Wednesday, March 31, 2010

ISLAM DAN PLURALISME


1. Pendahuluan


FUTURE historians, it has been said, will look back upon the twentieth century not primarily for its scientific achievements but as the century of the coming-together of peoples, when all mankind for the first time became one community.

Abad ini memperlihatkan kesadaran baru umat manusia. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan kontemporer yang memperkenalkan berbagai kemudahan bagi manusia dalam beraktivitas, mata manusia menjadi semakin terbuka terhadap berbagai misteri mengenai dirinya. Berbagai cabang ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian memberi tahu kita berbagai aspek dari kehidupan manusia dan mempersiapkan kita menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tiba, meski kelihatan tidak akan pernah berakhir. Namun, setidak-tidaknya, manusia semakin sadar betapa tidak ada batasnya cakrawala, imajinasi dan ilmu pengetahuan; dan betapa kecil dirinya di tengah-tengah segala eksistensi.
Kesadaran ini meniscayakan manusia melihat dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan tidak pernah berhenti berproses untuk mencapai yang lebih baik. Kebenaran tidak lagi berhenti pada sebuah titik, tetapi bergerak dan dinamis. Kebenaran tidak dapat lagi dianggap absolut dan monopoli orang atau kelompok tertentu; kebenaran harus selalu diuji dalam konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Jika kesadaran ini benar telah tumbuh dengan baik, maka manusia akan enggan menciptakan permusuhan dan amat malu bersikap arogan; manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sebagai makhluk yang mungkin saja bersalah dan enggan membuat klaim-klaim kebenaran dengan cara-cara yang merendahkan orang lain. Dengan demikian, persaudaraan kemanusiaan menjadi sesuatu yang amat mungkin.
2. Kesadaran Historis
Sejarah mengingatkan manusia akan kekayaan khazanah peradaban yang luar biasa. Sejarah juga menyadarkan manusia akan keragaman warna hidup yang mereka jalani dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan yang mereka alami dan diversitas lingkungan sosial yang telah terbentuk sepanjang lintasan waktu yang pernah mereka kenal. Sejarah adalah masa lalu yang tidak mungkin lagi diubah, tetapi ia dapat menjadi pelajaran berharga bagi manusia yang menyadarinya. Sejarah adalah Mahaguru, dan waktu adalah Universitasnya. Tidak ada orang yang dapat melawan waktu; dan tidak ada orang yang mengabaikan sejarah melainkan ia juga akan diabaikan. Karena itu sejarah amat penting untuk membangun kesadaran bahwa manusia hidup dengan cara yang sangat beragam dan mereka tidak pernah berhenti berubah. Kesadaran historis inilah yang mengawali konsep pluralisme.
Kesadaran historis ditekankan karena history berperan amat penting dalam menampilkan wajah peradaban dan agama manusia yang sangat variatif. Orang yang mengenal sejarah akan mengenal dengan baik posisi dirinya di tengah-tengah perubahan dan ia akan sadar bahwa ternyata waktu telah menghapus banyak hal, menimbulkan banyak hal dan mengubah arah kehidupan. Sebagai contoh, kita dapat belajar dari kenyataan, bahwa banyak tokoh atau pemikir (Muhammad Abduh, misalnya) yang dibenci, dicela dan dimusuhi pada suatu zaman, kemudian namanya menjadi harum dan pikiran-pikirannya dikagumi di zaman yang lain. Fakta ini kiranya menjadikan kita bersikap hati-hati ketika berhadapan dengan pikiran-pikiran para pemikir yang melampaui zamannya. Mereka seharusnya diberikan apresiasi, bukan malah dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak layak serta dimusuhi.
Orang yang membaca sejarah Islam dengan baik, akan mampu melihat dirinya beserta segala keyakinan, paham dan lingkungan sosial yang ikut bersamanya sebagai bagian dari kekayaan peradaban Islam yang sangat luas, beragam dan tidak satu warna. Sejarah adalah sebuah kesaksian betapa manusia telah menempuh jalan yang sangat banyak untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kebaikan dan kesejahteraan; sejarah juga menjadi saksi betapa banyak manusia atau generasi yang menyesal karena kebodohannya.

3. Konsep Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan satu fakta kemanusiaan, yaitu keragaman dan kemajemukan. Pluralisme meniscayakan sikap lapang dada dan pengakuan yang tulus akan segala perbedaan kemanusiaan sebagai fakta yang harus dipelihara dan tidak perlu diubah. Dalam pluralisme, keragaman dan perbedaan itu diakui dan tidak untuk dileburkan supaya menjadi satu, mono atau tunggal.
Pluralisme menolak segala bentuk absolutisme, pembenaran terhadap diri sendiri dan penafian terhadap orang lain. Pluralisme melampaui segala penghalang kemajemukan, sebab pluralisme berangkat dari pengakuan akan keterbatasan segenap pencerapan, penafsiran dan penggapaian manusia. Manusia tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari subjektivitas, emosi, kepentingan, keterbatasan nalar, keterbatasan perspektif dan daya cakup. Karena itu pluralisme merupakan ketulusan menerima keyakinan, paham, pandangan dan tafsiran orang lain tidak pada tingkat inferior. Semua keyakinan keagamaan, misalnya, adalah setaraf dalam sisi kemanusiaannya, meskipun tidak sama – setaraf dalam pengertian tidak ada yang superior dan tidak ada yang inferior. Pluralisme tidak berarti memandang semua agama sama, seperti dipersepsikan kebanyakan orang; pluralisme adalah kesadaran yang menghindarkan seseorang dari sikap gegabah menjustifikasi orang lain sebagai keliru, sesat, bodoh atau apa pun yang bersifat merendahkan. Seorang pluralis adalah orang yang selalu membuka diri kepada kebenaran dan tidak berhenti belajar.
Karena itu, pluralisme mensyaratkan relativisme: kebenaran, sejauh menyangkut penalaran manusia, tidak ada yang absolut. “Kebenaran” selalu terkait dengan berbagai konteks dan kebutuhan kesejahteraan umat manusia. Relativisme soal kebenaran tidak berarti relativisme yang tidak terkendali, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas dan tidak ada yang dapat disepakati. Relativisme di sini memberi makna bahwa kebenaran (dalam konteks manusia) selalu dapat berkembang dan dapat dikoreksi; kebenaran selalu terbuka dan berproses menuju tingkat yang lebih tinggi.
Dengan pandangan seperti itu, pluralisme membuka ruang yang longgar untuk dialog dan persaudaraan kemanusiaan. Pluralisme bukan sekedar toleransi dalam pengertian membiarkan setiap orang bebas dengan keyakinannya “asal tidak ribut-ribut”, tetapi lebih jauh dari itu, pluralisme menghendaki seseorang menghargai dan bahkan tidak pernah segan belajar dari orang lain atau dari umat lain. Oleh sebab itu, pluralisme kadang-kadang amat menyakitkan bagi sebagian orang, ketika ia bersikap fanatik dan arogan.
4. Kemunculan Pluralisme Agama
Sejarah agama penuh dengan berbagai perdebatan, konflik dan permusuhan. Sering kali sebuah agama bukan hanya memusuhi dan membenci agama lain, tetapi juga memiliki konflik di dalam dirinya sendiri. Pertentangan dan bahkan perang di antara kelompok-kelompok dalam satu agama bukanlah cerita yang mengejutkan. Sejarah umat Yahudi, Kristen dan Islam penuh dengan lumuran darah saudaranya sendiri. Umat Kristen di Eropa sebelum zaman pencerahan saling berperang di antara mazhab-mazhab yang berbeda. Dalam Islam, tidak lama (hanya dalam hitungan tahun) setelah Nabi Muhammad wafat, umatnya saling membunuh karena persoalan kepemimpinan.
Lebih jauh lagi, dalam agama-agama telah muncul pula apa yang disebut oleh orang-orang Kristen dengan Inkuisisi, yaitu pengadilan agama terhadap kaum bid’ah dan sesat. Ketika dalam sebuah agama muncul otoritas tertentu dalam memberi makna atas teks ajaran agama, maka segala tafsiran yang berbeda akan dituduh sesat dan bahkan kafir serta dianggap halal darahnya. Banyak ilmuwan telah dibunuh karena hal tersebut. Mereka digantung atau dipancung, hanya karena mengeluarkan opini berbeda dalam memberikan tafsiran terhadap masalah tertentu yang terkait dengan agama atau apa yang mereka yakini sebagai bagian dari agama.
“Muak” terhadap konflik dan permusuhan yang bukan hanya menyedihkan tetapi juga mengerikan itulah yang telah melahirkan gagasan dari sejumlah para pemikir untuk mewacanakan hidup damai tanpa permusuhan atas dasar perbedaan agama dan mazhab. Dalam masyarakat Kristen Eropa, perkembangan ini terjadi secara sistematis, sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh, pemikir atau filosof yang melakukan kritik terhadap agama. Mereka adalah para pendeta atau agamawan yang kemudian melakukan kritik keras terhadap keyakinan mereka sendiri. Perkembangan tersebut menjadi semakin jelas dalam wacana-wacana berikutnya di abad 19 dan 20 ketika John Hick berbicara mengenai berbagai model pluralisme agama. Hick pernah mempertanyakan: bukankah lebih dari 90 % penganut agama menganut agama yang diwariskan orangtua atau masyarakatnya? Lalu bagaimana kita dapat mengklaim kebenaran absolut dari agama tertentu yang kita anut? Berangkat dari kenyataan tersebut Hick mencoba memformulasikan paradigma baru dalam memahami agama. Pandangan Kristen yang percaya keselamatan hanya ada melalui Kristus atau ajaran Gereja dikritiknya dengan tajam. Akhirnya, di abad 21, dialog antar agama terutama antara Kristen dan Islam dalam bentuk yang lebih sehat dan terbuka menjadi semakin mendapat penguatan.
5. Peran Teologi
Teologi adalah interpretasi atas keyakinan keagamaan. Teologi berarti pemaknaan terhadap Tuhan atas dasar pemahaman dan pengetahuan manusia. Teologi merupakan interpretasi manusia. Akan tetapi, penggagas-penggagas teologi begitu berani, dan bahkan dengan sikap arogan, mengklaim kebenaran dirinya dan menolak setiap pemahaman yang berbeda sebagai bidah, sesat dan bahkan kufur. Teologi inilah yang telah memainkan peran penting pembentukan sikap keberagamaan kebanyakan umat manusia. Teologilah yang telah menentukan bagaimana kita bersikap terhadap orang lain. Teologi pula yang telah “memasukkan orang ke surga dan ke neraka.”
Karena itu seharusnya teologi perlu dicermati kembali dengan baik dan direkonstruksi untuk mewadahi kebenaran yang lebih tercerahkan. Teologi perlu dikaji kembali dengan melihat konteks di mana ia tumbuh dan dirujuk kembali secara lebih proporsional kepada teks ajaran agama yang asli. Dalam Islam, teologi telah menjadi sumber perpecahan yang amat dahsyat dan bahkan perang yang mengerikan. Perdebatan teologis bukan hanya menciptakan permusuhan dengan non Muslim, tetapi juga sesama Muslim – tidak berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Kristen di seluruh dunia. Namun sekarang, dengan kesadaran baru, masyarakat agama akan melihat teologi dengan pandangan yang berbeda. Kesadaran baru inilah yang harus terus menerus diwacanakan dan diperkaya agar menjadi semakin solid dalam melahirkan teologi yang lebih manusiawi dan bersaudara.
6. Paradigma Baru dan Hermeneutika
Perjalanan sejarah manusia melahirkan paradigma-paradigma. Thomas Kuhn adalah di antara para pemikir yang banyak berbicara mengenai paradigma. Kuhn mengatakan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan telah terjadi banyak perubahan paradigma, dan perubahan paradigma tersebut akan menandai model berpikir baru dalam suatu masyarakat. Perubahan paradigma akan dirasakan amat berat oleh para pejuangnya sebab ia akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Pluralisme adalah bagian dari perubahan paradigma tersebut, sekurang-kurangnya, untuk masyarakat kita sekarang ini. Dalam kajian keagamaan, perubahan paradigma ini sangat terasa pada penekanan penafsiran ajaran agama yang tidak lagi dianggap absolut. Penafsiran adalah human institution, karena itu ia relatif. Model pembacaan dan pemaknaan terhadap kitab suci selama ini digugat untuk digantikan dengan yang baru, maka sebagian agamawan akan merasa dihina.
Dalam, katakanlah, paradigma baru ini, pembacaan terhadap kitab suci dilakukan dengan cara bergerak melampaui the “innocent” manner dan melangkah ke model baru: the “no innocent” manner. Pembacaan model yang kedua inilah, seperti dikatakan González, yang akan menjadikan seseorang mampu melihat kesalahan dan kegagalan dirinya. Banyak orang kadang-kadang terlalu takut ketika menemukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui atau diyakininya selama ini, sehingga membuang pengetahuan berharga dan lebih memilih diam demi mempertahankan sebuah keyakinan yang rapuh.
Pembacaan yang innocent melihat segala sesuatu yang dibaca sebagai kebenaran, dan menyingkirkan segala nalar kritis terutama sekali yang dapat menyalahkan diri pembaca sendiri. Teks-teks yang dibaca tidak dipertentangkan antara yang satu dengan yang lain, tetapi dilakukan dengan cara yang selektif, sehingga bagian-bagian yang tidak “menguntungkan” ditinggalkan atau ditafsirkan sesuai dengan yang diinginkan. Sebaliknya pembacaan yang noninnocent meniscayakan kesediaan untuk menerima diri sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kegagalan sehingga merasa perlu selalu membuka diri untuk dikritik dan dikoreksi. Pembacaan seperti ini akan membuka ruang dialog yang lebih sehat dan luas serta memungkinkan si pembaca bersikap berani memasuki wilayah-wilayah mana pun dari potensi kemanusiaannya.
Pembacaan al-Qur’an dengan cara noninnocent akan memudahkan proses kerja nalar dengan tafsiran pluralisme, karena ia selalu menyisakan ruang untuk kritik dan koreksi meskipun berasal dari wilayah yang asing. Noninnocent menjadikan seseorang sadar, rendah hati, tidak arogan dan respek terhadap sesama. “Saya” ataupun “kita” bukanlah satu-satunya pemilik kebenaran dan “kita” seharusnya welcome meski terhadap mereka yang punya pandangan berbeda atau berseberangan. Hal ini bisa terlihat dari prinsip-prinsip hermeneutika, sebagaimana dikemukakan oleh Douglas Jacobsen dalam artikelnya Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical Dialogue. Hermeneutika inilah yang menjadi landasan penafsiran kitab suci bagi wacana pluralisme. Menurut Jacobsen ada beberapa prinsip yang membantu seseorang bernegosiasi dengan diversitas hermeneutika di sekitar dirinya, di antara lain: Pertama, seseorang menyadari bahwa ia tidak berangkat dari awal. We all “start in the middle.” Banyak orang mengatakan bahwa menafsirkan kitab suci haruslah dengan sikap yang netral. Dalam tradisi Islam sudah dikenal luas bahwa di antara syarat seorang mufassir adalah tidak fanatik kepada suatu mazhab atau aliran. Seorang mufassir harus dapat memposisikan dirinya sebagai seorang peneliti yang independent, tidak memihak dan jujur secara akademik. Ini sepertinya telah menjadi mitos yang menyenangkan untuk didengar dan mungkin orang mengira amat mudah melakukannya. Namun, sesungguhnya manusia tidak terlepas dari dunia dalam dirinya. Pada saat membaca sebuah teks, seseorang acap kali membacanya dengan paradigma yang telah terbentuk dalam dirinya; seseorang adakala membuat teks itu masuk akal atau menjadikannya sebagai nonsense, sesuai dengan keyakinannya tentang kebenaran. Pada saat memahami sebuah teks, orang lalu cenderung memahaminya sejalan dengan warisan tradisi dan budaya yang dimilikinya: prasuposisi, pradisposisi dan prapemahaman selalu mempengaruhi cara pikir dan kecenderungan nalar dirinya. Jadi dengan menyadari hal ini, orang dapat lebih berhati-hati dalam memposisikan diri berhadapan dengan teks. Sikap seperti ini tidak mesti mengubah pandangan seseorang mengenai otoritas teks, tetapi dapat mengubah cara seseorang menemukan makna yang diungkapkan oleh teks.
Kedua, berdialog dengan orang-orang yang tidak sepaham. Adalah awal dari kesalahan ketika orang menganggap dirinya tidak bersalah. Adalah pemilik pikiran yang sempit orang yang menganggap dirinya berpikiran sangat luas. Dunia dan pengetahuan tidak ada batas. Manusia tidak akan mampu melihat segala sesuatu sekaligus; manusia penuh dengan keterbatasan. Ketika orang melihat ke satu arah, pandangannya tertutup untuk arah yang lain. Orientasi menghalangi seseorang untuk menggapai segalanya. Inilah yang oleh Mikhail Bakhtin (w. 1975), seorang filosof Bahasa dan teoritikus sastra Rusia, disebut dengan law of placement. Ruang dan waktu menghalangi manusia mengusai segalanya. Karena itu setiap orang membutuhkan orang lain yang bahkan berbeda orientasi dan pandangan darinya; karena itu, juga sangat penting bagi seseorang untuk mengakui bahwa hanya karena ia tidak dapat melihat sesuatu yang orang lain dapat melihatnya, tidak berarti sesuatu itu tidak eksis. Dengan berdialog dengan “orang lain,” seseorang akan mendapatkan a new “surplus of seeing.” Dialog tidak mesti membawa seseorang kepada sebuah kesimpulan yang harus diambil, tetapi dialog dapat memperkaya dunia setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Ketiga, melakukan pergantian hermeneutik, antara diam dan berjuang. Hermeneutical struggle tentu saja tidak akan berujung ketika ia terus menerus didialogkan. Poin kedua di atas membawa seseorang pada perputaran dialog yang tidak berkesudahan. Ini akan membingungkan. It is thus writ in heaven that any critic who has not given up will remain to some degree confused. Tidak akan ada manusia yang dapat menyelesaikan dialog ini dengan tuntas. Lalu mengapa berdialog? Karena manusia telah memulainya; mereka sedang berada di tengah jalan. Jadi pertanyaannya bukan mengapa berdialog, tetapi bagaimana seseorang harus menyikapinya Dalam hal memahami teks kitab suci, seseorang memang harus berjuang untuk mendapatkan pemahaman yang benar, tetapi tidak berarti bahwa ketika dialog tidak berhenti maka kebenaran juga tidak pernah diterapkan dalam kehidupan. Orang perlu “beristirahat” sejenak untuk mengamalkan “kebenaran” yang telah dicapainya, untuk kemudian bergumul kembali dengan pemahaman dan makna-makna kehidupan yang tiada habisnya. Inilah barangkali makna taqarrub dalam tradisi Islam: bahwa kebenaran hanya dapat didekati, tidak dapat ditangkap hakikatnya.
7. Penutup
Diskusi di atas hanya sebuah ikhtiar merambah jalan yang mungkin dapat ditempuh atas dasar sebuah kesadaran baru dalam upaya memahami kitab suci dan ajaran agama. Hermeneutika adalah sebuah model pendekatan dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci yang dapat merespons wacana pluralisme dan dapat memberikan nuansa baru untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dalam konteks diversitasnya kehidupan manusia, khususnya umat beragama, di zaman ini.
Kesadaran baru tersebut tidak lain adalah pluralisme. Pluralisme bukan sebuah pemaksaan, tetapi konsekuensi dari fakta kehidupan yang tidak mungkin dilawan. Pluralisme hanyalah istilah lain untuk kemanusiaan, persaudaraan dan persahabatan; ia menghendaki manusia semata-mata menjadi manusia bukan menjadi Tuhan. Orang-orang yang tulus dan rendah hati itu selalu belajar dan mencari kebenaran; mereka percaya hanya Tuhan yang Maha Benar.


Wallahu a’lam,

Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA.

No comments:

Post a Comment