak dapat diparalelkan dengan siapapun. Itulah kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Jika dalam sikap liberal dan toleran, misalnya, ia dapat dikatakan melebihi Nurcholish, dalam hal kedalaman dan ketajaman analisis kajian Keislaman ia tertinggal jauh dari Nurcholish. Gus Dur adalah seorang budayawan, bukan pakar Keislaman. Ia seorang humanis tulen, bukan seorang pemikir dalam satu bidang khusus.
VI
Penutup

Menjelaskan sesuatu, kata Daniel L. Pals, atau melihatnya dengan dimensi yang baru, meskipun keliru, adalah lebih baik dan lebih penting dari upaya mengemukakan sesuatu yang semua orang dengan mudah dapat mengklaim sebagai hal yang biasa. Sebuah teori tidak dapat diberikan jastifikasi benar atau salah, sebab ia sendiri berada di luar hukum benar-salah itu. Selanjutnya, sebuah teori juga tidak bertujuan memberikan jastifikasi, tetapi ia hanya melihat persoalan dengan dimensi yang berbeda. Barangkali dalam perspektif seperti inilah apresiasi yang memadai terhadap pemikiran Gus Dur dapat diberikan. Gus Dur selalu menampilkan wajah baru dari pemikirannya meski isinya hanyalah penegasan kembali apa yang telah pernah dikemukakan orang lain. Ia mencoba melihat sesuatu dengan kaca mata berbeda; dengan cara seperti itulah ia berupaya menunjukkan kepada orang lain bahwa kebenaran dapat disentuh lewat pendekatan yang tidak sama, dan kebenaran tidak perlu diklaim sebagai milik siapa pun. Dalam analisa terakhir, Gus Dur telah banyak berperan dalam menghiasi dinamika perkembangan pemikiran Keislaman di negeri ini sebagai upaya meresponi tantangan modernitas yang sedang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia. Ini pantas dihargai.
Wallâhu a‘lam!

Yogyakarta, 26 Desember 1998



BIBLIOGRAFI:


Abdurahman Wahid, "Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya," dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Juli 1997).

Abdurrahman Wahid, "Kiai Nyentrik membela Pemerintah", (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Oktober 1997).

Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (peny.), Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta: Perhimpuan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], 1989).

Abdurrahman Wahid (wawancara), "Sastra Islam versus Penyempitan Ilmu Islam," Horisan, (No. 7, tahun XIX, 1984).

Amanah, (edisi 8-21 Mei 1987).

Barton, Greg, "Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual Ulama: the Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in neo-Modernist Thought", dalam Islam and Christian-Muslim Relations, (Vol. 8, No. 3, 1997).

Barton, Greg, "Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid," dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed.), Tadisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk., (Yogyakarta: LKíS, 1997).

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998).

Editor, (22 Desember 1990).

Mohamad Sobary, "Membaca dengan Sikap Total dan Empati," dalam Abdurrahman Wahid, "Kiai Nyentrik membela Pemerintah", (Yogyakarta: LKíS, Cet. III, Oktober 1997).

Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. III, 1995).

Pals, Danial L., Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hal. 269.

Ramage, Douglas E., "Demokrasi, Toleransi Agama dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid," dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed.), Tadisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk., (Yogyakarta: LKíS, 1997).

MENGENANG PERISTIWA ISRA’ DAN MI‘RAJ


Isra’ dan mi’raj adalah sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, terutama sekali dalam sejarah umat Islam. Peristiwa tersebut memperlihatkan kebesaran Allah SWT, sekaligus menampakkan keluasan rahmat yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya. Karunia Allah meliputi seluruh langit dan bumi; di antara karunia tersebut yang diberikan langsung kepada manusia ialah potensi Keilahian, yang menjadikan manusia dapat memiliki sifat-sifat Ketuhanan dan dapat menikmati interaksinya dengan Tuhan. Manusia dapat menghayati keagungan karya-karya Tuhan serta keindahan dan kenikmatan yang terkandung di dalamnya. Peristiwa isra’ dan mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW adalah salah satu karunia luar biasa, berupa sebuah perjalanan melalui “lorong waktu”, menembus seluruh cakrawala dan mengantarkan beliau kepada sebuah pendaratan di dunia yang melampaui nalar, kata-kata dan aksara. Beliau sampai di Sidrat al-Muntahā, di ujung seluruh perjalanan fisik, akal dan nalar manusia, di batas limit paling ekstrem dari kemampuan penjelajahan seorang hamba. Nabi Muhammad betul-betul menggapai puncak pendakian spiritual itu dan menyaksikan keagungan Allah SAW yang tiada tara. Beliau melihat langsung semua itu dengan mata kesadarannya yang meyakinkan dan dengan penglihatan hatinya yang paling hakiki. Tidak ada sedikit pun keraguan tentangnya, dan al-Qur’an sendiri memberikan kesaksian yang nyata:

سورة النجم: ولقد رآه نزلة أخرى (13) عند سدرة المنتهى (14) عندها جنة المأوى (15) إذ يغشى السدرة ما يغشى (16) ما زاغ البصر وما طغى (17) لقد رأى من ءايات ربه الكبرى (18)

Surat al-Najm:

(13) Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(14) (yaitu) di Sidrat al-Muntahā.
(15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal.
(16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidrat al-Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
(17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
(18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
***
Sejarah Islam mengisahkan kepada kita bahwa Nabi pada waktu itu sedang mengalami kegundahan yang mendalam. Musibah yang menimpa dirinya serta beratnya penderitaan batin yang dialaminya akibat dari penolakan serta cemoohan yang dilemparkan orang-orang kafir kepadanya menyebabkan Nabi amat sedih. Tahun itu pun disebut oleh Nabi dengan ‘ām al-huzn, yakni tahun duka cita. Kejadian ini terjadi sekitar tiga tahun sebelum hijrah. Hal pertama yang membuat Nabi berduka adalah meninggalnya Abu Thalib, pamannya yang selalu memberikan pembelaan dalam setiap perseteruan dengan orang-orang kafir Quraisy. Meskipun tetap bertahan dengan tradisi agama jahiliahnya, Abu Thalib selama hidupnya selalu menjadi pembela Nabi yang gigih. Nabi merasa aman dengan “perlindungan” yang diberikannya, karena ia termasuk salah seorang pembesar kabilah yang disegani.
Tidak lama setelah Abu Thalib meninggal dunia, menyusul pula Khadijah, isteri Nabi yang sangat beliau cintai. Kesedihan Nabi menjadi berganda. Kepergian Khadijah sangat memukul perasaan beliau, sebab Khadijah adalah orang pertama dan selamanya mendukung kegiatan dakwah beliau dengan segala bentuk pengorbanan yang luar biasa. Karena itu tidak mengherankan, wafatnya Khadijah adalah musibah yang terasa berat dipikul oleh Nabi.
Namun demikian, dalam suasana yang penuh duka itu, Nabi tidak pernah surut dari tugas mulianya. Aktivitas dakwah terus dilancarkan, dan tantangan yang dihadapi beliau semakin besar. Kini orang-orang kafir Makkah semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi, sebab Abu Thalib, pembela yang disegani, sudah tidak ada. Kesedihan yang dialami Nabi itu pun tidak ada lagi tempat berbagi, karena Kahdijah, isteri yang bijak itu, juga telah pergi. Nabi memutuskan untuk berangkat ke Thaif, mencari secercah harapan, kiranya ada orang yang dapat dijadikan tumpuan perjuangan di sana. Akan tetapi permusuhan yang dihadapi Nabi di sana lebih parah; mereka menolak untuk menerima ajakan Nabi kepada Islam dan mereka mengusir beliau dari negeri itu. Mereka bahkan melempari beliau sampai kepalanya berlumuran darah. Beliau sendiri menyebut tahun itu (bahkan semua umat Islam mengenangnya) sebagai ‘ām al-huzn, tahun dukacita.
***
Itulah peristiwa yang mendahului pengalaman isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad: pengalaman pahit dan kedukaan hati dalam perjuangan. Nabi hampir saja putus asa, namun sikap itu tidak akan pernah terjadi pada diri Nabi. Keteguhan hatinya, kesabaran, keyakinan serta harapannya yang besar terhadap rahmat dan pertolongan Allah menjadikan beliau kokoh berdiri di atas jalan perjuangan yang diembannya. Beliau tidak pernah ragu dan sedikit pun tidak goyah. Akan tetapi sebagai manusia, Nabi bukan tanpa beban perasaan hati dan bukan tanpa rasa khawatir. Perjuangan itu beliau rasakan berat dan musibah yang menimpanya pun telah melemahkan sendi-sendi tubuhnya. Di sinilah Nabi menunjukkan keteladanan yang hebat. Kekuatan batinnya mengalahkan kelemahan tubuhnya, kekuatan imannya mengalahkan kelemahan perasaannya. Beliau tidak pernah menyerah pada tantangan-tantangan duniawi, baik yang menggiurkan maupun yang menakutkan. Cita-cita akhir beliau sangat jelas: Keridaan Allah.
Di tengah-tengah nestapa itulah uluran tangan yang Maha Rahim datang menjemput beliau dan membawanya ke sebuah tempat penuh berkah dan diliputi kedamaian – sebuah tamasya suci ke dunia surga, a holy journey to the heaven. Dalam al-Qur’an, ayat 1 surat al-Isra’, Allah berfirman:

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من ءاياتنا إنه هو السميع البصير(1)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Nabi – berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan – diperjalankan Tuhan menuju langit, sampai ke Sidrat al-Muntahā serta menyaksikan surga, neraka dan berbagai karakteristik alam spiritual lainnya; beliau ditemani malaikat Jibril dan dengan mengendarai burak. Nabi dihibur dengan perjalanan suci itu, untuk menghapus segala nestapa dan duka lara yang beliau alami. Hiburan yang diberikan kepada Nabi bukan berupa worldly entertainment (hiburan duniawi), tetapi hiburan spiritual; bukan hiburan rendahan, tetapi hiburan berkualitas. Hiburan seperti inilah yang dapat mengembalikan vitalitas spiritual manusia, menjadikan kita semakin dekat dengan Tuhan, hati menjadi damai, jiwa lega dan terbebas dari tekanan-tekanan batin dan beban jiwa yang menyesakkan. Ketika jiwa tercerahkan, raga juga ikut tersembuhkan; jika hati telah damai, otot-otot tubuh juga terelaksasi. Inilah obat kehidupan yang sering terlupakan.
Jika Nabi Muhammad telah dibawa Tuhan sampai ke Sidrat al-Muntahā untuk menikmati perjalanan Keilahian, maka untuk umat beliau Allah telah mengaruniai salat (sembahyang) lima waktu sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritualitas tersebut. Salat adalah “oleh-oleh” yang dibawa pulang Nabi dari perjalanan isra’ dan mi’raj; siapa yang melaksanakannya dengan ikhlas disertai hati yang khusyu’ dan penghayatan yang mendalam, maka orang tersebut juga dapat menggapai rahasia pengalaman isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad. Salat adalah mi’raj bagi umatku, kata Nabi.
***
Inilah yang paling penting dari peringatan isra’ dan mi’raj, yakni penghayatan terhadap makna perjuangan untuk membebaskan manusia dari kezaliman dan belenggu-belenggu setan. Perjuangan itu amat berat dan menegangkan; karena itu memerlukan kepada “Pengisian ulang” kekuatan. Salat adalah sarana pengembalian kekuatan spiritual kita dan tempat bermunajat kepada Tuhan di sela-sela berbagai kesibukan hidup yang penuh tantangan. Tanpa salat, beban kita akan semakin tak terpikulkan dan akhirnya hidup menjadi penuh tekanan batin. Mari membangun kehidupan yang semakin damai dengan menegakkan salat secara sempurna!

IDUL FITRI DAN SPIRITUALITAS: Menakar Kemenangan di Akhir Ramadhan


Pendahuluan

Hidup adalah perjuangan. Ini berarti bahwa hidup bukanlah sesuatu yang murah dan dapat disia-siakan. Hidup harus diraih, dan kelangsungan kehidupan harus diperjuangkan dan dipelihara. Setiap makhluk hidup telah didesain dengan mekanisme pertahanan diri dan proteksi dari bahaya. Karena itu dalam kehidupan ini selalu ada dorongan untuk melawan dan memberontak serta hasrat yang kuat untuk meraih suatu keinginan. Seekor binatang yang sedang sekarat sekalipun masih berusaha melawan kematian dan berusaha untuk bangkit serta meneruskan kehidupan.
Manusia sebagai makhluk hidup juga mempunyai naluri yang sama. Setiap gerak yang kita buat, langkah yang kita ayun serta pikiran yang kita kuras tidak terlepas dari berbagai hasrat dan keinginan yang hendak kita raih dalam kehidupan serta ketakutan yang terpendam akan kematian. Kita selalu ingin hidup dan tidak pernah menyukai kematian, walaupun kita tidak pernah mampu menghindar darinya.
Naluri seperti itu pada manusia tidak hanya berupa keinginan untuk mempertahankan kehidupan, tetapi lebih jauh lagi, manusia ingin mencapai kenikmatan hidup yang lebih sempurna. Manusia bukan hanya berusaha melawan kematian, tetapi (terutama sekali semakin tampak pada manusia modern) juga ketuaan (aging) yang membuatnya takut, gemetar dan lemah. Hidup selalu diasosiasikan dengan kesegaran dan keceriaan; mati adalah kebekuan dan kegelapan.
Namun demikian, manusia mempunyai potensi yang unik dalam mewujudkan kehidupannya di dunia ini, yaitu: kesadaran. Manusia sadar akan masa lalu dan masa akan datang; manusia juga sadar akan makna baik dan buruk, benar dan salah, cantik dan jelek, serta memiliki kebebasan untuk memilih. Manusia dapat menguasai dirinya dan dapat menentukan pilihan-pilihan secara merdeka. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk mukallaf, yakni terbebani dengan hukum dan aturan-aturan. Manusia menjadi penguasa atas dunia ini dan diizinkan untuk menaklukkannya berkat kekuatan akal dan ilmunya. Kepada manusia, Tuhan hanya mengingatkan agar mereka bertanggung jawab atas segala tindakannya dan agar mereka tidak sombong dengan anugerah yang telah diberikan.

Manusia dan Tantangan

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga; ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Q.S. al-A‘raf: 27)

Perjuangan manusia bukan hanya berhadapan dengan alam, tetapi juga berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam menentukan pilihan serta membuat keputusan-keputusan, manusia selalu mendapatkan godaan. Godaan itu bisa jadi berawal dari luar diri manusia, tetapi kemudian menyusup ke dalam hatinya dan menjadi sebuah gejolak jiwa yang berkecamuk. Nurani manusia pada dasarnya menghendaki kebaikan, tetapi nafsu duniawinya akan mempengaruhinya untuk mengambil pilihan yang lain dan mengacaukan cahaya hatinya.
Manusia, melalui akal dan bimbingan Tuhan, dapat menentukan baik dan buruk serta memiliki hasrat kebaikan yang optimal. Namun dalam kehidupan ini, kebaikan dan kebenaran selalu dikaburkan oleh keinginan-keinginan lain yang secara duniawi menggiurkan, dan keinginan-keinginan seperti itu sering kali menuntut adanya “kurban untuk dipersembahkan”, yaitu iman dan kebenaran.
Hati manusia adalah kancah pertarungan batin. Pertarungan antara akal dan nafsu terjadi di sana; bisikan hati nurani dan bisikan setan saling mengadu argumentasi untuk mempengaruhi tindakan-tindakan yang akan kita ambil dalam sebuah persoalan. Itulah sebenarnya perang yang paling besar dalam kehidupan manusia: yaitu perang melawan diri sendiri.
Perang itu bisa saja disebutkan dengan berbagai istilah lain seperti “perang melawan setan” atau “perang melawan hawa nafsu”. Akan tetapi semua bisikan itu merupakan dorongan batin yang menyatu dengan diri manusia. Hasrat itu, baik ataupun buruk, muncul dari getaran hati kita yang amat dalam, lalu bergerak ke wilayah seleksi akal, dan di sinilah keputusan itu diberikan. Jika akal kita lemah, maka yang menang adalah nafsu atau bisikan yang telah dipengaruhi setan. Karena itu, apa pun pilihan yang kita ambil, kitalah sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadapnya, sebab akal itulah, yakni kesadaran batin, yang merupakan hakikat diri manusia.

Puasa Sebagai Media Latihan

Puasa adalah kegiatan menahan diri. Itulah latihan spiritual bagi manusia mukmin agar kecerdasan batin mereka terasah dan dapat memantulkan cahaya kebenaran secara terang dan bersinar. Puasa melatih seseorang mengenal batinnya atau kesadaran dirinya yang paling hakiki. Puasa akan menjadikan seseorang tahu bahwa dirinya eksis dalam pertarungan berbagai keinginan dan hasrat dalam kehidupan di dunia ini. Puasa menyadarkan manusia bahwa ia adalah makhluk yang dapat memilih dan membuat keputusan-keputusan secara merdeka dan mandiri. Karena itu dapat dikatakan bahwa puasa adalah ibadah yang akan me-refresh (menyegarkan kembali) rasa kemanusiaan kita dan menjadikan kita semakin tanggap dan bijak dalam menghadapi persoalan hidup.
Dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 183) disebutkan bahwa tujuan puasa adalah untuk meraih ketakwaan. Dalam ayat tersebut juga dikatakan bahwa puasa sudah dikenal sepanjang sejarah agama Tuhan. Ini menunjukkan bahwa ia merupakan ibadah penting dan bersifat universal. Melalui puasa inilah Tuhan mengembalikan kesadaran manusia akan hakikat dirinya dan dengan demikian ia menjadi orang yang bertakwa.
Takwa artinya takut kepada Allah dalam pengertian di mana seseorang selalu menjaga sikap dan tindakan-tindakannya agar tidak menimbulkan kemurkaan Allah. Dengan kata lain, takwa adalah sikap mental di mana seseorang selalu merasa bertanggung jawab, sebab ia sangat sadar bahwa apabila tanggung jawab itu diabaikan maka ia akan menerima konsekuensi yang amat berbahaya. Menjadi seorang yang bertakwa berarti menjadi seorang yang bertanggung jawab.
Takwa bukan hanya takut kepada Tuhan, tetapi juga takut akan konsekuensi dari kemurkaan Tuhan; ia bukan hanya iman dalam pengertian teoritis, tetapi juga amal yang aplikatif. Takwa bukan hanya tunduk dengan bersujud di atas sajadah, tetapi juga patuh pada hukum dan terlibat sebagai bagian dari proses dalam alam semesta ini.
Oleh sebab itu, jika kita berpuasa dengan benar dan penuh kesadaran, maka seharusnya kita memperoleh banyak perubahan ke arah kebaikan. Semakin banyak kita berpuasa, semakin terarah pula kehidupan kita kepada kebenaran dan kebaikan; semakin banyak kita berpuasa, semakin hidup cahaya hati yang kita miliki. Orang yang telah berpuasa secara benar, dengan izin Allah, akan menjadi orang yang berperilaku moral mulia.

Idul Fitri

Puasa di bulan Ramadhan memang didesain secara khusus sebagai sebuah kewajiban yang melekat dan disebutkan oleh Nabi s.a.w. sebagai salah satu rukun agama. Sebulan penuh tentu saja sebuah rentang waktu yang dianggap telah memadai untuk sebuah latihan spiritual bagi manusia beriman. Akan tetapi jika kita ingin menambah puasa itu pada hari-hari yang lain, maka itu akan menjadi ibadah ekstra yang akan menjadikan kualitas spiritual kita bertambah baik atau lebih sempurna.
Usai puasa di bulan Ramadhan, kita akan berhari raya. Hari raya ini disebut dengan idul fitri, yakni hari raya fitrah. Hari raya artinya hari kegembiraan, dan kegembiraan di hari raya ini adalah disebabkan kita telah dapat menyempurnakan sebuah proses latihan yang mengembalikan kita kepada fitrah, yakni kepada kesucian batin yang sempurna. Fitrah adalah karakter dasar manusia yang orisinal, belum terkontaminasi dengan berbagai kotoran nafsu dan bisikan-bisikan setan. Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada sifat kemanusiaan kita yang paling dasar atau paling hakiki.
Karena itu kegembiraan di hari raya ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyempurnakan puasanya dengan baik selama bulan Ramadhan dan telah memanfaatkan bulan tersebut benar-benar sebagai media latihan batin untuk memproses dirinya kembali kepada hakikat kemanusiaannya. Kegembiraan yang dibuat-buat oleh mereka yang tidak berpuasa hanya kegembiraan semu yang penuh dengan semangat dusta; itu hanya kegembiraan orang yang kurang akal.
Kegembiraan di hari raya ini berarti kegembiraan atas sebuah kemenangan, yakni kemenangan “melawan diri sendiri”; sisi gelap dari diri kita telah kita kalahkan dan kita kembali menjadi pribadi yang orisinal dengan watak kemanusiaan sejati sebagaimana desain awalnya – manusia yang tunduk dan bersaksi dengan tulus ketika Tuhan bertanya: “Bukankah Aku Tuhan kamu” dan kita menjawab: “Benar! Kami memberikan kesaksian akan hal itu” (al-A‘raf: 172).

Penutup: Introspeksi

Kita perlu melakukan introspeksi, sejauh mana kemenangan itu telah kita raih, atau kita termasuk di antara orang-orang yang gagal? Puasa kadang kala kita terima hanya sebagai sebuah kebiasaan yang telah menjadi bagian dari tradisi sejak kita kecil; kita tidak menghayati filosofi atau makna yang terkandung di dalamnya; atau lebih buruk lagi, kita hanya berpuasa sebagai sebuah paksaan budaya yang secara psikologis sulit untuk kita tolak; atau, bisa jadi lebih buruk dari itu, kita hanya berpuasa di hadapan orang lain semata alias bersikap munafik. Jika demikian halnya, maka kita hanya menambahkan kotoran ke dalam hati kita sehingga ia semakin gelap dan kacau.
Sudah berapa bulan atau sudah berapa puluh bulan kita pernah berpuasa, dan coba kita bertanya seberapa besar perubahan yang telah kita peroleh sebagai dampak dari puasa itu? Jika puasa itu tidak kita lakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa penghayatan dan ketulusan, tanpa kesadaran batin dan upaya serta harapan untuk memperbaiki diri, maka kita telah rugi lahir dan batin. Puasa itu harus ada niatnya. Setiap godaan yang datang selama berpuasa harus dilawan dengan penuh kesadaran. Ketika berpuasa kita harus banyak beribadah dan melawan kemalasan, harus banyak berbakti untuk kemanusiaan dan beramal serta berkurban. Semua itu akan menjadikan puasa yang kita jalani lebih mengental dan melekat pada jiwa, sehingga pengaruhnya akan lebih terasa.
Di hari raya idul fitri ini hendaknya kita melakukan refleksi atau perenungan dan membuat kalkulasi atas prestasi spiritual yang kita raih. Masyarakat secara umum juga perlu menilai sejauh mana perubahan itu telah kita lakukan dan sejauh mana prestasi takwa telah kita capai. Kita dapat mengukur hal itu pada sikap kita sehari-hari di rumah atau di kantor-kantor, di tempat kita bekerja atau di jalan raya. Sejauh mana kedisiplinan dan ketertiban itu telah dapat kita capai dan sejauh mana kebersihan serta keamanan itu telah dapat kita bina? Apakah persaudaraan telah kita jalin dengan baik dan permusuhan kita lenyapkan dan kita lupakan? Masihkah kemungkaran itu kita nikmati atau kita lindungi, atau memang benar-benar telah kita musuhi? Apakah sikap korup, bohong dan curang masih menjadi sahabat sejati kita, atau memang kita akan melawan dan membasminya?
Jika takwa telah kita raih, mengapa rasa kemanusiaan kita masih amat tumpul? Mengapa penderitaan-penderitaan masih saja menjadi bagian dari keseharian sebagian saudara-saudara kita? Mengapa kepedulian kita kepada mereka amat lemah? Mengapa kita hanya mau membantu orang lain kalau diberikan gaji yang besar? Mengapa pengemis masih ada dan pengemisan bahkan bertambah subur? Dan anehnya, “gaji” seorang pengemis lebih tinggi dari pekerja di lapangan yang lelah dan berkeringat. Jika demikian halnya, bukankah kita telah menyuburkan pengemisan? Di mana letak keadilan ekonomi yang kita perjuangkan?
Akhirnya, kita harus sadar bahwa puasa semata-mata tidak akan menyempurnakan ketakwaan kita; ia hanya sebuah mata rantai pengabdian kita yang panjang kepada Allah. Kita tidak akan meraih kemenangan dengannya tanpa realisasi amal kebajikan secara aktual dalam kehidupan nyata. Puasa memang dapat mengantarkan kita kepada kemenangan, tetapi jika kita merusaknya di tengah jalan, kita akan ditinggalkan.

Wallahu a‘lam!

Ramadhan 1429,