Sunday, April 11, 2010

Perempuan Pertama dalam al-Qur'an

Al-Qur’an, berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya, lahir di bawah cahaya sejarah yang terang. Ia ditulis dan dikumpulkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup dan sekaligus di bawah pengawasannya. Tidak ada percampuran di dalamnya dengan perkataan-perkataan manusia. Dari itu sejumlah pernyataan al-Qur’an mengenai masalah-masalah tertentu berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya. Ini tidak dalam rangka membenarkan sebagian Kitab Suci dan menyalahkan yang lain, tetapi hanya menegaskan bahwa Kitab-kitab Suci sebelumnya lahir dan ditulis dalam sebuah proses sejarah yang panjang dan pergulatan tradisi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya dikatakan bahwa validitas kewahyuan Kitab-kitab tersebut tidak memiliki kekuatan seperti Kitab Suci al-Qur’an.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan di atas, dengan mendiskusikan beberapa ayat al-Qur’an tentang penciptaan perempuan. Islam pada dasarnya memandang semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah SWT; tinggi atau rendahnya kedudukan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, tergantung pada kualitas ketakwaannya. Asal usul seorang manusia, warna kulit atau kebangsaannya bukanlah hal penting atau menentukan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Kemudian, dari keduanya) Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa. (al-Hujurāt [49]: 13).
Ayat di atas menunjukkan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan. Karena itu tidak ada alasan untuk melebihkan seseorang atau satu kelompok dari yang lainnya. Memang Islam tidak menutup mata terhadap realitas keberagaman peradaban dan sejarah umat manusia, namun al-Qur’an, bukan hanya dalam ayat di atas, menegaskan bahwa faktor yang paling menentukan dalam peradaban manusia adalah sikap mentalnya dalam membina hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya yang merupakan anugerah Tuhan. Sikap mental inilah yang tercakup dalam sebagian makna kata taqwa atau ketakwaan.
Laki-laki dan perempuan dalam pandangan Tuhan sama saja: Amalan atau nilai ibadah seseorang tidak akan dikurangi hanya karena ia seorang perempuan.
Barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki ataupun perempuan, sedang ia adalah orang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam sorga, dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun. (al-Nisā’[4]: 124).
Mengenai asal mula kejadian perempuan, al-Qur’an tidak menyebutnya secara tegas dan rinci. Bahkan demikian juga dengan asal mula kejadian laki-laki. Keduanya, laki-laki dan perempuan, diciptakan dari nafs (diri, jiwa, individu) yang satu. Ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan bukan berasal dari materi yang berbeda dan bukan pula diciptakan melalui proses yang tidak sama.
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu individu (nafs wāhidah); darinya Allah menciptakan pasangannya (zawjahā) dan dari keduanya Allah mengembak-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak... (al-Nisā’ [4]: 1).
Menarik sekali bahwa kata nafs (diri, individu) dalam bahasa Arab – meskipun secara gramatikal mu’annats (perempuan) – secara konseptual adalah kata benda netral, yakni tidak menunjukkan kepada laki-laki ataupun perempuan. Demikian juga kata zawj, bisa bermakna laki-laki atau perempuan. Jadi zawj bukan berarti “isteri”, tetapi “pasangan”; boleh jadi laki-laki dan boleh jadi perempuan. Jadi ayat di atas tidak bisa secara tegas dijadikan alasan bahwa manusia pertama adalah laki-laki atau perempuan, di mana yang satu merupakan asal bagi yang lain.
Ulama tafsir tradisional, seperti Ibn Katsīr, al-Jalālayn dan al-Qurtubī, dan juga sebagian mufassir kontemporer, menafsirkan kata nafs wāhidah dengan Adam dan zawjahā sebagai Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Bahkan at-T{abarsi dalam Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, mengatakan: seluruh ulama tafsir telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs wāhidah adalah Adam, manusia pertama. Tetapi pernyataan tersebut, demikian menurut Quraish Shihab, sebenarnya keliru, sebab ternyata ada sejumah ulama, seperti al-Rāzī, Rasyīd Ridā, al-Qāsimī dan al-Tabātabā’ī yang tidak berpendapat demikian. Mereka yang terakhir ini berpendapat bahwa min nafs wāhidah maksudnya adalah dari jenis yang satu. Artinya, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki, yakni jenis manusia.
‘Alī al-Sāyis, seorang mufassir dan ahli hukum Islam kontemporer, ketika mengomentari ayat 1 surat an-Nisā’ tersebut mengatakan bahwa Abū Muslim [al-Asfahānī] telah menolak penciptaan perempuan dari tulang rusuk, dengan alasan bahwa Allah SWT Maha Kuasa menciptakannya dari tanah; lalu apa faedah Allah menciptakannya dari tulang rusuk. Abū Muslim juga mengatakan bahwa pengertian min hā dalam ayat di atas adalah min jinsihā (dari jenisnya). Tetapi ‘Alī al-Sāyis kemudian membantah semua pendapat Abū Muslim dan mengatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk telah disebutkan secara tegas dalam hadits yang diriwayatkan oleh dua orang Imām hadits terkenal, yakni al-Bukhārī dan Muslim. Demikian juga, kata al-Sāyis, kemampuan (ke-Maha-Kuasa-an) Allah menciptakan Hawa dari tanah sama sekali tidak menghalangi-Nya untuk menciptakannya dari yang lain [yakni dari tulang rusuk].
Al-Sāyis nampak cenderung kepada pemahaman literal dan melihat ayat-ayat al-Qur’an dan hadits pada tataran lahirnya. Tidak boleh ada takwil, kecuali memang terdapat nas yang mengharuskannya. Seperti kebanyakan fuqahā’ dan teolog Muslim lainnya juga, al-Sāyis lebih suka melihat ayat-ayat al-Qur’an sebagai aturan-aturan hukum yang berbicara tentang perintah dan larangan, atau sebagai landasan teologis yang menetapkan apa yang harus diimani dan apa yang tidak boleh diimani. Mereka memahami al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan bahkan sumber sagala ilmu pengetahuan dalam pengertian yang sangat teknis dan bahkan manual. Sikap seperti ini tentu saja dapat dipahami dengan melihat latar belakang lingkungan budaya serta spesialisasi ilmu mereka. Tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan mereka; demikian juga tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan orang-orang yang mengkritik mereka. Peradaban menawarkan beragam alternatif kepada kita dan setiap generasi yang datang kemudian dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan secara lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi terakhir mesti lebih tercerahkan dari yang dahulu, jangan “jalan di tempat” ataupun surut ke belakang. Kita yang hidup di zaman ini dapat belajar dari mereka yang yang hidup di zaman lampau, tetapi tidak perlu menirunya secara fanatik. Pemahaman manusia terhadap realitas tidak perlu dilihat secara hitam-putih, tetapi dapat didialogkan untuk memperkaya pemahaman itu sendiri. Pemahaman manusia juga tidak harus seragam, karena setiap individu memiliki kebebasan masing-masing. Semakin banyak informasi yang kita temukan mengenai suatu persoalan, semakin jernih pemahaman kita tentang persoalan tersebut.
Al-Marāghī, seorang Guru Besar al-Azhār, kelihatan lebih terbuka dan toleran. Beliau, ketika menafsirkan ayat di atas, juga mengutip pandangan Abū Muslim al-Asfahānī, tetapi tidak untuk kemudian membantahnya. Beliau mengutip pendapat tersebut sebagai sebuah perbandingan dan untuk menunjukkan bahwa dalam hal tersebut memang terdapat perbedaan pendapat. Al-Marāghī juga mengutip pendapat gurunya al-ustādh al-Imām [Muhammad ‛Abduh] yang menegaskan bahwa secara lahiriah tidak tepat menafsirkan kata nafs wāhidah dalam ayat di atas dengan Adam. Tidak banyak komentar yang diberikan oleh al-Marāghī mengenai perbedaan pandangan ulama dalam masalah ini. Walaupun beliau sendiri mungkin cenderung kepada pemahaman ulama klasik, beliau lebih banyak memberikan isyarat kepada keterbukaan dan kelonggaran dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Pendapat-pendapat yang berbeda dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an sering dikutipnya, namun tidak disebutnya sebagai bātil atau salah bila ia tidak sependapat dengannya.
Seorang penulis kisah Nabi-nabi, ‘Abd al-Wahhāb an-Najjār, juga menunjukkan sikap yang hampir sama dalam mengomentari ayat di atas. Meskipun lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, beliau tidak menolak kemungkinan bahwa Allah telah menciptakan Hawa melalui proses yang sama dengan menciptakan Adam. Jadi kata minhā dalam ayat di atas bermakna min jinsihā wa ‘alā sūratihā, yakni dari jenis yang sama dan dengan rupa yang sama.
Dengan demikian, ayat di atas tidak secara tegas dan konkrit dapat dijadikan alasan bahwa perempuan diciptakan dari (tulang rusuk) laki-laki. Ayat itu pun tidak secara terang menyebutkan bahwa manusia pertama dan kedua itu bernama Adam dan Hawa.
Beberapa ayat yang lain yang menyebutkan tentang Adam dan pasangannya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 35 – 36 dan al-A‘rāf ayat 19 – 24. Lengkapnya terbaca sebagai berikut:
Surat al-Baqarah [2]:
35-Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu dan makanlah makanan-makanannya yang lezat sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
36-Lalu setan menggelincirkan keduanya dari sorga tersebut; maka [dengan demikian] ia telah mengeluarkan keduanya dari tempat yang pernah mereka tempati itu. Dan Tuhan [pun] berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.

Surat al-A‘rāf [7]:
19-Dan [Allah berfirman]: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu, lalu makanlah sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
20-Maka setan menggoda keduanya, supaya ia [dapat] menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup, yakni aurat keduanya, dan ia berkata: ‘Tuhanmu tidaklah melarang kedua kamu dari [mendekati] pohon ini melainkan [karena kamu nanti, jika mendekatinya] akan menjadi dua malaikat atau menjadi sebagian dari orang-orang yang kekal.
21-Dan ia bersumpah kepada keduanya: ‘sesungguhnya aku benar-benar termasuk di antara orang-orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua’.
22-Maka ia membujuk keduanya dengan sebuah tipudaya. Maka tatkala keduanya merasai pohon tersebut, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun sorga. Dan Tuhan [pun] menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu ‘sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu?’.
23-Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami benar-benar termasuk di antara orang-orang yang rugi.
24-Tuhan berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu’.
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menceritakan bagaimana perempuan diciptakan. Tetapi di situ digambarkan bagaimana manusia, laki-laki dan perempuan, berjuang menghadapi tipudaya setan yang menyesatkan. Pergelutan menghadapi setan itu telah dimulai sejak zaman dahulu kala, sejak zaman immemorial, zaman yang tidak terjelaskan oleh sejarah; pokoknya sejak “manusia pertama”. Inilah di antara makna yang dapat dilukiskan.
Skenario dan dialog-dialog dalam ayat di atas bukan sebuah permainan konkrit di atas sebuah panggung teater, tetapi lebih merupakan drama yang dimainkan umat manusia di atas panggung sejarah. Ia adalah gambaran dari siklus kehidupan manusia yang tidak pernah berhenti: kesenangan, kesengsaraan, godaan, kemenangan, kejatuhan, penyesalan dan tobat adalah bagian dari liku-liku kehidupan sepanjang sejarah manusia. Dari itu sebagian pemikir kontemporer, seperti Iqbal, lebih cenderung melihat kisah-kisah dunia sorgawi masa lalu itu sebagai kiasan semata. Karenanya dogma-dogma yang kemudian muncul sekitar persoalan tersebut dianggap sebagai mengada-ada belaka.

No comments:

Post a Comment