Wednesday, March 31, 2010

IDUL FITRI DAN SPIRITUALITAS: Menakar Kemenangan di Akhir Ramadhan


Pendahuluan

Hidup adalah perjuangan. Ini berarti bahwa hidup bukanlah sesuatu yang murah dan dapat disia-siakan. Hidup harus diraih, dan kelangsungan kehidupan harus diperjuangkan dan dipelihara. Setiap makhluk hidup telah didesain dengan mekanisme pertahanan diri dan proteksi dari bahaya. Karena itu dalam kehidupan ini selalu ada dorongan untuk melawan dan memberontak serta hasrat yang kuat untuk meraih suatu keinginan. Seekor binatang yang sedang sekarat sekalipun masih berusaha melawan kematian dan berusaha untuk bangkit serta meneruskan kehidupan.
Manusia sebagai makhluk hidup juga mempunyai naluri yang sama. Setiap gerak yang kita buat, langkah yang kita ayun serta pikiran yang kita kuras tidak terlepas dari berbagai hasrat dan keinginan yang hendak kita raih dalam kehidupan serta ketakutan yang terpendam akan kematian. Kita selalu ingin hidup dan tidak pernah menyukai kematian, walaupun kita tidak pernah mampu menghindar darinya.
Naluri seperti itu pada manusia tidak hanya berupa keinginan untuk mempertahankan kehidupan, tetapi lebih jauh lagi, manusia ingin mencapai kenikmatan hidup yang lebih sempurna. Manusia bukan hanya berusaha melawan kematian, tetapi (terutama sekali semakin tampak pada manusia modern) juga ketuaan (aging) yang membuatnya takut, gemetar dan lemah. Hidup selalu diasosiasikan dengan kesegaran dan keceriaan; mati adalah kebekuan dan kegelapan.
Namun demikian, manusia mempunyai potensi yang unik dalam mewujudkan kehidupannya di dunia ini, yaitu: kesadaran. Manusia sadar akan masa lalu dan masa akan datang; manusia juga sadar akan makna baik dan buruk, benar dan salah, cantik dan jelek, serta memiliki kebebasan untuk memilih. Manusia dapat menguasai dirinya dan dapat menentukan pilihan-pilihan secara merdeka. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk mukallaf, yakni terbebani dengan hukum dan aturan-aturan. Manusia menjadi penguasa atas dunia ini dan diizinkan untuk menaklukkannya berkat kekuatan akal dan ilmunya. Kepada manusia, Tuhan hanya mengingatkan agar mereka bertanggung jawab atas segala tindakannya dan agar mereka tidak sombong dengan anugerah yang telah diberikan.

Manusia dan Tantangan

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga; ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Q.S. al-A‘raf: 27)

Perjuangan manusia bukan hanya berhadapan dengan alam, tetapi juga berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam menentukan pilihan serta membuat keputusan-keputusan, manusia selalu mendapatkan godaan. Godaan itu bisa jadi berawal dari luar diri manusia, tetapi kemudian menyusup ke dalam hatinya dan menjadi sebuah gejolak jiwa yang berkecamuk. Nurani manusia pada dasarnya menghendaki kebaikan, tetapi nafsu duniawinya akan mempengaruhinya untuk mengambil pilihan yang lain dan mengacaukan cahaya hatinya.
Manusia, melalui akal dan bimbingan Tuhan, dapat menentukan baik dan buruk serta memiliki hasrat kebaikan yang optimal. Namun dalam kehidupan ini, kebaikan dan kebenaran selalu dikaburkan oleh keinginan-keinginan lain yang secara duniawi menggiurkan, dan keinginan-keinginan seperti itu sering kali menuntut adanya “kurban untuk dipersembahkan”, yaitu iman dan kebenaran.
Hati manusia adalah kancah pertarungan batin. Pertarungan antara akal dan nafsu terjadi di sana; bisikan hati nurani dan bisikan setan saling mengadu argumentasi untuk mempengaruhi tindakan-tindakan yang akan kita ambil dalam sebuah persoalan. Itulah sebenarnya perang yang paling besar dalam kehidupan manusia: yaitu perang melawan diri sendiri.
Perang itu bisa saja disebutkan dengan berbagai istilah lain seperti “perang melawan setan” atau “perang melawan hawa nafsu”. Akan tetapi semua bisikan itu merupakan dorongan batin yang menyatu dengan diri manusia. Hasrat itu, baik ataupun buruk, muncul dari getaran hati kita yang amat dalam, lalu bergerak ke wilayah seleksi akal, dan di sinilah keputusan itu diberikan. Jika akal kita lemah, maka yang menang adalah nafsu atau bisikan yang telah dipengaruhi setan. Karena itu, apa pun pilihan yang kita ambil, kitalah sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadapnya, sebab akal itulah, yakni kesadaran batin, yang merupakan hakikat diri manusia.

Puasa Sebagai Media Latihan

Puasa adalah kegiatan menahan diri. Itulah latihan spiritual bagi manusia mukmin agar kecerdasan batin mereka terasah dan dapat memantulkan cahaya kebenaran secara terang dan bersinar. Puasa melatih seseorang mengenal batinnya atau kesadaran dirinya yang paling hakiki. Puasa akan menjadikan seseorang tahu bahwa dirinya eksis dalam pertarungan berbagai keinginan dan hasrat dalam kehidupan di dunia ini. Puasa menyadarkan manusia bahwa ia adalah makhluk yang dapat memilih dan membuat keputusan-keputusan secara merdeka dan mandiri. Karena itu dapat dikatakan bahwa puasa adalah ibadah yang akan me-refresh (menyegarkan kembali) rasa kemanusiaan kita dan menjadikan kita semakin tanggap dan bijak dalam menghadapi persoalan hidup.
Dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 183) disebutkan bahwa tujuan puasa adalah untuk meraih ketakwaan. Dalam ayat tersebut juga dikatakan bahwa puasa sudah dikenal sepanjang sejarah agama Tuhan. Ini menunjukkan bahwa ia merupakan ibadah penting dan bersifat universal. Melalui puasa inilah Tuhan mengembalikan kesadaran manusia akan hakikat dirinya dan dengan demikian ia menjadi orang yang bertakwa.
Takwa artinya takut kepada Allah dalam pengertian di mana seseorang selalu menjaga sikap dan tindakan-tindakannya agar tidak menimbulkan kemurkaan Allah. Dengan kata lain, takwa adalah sikap mental di mana seseorang selalu merasa bertanggung jawab, sebab ia sangat sadar bahwa apabila tanggung jawab itu diabaikan maka ia akan menerima konsekuensi yang amat berbahaya. Menjadi seorang yang bertakwa berarti menjadi seorang yang bertanggung jawab.
Takwa bukan hanya takut kepada Tuhan, tetapi juga takut akan konsekuensi dari kemurkaan Tuhan; ia bukan hanya iman dalam pengertian teoritis, tetapi juga amal yang aplikatif. Takwa bukan hanya tunduk dengan bersujud di atas sajadah, tetapi juga patuh pada hukum dan terlibat sebagai bagian dari proses dalam alam semesta ini.
Oleh sebab itu, jika kita berpuasa dengan benar dan penuh kesadaran, maka seharusnya kita memperoleh banyak perubahan ke arah kebaikan. Semakin banyak kita berpuasa, semakin terarah pula kehidupan kita kepada kebenaran dan kebaikan; semakin banyak kita berpuasa, semakin hidup cahaya hati yang kita miliki. Orang yang telah berpuasa secara benar, dengan izin Allah, akan menjadi orang yang berperilaku moral mulia.

Idul Fitri

Puasa di bulan Ramadhan memang didesain secara khusus sebagai sebuah kewajiban yang melekat dan disebutkan oleh Nabi s.a.w. sebagai salah satu rukun agama. Sebulan penuh tentu saja sebuah rentang waktu yang dianggap telah memadai untuk sebuah latihan spiritual bagi manusia beriman. Akan tetapi jika kita ingin menambah puasa itu pada hari-hari yang lain, maka itu akan menjadi ibadah ekstra yang akan menjadikan kualitas spiritual kita bertambah baik atau lebih sempurna.
Usai puasa di bulan Ramadhan, kita akan berhari raya. Hari raya ini disebut dengan idul fitri, yakni hari raya fitrah. Hari raya artinya hari kegembiraan, dan kegembiraan di hari raya ini adalah disebabkan kita telah dapat menyempurnakan sebuah proses latihan yang mengembalikan kita kepada fitrah, yakni kepada kesucian batin yang sempurna. Fitrah adalah karakter dasar manusia yang orisinal, belum terkontaminasi dengan berbagai kotoran nafsu dan bisikan-bisikan setan. Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada sifat kemanusiaan kita yang paling dasar atau paling hakiki.
Karena itu kegembiraan di hari raya ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyempurnakan puasanya dengan baik selama bulan Ramadhan dan telah memanfaatkan bulan tersebut benar-benar sebagai media latihan batin untuk memproses dirinya kembali kepada hakikat kemanusiaannya. Kegembiraan yang dibuat-buat oleh mereka yang tidak berpuasa hanya kegembiraan semu yang penuh dengan semangat dusta; itu hanya kegembiraan orang yang kurang akal.
Kegembiraan di hari raya ini berarti kegembiraan atas sebuah kemenangan, yakni kemenangan “melawan diri sendiri”; sisi gelap dari diri kita telah kita kalahkan dan kita kembali menjadi pribadi yang orisinal dengan watak kemanusiaan sejati sebagaimana desain awalnya – manusia yang tunduk dan bersaksi dengan tulus ketika Tuhan bertanya: “Bukankah Aku Tuhan kamu” dan kita menjawab: “Benar! Kami memberikan kesaksian akan hal itu” (al-A‘raf: 172).

Penutup: Introspeksi

Kita perlu melakukan introspeksi, sejauh mana kemenangan itu telah kita raih, atau kita termasuk di antara orang-orang yang gagal? Puasa kadang kala kita terima hanya sebagai sebuah kebiasaan yang telah menjadi bagian dari tradisi sejak kita kecil; kita tidak menghayati filosofi atau makna yang terkandung di dalamnya; atau lebih buruk lagi, kita hanya berpuasa sebagai sebuah paksaan budaya yang secara psikologis sulit untuk kita tolak; atau, bisa jadi lebih buruk dari itu, kita hanya berpuasa di hadapan orang lain semata alias bersikap munafik. Jika demikian halnya, maka kita hanya menambahkan kotoran ke dalam hati kita sehingga ia semakin gelap dan kacau.
Sudah berapa bulan atau sudah berapa puluh bulan kita pernah berpuasa, dan coba kita bertanya seberapa besar perubahan yang telah kita peroleh sebagai dampak dari puasa itu? Jika puasa itu tidak kita lakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa penghayatan dan ketulusan, tanpa kesadaran batin dan upaya serta harapan untuk memperbaiki diri, maka kita telah rugi lahir dan batin. Puasa itu harus ada niatnya. Setiap godaan yang datang selama berpuasa harus dilawan dengan penuh kesadaran. Ketika berpuasa kita harus banyak beribadah dan melawan kemalasan, harus banyak berbakti untuk kemanusiaan dan beramal serta berkurban. Semua itu akan menjadikan puasa yang kita jalani lebih mengental dan melekat pada jiwa, sehingga pengaruhnya akan lebih terasa.
Di hari raya idul fitri ini hendaknya kita melakukan refleksi atau perenungan dan membuat kalkulasi atas prestasi spiritual yang kita raih. Masyarakat secara umum juga perlu menilai sejauh mana perubahan itu telah kita lakukan dan sejauh mana prestasi takwa telah kita capai. Kita dapat mengukur hal itu pada sikap kita sehari-hari di rumah atau di kantor-kantor, di tempat kita bekerja atau di jalan raya. Sejauh mana kedisiplinan dan ketertiban itu telah dapat kita capai dan sejauh mana kebersihan serta keamanan itu telah dapat kita bina? Apakah persaudaraan telah kita jalin dengan baik dan permusuhan kita lenyapkan dan kita lupakan? Masihkah kemungkaran itu kita nikmati atau kita lindungi, atau memang benar-benar telah kita musuhi? Apakah sikap korup, bohong dan curang masih menjadi sahabat sejati kita, atau memang kita akan melawan dan membasminya?
Jika takwa telah kita raih, mengapa rasa kemanusiaan kita masih amat tumpul? Mengapa penderitaan-penderitaan masih saja menjadi bagian dari keseharian sebagian saudara-saudara kita? Mengapa kepedulian kita kepada mereka amat lemah? Mengapa kita hanya mau membantu orang lain kalau diberikan gaji yang besar? Mengapa pengemis masih ada dan pengemisan bahkan bertambah subur? Dan anehnya, “gaji” seorang pengemis lebih tinggi dari pekerja di lapangan yang lelah dan berkeringat. Jika demikian halnya, bukankah kita telah menyuburkan pengemisan? Di mana letak keadilan ekonomi yang kita perjuangkan?
Akhirnya, kita harus sadar bahwa puasa semata-mata tidak akan menyempurnakan ketakwaan kita; ia hanya sebuah mata rantai pengabdian kita yang panjang kepada Allah. Kita tidak akan meraih kemenangan dengannya tanpa realisasi amal kebajikan secara aktual dalam kehidupan nyata. Puasa memang dapat mengantarkan kita kepada kemenangan, tetapi jika kita merusaknya di tengah jalan, kita akan ditinggalkan.

Wallahu a‘lam!

Ramadhan 1429,

No comments:

Post a Comment