Wednesday, March 31, 2010

ISLAM, KAPITALISME DAN KEADILAN EKONOMI

Prolog

Negeri kita amat kaya, tetapi anehnya bangsa kita secara umum tergolong miskin. Sepertinya antara kita dan negeri kita tidak ada urusan apa-apa. Kita seolah-olah terpisah dengannya, mungkin karena kita tidak merasa memiliki negeri ini, atau karena orang-orang yang mengurus negeri ini tidak merasa cukup penting memperhatikan dan mendengarkan suara rakyatnya, kecuali kalau sudah dekat Pemilu atau saat rakyat angkat senjata. Keanehan juga terasa tatkala negeri ini sendiri merasa dirinya miskin dan dengan demikian memohon bantuan finansial dari luar negeri. Kita pun berutang, mungkin karena kita ingin kaya, tetapi sayang sekali, sekarang kita sadar bahwa negeri asing itu tidak lebih dari sekedar “mengimpor” kemiskinan ke negeri ini (Kompas 18 November 06).
Sesungguhnya dunia ini tidak akan pernah damai dan harmonis jika keadilan tidak ditegakkan. Semua agama sebenarnya mengajarkan keadilan, tetapi umatnya acap kali menyelewengkan keadilan itu. Tulisan ini mencoba memberikan sebuah analisa ringkas tentang keadilan sosial ekonomi dalam Islam dan kritik terhadap tatanan dunia yang menjadi kepercayaan kebanyakan kita pada hari ini.

Moralitas dan Keadilan

Keadilan hanya dapat ditegakkan dengan moral, dan moral berakar pada spiritualitas. Ini berarti, jika kita menghendaki dunia ini ditata dengan adil, maka hendaklah penghuninya memiliki kesadaran spiritual yang memadai. Tanpa spiritualitas, manusia tidak akan menemukan hakikat kemanusiaannya yang paling sejati. Tanpa spiritualitas, manusia tidak lebih dari “saudara” dan “sepupu” dari hewan-hewan lain, “bahkan lebih sesat lagi.”
Moral adalah dasar kebaikan. Moral merupakan kesadaran kemanusiaan, di mana dengan kesadaran tersebut seseorang akan terdorong untuk melakukan kebaikan (sebanyak-banyaknya) dan menjauhkan kejahatan (sejauh-jauhnya). Orang yang tidak memiliki kesadaran tersebut dapat dikatakan orang tidak bermoral. Barangkali yang sebanding dengan kata moral dalam idiom Islam adalah kata takwa.
Dalam al-Qur’an perintah berlaku adil dikaitkan dengan takwa (ketakwaan). “Berlaku adillah kamu! Itu lebih dekat kepada takwa” (Q.S. al-Maidah: 8). Dalam ayat ini orang-orang Mukmin bahkan diingatkan untuk tetap teguh menegakkan keadilan dan mereka sama sekali tidak boleh berbuat curang meski terhadap orang-orang yang mereka benci. Dalam ayat yang lain (Q.S. an-Nisa’: 135 dan al-An’am: 152) dikatakan bahwa keadilan mesti ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri atau keluarga dekat sekalipun. Artinya, kecintaan dan kebencian tidak boleh mempengaruhi seseorang untuk berbuat curang atau bertindak tidak adil. Ini menunjukkan keadilan itu memiliki kemerdekaan tersendiri. Seorang penegak keadilan mesti terbebas dari kepentingan pribadi atau golongan, dari kebencian dan sentimen pribadi.
Dalam suasana tertentu berbuat adil mungkin mudah, tetapi kadang-kadang kita berada dalam atmosfer yang sulit dan dilematis. Pada saat seperti itulah moral kita diuji. Ketika, misalnya, kebenaran berada di pihak orang yang kita benci dan kesalahan berada di pihak saudara, keluarga dekat atau teman kita sendiri (orang-orang yang kita cintai), apa yang harus kita lakukan? Di situlah ketakwaan berperan. Dalam kondisi seperti itulah al-Qur’an mengingatkan agar kita menolak hawa nafsu dan memilih keadilan, karena dalam suasana seperti itu keadilan akan sulit ditegakkan tanpa kesadaran moral yang tinggi. “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu alih-alih menegakkan keadilan” (Q.S. an-Nisa’: 135). Jadi keberanian moral memang modal utama dalam penegakan keadilan, seperti dikatakan Yusuf ‘Ali ketika mengomentari ayat di atas (al-Maidah: 8) di atas: “But no less is required of you by the higher moral law” (The Holy Qur’an).
Dalam kehidupan ekonomi, keadilan memiliki pengaruh yang lebih luas. Kecurangan-kecurangan dalam bidang ekonomi dan keuangan akan berdampak serius bagi kehidupan sosial suatu masyarakat. “Penuhilah sukatan dan timbangan, dan janganlah kamu mengurangi jatah orang lain,” demikian al-Qur’an (al-A’raf: 85) menegaskan larangan berbuat curang dalam bidang ekonomi. Lanjutan ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan membuatnya damai.” Ini adalah isyarat bahayanya kecurangan tersebut. Dunia ini yang sejatinya damai dan harmonis, bisa rusak akibat tindakan zalim sebagian manusia yang tamak.

Kaya dan Miskin

Dalam Ihya’ ‘Ulumid-Din Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa pada dasarnya orang kaya adalah orang yang tidak memiliki ketergantungan pada yang lain. Tuhan adalah Maha Kaya karena Tuhan tidak bergantung pada siapa pun. Justru seluruh alam inilah yang bergantung pada-Nya. Karena itu seluruh alam ini faqir, artinya berhajat kepada-Nya. Namun dalam pengertian khusus, demikian Imam al-Ghazali, orang kaya adalah orang yang memiliki harta mencukupi atau melebihi kebutuhan pokoknya, sedangkan orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Persoalannya di sini adalah apa yang dimaksud dengan “kebutuhan pokok.” Ini jelas selalu dapat didefinisikan ulang sesuai dengan kebutuhan zaman. Sehingga, ciri-ciri orang kaya atau orang miskin pada zaman/peradaban tertentu atau masyarakat tertentu bisa saja berbeda dari yang lainnya.
Kaya dan miskin barangkali telah menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Menghapus sama sekali kemiskinan “mungkin” merupakan hal yang mustahil. Akan tetapi yang disesalkan adalah dalam suatu masyarakat terdapat orang-orang kaya dengan harta yang melimpah ruah sementara di sekitarnya terdapat juga orang-orang yang hampir saja tidak memiliki harta sama sekali. Dapatkah masyarakat tersebut dikatakan masyarakat yang adil.
Di sini keadilan kita coba telaah lebih serius. Keadilan mempunyai makna keseimbangan, yakni sebuah hukum kosmos yang berlaku pada alam semesta. Hukum keseimbangan yang berlaku pada neraca yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari gejala cosmic orders dalam jagat raya ini. Jadi keseimbangan pada dasarnya adalah pilar dari keutuhan alam semesta.
Dalam al-Qur’an (ar-Rahman: 7-9) disebutkan :
Dan langit ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan (hukum) keseimbangan tersebut.
Karena masyarakat adalah bagian dari alam semesta ini, masyarakat juga tidak terlepas dari hukum keseimbangan tersebut. Masyarakat yang tidak seimbang akan mengalami kekacauan dan bahkan keruntuhan.
Keadilan dalam kehidupan sosial berarti bersikap lurus dan jujur, atau tetap berjalan di atas garis kebenaran. Keadilan dalam memutuskan perkara berarti tidak berat sebelah dan tidak memihak kecuali kepada kebenaran, sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Keadilan tidak berarti “netral” dalam pengertian tidak berpihak ke mana-mana. Keadilan adalah sebuah sikap yang jelas: membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah serta memberikan pembelaan kepada yang lemah atas kesewenangan yang kuat dan arogan. Karena itu pada dasarnya yang paling mampu (karenanya: yang paling bertanggung jawab) menegakkan keadilan adalah “penguasa”.
Apabila konsep keseimbangan ini dikaitkan dengan masalah ekonomi, maka implikasi yang terkandung di dalamnya jauh lebih besar, karena menyangkut dengan sumber yang memberikan kehidupan kepada manusia. Jika manusia telah bertindak curang dan zalim (zalim adalah lawan dari adil) dalam kehidupan ekonomi, maka bukan hanya kehidupan sosial kemasyarakatan yang akan terganggu, tetapi bahkan kehidupan nyawa sebagian manusia akan terancam. Ketidakseimbangan ekonomi adalah faktor utama penyebab kekacauan dalam masyarakat.
Dalam al-Qur’an, sebagai kelanjutan dari hukum keseimbangan kosmos di atas, juga disebutkan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk rezeki manusia, telah ditetapkan kadar atau ukurannya (ath-Thalaq: 3). Kekayaan dan kemiskinan adalah ibarat dua daun neraca yang mengisi rezeki manusia; kalau yang sebelah sudah lebih berat, maka tidak ada jalan lain agar neraca itu seimbang kembali, melainkan dengan memindahkan sebagian dari beban yang lebih berat kepada yang lebih ringan. Dengan bahasa yang lebih tegas: taraf hidup orang miskin hanya akan naik kalau taraf hidup orang kaya bersedia “diturunkan”. Itu adalah hukum keseimbangan alam semesta. Bagaimana mungkin kita meningkatkan taraf hidup kaum miskin dalam suatu masyarakat jika orang-orang kaya (kaum elite) di dalamnya tidak pernah berhenti menuntut tingkat kesejahteraan [material] yang lebih tinggi, bahkan dengan cara-cara yang curang (namun diupayakan seolah-olah legal).

Zuhud: Antara Dunia dan Akhirat

Islam bukan agama yang membenci harta kekayaan. Tetapi yang diingatkan dan dikecam al-Qur’an berulang kali adalah ketamakan akan harta sehingga menyebabkan orang lalai dari tanggung jawab serta lupa akan keuntungan spiritual yang lebih tinggi nilainya. Kesenangan-kesenangan sementara dan melalaikan inilah yang disebut “dunia” oleh al-Qur’an, bukan dunia tempat kita tinggal ini. Sebaliknya “akhirat” adalah kualitas-kualitas spiritual yang membawa kepada kebahagiaan atau kedamaian yang abadi. Mencintai dan mengejar dunia adalah sumber kesengsaraan, karena ia dapat menghapus nilai-nilai moral dan bahkan membuat manusia sama sekali mengabaikan tujuan akhirnya yang lebih mulia.
Al-Qur’an menyebutkan Qarun sebagai contoh orang kaya yang tercela. Al-Qur’an tidak mencela harta kekayaannya, tetapi yang menjadi sasaran perhatian al-Qur’an adalah sikap mentalnya yang berubah sama sekali akibat kekayaan tersebut. Qarun menjadi manusia arogan dan menganggap seluruh harta yang ada di tangannya sebagai milik dia sepenuhnya. Ia lupa bahwa semuanya adalah anugerah Tuhan dan ia tidak mau berterima kasih kepada siapa pun. Qarun menganggap segala karunia tersebut diperolehnya karena keahliannya, sehingga ia menolak segala nasihat yang diberikan (Q.S. al-Qashash: 76-78). Inilah pangkal bencana yang menimpanya.
Qarun adalah simbol kepongahan. Tetapi bukan tidak ada orang yang begitu terkesima dengan kekayaannya. Sebelum ia dimusnahkan oleh Tuhan, banyak orang berangan-angan menjadi seperti dia dan membayangkan betapa bahagia menjadi seorang Qarun. Tetapi setelah bencana menimpanya, barulah orang sadar betapa ruginya menjadi orang kafir. Hanya orang-orang yang berlimu yang sadar sejak awal (Q.S. al-Qashash: 79-82).
Dari sinilah konsep zuhud dimulai, yakni pada kesadaran moral yang tinggi serta kepekaan terhadap segala konsekuensi dari harta benda dunia. Zuhud tidak berarti malas dan tanpa kreativitas, tetapi zuhud adalah keinginan mencapai kualitas kemanusiaan sejati dan menghindari segala kemungkinan rintangan yang menghambat jalan menuju kepada cita-cita mulia tersebut. Karena itu Imam al-Ghazali membagi zuhud kepada beberapa tingkatan, dari yang tercela sampai yang paling mulia. Zuhud yang paling tercela adalah zuhudnya orang malas: ia seakan-akan membenci dunia tetapi hatinya penuh dengan angan-angan memperoleh harta. Zuhud yang paling mulia adalah zuhud seperti yang dipraktekkan Nabi: selalu berkreativitas dengan ikhlas untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi, dan menolak segala kesenangan yang memperdaya. Jadi zuhud lebih merupakan sebuah sikap mental yang kemudian mempengaruhi perilaku hidup seseorang. Kualitas ukhrawi bagi seorang zahid lebih penting dari pesona duniawi.

Aspek Sosial dalam Zakat

Sebagaimana telah disebutkan, pada dasarnya yang menjadi perhatian al-Qur’an bukanlah kaya atau miskin, tetapi bagaimana mentalitas seseorang dalam menyikapi kehidupan di dunia ini. Karena itu yang perlu dilakukan adalah mengingatkan orang kaya agar tidak lalai dan tertipu dengan hartanya, dan mengingatkan orang miskin agar selalu sabar. Demikian juga orang kaya diwajibkan membantu saudara-saudaranya yang miskin, dan orang miskin hendaknya giat berusaha agar menjadi kaya dan dapat membantu saudaranya yang lain lagi. Begitulah seterusnya.
Namun di dalam kenyataan, persoalannya tidaklah sederhana. Orang kaya biasanya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan melarat. Celakanya lagi orang-orang kaya mengeksploitasi tenaga orang-orang miskin, sehingga yang terakhir ini selalu berada dalam kontrol kelompok pertama. Kemiskinan akhirnya tetap dilestarikan untuk kepentingan kelompok kaya.
Karena manusia ternyata tidak cukup dengan diingatkan saja maka Islam memerintahkan agar harta (zakat) itu dipungut dari orang-orang kaya dan didistribusikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Dalam hal ini, negara atau pemerintah memiliki peran penting. Sebab, stabilitas sebuah negara sebenarnya amat ditentukan oleh sejauh mana ia memiliki keberpihakan kepada kaum lemah atau rakyat kecil.
Islam pada dasarnya adalah sebuah pemberontakan terhadap kesombongan status quo yang berkuasa dan mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap rakyatnya. Nabi-nabi yang diutus Tuhan juga umumnya adalah “pemberontak” terhadap kesombongan kaum elite zamannya. Karena itu para pemuka kaum tersebut menuduh nabi-nabi mereka sebagai orang-orang bodoh, gila, kurang akal, sok suci dan sebagainya, yang para pengikutnya dianggap sebagai orang-orang hina (Q.S. al-A‘raf: 59-91). Karena itu, Islam menjadi sebuah gerakan perlawanan sejak awal kemunculannya, sebab Islam memang ingin menghapus penindasan.
Setelah Islam menang, zakat menjadi sebuah kewajiban dalam rangka mempertahankan stabilitas agar penindasan tidak terjadi lagi. Zakat bukan hanya didasarkan pada konsep kesadaran moral, tetapi juga memiliki target-target sosial yang ingin dicapai, yakni kemakmuran dan pemerataan, serta agar kekayaan itu tidak menumpuk hanya pada segelintir orang, sementara yang lainnya hidup sengsara (Q.S. al-Hasyar: 7).

Tatanan Dunia Kapitalisme

Tatanan dunia yang ada sekarang menganut “mazhab” kapitalisme. Mazhab ini semakin dominan setelah dapat mengalahkan lawan utamanya, yaitu komunisme, dan mampu menguasai teknologi modern. Kapitalisme dan teknologi memiliki hubungan yang erat: teknologi membutuhkan kapital untuk pengembangannya, dan kapitalisme membutuhkan teknologi untuk memperkuat kedudukannya. Karena teknologi mampu memberikan banyak kemudahan dan bahkan menciptakan banyak hal yang menakjubkan maka banyak pula orang terkesima dengannya.
Kita bahkan memuji-muji kapitalisme dan teknologi yang dihasilkannya. Bukankah pesawat terbang telah mempermudah umat Islam naik haji? Bukankah pengeras suara, mobil, telepon, listrik, komputer, internet dan berbagai alat elektronik lainnya dapat digunakan untuk kepentingan Islam dan umat Islam? Bukankah Barat, kapitalisme, Jepang, teknologi canggih, (semuanya telah menjadi simbol kemajuan peradaban dan kemodernan) telah membantu kemajuan Islam dan kaum Muslim? Mengapa kita membenci mereka? Tetapi kebanyakan kita tidak sadar bahwa semua itu tidak lain dari hasil peras otak kaum materialis untuk mencari keuntungan semata. Tidak lebih dari itu. Kebanyakan orang juga lupa bahwa semua itu telah mempengaruhi perilaku moral kita. Bukankah pesawat terbang, handphone, mobil dan rumah mewah, internet, peralatan dapur yang canggih dan sebagainya telah membuat kita lupa kepada saudara-saudara kita yang miskin? Bukankah semua kecanggihan teknologi (kenyataan dalam konteks sekarang ini) tersebut berarti ketergantungan kita kepada kaum kapitalis. Listrik, bensin, satelit, misalnya, sekarang dikuasai kelompok tertentu dengan mengandalkan modal atau kapital dan – to some extent – barangkali juga tanpa moral. Dan segala kecanggihan teknologi yang ada sekarang terikat erat dengannya. Inilah yang dikatakan Ziauddin Sardar dengan the highly sophisticated colonialism, sebuah penjajahan yang cukup canggih.
Islam tidak anti teknologi. Akan tetapi teknologi yang kita kenal sekarang tidak lebih dari kegiatan kaum kapitalis untuk memperbesar keuntungannya. Teknologi yang diimpor Barat ke berbagai negara dunia ketiga bukan untuk menguntungkan negara-negara pengimpor; tetapi yang diuntungkan adalah negara-negara Barat sendiri. Penindasan di negara-negara ketiga tetap berjalan dengan baik: yang kaya semakin senang, yang miskin semakin melarat. Ini bukan cara Islam. Sekali lagi, ini adalah the highly sophisticated colonialism; dan umumnya negara-negara pengimpor, bukan mengimpor barang-barang kebutuhannya, tetapi apa yang didikte oleh Barat.

Sistem Ekonomi Islam

Komunisme lebih dekat dengan Islam daripada kapitalisme. Tapi Islam berbeda dari keduanya karena Islam tidak berlandas pada falsafah materialisme. Kesadaran awal untuk melawan penindasan dan kesewenangan menjadikan Islam memiliki kedekatan dengan komunisme walaupun kebanyakan umat Islam lebih cenderung – karena kemunafikan dan keinginan mencari untung material – membela kapitalisme.
Landasan ekonomi Islam adalah moralitas/spiritualitas dan keadilan: tidak menganiaya/merugikan orang lain dan kita juga tidak dirugikan (Q.S. al-Baqarah: 279). Namun Islam tetap menganjurkan agar orang-orang yang mengalami kesulitan tetap dibantu dan bila perlu utang-utangnya dimaafkan (Q.S. al-Baqarah: 280). Ini menunjukkan karakteristik Islam yang paling mendasar, yaitu: berlomba meraih ketakwaan (keuntungan spiritual), bukan keuntungan material.
Akan tetapi Islam juga menyadari bahwa ada orang yang culas memperalat kebaikan hati orang lain. “Mentang-mentang” seorang mukmin suka memaafkan utangnya, maka ia berutang banyak-banyak padanya lalu meminta agar utangnya dimaafkan karena ia dalam kesulitan. Ini harus diwaspadai sebab membiarkan orang bertingkah laku seperti itu akan membawa konsekuensi yang berbahaya bagi moralitas masyarakat. Karena itu Islam mengingatkan perlunya perjanjian utang dan bahkan pembuatan catatan khusus untuk transaksi (Q.S. al-Baqarah: 282).
Ini adalah dasar-dasar yang paling sederhana mengenai sistem ekonomi Islam. Tetapi dalam bentuk dan tujuannya yang lebih makro, Islam ingin membebaskan manusia dari perbudakan ekonomi atau perbudakan sebagian manusia atas manusia lain atas dasar kepentingan ekonomi. Ini pula sebenarnya yang menjadi keresahan kaum Marxis: manusia harus terbebaskan dari perbudakan kaum kapitalis dan hubungan antar manusia hendaknya terjalin secara merdeka, terlepas dari penderitaan-penderitaan represif kelompok lain. Banyak orang mencela Marxisme habis-habisan karena pandangannya tentang Tuhan dan agama yang dianggap ateistik. Sebaliknya orang tidak mau melihatnya dalam konteks perlawanan terhadap kapitalisme. Ini tentu tidak fair.

Epilog: Ibadah Sebagai Filsafat Kerja Islam

Dalam Islam, segala kreativitas yang membawa kebaikan dan kemaslahatan adalah ibadah, asal saja pelakunya ikhlas (tidak arogan dan tidak atas dasar kepentingan diri sendiri). Bekerja atau berusaha untuk mencari nafkah juga ibadah, karena di dalamnya mengandung berbagai kebaikan dan keuntungan bagi orang lain. Islam melarang berbagai kecurangan dalam bekerja, karena hal tersebut merugikan orang lain. Jadi ibadah dalam Islam sangat universal. Jika ini dijadikan filsafat kerja oleh orang-orang Mukmin, maka mereka tentu akan menjadi masyarakat yang paling giat bekerja. Karena itu dianggap tercela orang yang tidak mau bekerja dengan alasan untuk lebih konsentrasi beribadah. Pandangan yang memisahkan ibadah dan kreativitas benar-benar dianggap sebuah kekacauan oleh Islam.


Langsa, Akhir Maret 2008

Zulkarnaini Abdullah

No comments:

Post a Comment