Wednesday, March 31, 2010

MENGENANG PERISTIWA ISRA’ DAN MI‘RAJ


Isra’ dan mi’raj adalah sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, terutama sekali dalam sejarah umat Islam. Peristiwa tersebut memperlihatkan kebesaran Allah SWT, sekaligus menampakkan keluasan rahmat yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya. Karunia Allah meliputi seluruh langit dan bumi; di antara karunia tersebut yang diberikan langsung kepada manusia ialah potensi Keilahian, yang menjadikan manusia dapat memiliki sifat-sifat Ketuhanan dan dapat menikmati interaksinya dengan Tuhan. Manusia dapat menghayati keagungan karya-karya Tuhan serta keindahan dan kenikmatan yang terkandung di dalamnya. Peristiwa isra’ dan mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW adalah salah satu karunia luar biasa, berupa sebuah perjalanan melalui “lorong waktu”, menembus seluruh cakrawala dan mengantarkan beliau kepada sebuah pendaratan di dunia yang melampaui nalar, kata-kata dan aksara. Beliau sampai di Sidrat al-Muntahā, di ujung seluruh perjalanan fisik, akal dan nalar manusia, di batas limit paling ekstrem dari kemampuan penjelajahan seorang hamba. Nabi Muhammad betul-betul menggapai puncak pendakian spiritual itu dan menyaksikan keagungan Allah SAW yang tiada tara. Beliau melihat langsung semua itu dengan mata kesadarannya yang meyakinkan dan dengan penglihatan hatinya yang paling hakiki. Tidak ada sedikit pun keraguan tentangnya, dan al-Qur’an sendiri memberikan kesaksian yang nyata:

سورة النجم: ولقد رآه نزلة أخرى (13) عند سدرة المنتهى (14) عندها جنة المأوى (15) إذ يغشى السدرة ما يغشى (16) ما زاغ البصر وما طغى (17) لقد رأى من ءايات ربه الكبرى (18)

Surat al-Najm:

(13) Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(14) (yaitu) di Sidrat al-Muntahā.
(15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal.
(16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidrat al-Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
(17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
(18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
***
Sejarah Islam mengisahkan kepada kita bahwa Nabi pada waktu itu sedang mengalami kegundahan yang mendalam. Musibah yang menimpa dirinya serta beratnya penderitaan batin yang dialaminya akibat dari penolakan serta cemoohan yang dilemparkan orang-orang kafir kepadanya menyebabkan Nabi amat sedih. Tahun itu pun disebut oleh Nabi dengan ‘ām al-huzn, yakni tahun duka cita. Kejadian ini terjadi sekitar tiga tahun sebelum hijrah. Hal pertama yang membuat Nabi berduka adalah meninggalnya Abu Thalib, pamannya yang selalu memberikan pembelaan dalam setiap perseteruan dengan orang-orang kafir Quraisy. Meskipun tetap bertahan dengan tradisi agama jahiliahnya, Abu Thalib selama hidupnya selalu menjadi pembela Nabi yang gigih. Nabi merasa aman dengan “perlindungan” yang diberikannya, karena ia termasuk salah seorang pembesar kabilah yang disegani.
Tidak lama setelah Abu Thalib meninggal dunia, menyusul pula Khadijah, isteri Nabi yang sangat beliau cintai. Kesedihan Nabi menjadi berganda. Kepergian Khadijah sangat memukul perasaan beliau, sebab Khadijah adalah orang pertama dan selamanya mendukung kegiatan dakwah beliau dengan segala bentuk pengorbanan yang luar biasa. Karena itu tidak mengherankan, wafatnya Khadijah adalah musibah yang terasa berat dipikul oleh Nabi.
Namun demikian, dalam suasana yang penuh duka itu, Nabi tidak pernah surut dari tugas mulianya. Aktivitas dakwah terus dilancarkan, dan tantangan yang dihadapi beliau semakin besar. Kini orang-orang kafir Makkah semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi, sebab Abu Thalib, pembela yang disegani, sudah tidak ada. Kesedihan yang dialami Nabi itu pun tidak ada lagi tempat berbagi, karena Kahdijah, isteri yang bijak itu, juga telah pergi. Nabi memutuskan untuk berangkat ke Thaif, mencari secercah harapan, kiranya ada orang yang dapat dijadikan tumpuan perjuangan di sana. Akan tetapi permusuhan yang dihadapi Nabi di sana lebih parah; mereka menolak untuk menerima ajakan Nabi kepada Islam dan mereka mengusir beliau dari negeri itu. Mereka bahkan melempari beliau sampai kepalanya berlumuran darah. Beliau sendiri menyebut tahun itu (bahkan semua umat Islam mengenangnya) sebagai ‘ām al-huzn, tahun dukacita.
***
Itulah peristiwa yang mendahului pengalaman isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad: pengalaman pahit dan kedukaan hati dalam perjuangan. Nabi hampir saja putus asa, namun sikap itu tidak akan pernah terjadi pada diri Nabi. Keteguhan hatinya, kesabaran, keyakinan serta harapannya yang besar terhadap rahmat dan pertolongan Allah menjadikan beliau kokoh berdiri di atas jalan perjuangan yang diembannya. Beliau tidak pernah ragu dan sedikit pun tidak goyah. Akan tetapi sebagai manusia, Nabi bukan tanpa beban perasaan hati dan bukan tanpa rasa khawatir. Perjuangan itu beliau rasakan berat dan musibah yang menimpanya pun telah melemahkan sendi-sendi tubuhnya. Di sinilah Nabi menunjukkan keteladanan yang hebat. Kekuatan batinnya mengalahkan kelemahan tubuhnya, kekuatan imannya mengalahkan kelemahan perasaannya. Beliau tidak pernah menyerah pada tantangan-tantangan duniawi, baik yang menggiurkan maupun yang menakutkan. Cita-cita akhir beliau sangat jelas: Keridaan Allah.
Di tengah-tengah nestapa itulah uluran tangan yang Maha Rahim datang menjemput beliau dan membawanya ke sebuah tempat penuh berkah dan diliputi kedamaian – sebuah tamasya suci ke dunia surga, a holy journey to the heaven. Dalam al-Qur’an, ayat 1 surat al-Isra’, Allah berfirman:

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من ءاياتنا إنه هو السميع البصير(1)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Nabi – berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan – diperjalankan Tuhan menuju langit, sampai ke Sidrat al-Muntahā serta menyaksikan surga, neraka dan berbagai karakteristik alam spiritual lainnya; beliau ditemani malaikat Jibril dan dengan mengendarai burak. Nabi dihibur dengan perjalanan suci itu, untuk menghapus segala nestapa dan duka lara yang beliau alami. Hiburan yang diberikan kepada Nabi bukan berupa worldly entertainment (hiburan duniawi), tetapi hiburan spiritual; bukan hiburan rendahan, tetapi hiburan berkualitas. Hiburan seperti inilah yang dapat mengembalikan vitalitas spiritual manusia, menjadikan kita semakin dekat dengan Tuhan, hati menjadi damai, jiwa lega dan terbebas dari tekanan-tekanan batin dan beban jiwa yang menyesakkan. Ketika jiwa tercerahkan, raga juga ikut tersembuhkan; jika hati telah damai, otot-otot tubuh juga terelaksasi. Inilah obat kehidupan yang sering terlupakan.
Jika Nabi Muhammad telah dibawa Tuhan sampai ke Sidrat al-Muntahā untuk menikmati perjalanan Keilahian, maka untuk umat beliau Allah telah mengaruniai salat (sembahyang) lima waktu sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritualitas tersebut. Salat adalah “oleh-oleh” yang dibawa pulang Nabi dari perjalanan isra’ dan mi’raj; siapa yang melaksanakannya dengan ikhlas disertai hati yang khusyu’ dan penghayatan yang mendalam, maka orang tersebut juga dapat menggapai rahasia pengalaman isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad. Salat adalah mi’raj bagi umatku, kata Nabi.
***
Inilah yang paling penting dari peringatan isra’ dan mi’raj, yakni penghayatan terhadap makna perjuangan untuk membebaskan manusia dari kezaliman dan belenggu-belenggu setan. Perjuangan itu amat berat dan menegangkan; karena itu memerlukan kepada “Pengisian ulang” kekuatan. Salat adalah sarana pengembalian kekuatan spiritual kita dan tempat bermunajat kepada Tuhan di sela-sela berbagai kesibukan hidup yang penuh tantangan. Tanpa salat, beban kita akan semakin tak terpikulkan dan akhirnya hidup menjadi penuh tekanan batin. Mari membangun kehidupan yang semakin damai dengan menegakkan salat secara sempurna!

No comments:

Post a Comment