Wednesday, March 31, 2010

PSIKOLOGI DALAM ISLAM: Menuju Kesadaran Spiritual Melalui al-Qur’an

Pendahuluan

Hidup adalah peristiwa yang relatif singkat, namun ia terus berlanjut. Sebagian orang telah memanfaat hidupnya dengan baik dan ia mungkin merasa bahagia dengan apa yang telah ia kerjakan. Sementara itu, sebagai orang mungkin kurang cerdas dalam memanfaatkan hidupnya, maka ia akan banyak mengalami penyesalan. Sebagian orang menjalani hidup sebagaimana adanya, seperti air yang mengalir, tanpa ada upaya untuk mengubah keadaan; sebagian yang lain bekerja lebih keras dan menentang kondisi yang ada untuk mengubah arah hidupnya. Ada orang yang terlena dengan “takdir”, ada juga orang yang berusaha “mengubah takdir”. Itulah yang disebut dengan jalan hidup. Setiap orang bebas memilih jalan hidupnya sendiri, dan jalan hidup yang berbeda akan menyampaikan seseorang pada titik akhir yang berbeda.
Jalan hidup itu disebut dengan agama, kepercayaan ataupun ideologi. Ia bersumber dari kesadaran manusia yang amat dalam. Namun dalam menempuh jalan hidup itu, manusia berbeda-beda: ada yang melakukannya dengan penuh kesadaran, dan ada pula yang hanya ikut-ikutan. Di situlah letak perbedaan antara orang yang cerdas dan bodoh secara spiritual. Dalam sejarah Islam dan dalam al-Qur’an kita mengenal istilah “jahiliah”, artinya “kondisi bodoh”. Orang-orang jahiliah bukanlah orang bodoh dalam pengertian tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka bodoh secara spiritual, walau pun mereka sangat cerdas dalam berdagang dan membangun peradaban duniawi.
Dalam psikologi kontemporer, para ahli telah mendapatkan titik temu antara ajaran agama dan gejala-gejala psikologi yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Kalau dalam psikologi kuno, orang beragama dianggap sebagai orang yang kurang waras, dalam psikologi kontemporer bahkan kesadaran keagamaan dianggap sebagai visi kejiwaan yang paling cerdas. Dalam kajian ini kita akan melihat, secara ringkas, pandangan Islam tentang gejala-gejala kesehatan mental atau kecerdasan spiritual menuju kebahagiaan hidup yang lebih tinggi.

Psikologi Sebagai Ilmu

Psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari proses mental dan tingkah laku pada manusia dan juga binatang. Secara harfiah, psychology berarti study of mind, yakni “kajian tentang pikiran”. Pikiran inilah – pikiran dalam pengertian yang luas, mencakup segala aspek yang terkait dengan nalar dan kesadaran – yang menjadi sumber tingkah laku manusia. Psikologi juga terkait dengan biologi dan ilmu-ilmu sosial, sebab berbagai karakter manusia juga tidak terlepas dari kondisi dirinya dan masyarakat di sekitarnya.
Persoalan yang dikaji dalam psikologi sangat luas, mencakup: kesadaran, inteligensia, learning, motivasi, emosi, persepsi, kekacauan mental, kepribadian dan juga genetika tingkah laku. Demikian juga cabang-cabang psikologi serta spesialisasinya, sangat banyak, misalnya: psikologi sosial, psikologi agama, psikologi anak, psikologi remaja dan sebagainya. Karena itu psikologi sebagai ilmu kadang-kadang terlihat sangat general dan tidak utuh; teori-teori yang dikembangkan tentangnya juga sangat bervariasi dan kadang-kadang saling bertentangan.
Namun demikian, psikologi telah banyak memberikan sumbangan keilmuan bagi pengembangan kehidupan manusia, dan ilmu ini sendiri telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, mulai dari aliran behaviorisme (yang melihat tingkah laku manusia semata-mata sebagai hasil dari kebiasaan, dan mengabaikan adanya ruh), psikoanalisis (yang menganalisa perilaku manusia agak lebih dalam, sampai pada teori alam bawah sadar), psikologi humanitis (yang mengkritik kedua psikologi sebelumnya; mencari keterangan mengapa orang sehat, alih-alih mempertanyakan mengapa orang sakit), sampai kepada psikologi transpersonal (yang berbicara tentang kecerdasan spiritual dan kesadaran batin manusia). Pada generasi terakhir inilah psikologi mengalami persentuhan dengan agama atau kesadaran jiwa manusia yang amat dalam.

Manusia Sebagai Makhluk Spiritual

Manusia berbeda dari binatang lainnya, karena manusia mempunyai akal. Dalam pengertian yang luas, akal adalah segala bentuk kesadaran yang melahirkan berbagai kecerdasan, baik inteligensia, emosional maupun spiritual. Dengan akal, manusia dapat menganalisa suatu persoalan, merespons perasaan tertentu dan juga memutuskan suatu sikap yang akan diambil mengenai suatu perkara. Manusia dapat mengubah alam untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan memudahkan jalan hidupnya karena akalnya; manusia juga dapat menentukan pilihan baik dan buruk, karena potensi akalnya.
Akal inilah yang mengantakan manusia pada puncak kesadarannya yang disebut dengan kesadaran spiritual, di mana manusia dapat melakukan transendensi, melampaui dirinya yang bersifat duniawi dan material, memasuki pengalaman batin yang inmaterial serta berkomunikasi dengan Tuhan.
Spiritualitas adalah kesadaran manusia yang paling dalam dan hakiki. Sabar, santun, pengasih, rela berkorban, adalah bagian refleksi kecerdasan spiritual. Dalam psikologi klasik dikenal adanya istilah seperti id, ego dan superego. Id adalah dorongan nafsi tanpa pertimbangan. Dorongan itu muncul dari adanya reaksi hormon tertentu dalam tubuh manusia (dan juga binatang lainnya) terhadap sesuatu yang diterima oleh inderanya, seperti melihat, mendengar atau mencium sesuatu. Ketika mencium bau makanan yang lezat, kita ingin untuk menyantapnya. Pada tahap ini belum ada pertimbangan apa pun dan juga belum ada proses berpikir. Sedangkan ego adalah tahapan di mana seseorang mulai melawan id-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi dan lebih memuaskan. Anak-anak, misalnya, menahan diri untuk tidak menghabiskan uang jajannya untuk menabung. Ia mulai belajar menahan diri terhadap dorongan nafsu tertentu untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi. Sedangkan superego adalah kesadaran yang lebih tinggi yang dapat mengalahkan kedua dorongan sebelumnya. Contohnya: seseorang rela menghabiskan waktu dan kekayaannya serta bersedia menahan lapar untuk suatu tujuan moral yang lebih tinggi atau untuk mencapai nilai ketakwaan. Inilah yang dalam analisa psikologi baru disebut dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan seperti ini hanya ada pada manusia, tidak ada pada binatang lainnya.
Kecerdasan spiritual tidak dapat dicapai begitu saja tanpa riyadhah atau latihan. Karena dalam Islam kita diajarkan untuk bersembahyang, berpuasa, berzakat dan berhaji serta berbagai amal kebaikan lainnya. Manusia perlu dibiasakan melawan nafsunya dan diajarkan cara-cara melawannya. Namun semua ajaran tersebut harus dilakukan dengan penuh penghayatan, supaya menimbulkan suatu kesadaran yang mendalam. Banyak kita temukan orang yang rajin sembahyang namun perilakunya masih menjengkelkan orang banyak, atau orang sudah berkali-kali naik haji tetapi masih menipu dan korupsi. Hal itu dikarenakan ibadah-ibadah yang mereka lakukan hanya sebatas ikut-ikutan saja, atau bahkan (lebih celaka lagi) untuk tujuan mendapatkan pujian dan penghormatan dari orang lain. Ibadah itu mengandung kegiatan-kegiatan yang simbolik. Sujud dalam sembahyang, misalnya, adalah simbol dari penyerahan diri secara total kepada Allah. Manusia tidak ada apa-apanya di hadapan Allah yang Maha Besar. Sujud adalah simbol kepatuhan yang harus diterapkan dalam perilaku dan berbagai aktivitas sehari-hari. Contoh lain adalah ibadah haji. Ibadah ini penuh dengan kegiatan-kegiatan fisik yang bersifat simbolik, misalnya melontar jumrah. Kegiatan ini dilakukan sebagai ekspresi permusuhan kita dengan setan. Setan sebenarnya ada di mana-mana, bukan hanya di Mekkah itu. Lalu apa artinya orang melempar setan di sana, tetapi kemudian berteman lagi dengan setan sesampai di tanah airnya?
Kecerdasan spiritual bahkan juga dapat melampaui segala penderitaan fisik. Tidak sedikit kisah-kisah penderitaan fisik yang dialami kaum sufi, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah menderita sedikit pun. Sayyidina Ali dikisahkan pernah tertusuk anak panah dalam sebuah peperangan, tetapi tabib yang berusaha mencabutnya kesulitan sebab Imam Ali kesakitan. Tetapi kemudian beliau menyuruhnya mencabut ketika beliau sedang sembahyang. Tabib itu mematuhinya dan ternyata beliau tidak merasakan saktinya waktu itu. Jadi penderitaan fisik pun dapat dilampaui dengan kekuatan spiritual. Kepatuhan dan pelaksaan ajaran agama secara benar dan konsekuen adalah jalan menuju kesempurnaan jiwa atau kecerdasan spiritual.

Al-Qur’an Sebagai Obat bagi Jiwa

Al-Qur’an adalah pedoman menuju kesempurnaan jiwa, kecerdasan spiritual atau kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’an, Allah menegaskan:

وننزل من القرءان ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا

Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Al-Qur’an adalah petunjuk, ibarat kompas dan peta. Kita memerlukan kepada berbagai pengetahuan pelengkap untuk dapat memaknai al-Qur’an sebagai petunjuk secara lebih sempurna. Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman hidup seseorang, semakin mampu ia menjabarkan pesan al-Qur’an secara lebih baik dan mendalam.
Al-Qur’an harus disentuh secara langsung dan diserapi berbagai pesan yang terkandung di dalamnya. Banyak orang membaca al-Qur’an tetapi tetap awam akan apa sebenarnya yang dibicarakan al-Qur’an. Sebenarnya, jika seseorang membaca al-Qur’an dengan serius, maka ia akan merasakan bahwa setiap ungkapan al-Qur’an mengandung kritikan terhadap dirinya. Jadi, obat dan rahmat dari al-Qur’an bukan saja dari kemuliaannya sebagai kalam Allah tetapi yang lebih membumi adalah pesannya mengenai jalan keselamatan manusia.
Jiwa manusia, seperti tubuhnya juga, mengalami sehat dan sakit. Jika berbagai bakteri dan virus-virus menyerang tubuh kita, maka nafsu dan setan menyerang jiwa kita. Kecerdasan spiritual diperlukan adalah untuk mempertahankan diri terhadap serangan setan dan hawa nafsu tersebut, sama seperti kebutuhan kita akan kekebalan tubuh atau imunisasi.
Dalam al-Qur’an ada istilah “penyakit dalam hati” (al-Baqarah: 10) yaitu penderitaan yang dialami oleh orang-orang munafik. Sayangnya orang-orang yang disebut dengan istilah berpenyakit dalam hatinya itu tidak pernah menyadari dan bahkan tidak mau mengakui mereka sedang diserang oleh penyakit dalam hati atau batinnya. Ini yang merupakan problem terbesar umat manusia, yaitu ketika mereka “sakit” tetapi tidak merasakan mereka sedang “sakit”. Dan, dalam menghadapi orang-orang sakit seperti itu pun kita membutuhkan kepada bimbingan al-Qur’an.



Jalan Menuju Kesadaran Spiritual yang Lebih Tinggi

Kebahagiaan adalah cita-cita tertinggi manusia, hanya saja manusia mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai jalan menuju kebahagiaan itu. Orang mengira akan bahagia dengan uang, maka ia akan berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Orang yang menyangka kebahagiaan itu ada pada posisi tertentu atau jabatan, maka ia akan memperebutkan jabatan itu mati-matian.
Di mana sebenarnya letak kebahagiaan itu? Kebahagiaan sebenarnya ada di mana-mana. Sebagian orang hanya dapat menikmati kebahagiaan dalam kondisi tertentu, tetapi sebagian yang lain dapat hidup bahagia dalam kondisi apa pun. Kebahagiaan ada di dalam batin manusia itu sendiri. Orang yang mencari bahagia ke luar dirinya dan mengabaikan apa yang ada dalam batinnya, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan itu. Danah Zohar, seorang psikolog kontemporer yang memprakarsai kajian tentang kecerdasan spiritual mengajukan enam jalan menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Melalui jalan-jalan inilah seseorang dapat meraih kebahagiaan yang lebih sempurna.

1. Jalan Tugas

Ini adalah jalan pengabdian dan kesetiaan yang paling tulus; dalam Islam dikenal dengan istilah ikhlas. Orang yang beragama dengan ikhlas berarti melakukan semua kegiatannya karena tugas suci yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ia tidak mau menyeleweng dan ia tidak mengerjakannya karena imbalan dari manusia. Setiap manusia telah mengikat janji dengan Tuhan. Janji seperti ini dikenal dalam semua ajaran agama. Tetapi jalan ini dapat juga dikacaukan oleh kebodohan spiritual sebagai akibat dari prasangka-prasangka, dogmatisme, pikiran sempit, tidak sabar, egoisme dan menganggap diri sendiri paling benar dan bersih. Jalan Tugas ini kalau ditempuh dengan cerdas secara spiritual akan mengantarkan orang pada kebahagiaan yang luar biasa.

بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah: 112)

2. Jalan Pengasuhan

Jalan ini berkaitan dengan kasih sayang. Pengasuhan adalah simbol dari kasih sayang dan perlindungan. Ia sering diperlambangkan dengan Ibu atau Ibu Pertiwi. Banyak orang yang telah bekerja secara tulus sebagai orangtua, guru, perawat, volunter, pekerja sosial dan ahli terapi, mereka menemukan kebahagiaan tersendiri. Pengasuhan adalah jalan menuju kebahagiaan melalui kasih sayang dan cinta. Dunia ini penuh dengan penderitaan dan makhluk yang lemah tak berdaya; semua itu merupakan objek bagi Jalan Pengasuhan. Jalan Pengasuhan menuntun kita merasakan penderitaan orang lain, memiliki kepekaan sosial dan rasa humanis yang tinggi. Mencintai makhluk hidup, membantu orang-orang miskin dan menolong orang-orang lemah adalah bagian dari jalan menggapai kebahagiaan yang hakiki. Menghabiskan waktu untuk mengurangi penderitaan orang lain dengan perasaan yang tulus akan memberikan kita rasa kepuasan tersendiri. Dalam al-Qur’an, kepedulian sosial seperti itu sangat ditekankan; bahkan pendusta agama itu secara terang-terangan ditujukan la-Qur’an kepada orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan untuk memberi makan kepada orang-orang miskin (Surat al-Ma‘un). Namun, jalan ini juga harus ditempuh dengan hati-hati: gelora cinta kadang-kadang juga dapat menimbulkan api kecemburuan, amarah dan dendam. Sebagian binatang kadang-kadang memakan anaknya sendiri. Juga bukan tidak ada orangtua yang membunuh anaknya sendiri. Jalan tersebut kalau ditempuh dengan cara yang tidak cerdas, akan membawa mala petaka juga.

3. Jalan Pengetahuan

Pengetahuan membentang sepanjang jalan hidup manusia. Dalam segala kegiatan, kita membutuhkan pengetahuan, dari perencanaan-perencanaan yang kecil dan sederhana seperti makan dan minum sampai pada hal-hal yang besar dan rumit seperti membangun sebuah negeri. Pengetahuan dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya. Sayyidina Ali KW telah menunjukkan sepuluh kelebihan ilmu di atas harta, di mana ilmu mempunyai kualitas yang tidak tertandingi. Beliau misalnya mengatakan bahwa ilmu akan menjaga kita, sementara harta, kita yang harus selalu menjaganya.
Dalam Islam, pengetahuan itu dianggap sebagai warisan para nabi dan orang-orang yang berilmu ditinggikan kedudukannya oleh Allah (al-Mujadilah: 11). Namun demikian, pengetahuan juga seperti pisau bermata dua, ia dapat menyelamatkan dan dapat pula menghancurkan. Pengetahuan modern, misalnya, telah menyelamatkan banyak nyawa manusia melalui ilmu-ilmu medis, tetapi juga telah menghancurkan banyak manusia dengan berbagai teknologi persenjataan. Karena itu dalam Islam telah ditegaskan bahwa iman harus mendahului pengetahuan. Pengetahuan tanpa iman justru akan menggiring manusia pada kesombongan dan akhirnya saling menghancurkan.

4. Jalan Perubahan Pribadi

Orang yang menempuh jalan ini memerlukan integritas personal dan transpersonal. Dalam hal ini kita memerlukan kepekaan dan keberanian untuk menyelami kedalaman diri kita sendiri untuk mengukur potensi dan kekuatan kepribadian yang kita miliki. Kita harus dapat menyatukan berbagai fragmen dari diri kita yang terpecah-pecah sehingga menyatu dan utuh sebagai sebuah kepribadian kokoh. Dengan jalan seperti itu kita akan menemukan sumber kekuatan diri sehingga kita dapa melangkah dengan tepat ke arah mana yang membawa kebahagiaan yang hakiki bagi kita.
Perubahan pribadi amat penting untuk menuju kehidupan yang lebih baik, sebab manusia tidak pernah dilahirkan sempurna; perubahan-perubahan itulah yang mengantarkan kita menuju kesempurnaan. Dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Tuhan pun tidak mengubah kehidupan kita jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya.

ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم

Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (al-Anfal: 53).

5. Jalan Persaudaraan

Orang-orang yang telah sama-sama memilih jalan kebenaran itu bersaudara, demikian kata al-Qur’an (al-Hujurat: 10). Karena itu persaudaraan tersebut harus diperkokoh.
Persaudaraan akan mengajarkan kepada kita makna hidup yang lebih mendalam dengan menyadari bahwa kita tidak dapat hidup sendirian dan bahwa kita mempunyai tanggung jawab sosial yang besar. Kita akan semakin bermakna ketika kita dapat menjadi orang yang bermakna bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri. Semakin makna persaudaraan itu dihayati, semakin jelas makna hidup dirasakan.

6. Jalan Kepemimpinan yang Penuh Pengabdian

Seorang pemimpin yang hebat tidak mengabdi kepada suatu apa pun kecuali Tuhan. Yang paling penting bagi seorang pemimpin adalah membangkitkan dalam dirinya dan para pengikutnya semacam kesadaran yang dapat membimbing diri mereka kepada kebenaran. Pemimpin yang penuh pengabdian akan selalu mengikuti kerinduannya yang amat dalam untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk umatnya, sesuatu yang dianggap mustahil oleh orang lain sekalipun. Ia akan berusaha menemukan cara-cara yang berbeda bagi masyarakatnya agar mereka menjadi eksis.
Menjadi pemimpin memang penuh dengan tantangan, bahkan kadang-kadang nyawa pun harus dipertaruhkan, tetapi pemimpin yang telah berhasil dapat beristirahat dengan senyum.

Wallahu a’lam


Penutup



ولا تستوي الحسنة ولا السيئة ادفع بالتي هي أحسن فإذا الذي بينك وبينه عداوة كأنه ولي حميم(34)Fushshilat

إن أحسنتم أحسنتم لأنفسكم وإن أسأتم فلها فإذا جاء وعد الآخرة ليسوءوا وجوهكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أول مرة وليتبروا ما علوا تتبيرا(7)al-Isra’

من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها ومن جاء بالسيئة فلا يجزى إلا مثلها وهم لا يظلمون(160)al-An’am

وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين(77) وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين(77)al-Qashash


الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون(275)al-Baqarah

إن الذين اتقوا إذا مسهم طائف من الشيطان تذكروا فإذا هم مبصرون(201)al-A’raf

الذين ءامنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب(28)al-Ra’d

في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا يكذبون(10)al-Baqarah

إن تمسسكم حسنة تسؤهم وإن تصبكم سيئة يفرحوا بها وإن تصبروا وتتقوا لا يضركم كيدهم شيئا إن الله بما يعملون محيط(120)Ali ‘Imran

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ يَعْنِي ابْنَ خَالِدٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ كَرَمُ الرَّجُلِ دِينُهُ وَمُرُوءَتُهُ عَقْلُهُ وَحَسَبُهُ خُلُقُهُ أحمد

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ كَرَمُ الْمُؤْمِنِ تَقْوَاهُ وَدِينُهُ حَسَبُهُ وَمُرُوءَتُهُ خُلُقُهُ وَالْجُرْأَةُ وَالْجُبْنُ غَرَائِزُ يَضَعُهَا اللَّهُ حَيْثُ شَاءَ فَالْجَبَانُ يَفِرُّ عَنْ أَبِيهِ وَأُمِّهِ وَالْجَرِيءُ يُقَاتِلُ عَمَّا لَا يَئُوبُ بِهِ إِلَى رَحْلِهِ وَالْقَتْلُ حَتْفٌ مِنْ الْحُتُوفِ وَالشَّهِيدُ مَنْ احْتَسَبَ نَفْسَهُ عَلَى اللَّهِ مالك

kemuliaan seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya
diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya

No comments:

Post a Comment