Saturday, April 17, 2010

Al-Qur’an tentang Evolusi Manusia

Seperti telah didiskusikan di atas bahwa konsep penciptaan perempuan tidak terlepas dari konsep penciptaan laki-laki. Jika penciptaan manusia pertama (laki-laki) dilihat sebagai sebuah kreasi Tuhan dari tanah secara langsung jadi, maka penciptaan perempuan pertama pun akan dipahami tidak jauh berbeda dari itu. Jika dikatakan ia berasal dari tulang rusuk, ya, dari tulang rusuk. Tuhan memang Maha Kuasa atas segala-galanya. Namun pemahaman yang lebih ilmiah – dengan merujuk pada berbagai realitas penciptaan Tuhan dalam alam semesta ini – tidak melihat proses penciptaan sesederhana itu. Melalui pemahaman seperti ini, manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak dilihat sebagai dua makhluk yang diciptakan secara berbeda-beda dan terpisah-pisah; keduanya diciptakan melalui proses yang sama – sebuah proses yang sangat panjang dan tenggelam dalam berbagai misteri. Tegasnya, manusia yang ada sekarang dengan segala karakteristiknya yang sangat kompleks, fisikal dan spiritual, secara biologis adalah “keturunan” dari makhluk sebelumnya yang lebih sederhana. Sementara perbedaan jenis memang telah ada sejak awal, sejak makhluk bersel satu meninggalkan sistem perkembang-biakan dengan cara membelah diri.
Salah satu keberatan yang paling fundamental di kalangan sebagian Muslim terhadap pemahaman tersebut di atas adalah karena ia dianggap bertentangan dengan Kitab Suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Padahal persoalannya tidak demikian. Ulasan-ulasan al-Qur’an tentang penciptaan sangat universal dan tekanan al-Qur’an yang paling mendasar adalah tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tercermin dalam setiap kreasi-Nya di alam semesta ini. Evolusi dalam kreasi Tuhan tidak mengurangi keagungan dan keajaiban karya-Nya. Al-Qur’an tidak secara konkrit dan detail membicarakan persoalan penciptaan dan segala proses yang terlibat di dalamnya. Berbagai bahasan tentang hal tersebut dalam literatur Islam merupakan gagasan dan pemikiran manusia semata. Kita barangkali sepakat bahwa pembahasan di atas memang tidak sejalan dengan sejumlah literatur Islam klasik, tetapi itu tidak berarti bertentangan dengan Islam atau al-Qur’an; yang bertentangan adalah penafsiran sebagian orang dengan yang lainnya. Untuk itulah berikut ini kami nukilkan beberapa ayat al-Qur’an yang oleh sebagian sarjana Muslim justeru dipahami atau ditafsirkan sebagai isyarat akan adanya proses evolusi manusia tersebut.
Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 30 Allah berfirman:
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka menjawab: ‘Apakah Engkau menjadikan di bumi orang yang berbuat kerusakan dalamnya, padahal kami bertasbih dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu sekalian ketahui.
Mengapa malaikat mengajukan pertanyaan yang mengimplikasikan keberatan atau semacam “protes” ketika Tuhan hendak menjadikan seorang khalifah di bumi? Menurut ayat di atas, keberatan malaikat muncul karena di bumi orang yang djadikan khalifah itu akan melakukan kerusakan, dan ini bertentangan dengan watak malaikat yang selalu berzikir dan patuh kepada Allah. Dari mana malaikat tahu? Menurut Muhammad Syahrūr, seorang pemikir Muslim kontemporer, malaikat tahu dan mengatakan demikian berdasarkan kenyataan yang ada di bumi pada waktu itu. “Manusia” pada waktu itu belum menjadi manusia sempurna, belum ditiupkan ruh ke dalamnya, tetapi baru mampu berjalan tegak, menggunakan perkakas dan mengeluarkan bunyi suara berbeda-beda, belum menggunakan bahasa secara sempurna. Mereka masih dalam proses hominisasi. Karena itu tingkah laku mereka masih seperti binatang: menumpahkan darah dan melakukan kerusakan.
Kata jā‘ilun (menjadikan) berbeda dari khāliqun (menciptakan). Jā‘ilun menunjukkan kepada proses dan perubahan, bukan pernciptaan dari pertama. Karena itu ayat di atas, menurut Muhammad Syahrūr, bukan berbicara tentang penciptaan awal manusia, tetapi pengangkatan manusia menjadi khalifah, sebuah proses dari “bukan khalifah” ke “khalifah”, dimana mereka sudah mencapai bentuk fisikalnya seperti manusia namun belum memiliki kesadaran kemanusiaan. Ini dapat dibandingkan dengan firman Allah dalam surat Sād ayat 71 dimana malaikat tidak mengajukan protes, ketika Tuhan mengatakan hendak menciptakan manusia dari tanah, bukan menjadikannya sebagai khalifah: Sesungguhnya Aku manciptakan manusia dari tanah. Protes malaikat di sini tidak muncul karena manusia memang baru hendak diciptakan, belum terbentuk seperti manusia dan belum melakukan kerusakan di bumi.
Proses hominisasi mencapai puncaknya ketika manusia mulai dapat mengidentifikasikan segala sesuatu dengan memberinya nama-nama. Inilah yang disebut oleh Muhammad Syahrūr dengan marhalah (periode besar) pertama. Marhalah ini diisyaratkan oleh firman Allah (al-Baqarah [2]: 31):
Dan Ia [Tuhan] mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu kemudian Ia mengajukannya kepada para malaikat, lalu berfirman: sebutkan kepada-Ku nama-nama mereka itu jika kamu orang-orang yang benar!
Di sinilah Tuhan mulai menampakkan kelebihan manusia dari malaikat dan pada saat itu pula perintah sujud kepada Adam didatangkan. Pada saat itu manusia sudah benar-benar menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi karena Tuhan telah meniupkan ruh-Nya ke dalamnya.
Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah.’ Maka tatkala telah Kusempurnakan [bentuknya] dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku, hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Maka semua malaikat [pun] sujud. Kecuali Iblis; ia menyombongkan diri dan ia termasuk di antara orang-orang kafir (Sād [38]: 71 – 74).
Dengan demikian masuklah manusia pada marhalah kedua, periode menghadapi tantangan dan mengalami kejatuhan. Manusia semakin sempurna dan sudah mulai berpikir dialektik. Mereka sudah dapat membanding-bandingkan baik dan buruk dan menentukan pilihan-pilihan; kesadaran hukum mulai tumbuh dan bisikan setan pun mulai memainkan perannya. Pada periode ini manusia hidup dalam “sorga” (al-Baqarah [2]: 35, al-A‘rāf [7]: 19), sebuah simbol dari kehidupan laki-laki dan perempuan yang penuh dengan kesenangan, sebuah dunia tanpa karya dan penuh cita-cita keabadian. Namun larangan sudah mulai ditetapkan. Manusia tergoda dan ia pun terjatuh.
Kejatuhan ini membawa manusia pada marhalah ketiga, yakni saat munculnya kesadaran spiritual atau kesadaran keagamaan yang mendalam. Manusia pada tahap ini mulai melihat dengan jelas makna baik dan buruk, kehormatan dan kekejian serta melakukan pertobatan dan pendekatan diri kepada Tuhan (al-Baqarah [2]: 36 – 37, al-A‘rāf [7]: 22 – 23). Maka manusia terlepas dari sorga dan hidup berkarya di dunia, dan pada waktu itu konsep waktu mulai dikenalnya.
Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu (al-Baqarah [2]: 36).
Marhalah yang keempat adalah zaman manusia purba, dari Adam sampai Nuh. Dan selanjutnya datanglah zaman manusia modern. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud dengan Adam pada setiap marhalah di atas adalah generasi Adam, bukan Adam sebagai personal. Dan Adam yang dipilih (sebagai Nabi) juga bukan seorang manusia yang bernama Adam, tetapi sebuah sosok atau pribadi yang diistilahkan dengan Adam, yang mungkin bermakna seorang manusia.
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran atas sekalian alam (Āli ‘Imrān [3]: 33).
Syahrūr menyimpulkan, bahwa lahirnya manusia di bumi ini adalah sebagai natijah dari proses perkembangan makhluk hidup yang melewati masa berjuta-juta tahun (290). Bisa jadi inilah yang diisyaratkan dalam surat al-A‘rāf [7] ayat 11:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, kemudian Kami sempurnakan kamu, kemudian barulah Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kepada Adam!’ …

Manusia Diciptakan dari Tanah (Sudut Pandang Sains)

Ilmu pengetahuan modern atau sains menjelaskan kepada kita bahwa makhluk hidup yang ada di bumi ini dengan berbagai ragamnya, tidak tercipta secara langsung atau sekaligus seperti yang kita lihat sekarang; apa yang kita saksikan hari ini merupakan hasil evolusi yang telah berjalan ratusan juta tahun. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan terhadap fosil atau sisa-sisa kehidupan pada batuan-batuan tua di berbagai lokasi dan lapisan bumi menunjukkan hal tersebut. Fosil manusia ternyata menempati lapisan kerak bumi yang paling muda. Mamalia atau binatang menyusui telah hidup lebih awal dan fosilnya ditemukan pada lapisan geologis yang lebih tua. Dan begitu seterusnya. Sehingga dapat diidentifikasikan bahwa yang paling tua adalah makhluk bersel tunggal. Makhluk bersel tunggal ini berkembang-biak dengan membelah diri. Kemudian (ratusan juta tahun) ia berkembang menjadi makhluk lunak yang bersel banyak, lalu makhluk bertulang keras yang hidup di air, dan seterusnya (dalam masa yang beratus-ratus juta tahun) sampai munculnya makhluk yang bisa terbang atau burung dan makhluk menyusui yang hidup di darat.
Apakah manusia juga merupakan hasil evolusi? Menurut dugaan atau hipotesis sains, benar. Tetapi sains menjelaskan evolusi tersebut hanya secara fisik atau biologis. Artinya, bentuk tubuh atau paras manusia seperti yang ada sekarang adalah hasil evolusi atau pengembangan dari yang lebih sederhana. Namun, dengan berlandas pada ajaran Islam, kita dapat mengatakan bahwa manusia sebagai “manusia” dalam pengertian makhluk spiritual yang mempunyai akal dan kesadaran, adalah makhluk “baru” di bumi, bukan hasil evolusi dari akal yang lebih sederhana sebelumnya. Kepada manusia telah ditiupkan ruh oleh Allah (Q.S. al-Dukhān [44]: 9) dan diberikan akal serta kesadaran sehingga pantas dibebankan tugas untuk menjadi khalifah-Nya di bumi ini. Akal dan kesadaran kemanusiaan adalah dimensi Ilahiyah yang tertanam dalam diri manusia. Ia (kesadaran kemanusiaan) datang dari Tuhan bukan dari hasil evolusi. Dengan demikian, manusia tetap berbeda dari binatang, sebab manusia memiliki kesadaran kemanusiaan; dengan kata lain, manusia memiliki akal dan kesadaran spiritual. Dari sudut pandang ini, laki-laki dan perempuan adalah sama saja, satu jenis; hanya mereka mempunyai fungsi kelamin atau fungsi biologis yang berbeda, seperti makhluk hidup lainnya juga. Dan perempuan bukan berasal dari laki-laki.
Ini mungkin kelihatan “ganjil” bagi sebagian orang, terutama sekali mereka yang percaya kepada dogma penciptaan alam semesta sebagaimana diceritakan dalam Kitab Kejadian. Dalam hal ini Tuhan seakan-akan telah kehilangan peran-Nya. Ketika kita mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi secara bertahap dan makhluk hidup di bumi ini juga berkembang melalui proses evolusi yang panjang, seakan-akan kita mengatakan Tuhan tidak lagi Maha Kuasa. Ini tidak benar. Tuhan memang Maha Kuasa menjadikan segala sesuatu dengan cara bagaimana pun. Tetapi Tuhan menunjukkan kepada hamba-Nya bahwa semua ciptaan-Nya disempurnakan melalui tahapan-tahapan atau proses tertentu untuk dijadikan pelajaran dan pedoman dalam beramal. Tidak ada jalan pintas dalam hukum alam. Demikianlah Tuhan telah mendesainnya. Proses evolusi itu sendiri adalah kehendak Tuhan, bukan kehendak alam itu sendiri. Dengan memahami hal ini, kita tidak menemukan adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan Kitab Suci Islam, dalam hal berevolusinya alam semesta ini.
Patut disebutkan di sini, bahwa dalam sejarah filsafat dan pemikiran keagamaan, seperti dikatakan Anton Bakker, memang telah muncul pandangan yang berbeda mengenai konsep kosmologi. Secara umum mereka terbagi kepada dua. Sebagian filosuf dan agamawan menganut aliran kreasionisme dan sebagian yang lain menganut evolusionisme. Aliran pertama percaya bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan dari tidak ada (from ex nihilo) dan secara terpisah-pisah; tidak ada proses evolusi; bumi pada awalnya bukan bagian dari langit dan manusia bukan berasal dari hewan. Semua jenis makhluk diciptakan sebagaimana ada sekarang sejak dari awal.
Sedangkan aliran evolusionisme memandang kosmos (alam semesta) ini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Alam ini diciptakan secara terbuka dan kreatif. Ia berkembang dan membentuk dirinya melalui proses-proses yang sangat menakjubkan. Perubahan secara perlahan ini disebut dengan evolusi.
Para ilmuan modern, berdasarkan data-data yang dihimpun oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, menyimpulkan bahwa alam semesta ini berkembang melalui proses evolusi (perubahan secala gradual atau perlahan-lahan). Evolusi aktual kosmos ini diperkirakan sejak 15.000 juta tahun yang lalu. Mereka tidak menyatakan secara tegas bahwa proses evolusi adalah sebuah kemestian. Tetapi mereka tidak dapat membayangkan bahwa alam ini dengan segala isinya seperti yang dapat kita saksikan sekarang terjadi tanpa proses evolusi. Jadi teori evolusi itu sendiri sebenarnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah kesimpulan ilmiah yang final, tetapi baru merupakan sebuah hipotesis (dugaan ilmiah). Namun ini tentu saja bukan sembarang hipotesis. Hipotesis ini dibangun berdasarkan berbagai data yang secara keilmuan dapat dipertanggung-jawabkan.
Begitu pula “dugaan” mereka terhadap proses penciptaan manusia. Adalah Charles Darwin (1809 – 1882) melalui bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection dan The Decendent of Men yang pertama sekali secara terbuka mengetengahkan teori bahwa berbagai jenis makhluk hidup, termasuk manusia, tercipta melalui proses evolusi. Berbagai kritik telah diajukan bukan hanya oleh kalangan agamawan tetapi juga oleh kalangan ilmuan. Keberatan yang diajukan kalangan ilmuan umumnya berkenaan dengan apa yang disebut missing link (mata rantai yang terputus). Tidak ada bukti yang jelas bagaimana sebenarnya proses “hominisasi” (perubahan dari hewan ke manulia) itu terjadi. Apakah manusia pertama itu dilahirkan oleh seekor hewan? Para ilmuan kontemporer lebih banyak berusaha menyempurnakan teori tersebut, meskipun ada sebagian yang berusaha mendestruksikannya. Kemungkinan real, menurut mereka yang membelanya, bahwa sekelompok primat (hewan yang berjalan tegak atau generasi hewan yang paling dekat dengan manusia) telah memperanakkan manusia. Tetapi ini tidaklah sederhana; bukan seperti seekor sapi melahirkan anak kambing. Hominisasi itu tersembunyi dalam proses yang sangat lama, sekitar 2 – 3 juta tahun atau sekitar 100.000 generasi. Sebab, hominisasi itu meliputi berjuta aspek dan unsur.

Manusia Diciptakan dari Tanah

Terlepas dari polemik di atas, yang jelas, menurut al-Qur’an, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah (al-Mu’minūn [23]: 12).
Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (al-Rah}mān [55]:14).
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Ia menciptakannya dari tanah, kemudian berfirman: “jadilah!”, maka jadilah ia (seorang manusia) (Āli ‘Imrān [3]: 59).
Sepertinya ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang serupa, ingin mengingatkan kita akan keagungan dan keajaiban proses penciptaan manusia, sebagai salah satu āyāt (tanda-tanda kebesaran Allah) kepada orang-orang yang beriman. Semua kita berasal dari tanah atau sari pati tanah. Air mani yang dipancarkan ke dalam rahim berasal dari makanan yang kita makan; makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan dan tumbuh-tumbuhan juga berasal dari sari pati tanah. Bukankah hal tersebut sangat menakjubkan? Sari pati tanah yang merupakan benda mati, setelah melewati sejumlah proses, berubah menjadi sel-sel hidup dalam tubuh kita.
Pembacaan secara cermat terhadap ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dan pengkajian terhadap ayat-ayat Allah dalam alam semesta akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah melalui proses yang sama yang penuh dengan keajaiban. Allah tidak merincinya dalam Kitab Suci melalui wahyu karena hal tersebut merupakan rahasia-Nya agar dikaji oleh manusia sendiri sesuai dengan kapasitas akal dan ilmu yang ada pada mereka.

Thursday, April 15, 2010

Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki


Sepertinya kecenderungan kebanyakan ulama klasik dalam memahami ayat tentang penciptaan Adam dan Hawa seperti tersebut di atas bersumber dari sebuah hadits “sahīh” yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, Muslim dan al-Tirmizī. Dalam hadits tersebut dikatakan:
Saling berpesanlah kamu untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok ...
Ulama dahulu, dengan segala kelebihan dan juga segala keterbatasan pengetahuan dan peradaban yang mereka miliki, memahami hadits di atas secara harfiah, yakni sebagaimana lahirnya. Demikian juga yang dilakukan oleh sebagian ulama sekarang, yang tetap bersikeras mempertahan¬kan keunggulan dan kejeniusan peradaban masa silam, walaupun di sisi lain, berkenaan dengan kepentingan-kepentingan hidup pribadinya, dengan perasaan malu-malu terpaksa menerima kemajuan peradaban modern. Pemahaman ulama dahulu mengenai “penciptaan” sangat sederhana, karena peradaban mereka memang tidak menuntut pemahaman-pemahaman yang lebih kompleks. “Adam diciptakan oleh Tuhan dari tanah yang dibentuk seperti rupa manusia yang ada sekarang, lalu ditiupkan ruh ke dalamnya, maka jadilah Adam seorang manusia. Kemudian Tuhan mencabut tulang rusuk Adam, lalu dibuatnya menjadi seorang perempuan.” Sangat praktis dan sederhana. Sehingga tidak jarang menimbulkan kesan di kalangan masyarakat awam bahwa Tuhan dalam hal ini mirip seorang tukang sulap yang mengeluarkan sebutir telur dari tangannya atau melepaskan seekor merpati yang keluar dari saputangannya. Demikian sederhanakah proses sunnah Allah dalam alam semesta ini? Mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk memahami pengetahuan dan peradaban modern akan menjawab: “ya!” Bagi mereka, alasannya mudah saja: karena Tuhan adalah Maha Kuasa, maka segalanya akan diselesaikan oleh Tuhan dengan kun, fa yakūn. Dalam satu detik semuanya beres. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa kun, fa yakūn di sisi Allah yang tidak terikat dengan ruang dan waktu tidak dapat diparalelkan dengan dunia kita yang berdimensi ruang dan waktu. Hal ini tentu saja tidak dijadikan pertimbangan oleh mereka yang menolak landasan berpikir filosofis atau memahami agama sebatas uangkapan teks-teks semata.
“Hawa” tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’an, dan bahwa Adam adalah manusia pertama juga tidak pernah dijelaskan dengan rinci oleh al-Qur’an. Bahkan menurut Muahammad Iqbal, seperti telah didiskusikan di atas, Adam bukan nama seorang manusia, tetapi lebih merupakan sebuah konsep tentang makhluk yang bernama manusia. Kisah Adam bukan kisah tentang sebuah figur yang ada secara konkrit dalam sejarah, tetapi sebuah kisah simbolik yang mengungkapkan karakteristik manusia yang ingin dijadikan khalifah oleh Tuhan di bumi ini. Ini didukung pula oleh pendapat para ahli bahasa yang mengatakan bahwa Adam berasal dari bahasa Ibrani yang berarti manusia, atau mungkin berasal dari kata adīm dalam bahasa Arab yang berarti tanah.

Sunday, April 11, 2010

Kritk Quran terhadap Eskatologi Yahudi

A. Pendahuluan
Sejak awal berhijrah ke Medinah, Nabi Muhammad telah menunjukkan sikap positif dan apresiatif terhadap kaum Yahudi yang hidup di sana. Nabi sangat mengharapkan mereka menjadi pendukungnya dalam dakwah menyampaikan risalah agama, sebab mereka adalah juga umat yang memiliki kitab dari Tuhan. Al-Qur’an, melanjutkan tradisi Arab sebelumnya, memanggil mereka ahl al-kitāb. Jadi al-Qur’an telah mengenal kaum Yahudi sebagai umat dengan ajaran dan keyakinannya sendiri. Namun interaksi Nabi Muhammad dengan umat Yahudi di Medinah telah melahirkan berbagai perdebatan keagamaan dan telah menginspirasi sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang bahkan dengan keras mengkritik mereka.
Sikap dan pandangan al-Qur’an terhadap keyakinan keagamaan umat Yahudi merefleksikan pergumulan historis Nabi Islam dengan sebuah umat yang telah memiliki keyakinan mapan namun ditantang untuk bersikap jujur, hormat dan terbuka berhadapan dengan sebuah risalah baru yang juga menampilkan watak dasar yang sama. Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa ayat al-Qur’an tentang pandangan keakhiratan umat Yahudi.

B. Tuturan al-Qur’an dan Kritik terhadap Yahudi
Menurut al-Qur’an, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa melalui agama merekalah manusia akan terselamatkan di akhirat. Siapa pun tidak akan masuk sorga melainkan dia adalah seorang Yahudi atau Nasrani.
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau orang-orang Nasrani.” Yang demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka. Katakanlah: “Tunjukkanlah buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar.”

Ayat ini menunjukkan respon al-Qur’an terhadap sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang nampak seperti kekanak-kanakan dan bahkan menggelikan. Kedua mereka, menurut al-Qur’an bukan hanya telah terjebak dalam eksklusivisme, tetapi telah berbohong dan menipu diri sendiri dengan menciptakan angan-angan kosong. Lagi-lagi, ayat ini juga memperlihatkan gaya kritik al-Qur’an yang selalu merujuk kepada penggunaan nalar dan argumentasi yang jelas dan penekanan pada sikap yang tulus dan jujur. Ayat berikutnya merupakan formulasi lebih jelas dari gagasan universal al-Qur’an:
Tetapi sesungguhnya, barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Qur’an sepertinya ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani bagaimana seharusnya seseorang bersikap dalam beragama. Jika agama mereka sama-sama berasal dari Tuhan yang Esa mengapa mereka (Yahudi dan Nasrani) berselisih dan mengapa menentang Muhammad? Jika agama-agama mereka mengajarkan kebaikan, mengapa saling merendahkan dan menyombongkan diri? Mungkin setiap agama memiliki pandangan-pandangan teologi dan cara-cara beribadat yang berbeda. Tetapi apakah itu esensi dari ajaran agama tersebut? Al-Qur’an menawarkan pandangan yang menegaskan bahwa sesungguhnya yang paling penting adalah penyerahan diri kepada Tuhan dan beramal kebaikan.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang S{ābi’īn, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhannya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Pernyataan al-Qur’an ini merupakan sikap paling “berani” dalam mengapresiasi umat lain secara positif. Al-Qur’an memperlihatkan sikap tidak pernah takut kehilangan “harga diri” hanya karena mengakui kebenaran yang inklusif. Ini jelas merupakan bagian dari kritik al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani atas pandangan mereka yang eksklusif.
Ayat-ayat di atas berbicara mengenai hari akhirat, suatu hari di mana manusia dibangkitkan atau di hidupkan kembali, dikumpulkan, diadili dan diberikan ganjaran sesuai dengan amalnya. Orang-orang mukmin akan dimasukkan ke sorga, sedangkan orang-orang kafir ke neraka. Iman kepada Tuhan dan hari akhirat merupakan basis amat penting bagi keselamatan di hari itu dan bukti terhadap iman tersebut ditunjukkan oleh amal kebajikan yang dilakukan seseorang. Karena itu setiap kali al-Qur’an berbicara soal iman selalu dikaitkan amal saleh atau kebajikan.
Konsep tentang hari akhirat sangat jelas dalam al-Qur’an. Pernyataan bahwa manusia akan dihidupkan kembali dan diberikan balasan terhadap amalnya dapat ditemukan di berbagai ayat dalam puluhan surat. Istilah yang digunakan untuk itu juga bervariasi, sesuai dengan ciri dan fungsi hari tersebut, misalnya: yawm al-h}isāb (hari pembalasan), yawm al-qiyāmah, yawm al-ba‘ts (hari bangkit), yawm yub‘atsūn (hari mereka dibangkitkan), yawm al-ākhir (hari akhir), al-ākhirah, dan al-sā‘ah (waktu).
Kenyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang ditemukan dalam Bible Yahudi atau Taurat. Walaupun kepercayaan akan adanya hari akhirat dikenal secara luas dalam keyakinan dan pemikiran keagamaan Yahudi, Bible amat sedikit memberikan indikasi ke arah tersebut. Seorang penulis Muslim kontemporer, Ah}mad Syalabī, bahkan berkomentar, bahwa agama Yahudi lebih mementingkan amal, tidak terlalu melihat pada iman; ia adalah agama yang, pada intinya, mengatur jalan kehidupan, bukan akidah. Ini, demikian menurut Syalabī, sangat berbeda dari agama Kristen yang lebih mementingkan iman dari amal saleh. Karena itu, kebangkitan, hari akhirat dan pembalasan tidak dibicarakan dalam agama Yahudi; isyarat kepada adanya kehidupan sesudah mati sangat sedikit ditemukan. Tidak ada dalam agama tersebut konsep tentang kehidupan yang kekal; pahala dan dosa hanya disempurnakan di dunia ini.

C. Pandangan Yahudi terhadap Hari Akhirat
Apakah orang-orang Yahudi tidak percaya pada hari akhirat? Jika agama mereka berasal dari ajaran Musa dan bersumber dari tradisi Ibrahim, maka, berdasarkan al-Qur’an, kepercayaan akan hari akhirat mestilah merupakan fondasi iman yang utama. Ibrahim, demi untuk menenangkan hatinya, pernah bertanya kepada Tuhan ihwal bagaimana Ia menghidupkan orang mati. Tuhan lalu menunjukkan bukti yang kemudian menjadikan Ibrahim puas dengan keyakinannya.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: Apakah engkau belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Memang, aku telah percaya, tetapi (ini) untuk menenteramkan hatiku (memantapkan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Setelah itu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Tentang keimanan Musa akan hari akhirat juga terdapat isyarat dalam al-Qur’an. Musa menentang Firaun yang sombong dan tidak percaya akan hari pembalasan:
Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari pembalasan.”

Beberapa pernyataan al-Qur’an, misalnya al-Baqarah: 111-112 yang dikutip di atas, menggambarkan bahwa orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad pernah mengemukakan pandangan mereka tentang adanya hari akhirat, sorga dan neraka, walaupun konsep mereka tentang situasi kehidupan akhirat itu, yang hanya berpihak pada kepentingan mereka secara eksklusif, ditentang oleh al-Qur’an.
Kepercayaan akan hari akhirat umumnya dipahami sebagai gagasan yang mengacu pada sebuah janji tegaknya keadilan yang sungguh-sungguh dan menyeluruh – a final, cosmic justice. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Penderitaan, kezaliman, kesewenangan dan berbagai kejahatan tidak pernah dapat diimbangi oleh upaya manusia menegakkan keadilan. Banyak orang telah mati tanpa memiliki kesempatan menuntut hak-haknya yang telah dirampas; banyak orang telah kehilangan nyawanya sebelum keadilan ditegakkan baginya. Apakah keadilan hanya merupakan harapan ilusif belaka? Hari akhirat merupakan gagasan yang menampung harapan tersebut. Di hari akhiratlah semua amal manusia akan dikalkulasikan dengan sedetil-detilnya dan keadilan ditegakkan dengan sesungguhnya di hadapan mahkamah Tuhan yang Maha Kuasa. Hak-hak orang yang telah terampas akan dikembalikan dan orang-orang zalim akan diberikan hukuman yang setimpal. Karena itu tidak mengherankan, dalam sejarah keagamaan umat Yahudi, konsep tentang hari akhirat mulai berkembang sekitar dua abad sebelum Masehi, pada zaman Maccabees, ketika kehidupan mereka dihancurkan dan mereka mengalami suatu penderitan yang berat. In the face of such trauma, the old ideas of reward of good and punishment of evil seemed untenable, but the notion of another life after death promised a final, cosmic justice.
Dalam Bible terdapat dua ayat yang menunjuk pada kehidupan sesudah mati dan pembalasan bagi setiap amal manusia, baik maupun buruk. Akan tetapi kedua ayat tersebut, menurut perkiraan para sarjana Bible, dikomposisikan pada masa-masa terakhir, sehingga diduga doktrin tentang akhirat itu berasal dari pengaruh Persia. Kedua ayat tersebut berbunyi:
Thy dead shall live, my dead bodies shall arise--awake and sing, ye that dwell in the dust--for Thy dew is as the dew of light, and the earth shall bring to life the shades.
And many of them that sleep in the dust of the earth shall awake, some to everlasting life, and some to reproaches and everlasting abhorrence.

Terlepas dari pandangan para sarjana Bible dan terlepas dari pengaruh mana pun yang telah melahirkan ayat-ayat ini, konsep tentang hidup sesudah mati tentu saja mempunyai akar yang kuat dalam tradisi Yahudi. Walaupun hanya dua ayat yang menyatakannya secara eksplisit dalam Bible, para rabbi telah sering berbicara tentang the World to Come. Sebagaimana dalam Islam, penafsiran terhadap hari akhirat dan kebangkitan manusia juga berbeda-beda dalam tradisi Yahudi – tergantung jalur pemikiran yang diambil: simbolik atau literal! Apakah jiwa (soul) itu kekal, dan kematian berarti terlepasnya jiwa dari tubuh untuk hidup dalam keabadian, atau Tuhan memang mengembalikan jiwa itu ke dalam tubuh yang telah mati sehingga ia hidup kembali? Ini hanya pertengkaran para filosof dengan kaum literalis, sebagaimana dalam Islam.
Tetapi mengapa Bible hampir saja tidak memberikan perhatian pada persoalan kehidupan akhirat? Menurut Louis Jacobs, para penulis Bible tidak mungkin tidak mengetahui sama sekali tentang doktrin ini sementara mereka mengetahui tentang piramida dan bukti-bukti lain yang mengisahkan keyakinan orang-orang Mesir serta masyarakat kuno lainnya tentang kehidupan sesudah mati. Sikap Bible yang relatif diam soal eksistensi akhirat barangkali sebagai protes terhadap keterikatan doktrin tersebut dengan agama-agama pagan pada masa itu. Mungkin itu pula sebabnya sehingga, dalam Leviticus, melakukan kontak dengan orang meninggal sekalipun dilarang.
(1) And the LORD said unto Moses: Speak unto the priests the sons of Aaron, and say unto them: There shall none defile himself for the dead among his people; (2) except for his kin, that is near unto him, for his mother, and for his father, and for his son, and for his daughter, and for his brother; (3) and for his sister a virgin, that is near unto him, that hath had no husband, for her may he defile himself.

Namun sejak masa pasca-Biblikal sampai sekarang, kepercayaan akan hari akhirat menjadi dominan dalam pandangan dan pemikiran keagamaan Yahudi. Keyakinan akan keadilan Ilahi bagi setiap individu menjadikan keyakinan akan adanya hari pembalasan tidak dapat dielakkan, terlepas dari bagaimana bentuk dan konsep tentang hari akhir tersebut. Jika kehidupan di dunia tidak mampu mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, maka hanya tinggal satu harapan: Tuhan akan membangkitkan kembali manusia dan memberi mereka keadilan. Menurut Emil L. Fackenheim, jika ditanya mengapa Bible tidak memberikan perhatian pada masalah tersebut, maka respon para rabbi adalah bahwa itu hanya karena kita tidak mengerti. “There is not a single chapter in the Torah” … “which does not contain the doctrine of the resurrection of the dead; only we cannot understand it.” Karena itu, dalam puji-pujian yang telah menjadi bacaan resmi, orang-orang Yahudi membaca: Thou sustainest the living with kindness, and revivest the dead with great mercy … Thou canst be trusted to revive the dead. Praised be Thou, O God, who revivest the dead.
Doktrin kebangkitan dalam tradisi Yahudi memang diperselisihkan. Persoalannya adalah, seperti telah disebutkan, tidak tersurat secara eksplisit dalam Bible bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan manusia. Perselisihan ini sudah muncul sejak kelompok Sadducees dan Pharisees (abad kedua SM.) berbeda paham, bukan hanya soal agama tetapi juga politik. Lebih tiga abad sebelum Masehi, orang-orang Yahudi berada dalam kekuasaan Yunani dan Hellenisme mulai menyusupkan pengaruhnya kepada mereka. Bahkan tidak lama kemudian Bible pun diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Pengaruh sebuah peradaban tentu membawa dampak yang besar bagi kehidupan, pandangan dan perilaku suatu masyarakat. Tradisi dan adat istiadat lama mengalami perubahan dan tantangan. Ada yang sepakat dan ada yang tidak. Dari sinilah berawal munculnya kelompok pro-Hellenizer yang diwakili oleh Sadducees dan anti-Hellenizer yang diwakili oleh Pharisees. Saddusees adalah kelompok aristokrat, karena itu sangat segan merusak tatanan politik yang ada; namun dalam soal agama mereka sangat konservatif. Sebaliknya Pharisees, mereka berbasis pada grass root, rakyat jelata. Mereka konservatif dari sudut pandang politik, namun terbuka dan bersikap liberal dalam pemahaman keagamaan. Mereka membuka ruang yang lebih longgar dalam menalar kitab suci, dan memperkenalkan penafsiran yang lebih elastis. Paham merekalah yang menjadikan tradisi Yahudi terus hidup dan bertahan sampai hari ini dan mampu menjawab berbagai tantangan yang sulit berhadapan dengan perubahan-perubahan.
Tidak dapat dipastikan, apakah Yahudi yang berbasis pada aliran pemikiran Saddusees atau Pharisees, ataupun lainnya, yang bermigrasi dan menetap di Arabia sampai zaman Islam. Jika kita berpegang pada teori yang mengatakan bahwa gelombang migrasi Yahudi ke gurun Arabia terjadi setelah Romawi menguasai Jerussalem dan melakukan tindakan kekerasan dan supresi terhadap orang-orang Israel, maka ada kemungkinan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang konservatif secara politik dan liberal dalam pemikiran keagamaan. Aliran yang berakar pada Pharisees barangkali lebih dominan.
Dari mana pun asal mereka, orang-orang Yahudi Medinah ternyata memiliki ajaran yang mengenal hari akhirat; sorga dan neraka adalah gagasan yang telah familiar bagi mereka. Namun, dari catatan-catatan al-Qur’an, mereka terlihat lebih cenderung mempermainkan doktrin tersebut untuk merendahkan Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Menurut al-Qur’an, mereka telah mengalami krisis moral, dan keyakinan mereka akan hari akhirat telah kehilangan signifikansinya. Hari akhirat bagi mereka tidak lagi merupakan hal penting; kalaupun itu ada, mereka menganggap dapat memenangkannya. Artinya, sekiranya saja hari akhirat terjadi, dan mereka akan dihukum karena dosa-dosanya, itu hanya akan berlangsung sebentar saja. Karenanya, tidak begitu mengkhawatirkan. Berikut, ayat-ayat tersebut kita kutip kembali:
Dan mereka berkata: “Kami tidak akan pernah disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, atau kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.”
Katakanlah: “Jika negeri akhirat (yakni surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, tidak untuk orang lain, maka bercita-citalah untuk (segera) mati, jika kamu memang benar.”
Mereka tidak akan pernah mencita-citai kematian itu (segera) selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui tentang orang-orang yang aniaya.

Menurut apa yang dituturkan al-Qur’an, doktrin hari akhirat, sorga dan neraka, dalam tradisi Yahudi, tetap mengakar dengan kuat. Persoalan yang menjadi sorotan al-Qur’an adalah bagaimana orang-orang Yahudi menyikapi hari akhirat itu. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan mereka akan kerugian besar yang akan menimpa mereka jika mengabaikan pesan-pesan Tuhan dan bertingkah laku semata-mata atas pertimbangan kepentingan hawanafsu. Mereka telah berkata bohong. Ucapan-ucapan mereka tentang akhirat tidak lebih dari upaya mengelak seruan Nabi Muhammad kepada kebenaran atau ajaran Tuhan yang lurus. Buktinya – demikian al-Qur’an mencoba menyelami ke dalam perasaan batin mereka yang penuh keguncangan – mereka sangat takut menghadapi kematian. Sekiranya mereka yakin dengan sungguh-sungguh bahwa mereka akan selamat dari azab Tuhan di akhirat, atau akan menjalani kehidupan penuh bahagia di sorga, tentu mereka tidak perlu takut mati dan bahkan berharap dapat mengalaminya dalam waktu dekat. Sebagaimana diriwayatkan al-T{abarī, dari Abū al-‘Āliyah, ayat 94 di atas diturunkan sebagai respon terhadap pernyataan orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa tidak akan masuk sorga kecuali golongan mereka saja dan mereka adalah anak-anak dan kekasih Tuhan. Maka al-Qur’an turun menantang mereka dengan cita-cita segera mengalami kematian untuk meraih kebahagiaan akhirat itu, jika mereka jujur dengan ucapannya itu. Tetapi ternyata mereka menolaknya. Ibn ‘Abbās mengatakan, sekiranya pada waktu itu mereka berani bercita-cita segera mati, maka mereka benar-benar akan mati semunya.

D. Pesan Moral al-Qur’an
Sejauh ini, apa yang dapat dicerapi dari berbagai ekspresi al-Qur’an tentang sejumlah pandangan keagamaan Yahudi adalah bahwa al-Qur’an terutama sekali sangat concern soal prinsip-prinsip moral dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Al-Qur’an menolak dengan keras segala bentuk diskriminasi yang muncul dari pandangan kemanusiaan yang sempit, dan mengkritik dengan tajam paham-paham keagamaan yang telah terdistorsi oleh angan-angan kosong, arogansi rasial dan kesombongan religius serta penyelewengan-penyelewengan atas dasar mengikuti hawanafsu. Orang-orang Yahudi “dituduh” oleh al-Qur’an sebagai telah melakukan kecurangan-kecurangan tersebut. Mereka telah mempersempit agama Tuhan yang sesungguhnya amat luas, terbuka dan dinamis. Bagi al-Qur’an, ini adalah fakta – yakni fakta yang disaksikan sendiri secara langsung oleh Nabi Muhammad. Al-Qur’an jelas berbicara tentang orang-orang Yahudi Medinah, sebab dalam kenyataannya al-Qur’an memang tidak berbicara mengenai sesuatu beyond the scope of its natural environment.
Notasi al-Qur’an tentang Yahudi tidak dapat dikatakan meliputi seluruh aspek dari tradisi umat tersebut dengan beragam aliran pemikiran dan interpretasi keagamaan yang sangat variatif. Tidak dapat juga diklaim bahwa pandangan-pandangan Yahudi Medinah yang dikecam al-Qur’an telah mewakili seluruh pandangan yahudi di seluruh dunia. Hanya ada satu hal yang paling jelas untuk dikatakan, yaitu: bahwa al-Qur’an mengkritik segala bentuk arogansi: rasial, intelektual, religius ataupun lainnya. Sebab, arogansi tidak lebih dari sikap pengecut yang justeru menumbuhkan keberanian dalam bentuk lain: berani berdusta, berani melakukan penyelewengan-penyelewengan dan sebagainya. Al-Qur’an telah menjadikan Yahudi sebagai prototipe sejarah sebuah umat yang dapat dijadikan pelajaran bagi semua umat lain, mungkin karena al-Qur’an menemukan banyak hal “menarik” pada mereka.

E. Penutup
Banyak hal dapat disimpulkan dari diskusi si atas, namun memiliki implikasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan berbagai disiplin kajian ilmu-ilmu keislaman. Ini tentu saja memerlukan kepada penelitian yang lebih mendalam. Karena itu kesimpulan-kesimpulan tersebut tidak diambil di sini. Cukup untuk dikatakan bahwa studi al-Qur’an yang terkait dengan sejarah dan konsep-konsep keagamaan dalam konteks global masih perlu diperluas dan dipertajam. Dalam era kehidupan yang semakin plural, mengkaji apa pun, termasuk agama dan kitab suci, tidak cukup dengan mengandalkan otoritas dogma semata, ataupun hanya melihat pada literatur yang terbatas secara spesifik pada wilayah otoritas keyakinan tertentu.










BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an
Bible
Dimont, Max I. Jews, God and History, (New York: Penguin Books, Edisi Revisi 1994).
Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.$
Fackenheim, Emil L. What is Judaism: An Interpretation for the Present Age. New York: Collier Books, 1987.
Jacobs, Louis. The Book of Jewish Belief. Behrman House, t.t.
Newby, Gordon. A History of the Jews of Arabia. South Carolina: University of South Carolina Press, 1988.
Robinson, George. Essential Judaism: A Complete Guid to Beliefs, Customs and Ritual. New York: Pocket Books, 2000.
Syalabī, Ah}mad. Muqāranah al-Adyān 1: al-Yahūdiyyah. Kairo: Mktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah. Cet. V, 1978.
T{abarī, Ibn Jarīr al-. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1405 H. Vol. 1.

Perempuan Pertama dalam al-Qur'an

Al-Qur’an, berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya, lahir di bawah cahaya sejarah yang terang. Ia ditulis dan dikumpulkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup dan sekaligus di bawah pengawasannya. Tidak ada percampuran di dalamnya dengan perkataan-perkataan manusia. Dari itu sejumlah pernyataan al-Qur’an mengenai masalah-masalah tertentu berbeda dari Kitab-kitab Suci sebelumnya. Ini tidak dalam rangka membenarkan sebagian Kitab Suci dan menyalahkan yang lain, tetapi hanya menegaskan bahwa Kitab-kitab Suci sebelumnya lahir dan ditulis dalam sebuah proses sejarah yang panjang dan pergulatan tradisi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya dikatakan bahwa validitas kewahyuan Kitab-kitab tersebut tidak memiliki kekuatan seperti Kitab Suci al-Qur’an.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan di atas, dengan mendiskusikan beberapa ayat al-Qur’an tentang penciptaan perempuan. Islam pada dasarnya memandang semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah SWT; tinggi atau rendahnya kedudukan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, tergantung pada kualitas ketakwaannya. Asal usul seorang manusia, warna kulit atau kebangsaannya bukanlah hal penting atau menentukan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Kemudian, dari keduanya) Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa. (al-Hujurāt [49]: 13).
Ayat di atas menunjukkan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan. Karena itu tidak ada alasan untuk melebihkan seseorang atau satu kelompok dari yang lainnya. Memang Islam tidak menutup mata terhadap realitas keberagaman peradaban dan sejarah umat manusia, namun al-Qur’an, bukan hanya dalam ayat di atas, menegaskan bahwa faktor yang paling menentukan dalam peradaban manusia adalah sikap mentalnya dalam membina hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya yang merupakan anugerah Tuhan. Sikap mental inilah yang tercakup dalam sebagian makna kata taqwa atau ketakwaan.
Laki-laki dan perempuan dalam pandangan Tuhan sama saja: Amalan atau nilai ibadah seseorang tidak akan dikurangi hanya karena ia seorang perempuan.
Barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki ataupun perempuan, sedang ia adalah orang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam sorga, dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun. (al-Nisā’[4]: 124).
Mengenai asal mula kejadian perempuan, al-Qur’an tidak menyebutnya secara tegas dan rinci. Bahkan demikian juga dengan asal mula kejadian laki-laki. Keduanya, laki-laki dan perempuan, diciptakan dari nafs (diri, jiwa, individu) yang satu. Ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan bukan berasal dari materi yang berbeda dan bukan pula diciptakan melalui proses yang tidak sama.
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu individu (nafs wāhidah); darinya Allah menciptakan pasangannya (zawjahā) dan dari keduanya Allah mengembak-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak... (al-Nisā’ [4]: 1).
Menarik sekali bahwa kata nafs (diri, individu) dalam bahasa Arab – meskipun secara gramatikal mu’annats (perempuan) – secara konseptual adalah kata benda netral, yakni tidak menunjukkan kepada laki-laki ataupun perempuan. Demikian juga kata zawj, bisa bermakna laki-laki atau perempuan. Jadi zawj bukan berarti “isteri”, tetapi “pasangan”; boleh jadi laki-laki dan boleh jadi perempuan. Jadi ayat di atas tidak bisa secara tegas dijadikan alasan bahwa manusia pertama adalah laki-laki atau perempuan, di mana yang satu merupakan asal bagi yang lain.
Ulama tafsir tradisional, seperti Ibn Katsīr, al-Jalālayn dan al-Qurtubī, dan juga sebagian mufassir kontemporer, menafsirkan kata nafs wāhidah dengan Adam dan zawjahā sebagai Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Bahkan at-T{abarsi dalam Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, mengatakan: seluruh ulama tafsir telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs wāhidah adalah Adam, manusia pertama. Tetapi pernyataan tersebut, demikian menurut Quraish Shihab, sebenarnya keliru, sebab ternyata ada sejumah ulama, seperti al-Rāzī, Rasyīd Ridā, al-Qāsimī dan al-Tabātabā’ī yang tidak berpendapat demikian. Mereka yang terakhir ini berpendapat bahwa min nafs wāhidah maksudnya adalah dari jenis yang satu. Artinya, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki, yakni jenis manusia.
‘Alī al-Sāyis, seorang mufassir dan ahli hukum Islam kontemporer, ketika mengomentari ayat 1 surat an-Nisā’ tersebut mengatakan bahwa Abū Muslim [al-Asfahānī] telah menolak penciptaan perempuan dari tulang rusuk, dengan alasan bahwa Allah SWT Maha Kuasa menciptakannya dari tanah; lalu apa faedah Allah menciptakannya dari tulang rusuk. Abū Muslim juga mengatakan bahwa pengertian min hā dalam ayat di atas adalah min jinsihā (dari jenisnya). Tetapi ‘Alī al-Sāyis kemudian membantah semua pendapat Abū Muslim dan mengatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk telah disebutkan secara tegas dalam hadits yang diriwayatkan oleh dua orang Imām hadits terkenal, yakni al-Bukhārī dan Muslim. Demikian juga, kata al-Sāyis, kemampuan (ke-Maha-Kuasa-an) Allah menciptakan Hawa dari tanah sama sekali tidak menghalangi-Nya untuk menciptakannya dari yang lain [yakni dari tulang rusuk].
Al-Sāyis nampak cenderung kepada pemahaman literal dan melihat ayat-ayat al-Qur’an dan hadits pada tataran lahirnya. Tidak boleh ada takwil, kecuali memang terdapat nas yang mengharuskannya. Seperti kebanyakan fuqahā’ dan teolog Muslim lainnya juga, al-Sāyis lebih suka melihat ayat-ayat al-Qur’an sebagai aturan-aturan hukum yang berbicara tentang perintah dan larangan, atau sebagai landasan teologis yang menetapkan apa yang harus diimani dan apa yang tidak boleh diimani. Mereka memahami al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan bahkan sumber sagala ilmu pengetahuan dalam pengertian yang sangat teknis dan bahkan manual. Sikap seperti ini tentu saja dapat dipahami dengan melihat latar belakang lingkungan budaya serta spesialisasi ilmu mereka. Tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan mereka; demikian juga tidak ada siapapun yang berhak menyalahkan orang-orang yang mengkritik mereka. Peradaban menawarkan beragam alternatif kepada kita dan setiap generasi yang datang kemudian dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan secara lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi terakhir mesti lebih tercerahkan dari yang dahulu, jangan “jalan di tempat” ataupun surut ke belakang. Kita yang hidup di zaman ini dapat belajar dari mereka yang yang hidup di zaman lampau, tetapi tidak perlu menirunya secara fanatik. Pemahaman manusia terhadap realitas tidak perlu dilihat secara hitam-putih, tetapi dapat didialogkan untuk memperkaya pemahaman itu sendiri. Pemahaman manusia juga tidak harus seragam, karena setiap individu memiliki kebebasan masing-masing. Semakin banyak informasi yang kita temukan mengenai suatu persoalan, semakin jernih pemahaman kita tentang persoalan tersebut.
Al-Marāghī, seorang Guru Besar al-Azhār, kelihatan lebih terbuka dan toleran. Beliau, ketika menafsirkan ayat di atas, juga mengutip pandangan Abū Muslim al-Asfahānī, tetapi tidak untuk kemudian membantahnya. Beliau mengutip pendapat tersebut sebagai sebuah perbandingan dan untuk menunjukkan bahwa dalam hal tersebut memang terdapat perbedaan pendapat. Al-Marāghī juga mengutip pendapat gurunya al-ustādh al-Imām [Muhammad ‛Abduh] yang menegaskan bahwa secara lahiriah tidak tepat menafsirkan kata nafs wāhidah dalam ayat di atas dengan Adam. Tidak banyak komentar yang diberikan oleh al-Marāghī mengenai perbedaan pandangan ulama dalam masalah ini. Walaupun beliau sendiri mungkin cenderung kepada pemahaman ulama klasik, beliau lebih banyak memberikan isyarat kepada keterbukaan dan kelonggaran dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Pendapat-pendapat yang berbeda dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an sering dikutipnya, namun tidak disebutnya sebagai bātil atau salah bila ia tidak sependapat dengannya.
Seorang penulis kisah Nabi-nabi, ‘Abd al-Wahhāb an-Najjār, juga menunjukkan sikap yang hampir sama dalam mengomentari ayat di atas. Meskipun lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, beliau tidak menolak kemungkinan bahwa Allah telah menciptakan Hawa melalui proses yang sama dengan menciptakan Adam. Jadi kata minhā dalam ayat di atas bermakna min jinsihā wa ‘alā sūratihā, yakni dari jenis yang sama dan dengan rupa yang sama.
Dengan demikian, ayat di atas tidak secara tegas dan konkrit dapat dijadikan alasan bahwa perempuan diciptakan dari (tulang rusuk) laki-laki. Ayat itu pun tidak secara terang menyebutkan bahwa manusia pertama dan kedua itu bernama Adam dan Hawa.
Beberapa ayat yang lain yang menyebutkan tentang Adam dan pasangannya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 35 – 36 dan al-A‘rāf ayat 19 – 24. Lengkapnya terbaca sebagai berikut:
Surat al-Baqarah [2]:
35-Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu dan makanlah makanan-makanannya yang lezat sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
36-Lalu setan menggelincirkan keduanya dari sorga tersebut; maka [dengan demikian] ia telah mengeluarkan keduanya dari tempat yang pernah mereka tempati itu. Dan Tuhan [pun] berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.

Surat al-A‘rāf [7]:
19-Dan [Allah berfirman]: ‘Hai Adam, diamilah olehmu sorga ini bersama isterimu, lalu makanlah sesuka hatimu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, sebab [jika kamu mendekatinya] niscaya kamu menjadi di antara orang-orang zalim’.
20-Maka setan menggoda keduanya, supaya ia [dapat] menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup, yakni aurat keduanya, dan ia berkata: ‘Tuhanmu tidaklah melarang kedua kamu dari [mendekati] pohon ini melainkan [karena kamu nanti, jika mendekatinya] akan menjadi dua malaikat atau menjadi sebagian dari orang-orang yang kekal.
21-Dan ia bersumpah kepada keduanya: ‘sesungguhnya aku benar-benar termasuk di antara orang-orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua’.
22-Maka ia membujuk keduanya dengan sebuah tipudaya. Maka tatkala keduanya merasai pohon tersebut, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun sorga. Dan Tuhan [pun] menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu ‘sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu?’.
23-Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami benar-benar termasuk di antara orang-orang yang rugi.
24-Tuhan berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan di bumi kamu mendapatkan tempat tinggal dan kesenangan hidup sampai waktu tertentu’.
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menceritakan bagaimana perempuan diciptakan. Tetapi di situ digambarkan bagaimana manusia, laki-laki dan perempuan, berjuang menghadapi tipudaya setan yang menyesatkan. Pergelutan menghadapi setan itu telah dimulai sejak zaman dahulu kala, sejak zaman immemorial, zaman yang tidak terjelaskan oleh sejarah; pokoknya sejak “manusia pertama”. Inilah di antara makna yang dapat dilukiskan.
Skenario dan dialog-dialog dalam ayat di atas bukan sebuah permainan konkrit di atas sebuah panggung teater, tetapi lebih merupakan drama yang dimainkan umat manusia di atas panggung sejarah. Ia adalah gambaran dari siklus kehidupan manusia yang tidak pernah berhenti: kesenangan, kesengsaraan, godaan, kemenangan, kejatuhan, penyesalan dan tobat adalah bagian dari liku-liku kehidupan sepanjang sejarah manusia. Dari itu sebagian pemikir kontemporer, seperti Iqbal, lebih cenderung melihat kisah-kisah dunia sorgawi masa lalu itu sebagai kiasan semata. Karenanya dogma-dogma yang kemudian muncul sekitar persoalan tersebut dianggap sebagai mengada-ada belaka.

Thursday, April 8, 2010

Penciptaan Perempuan

Tersebutlah sebuah kisah: Setelah menciptakan manusia pertama, yakni Adam, Tuhan menempatkannya dalam surga. Di dalamnya Tuhan menyediakan bermacam-macam makanan dan kenikmatan supaya Adam dapat bersenang-senang dengan sepuas hatinya. Agar Adam tidak kesepian, maka Tuhan menciptakan berbagai macam binatang secara berpasang-pasangan. Mereka bermain-main di dalam surga dan membuat Adam merasa gembira. Namun Adam kemudian menyadari bahwa ada yang belum lengkap pada dirinya: ia belum memiliki pasangan seperti binatang-binatang yang ada di sekitarnya. Ia masih tetap merasa kesepian. Untuk memenuhi keinginan Adam, Tuhan pun berkehendak untuk menciptakan seorang perempuan, sebagai pasangan baginya. Mula-mula Tuhan membuat Adam tertidur; pada saat itulah salah satu tulang rusuknya dicabut, dan dari tulang rusuk itulah Hawa diciptakan. Maka Adam bersenang-senang dengan isterinya itu dalam surga, sampai suatu saat mereka tergoda oleh rayuan setan sehingga memakan buah terlarang, dan mereka dikeluarkan dari kebun yang indah serta penuh nikmat itu, untuk hidup di bumi dengan berbagai tantangan yang harus mereka hadapi.
Elaborasi atau pengembangan dari kisah tersebut juga telah menciptakan kegetiran nasib perempuan. Di situ dikisahkan bahwa perempuanlah, yakni Hawa, yang telah menggoda Adam untuk sama-sama memakan buah terlarang tersebut. Iblis/setan pada mulanya tidak sanggup menggoda Adam, tetapi ia menyusupkan tipudayanya melalui Hawa. Iblis tahu bahwa perempuan memiliki kelemahan dan ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Tergodalah Adam gara-gara sang isteri tercinta. Maka, sekali lagi, dengan merujuk pada kisah itu, perempuan kembali menjadi “tertuduh” sebagai penyebab segala kesengsaraan anak cucu Adam di bumi ini. Hawalah yang telah menyebabkan Adam tergelincir dalam dosa, dan kita semua menanggung akibatnya.
Demikianlah secara ringkas kisah asal kejadian perempuan yang secara umum dikenal di kalangan masyarakat Muslim. Kisah tersebut terdapat dalam Genesis (Kitab Kejadian) Perjanjian Lama, Kitab Suci yang menjadi pegangan orang-orang Yahudi dan Kristen. Tradisi Yahudi inilah yang dikutip atau dijadikan sumber oleh kebanyakan mufassir atau ulama Islam lainnya pada zaman dahulu untuk mengisi lembaran-lembaran karya tulis mereka; bahkan kisah tersebut dikembangkan atau dilengkapkan lagi supaya menjadi lebih menarik dan kelihatan masuk akal. Ibnu Katsir, misalnya, dalam kitab tafsirnya mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa tatkala Adam terbangun dari tidurnya, ia terkejut melihat seorang perempuan telah berada di sampingnya. Adam bertanya: “engkau ini apa?” Hawa menjawab: “aku adalah perempuan.” “Untuk apa engkau diciptakan?”, tanya Adam lagi. Hawa menjawab: “Supaya engkau merasa tentram denganku.” Maka para malaikat, yang ingin menyaksikan kepintaran Adam menguasai nama segala sesuatu, bertanya: “wahai Adam, siapa namanya?” Langsung saja Adam menjawab: “Hawa!” Mereka bertanya lagi: “Mengapa Hawa?” Adam menjawab: “karena ia diciptakan dari sesuatu yang hidup (hayyun)!”
Penambahan pada bagian terakhir seperti tersebut di atas jelas sekali merupakan upaya untuk membumbui cerita agar memiliki keterkaitan dengan pernyataan al-Quran yang menyebutkan bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu ... (al-Baqarah [2]: 31). Penambahan tersebut tidak memiliki dasar sama sekali dari al-Qur’an maupun Hadits. Ibn Katsīr sendiri mengatakan bahwa riwayat tersebut berasal dari sebagian sahabat, para “ahli ilmu” (termasuk Yahudi) dan lain-lain, yang tidak disebut secara jelas darimana sumber aslinya.
Tetapi jika ditelusuri dalam Alkitab Perjanjian Lama, teks yang agak mirip dengan cerita di atas dapat ditemukan dalam Genesis atau Kitab Kejadian 3:20.
Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup.
Sebagai perbandingan, berikut ini kami kutip secara lebih lengkap beberapa ayat dari Kitab Kejadian (2:4-23) tersebut mengenai penciptaan dan kehidupan awal manusia pertama beserta pasangannya itu:
(4) Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit, – (5) belum ada semak apapun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab TUHAN Allah belum meurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang mengusahakan tanah itu; (6) tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu – (7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
(8) Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah Timur; disitulah ditempatkanNya manusia yang dibentukNya itu. …
(15) TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (16) Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, (17) tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
(18) TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. … (21) Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. (22) Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu. (23) Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
Ayat-ayat Alkitab di atas secara harfiah menggambarkan bahwa “manusia” dalam konsep penciptaannya yang paling awal adalah laki-laki. Untuk membantu dan memenuhi kebutuhan laki-laki inilah perempuan diciptakan. Ia tunduk kepada laki-laki karena ia adalah bagian atau darah daging dari laki-laki. Dengan kata kata lain, secara substansial, laki-laki lebih utama dari perempuan; perempuan adalah makhluk kelas dua.
Kisah-kisah seperti ini, yang berasal dari literatur dan tradisi Yahudi atau Kristen, dalam karya-karya kaum Muslim dikenal dengan istilah isrā’īliyyāt, yakni kisah-kisah yang berasal dari kaum Bani Israil atau Ahl al-Kitāb (baca: Ahli Kitab). Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kisah tersebut sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam? Jika tidak sejalan, mengapa kisah tersebut sampai demikian terkenal di kalangan umat Islam? Dan mengapa sebagian ulama bahkan dengan penuh semangat mengutip kisah-kisah dari tradisi Bani Israil itu ke dalam kitab-kitab mereka atau menyebarkannya dalam masyarakat?
Nabi Muhammad kelihatan agak toleran menyikapi berbagai pandangan kaum Ahl al-Kitāb. Dalam sebuah hadits (Riwayat al-Bukhārī) dinyatakan bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan juga tidak mendustakan kaum Ahl al-Kitāb; yang perlu ditegaskan adalah keimanan kepada Allah dan segala apa yang telah diturunkan Allah. Jadi mungkin saja pandangan atau tradisi kaum Ahl al-Kitāb itu benar dan mungkin juga salah. Karena itu ulama Islam umumnya berpendapat bahwa jika memang terbukti pandangan orang-orang Ahl al-Kitāb itu benar maka bisa saja dibenarkan dan demikian juga jika terbukti salah maka bisa saja disalahkan. Namun dalam hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya dengan hujjah yang kuat, maka hakikatnya diserahkan kepada Allah.