Wednesday, March 31, 2010

STUDI ISLAM DAN TANTANGAN KEHIDUPAN GLOBAL


“Studi Islam” adalah istilah yang masih menimbulkan makna ganda. Bagi kalangan non-Muslim, Studi Islam berarti kajian historis terhadap agama dan budaya masyarakat Muslim. Perhatian mereka terfokus pada realitas kehidupan umat Islam dan pandangan (termasuk ideologi, filsafat dan hukum) serta budaya yang dibangun umat Islam. Sebagian besar dari karya hasil pemikiran mereka hari ini telah menjadi konsumsi kebanyakan akademisi Muslim sendiri. Karangan-karangan mereka umumnya bersifat akademik dan kritis; ini tentu saja sangat mudah dilakukan karena mereka adalah “orang luar”. Karya-karya mereka yang muncul pada masa awal lahirnya Studi Islam di dunia Barat memang sangat bernuansa kolonialisme dan permusuhan, karena tujuan awal dari pendirian pusat-pusat Studi Islam dan Oriental adalah untuk kepentingan penjajahan. Sama dengan dampak Perang Salib dan mungkin juga kristenisasi di Aceh, upaya-upaya permusuhan tersebut lambat laun membawa dampak tersendiri terhadap perubahan pemikiran dan pandangan dunia Barat terhadap dunia Islam. Sangat banyak juga kajian akademik yang mereka lakukan telah memberikan manfaat bagi peradaban Islam sendiri, terutama sekali dalam membongkar berbagai dokumen dan data-data sejarah yang langka. Perubahan-perubahan itu terjadi akibat dari interaksi dan komunikasi langsung yang terjalin dengan baik antara kedua belah pihak, terutama sekali setelah banyak munculnya para pakar Studi Islam, sosiolog dan antropolog dari kalangan Muslim sendiri yang bersikap akademik dan kritis serta dewasa dalam merespons dunia Barat yang sebelumnya mutlak dianggap sebagai musuh.

Dalam konteks umat Islam sendiri, Studi Islam adalah semacam payung yang menaungi seluruh ilmu, baik asli hasil penelitian, teori-teori, pemikiran, filsafat sampai pada bentuk-bentuk pemikiran keagamaan tradisional, seperti kalam, fikih, tafsir dan hadis. Studi Islam dalam pengertian seperti ini di dunia Islam umumnya dikaji tidak secara kritis dan kadang kala karya-karya yang dihasilkan pun cenderung berulang-ulang. Pendidikan di dunia Islam kurang kreatif dan inovatif. Hal ini tentu saja disebabkan banyak faktor terutama sekali terkait dengan masalah kemiskinan, baik mental maupun struktural, ketertutupan, tradisi dan juga karena masih kurangnya sumber daya manusia. Di samping itu, pemerintah-pemerintah di dunia Islam juga banyak yang korup, menggunakan kekuasaan untuk hidup bermewah-mewah, kurang peka atau kurang memiliki perasaan terhadap kaum lemah; hal ini sangat berdampak terhadap pendidikan dan akhirnya terhadap pembangunan masyarakat dan budaya.

Studi-studi Islam yang dilakukan di dunia Barat memang luar biasa karena mereka memiliki fasilitas, sumber daya manusia, semangat akademik, dana dan juga rujukan yang sangat memadai. Penelitian-penelitian yang mereka dapat dikatakan secara keilmuan sangat berkualitas, karena secara tradisi dan kelembagaan mereka tidak dapat “main-main” dalam melakukan tugas tersebut. Keseriusan dalam bekerja, profesionalisme, kejujuran akademik dan kedisiplinan hampir saja merupakan karakteristik kehidupan keilmuan mereka, di mana hal serupa sangat sulit di temukan dalam kehidupan keilmuan umat Islam hari ini.

Ada beberapa hal yang dapat didiskusikan menyangkut persoalan-persoalan Studi Islam seperti yang disebutkan di atas, yakni terkait dengan karakteristik budaya orang-orang yang melakukan kajian itu sendiri. Para peneliti di Barat (baik orang Barat sendiri atau pun orang Timur yang telah terdidik secara Barat) melakukan kajian keilmuan dengan berangkat dari sikap: liberal (kebebasan), kesadaran plural (kemajemukan) dan sekuler (duniawi). Mereka merasa bebas mengekspresikan pandangannya karena tidak merasa takut ada yang marah atau mengancam. Walaupun dalam kenyataannya hal itu terjadi (dan itu datang dari dunia Islam). Kebebasan seperti ini telah menjadikan mereka dinamis, lebih aktif dan kreatif. Di dunia Islam, karena umat Islam memandang kebenaran-kebenaran itu absolut, maka sikap seperti ini sulit ditumbuhkan. Ketakutan ada di mana-mana. Bahkan sampai hari ini, murid yang takut dimarahi guru juga masih ada. Jadi kebebasan itu masih sangat mahal di sini.

Pluralisme atau kesadaran akan kemajemukan di Barat telah menjadi landasan hidup yang penting, baik secara politik maupun keagamaan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap keilmuan mereka. Ketika orang-orang menyadari bahwa mereka banyak dan beragam serta sadar bahwa keragaman itu sendiri adalah fakta kehidupan yang tidak mungkin dilawan, maka mereka tidak merasa perlu memaksakan orang lain mengikuti kehendaknya; yang perlu dilakukan mencari solusi-solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi persama melalui negosiasi-negosiasi dan dialog yang sehat. Dengan demikian dalam kajian keilmuan tidak ada klaim-klaim kemutlakan dan siapa saja harus merasa siap untuk dikritisi semua hasil karyanya tanpa merasa terhina. Sikap takzim, respek dan rasa hormat yang di bangun dalam tradisi masyarakat Timur dan dunia Islam kadang-kadang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk bersikap arogan. Penghormatan itu sering kali dipaksakan, bukan tumbuh dari kesadaran yang ikhlas. Tradisi dan bahkan ajaran-ajaran agama sering dikelabui untuk kepentingan pribadi dan golongan. Itu disebabkan pandangan yang monolitik, dan perasaan ingin menyalahkan semua pendapat dan pemikiran orang lain. Dalam dunia seperti itu, perbedaan amat menakutkan, karena perbedaan dan sikap kritis suatu waktu dapat menjadi ancaman kekuasaan.

Terakhir adalah sekularisme, sebuah istilah yang amat menakutkan, karena seolah-olah ia akan langsung mengirim “kita” ke neraka. Sekularisme adalah pandangan keduniaan, di mana segala sesuatu dikaitkan dengan kehidupan dunia dan kepentingan hidup di dunia. Sikap seperti ini akan menumbuhkan optimisme karena orang berbuat untuk mendapatkan hasilnya di dunia secara nyata. Dunia di sini tidak berarti dunia yang rendah dan tidak bermoral, tetapi kehidupan di dunia atau di atas muka bumi ini. Kenyataan-kenyataan hidup tidak dapat diabaikan, sebab menyangkut dengan hajat kehidupan manusia secara beragam. Ada orang kaya dan ada orang miskin, ada orang bernasib baik dan ada juga orang bernasib malang. Kenyataan-kenyataan seperti ini tidak dapat ditanggapi secara pasif dan pasrah. Akibatnya, orang kaya akan selalu berkata “sabarlah wahai saudara ku” kepada orang miskin, dan orang miskin akan berkata “bersyukurlah karena Tuhan telah memberkatimu” kepada orang kaya. Sementara itu orang kaya tidak pernah merasa lagi harus bersabar dan orang miskin juga lupa bagaimana bersyukur kepada Tuhan. Sikap itu kemudian mengkristal dan membuat setiap orang pasrah tetapi tetap kecewa. Sekularisme menghendaki sikap yang jujur pada kenyataan hidup di dunia. Hal ini tentu saja akan terserah bagaimana kita membangun sikap dan menanggapinya. Artinya, jika kenyataan hidup ini dilihat sebagai proses materi semata maka kita akan menjadi atheis, sementara jika kita memandangnya dengan mata hati dan spiritualitas maka ia akan menjadi tantangan untuk kesempurnaan iman kita.

***

Beberapa bidang Studi Islam dapat dijadikan contoh di sini, yaitu: fikih, tafsir, filsafat dan perbandingan agama. Fikih adalah nalar terhadap sumber ajaran Islam yaitu Qur’an dan hadis. Hasil nalar ini telah tertuang dalam jutaan volume literatur di dunia Islam sepanjang sejarah Islam. Ini adalah sebuah kekayaan khazanah pemikiran Islam. Namun tidak semua umat Islam menyadari kekayaan ini, buktinya umat Islam umumnya masih sangat tidak respek terhadap berbagai perbedaan pendapat yang merupakan refleksi dari kekayaan khazanah tersebut. Di samping itu, kajian-kajian dalam bidang fikih masih berulang-ulang pada persoalan-persoalan yang sama, tidak melampau nalar kritis dan masih terkesan bahwa penelitinya takut untuk “menyeleweng” dari paradigma yang telah mapan. Fikih (klasik) juga kurang mempertimbangkan realitas sosial, artinya teks lebih dipaksakan untuk mengalahkan realitas.

Tafsir sering kali dilihat sebagai upaya memahami firman Tuhan yang teramat suci bagi manusia yang berlumuran dosa. Akibatnya perasaan takut untuk memberi makna yang lebih realistis dan mendunia atau sekuler sangat menghantui para mufassir.

Kajian filsafat Islam pada awalnya adalah hasil dari pengembaraan ke dunia yang lain. Umat Islam pada waktu itu demikian bersemangat untuk mengkaji ilmu pengetahuan sehingga muncullah pernyataan “ambillah hikmah, dari mana saja sumbernya.” Akan tetapi kemudian filsafat Islam menjadi semacam rasionalisasi terhadap dogma-dogma keyakinan Islam semata. Filsafat bergerak mengikuti frame ideologi yang telah dibangun sebelumnya, bukan lagi kajian kritis untuk mencari “kebenaran.”

Perbandingan agama memiliki fenomena yang unit dalam kajian Islam. Sebab bagi umat Islam yang mengkaji perbandingan agama, Islam telah terlebih dahulu diposisikan sebagai kebenaran mutlak, dan kajian perbandingan tersebut tidak lebih dari upaya mencari kekeliruan agama lain semata untuk memunculkan keunggulan agama Islam. Kajian agama kontemporer tidak dilakukan dengan semangan seperti itu. Perbandingan agama bukan untuk mencari mana agama yang benar dan mana agama yang salah, tetapi untuk memperkaya pemahaman manusia terhadap agama-agama yang ada atau yang dikaji itu. Setiap agama memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri sebagai bagian dari intuisi, hasil nalar, imajinasi dan pemikiran manusia dalam merespons dunia dan kehidupan ini. Suatu agama bisa saja menjadi inspirasi, memberikan kritikan dan semangat tertentu bagi agama (pemeluk agama) yang lain. Semangat seperti inilah yang dicari dan dikembangkan dalam studi perbandingan agama kontemporer. Melakukan perbandingan agama dengan semangat ortodoksi, fanatisme dan permusuhan tidak akan memberikan keuntungan bagi pemeluk agama mana pun.

***

Pada akhirnya, perlu ditegaskan bahwa Studi Islam yang berkembang di dunia Islam dewasa ini masih membutuhkan semangat dan keberanian kaum Muslim untuk melangkah lebih maju, lebih profesional dan terarah untuk mencapai dan membangun sebuah tradisi keilmuan yang lebih sehat, berkualitas dan memiliki harapan yang lebih cerah ke depan. Kita tidak perlu takut untuk mengambil hikmah dari mana pun sumbernya, walau dari orang-orang yang kita anggap telah memusuhi kita. Strategi untuk maju dapat dipelajari di mana-mana. “Musuh kita adalah yang paling mungkin memiliki strategi lebih baik di bandingkan sahabat kita.”

Wallahu a‘lam

No comments:

Post a Comment