Wednesday, March 31, 2010

KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN ACEH DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA


Ibu, istri, anak perempuan dan kakak atau adik perempuan memiliki posisi dan peran yang berbeda, sesuai dengan wilayah dan tingkatannya masing-masing dalam masyarakat Aceh. Setiap posisi memiliki citra tersendiri dan setiap peran ada nilainya.
A. Perempuan Sebagai Ibu

Ibu akan dihormati oleh anak-anaknya sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarkan mereka. Walaupun Ayah dianggap sebagai kepala rumah tangga, peran Ibu lebih signifikan; walaupun keturunan dinisbahkan kepada Ayah, keluarga pihak Ibu sering sekali merasa lebih dekat dengan seorang anak. Kemarahan seorang Ayah memang menakutkan, tetapi kutukan seorang Ibu jauh lebih mengerikan. Seseorang bisa saja berubah jadi batu atau menjadi ular karena durhaka kepada Ibunya – demikianlah cerita dalam masyarakat berkembang. Mungkin dapat disepakati bahwa hubungan lebih erat antara Ibu dan anak, dibandingkan dengan Ayahnya, adalah natural dan bersifat universal. Saya pernah mendengar seorang Ibu (seorang perempuan setengah baya) ditanyakan oleh seorang aktivis perempuan asing soal mengapa ia menaruh nama ayahnya di belakang namanya (maksudnya: apakah dengan demikian ia tidak merasa telah mendiskreditkan Ibunya?). Ia menjawab: “Dengan demikianlah nama Ayah saya jelas terpampang; Ibu saya tidak membutuhkan itu, sebab ia selalu jelas, ia adalah orang yang telah melahirkan saya dan tidak seorang pun dapat mengingkarinya.”
Dalam struktur keluarga masyarakat Aceh, keturunan dinasabkan kepada Ayah, namun keturunan dapat ditelusuri pada kedua belah pihak: Ibu dan Ayah. Keluarga pihak ayah disebut dengan wali dan pihak Ibu karong. Siegel, yang meneliti tentang Aceh lebih empat puluh tahun lalu, telah mendiskusikan masalah ini secara panjang lebar, dan dalam banyak hal masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Seperti telah disebutkan, kedekatan seorang anak dengan keluarga pihak Ibu sangat kentara dalam masyarakat Aceh. Siegel menulis begini: Children grow up in the house of their mother and in the company of the children of their mother’s sisters (anak-anak dibesarkan di rumah ibunya dan ditemani oleh anak-anak dari saudara perempuan Ibunya). Menurut kebanyakan orang, hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi kelebihan keluarga pihak Ayah yang telah dijadikan sebagai nisbah keturunan (seorang anak dinasabkan kepada Ayahnya).
Ibu sangat terkait dengan anak-anak baik dalam peran, struktur keluarga maupun dalam simbol-simbol. Jika orang tua bercerai maka anak-anak secara umum akan ikut bersama Ibu atau keluarga Ibunya. Perempuan sebagai Ibu selalu disanjung, berbeda dengan peran istri, anak atau saudara. Hadis-hadis Nabi tentang kemuliaan Ibu dibacakan dalam berbagai kesempatan, terdengar dalam khutbah-khutbah; anak-anak atau remaja yang mengikuti lomba pidato di sekolah, di mesjid atau di mana-mana, yang mengambil topik “Berbakti kepada Orangtua” akan menyanjung dengan amat tinggi Sang Ibu, perempuan yang telah melahirkan mereka. Ini dapat dimengerti karena dalam konteks tradisional, peran Ibu memang amat sangat luar biasa. Kita mungkin dapat saja khawatir, bagaimana jika dalam kehidupan modern peran-peran mereka telah digantikan dengan yang lain? Bagaimana dengan kemungkinan rahim di luar kandungan manusia? Bagaimana dengan kehidupan keluarga urban yang memiliki pembantu dan penjaga anak selain dari kalangan keluarga sendiri, yang digaji dan bekerja secara profesional? Apakah kemuliaan dan penghormatan terhadap Ibu akan mengalami pergeseran makna? Kebanyakan orang memandang hal ini sebagai tantangan bagi masyarakat Muslim. Sering sekali saya mendengar kekhawatiran orang-orang yang menyaksikan kehidupan sebagian anak-anak kota yang kurang menunjukkan respek kepada orangtuanya, terutama sekali kepada Ibunya. Sebagian orang lalu berasumsi bahwa perhatian dan kepedulian yang kurang terhadap anak di daerah-daerah perkotaan adalah sumber malapetaka tersebut. Sebenarnya, di kampung-kampung pun saya juga pernah melihat sikap anak-anak yang kurang respek terhadap Ibunya; sementara itu, mereka hanya hormat kepada Ayahnya karena takut semata. Kalau diperhatikan secara lebih seksama, tradisi dan sikap seperti itu pada hakikatnya berasal dari ajaran agama dan kebiasaan yang dibangun oleh masyarakat sendiri, baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Penghormatan terhadap orangtua, terutama Ibu, mempunyai referensi yang kuat dari ayat Qur’an. Di sekolah-sekolah, ayat tersebut pasti diperdengarkan kepada para siswa. Ketika saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, murid-murid kelas 4 sudah disuruh menghafal ayat tersebut, yaitu ayat 14 surat Luqmān (31) yang artinya sebagai berikut:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orangtuamu; hanya kepada-Kulah tempat kembali.

Penghormatan terhadap orangtua bahkan melampaui batas agama. Seseorang tetap wajib berbakti kepada kedua orangtuanya di dunia ini walaupun mereka memilih jalan hidup berbeda. Ini disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu ayat 15 surat yang sama:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Qur’an juga secara langsung memberikan perintah kepada para Ibu agar menyusui anaknya sampai dua tahun (Q.S. al-Baqarah [4]: 233). Ayat tentang perintah menyusui ini menjadi sangat favorit, terutama sekali bagi pemerintah yang mengampanyekan KB (Keluarga Berencana) dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) bagi anak. Di kantor-kantor KB dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) pasti ditempelkan tulisan ayat tersebut beserta artinya. Di Rumah Sakit dan klinik-klinik kesehatan, kita juga dapat melihat tulisan ayat tersebut terpampang. Terjemahan lengkap ayat tersebut sebagai berikut:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayah dan Ibu dalam ayat di atas mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengurus anaknya, tidak boleh ada yang menderita dan teraniaya gara-gara lahirnya seorang anak. Perbedaan gender sangat jelas di sini. Ibu yang sedang sangat sibuk menyusui dan mengurus bayinya tentu saja tidak sempat memikirkan dan melakukan pekerjaan lain. Karena itu Ayah berkewajiban memikirkan dan mengurus hal lain untuk kepentingan keluarga yang dalam bahasa Qur’an disebut dengan “memberikan makanan dan pakaian.” Qur’an juga menyadari bahwa kemampuan setiap orang berbeda-beda dan semua manusia memiliki keterbatasan. Karena itu Qur’an menegaskan bahwa setiap kewajiban itu disesuaikan dengan kesanggupan dan dilakukan dengan prosedur dan cara-cara yang makruf, yakni yang baik, patut dan rasional. Menurut saya, petunjuk paling penting dari arahan Qur’an di sini adalah mengacu pada keseimbangan tugas dan tanggung jawab antara Ayah dan Ibu dalam mengasuh dan memelihara anaknya. Mereka harus bersikap adil, jangan ada pihak-pihak yang terlalu terbebani, terutama Ibu yang telah mengandung sekian lama dan kemudian melahirkan. Ia harus diberikan waktu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan kesehatannya; Ayah harus mempertimbangkan hal tersebut. Kalau mereka menginginkan, demikian menurut Qur’an, bahkan mereka dapat menggaji seorang profesional untuk menyusui dan mengasuh anaknya. Di Aceh hal seperti ini jarang dilakukan.
Pemberian alternatif penyusuan anak pada orang lain, sebagaimana tersebut di atas, adalah indikasi bahwa peran gender yang dimainkan oleh Ibu dalam hal mengasuh anak, yang telah sering kali dianggap sebagai tugas alamiah (natural) Ibu, menurut Qur’an adalah sebuah tugas profesional, di mana Ayah harus mengompensasikannya dengan cara yang makruf. Anak adalah milik mereka berdua, karena itu mereka harus memikirkan cara-cara yang adil dalam memelihara dan membesarkan anak tersebut. Kalau keduanya “sibuk” maka menggaji orang lain untuk tugas tersebut adalah sebuah alternatif.
Di Aceh – dan mungkin juga dalam kebanyakan masyarakat di dunia ini – Ibu hampir sepenuhnya mengambil tugas menyusui dan mengasuh anak, dan Ayah mencari nafkah serta memenuhi segala keperluan Ibu dan anak. Seorang perempuan biasanya melahirkan di rumah Ibunya (nenek si bayi). Karena itu partisipasi nenek, dan juga saudara-saudara perempuan Ibu, sangat signifikan dalam mengasuh si bayi. Kalau bayi menangis di waktu malam, maka Ibu akan memberinya ASI atau pergi ke dapur dan membuat susu untuknya. Demikian pula kalau bayi kencing atau berak, maka yang paling sibuk adalah Ibu atau nenek, atau perempuan yang lain, bukan Ayah atau laki-laki. Kalau seorang laki-laki sedang menggendong bayi, lalu bayi itu kencing, misalnya, maka ia akan menyerahkannya kepada Ibunya atau perempuan yang lain untuk mengurusnya (membersihkan dan menggantikan pakaiannya). Itu adalah kebiasaan yang saya lihat, tidak berarti seratus persen prakteknya demikian. Laki-laki kadang-kadang juga melakukan tugas tersebut, terutama di kalangan keluarga muda terpelajar. Keluarga yang kaya tentu saja memiliki pembantu yang digaji untuk melaksanakan tugas-tugas dalam rumah tangga. Kalau keluarga miskin, kadang-kadang terlalu sedih untuk diceritakan. Di kampung, beberapa tahun yang lalu, saya pernah melihat seorang nenek mengasuh seorang bayi yang kedua orangtuanya telah meninggal. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Makanan yang diberikan kepada si bayi hanya nasi dan pisang yang telah digiling sampai halus, sementara minumannya hanya air putih – tidak ada ASI, tidak ada susu apa pun. Kami berusaha menyuplai sedikit bantuan, tetapi beberapa bulan kemudian saya mendengar bayi itu telah meninggal. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal mengasuh anak, peran perempuan, mulai dari yang masih anak-anak sampai nenek-nenek, luar biasa.

B. Anak dan Saudara Perempuan

Anak adalah karunia dari Tuhan. Ia bukan milik kita; ia hanya datang melalui kita. Your children are not your children, kata Kahlil Gibran (1883-1931), ... they come through you but not from you ... Namun alam memiliki hukum yang amat menakjubkan yang mengikat orangtua dengan anaknya melalui kasih sayang yang luar biasa. Setiap anak kecil mempunyai kekuatan magis yang menggoda setiap mata memandang. Ayah dan Ibu tidak akan pernah rela apa pun menyakiti anaknya, walaupun, aneh sekali, kita juga kerap mendengar orangtua yang nekat melawan nuraninya dan rela membunuh anaknya sendiri. Sepertinya tidak mungkin. Tetapi kenyataan hidup yang pahit ataupun kebodohan kadang-kadang dapat membuat mata buta, telinga tuli dan akal tidak lagi waras. Pada zaman jahiliah ada orang yang membunuh anak perempuannya ketika baru lahir karena merasa aib. Di Pakistan, tahun lalu (2005), seorang laki-laki membunuh empat anak perempuannya (tiga anak kandung, satu anak tiri) dengan dalih menyelamatkan kehormatan keluarga.
“Anak,” demikian sering kita dengar, “adalah amanah dari Tuhan.” Karena itu kita harus menjaga dan memeliharanya. Namun, bagi sebagian orang di dunia ini, jenis kelamin tetap menjadi masalah sampai sekarang. Bukan hanya di zaman jahiliah, di zaman yang kita sebut modern pun, masih banyak anak yang menjadi korban kebencian hanya karena dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan. “Ratusan gadis kecil dan dewasa dibunuh oleh anggota keluarga mereka setiap tahunnya di Pakistan,” kata Detiknews. Di beberapa wilayah di India dan di pedalaman-pedalaman Cina masih terjadi pembunuhan anak perempuan. Laki-laki mungkin tidak sadar akan akibat dari perbuatannya itu. Kasus di India bahkan telah menginspirasikan lahirnya sebuah film berjudul Matrubhoomi – A Nation Without Women (Tanah Air – Sebuah Bangsa Tanpa Perempuan), semacam film futuristik yang mengeksplorasi kehidupan di pedalaman India di mana akibat dari pembunuhan bayi perempuan, perempuan secara praktis punah. Akibatnya, laki-laki lari ke alternatif lain seperti pornografi, homoseksual, kekerasan dan sebagainya. Ketika seorang gadis ditemukan, ia dijual dan bahkan dikawini oleh lima laki-laki bersaudara. Manish Jha, sutradara film yang dirilis tahun 2004 tersebut, mengatakan bahwa semua itu berawal ketika ia membaca sebuah artikel dalam sebuah majalah tentang kehidupan di sebuah desa di Gujarat: akibat dari pembunuhan bayi-bayi perempuan, laki-laki menghadapi persoalan serius ketika merasa kekurangan perempuan pada umur perkawinan. Manish Jha mempelajari lebih jauh dan amat terkejut ketika menemukan bahwa, berdasarkan laporan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), sekitar 50 juta perempuan hilang dari populasi India akibat dari diskriminasi gender.
Demikiankah nasib perempuan selamanya di dunia ini? Kalau pun tidak dilenyapkan, bayi perempuan kadang-kadang tidak atau kurang disukai. Benarkah? Joni Seager menulis: Everywhere, boys tend to be privileged over girls. A cultural preference for sons over daughters is almost universal (di mana-mana, anak laki-laki cenderung diistimewakan dari anak perempuan. Pengistimewaan kultural anak laki-laki atas anak perempuan hampir bersifat universal).
Apakah anak perempuan di Aceh didiskriminasi atau didiskreditkan? Dalam sebuah diskusi pada 2003 di Banda Aceh saya pernah mengangkat isu son preference; saya mengatakan bahwa masih banyak orang yang lebih senang ketika dikaruniai bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan, dan bahkan dalam kehidupan keluarga, anak laki-laki diistimewakan. Sebagian peserta (laki-laki) membantah, tetapi bantahan itu saya anggap sebagai keterbatasan pengalamannya saja. Kalau benar mereka (sebagai anak laki-laki) mengalami demikian (tidak pernah diistimewakan dari anak perempuan) dan juga bersikap demikian terhadap anak-anak mereka, itu bagus sekali. Tetapi seorang Dosen IAIN Ar-Raniry, belum lama ini, pernah mengekspresikan keresahannya soal ketidakadilan gender dalam keluarga yang disebutnya dengan “Suatu Stigma dalam Masyarakat Aceh.” Menurut premis yang diajukannya, masih “ada perbedaan pandangan dan perlakuan orangtua dalam masyarakat Aceh terhadap anak laki-laki dan perempuan.” Anak laki-laki, menurut penulis tersebut, memiliki daya pikat dan posisi yang istimewa di mata orangtuanya, terutama Ibu.
Sejauh pengalaman saya yang pernah hidup di kampung dan di kota, kehidupan perempuan sebagai anak atau saudara dalam masyarakat Aceh memang bervariasi; ia tidak universal seperti Ibu. Secara umum, anak laki-laki atau anak perempuan bagi orang Aceh sama saja. Bentuk paling ekstrem dari diskriminasi dan kebencian terhadap anak perempuan sampai pada bentuk pembunuhan, karena alasan ekonomi atau kultural, tidak pernah terjadi. Tetapi pembunuhan anak karena alasan keagamaan atau kehormatan keluarga (tanpa memandang laki-laki atau perempuan) memang pernah terjadi. Sultan Iskandar Muda pernah membunuh anak laki-lakinya sendiri karena melanggar kehormatan agama dan adat budaya masyarakat Muslim Aceh, setelah seorang laki-laki membunuh anak perempuannya sendiri yang kemudian dilaporkannya kepada Baginda Raja sebagai telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah anak kandung Baginda sendiri. Perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan yang merusak kehormatan dan nama baik keluarga dan karena itu pelakunya harus dihabisi. Hamka pernah menyebut hal seperti itu sebagai ghirah (bahasa Arab, artinya: kecemburuan, antusiasme, zeal, semangat) keagamaan. Sebuah keluarga akan merasa sangat terhina bila ada salah seorang di antara anggotanya yang melakukan perbuatan tercela; laki-laki, biasanya Ayah atau saudara tertua, akan mengambil tindakan. Hal seperti itu mungkin tidak terjadi lagi sekarang. Akan tetapi dalam sebuah keluarga yang taat, seorang laki-laki kadang-kadang akan sangat marah ketika melihat, misalnya, seorang perempuan dari anggota keluarganya tidak mengenakan jilbab, yakni menutup aurat dengan sempurna, atau kedapatan berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram-nya. Pembunuhan anak karena “alasan-alasan” (dalih) tertentu kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Anak kadang-kadang dibunuh karena tidak diharapkan kehadirannya, atau sebagai “protes sosial” terhadap kondisi kehidupan yang dianggap tidak adil. Ada juga perempuan yang membunuh anaknya dengan dalih “kasihan” sebab masa depan anak tersebut dalam anggapannya tidak menentu. Beberapa tahun yang lalu saya mendengar berita seorang perempuan di sebuah daerah di Aceh Utara membunuh anaknya karena alasan seperti itu.
Privilege atau keistimewaan yang diberikan kepada anak laki-laki secara umum kadang-kadang juga terasa. Walaupun kelahiran bayi laki-laki mungkin akan dirayakan sama dengan kelahiran bayi perempuan, sembelihan untuk akikah (‘aqīqah) anak laki-laki lebih istimewa dari anak perempuan – untuk anak laki-laki dua ekor kambing, untuk anak perempuan satu ekor. Ini merujuk pada pandangan kebanyakan ulama yang membedakan antara akikah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam mazhab H{anafī, Syāfi‘ī dan H{anbalī memang ketentuannya demikian: bagi anak laki-laki dua ekor kambing, bagi anak perempuan satu ekor kambing. Tetapi Imam Malik menganggap tidak ada perbedaan antara akikah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, yaitu masing-masing seekor kambing. Perbedaan pendapat ini terjadi karena memang terdapat beberapa hadis yang berbeda dan semuanya, dari segi periwayatan, sahih. Hadis yang meriwayatkan tentang sembelihan yang dilakukan Nabi untuk akikah cucunya, Hasan dan Husain, juga berbeda: yang satu meriwayatkan Nabi menyembelih dua ekor kambing untuk masing-masing mereka, sementara yang satu lagi mengatakan satu ekor kambing. Sementara hal tersebut masih dapat diperdebatkan, kebanyakan orang dengan mudah menjadikannya sebagai justifikasi agama bagi pengistimewaan anak laki-laki atas anak perempuan.
Selain dari itu, anak laki-laki dianggap sebagai pemilik garis keturunan, sehingga seorang yang tidak mempunyai anak laki-laki akan dianggap keturunannya telah putus. Akan tetapi kebanyakan masyarakat Aceh tidak terlalu risau dengan garis keturunan. Setiap orang akan melekatkan nama Ayahnya di belakang namanya, bukan nama marga, nama nenek moyang ataupun nama suku. Setiap orang dianggap sebagai anak dari kedua orangtuanya, tidak terlalu penting ke mana garis keturunan itu akan menuju. Sebagian orang, terutama dari kalangan ampon atau hulubalang, memang masih mempertimbangkan pentingnya garis keturunan laki-laki itu.
Dalam kehidupan orang biasa, anak laki-laki dan perempuan tidak begitu berbeda. Nenek saya (kami termasuk dalam kelompok “orang biasa”) sering menyuruh saya bekerja membersihkan rumput di sekitar rumah dan pergi ke sawah; kalau saya bermalas-malasan di akan marah. Hal ini sangat berbeda dengan suasana dalam kehidupan keluarga keturunan ulee balang atau ampon. Dalam “kelompok” ini, menurut informasi yang saya dapatkan dari teman-teman yang mengalami kehidupan dalam keluarga tersebut, anak laki-laki sangat spesial. Kalau ia sedang tidur tidak boleh diganggu, dan berbeda dari saudara-saudaranya yang perempuan, anak laki-laki sangat “pantang” pergi ke dapur atau disuruh mengerjakan “pekerjaan-pekerjaan perempuan” seperti memasak dan mencuci piring.
Dalam keluarga orang biasa, baik petani atau pedagang, anak-anak laki-laki dan perempuan sering membatu orangtuanya bekerja di sawah atau di pasar. Anak laki-laki juga tidak dilarang pergi ke dapur. Siegel memang pernah mencatat keluarga yang melarang anak laki-laki pergi ke dapur, tetapi kemudian menambahkan: These prohibitions against participating in girls’ activities are not very strong (larangan-larangan berpartisipasi dalam pekerjaan anak-anak perempuan ini tidak terlalu kuat). Saya sendiri sewaktu kecil, sebelum meninggalkan kampung untuk merantau, sering membantu Ibu, bibi atau nenek di dapur. Memarut kelapa dan menggiling bumbu masak sering saya lakukan. Tidak ada perempuan yang keberatan.
Sebagian keluarga kadang-kadang cenderung memaksa anak-anak perempuan untuk mahir mengerjakan “pekerjaan-pekerjaan perempuan,” yakni seperti pekerjaan-pekerjaan dapur, sementara anak laki-laki di suruh bekerja di luar rumah. Saya pernah menyaksikan dalam sebuah keluarga seorang Ibu dengan tekun mengajarkan anak perempuannya bagaimana cara yang benar menghidangkan makanan, bagaimana seharusnya menerima tamu dan kata-kata apa yang harus diucapkan dan sebagainya. Sebaliknya, suatu waktu adik perempuan saya pernah mengeluh ketika prestasinya di sekolah tampak menurun. Ia “mengomel” dan mengatakan itu gara-gara Ibu menyuruhnya melakukan ini dan itu, sehingga ia tidak sempat belajar dengan maksimal. Ibu tidak marah dan setelah itu ia membiarkannya menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar. Bagi Ibu kami, sepertinya pekerjaan-pekerjaan itu, walaupun dianggap telah terbagi secara kultural berdasarkan gender, dapat dikerjakan secara fleksibel. Jadi anak laki-laki dan perempuan pada prinsipnya tidak diperlakukan berbeda dalam pengertian diskriminatif, atau yang satu memiliki privilege di atas yang lain.
Pekerjaan lain anak perempuan adalah menjaga adiknya yang masih kecil. Kalau Ibunya pergi ke sawah atau sedang melakukan pekerjaan tertentu maka biasanya anak perempuanlah yang bertanggung jawab menggantikan peran Ibunya. Kalau dalam keluarga tersebut tidak ada anak perempuan, maka anak perempuan saudara si Ibu atau bahkan anak-anak perempuan tetangga akan sangat senang mengambil posisi tersebut. Anak laki-laki sangat jarang berpartisipasi dalam pekerjaan ini, walaupun bukan tidak ada sama sekali.
Dalam hubungan saudara tidak ada perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Usia lebih berperan menentukan siapa harus menghormati siapa. Seorang adik harus selalu menghormati kakaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi jika di antara mereka (biasanya bagi orang-orang yang sudah dewasa) ada persoalan yang membutuhkan kepada suatu permusyawaratan maka saudara laki-laki tertua biasanya memiliki otoritas lebih tinggi dari yang lain.

C. Istri dan Kehidupan Rumah Tangga

Perempuan sebagai istri berbeda lagi. Hubungan antara suami dan istri berbeda dari hubungan antara orangtua dan anak atau antara seorang saudara dengan saudaranya yang lain, karena hubungan antara suami dan istri terbentuk oleh sebuah akad – sebuah jalinan perjanjian yang disengajakan dan dapat diubah; Ibu, anak dan saudara secara biologis bersifat permanen: tidak dapat diubah. Karena hubungan tersebut dibuat maka ia harus dipelihara dan dirawat. Tanpa pemeliharaan yang baik bisa saja ia rusak, lentur dan putus.
Hubungan perkawinan dibangun atas dasar suka sama suka. Di zaman kontemporer sekarang, kawin paksa jarang terjadi. Akan tetapi, persetujuan orangtua atau keluarga hampir saja merupakan syarat mutlak. Seorang anak muda biasanya akan memberi tahu kepada orangtuanya siapa calon istrinya dan orangtuanya akan melakukan semacam penilaian untuk setuju atau tidak. Jika orangtuanya tidak setuju, ia mungkin akan mencari calon yang lain. Kasus seperti ini pernah terjadi pada seorang teman saya (orang Pidie). Orang Pidie biasanya kawin dengan sesama orang Pidie. Itu seakan-akan telah menjadi tradisi. Teman saya tersebut pertama sekali menunjukkan calon istrinya orang luar Pidie; orangtuanya tidak setuju dan menyuruhnya mencari calon yang lain, dari orang lokal. Ia mencari calon yang lain (juga bukan orang Pidie), orangtuanya juga tidak setuju. Ia terus berusaha dan berargumentasi sampai ia menemukan calon yang disetujui orangtuanya, walaupun bukan orang Pidie. Teman saya yang lain (laki-laki), seorang Dosen sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Aceh, ditentukan jodohnya oleh orangtuanya. Ia menolak, sebab ia tidak mencintainya. Ia menginginkan seorang istri yang ia kawini berdasarkan hubungan cinta dan kasih sayang. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa penolakannya itu berdasarkan alasan moral. Ia tidak suka perjodohan yang ditentukan orangtuanya sebab mereka menginginkan harta kekayaan. Orangtuanya mengatakan – berdasarkan penuturan teman tersebut – bahwa perempuan calon istrinya itu sangat kaya: punya rumah, mobil dan tanah persawahan yang luas. Ia serta-merta menolak dan berkata: “Saya kawin karena menginginkan seorang teman dan pendamping hidup, bukan untuk mencari harta kekayaan.” Akhirnya orangtunya merelakan saja ia menentukan pilihannya sendiri.
Kasus pada anak perempuan juga lebih kurang seperti itu. Memang sekarang ini tidak ada kawin paksa seperti kisah Siti Nurbaya dalam roman klasik Indonesia, tetapi persetujuan orangtua adalah hal ini yang amat sangat penting. Para orangtua, terutama Ayah, mempunyai otoritas yang sangat tinggi dalam keluarga, namun mereka secara umum bersifat toleran. Kasus-kasus yang berakibat fatal dalam hubungan orangtua dan anak jarang terjadi di Aceh. Saya pernah mendengar cerita Ayah saya marah dan mengucapkan kata-kata yang “berat” (ungkapan seperti “putus dunia-akhirat”) kepada kemenakan perempuannya karena ada suatu ketegangan mengenai hubungannya dan calon suaminya. Kakak sepupu saya itu akhirnya menangis dan meminta maaf serta mengikuti nasihat orangtunya dan Ayah saya. Ayah, paman, saudara laki-laki tertua sering kali memainkan peran penting dalam persoalan-persoalan keluarga, terutama sekali menyangkut perkawinan. Pihak perempuan sering diharapkan untuk tunduk dan seia sekata. Dalam situasi-situasi yang menimbulkan ketegangan antara pihak laki-laki dan perempuan, biasanya persoalan hanya dapat diatasi dengan tenang jika pihak perempuan mau mengalah, tidak sebaliknya.
Sebagian orangtua kadang-kadang berusaha mencarikan jodoh bagi anak perempuannya dan mereka memberi tahu serta meminta pendapat anaknya tentang calon suaminya itu. Dalam hal ini, orangtua kadang-kadang sangat pintar menggoda anaknya dan memberikan berbagai alasan agar dapat menaklukkan hati anak gadisnya supaya ia menyukai pilihan orangtuanya itu. Dalam kasus seperti ini orangtua lebih sering menang. Tetapi kadang kala, jika orangtua merasa akan kalah, terutama Ayah, ia akan menggunakan wibawa dan otoritasnya untuk berusaha memaksa, sampai si anak merasa harus mengalah dan menyatakan setuju dengan pendapat orangtuanya. Orangtua sering merasa lebih tahu dan lebih berpengalaman. Mereka juga sering menganggap bahwa semua yang dilakukannya adalah untuk kepentingan anaknya juga. Dalam hal ini mereka dapat dengan mudah menunjukkan contoh-contoh kasus yang membenarkan pendapatnya dan mereka akan berkata: “anak-anak tidak mengerti, tetapi suatu saat nanti dia akan menyadari bahwa yang kita katakan itu benar.” Seorang teman kami (perempuan) di Banda Aceh kawin dengan laki-laki pilihan Ayahnya, seorang tokoh dan ulama terkenal. Laki-laki calon suaminya itu juga seorang ‘alīm, alumni IAIN Ar-Raniry; dia juga teman dan senior kami di pesantren. Sebelum perkawinan berlangsung kami sudah tahu akan hal itu, dan kadang-kadang kalau bertemu dengan perempuan tersebut kami mengganggunya dengan menanyakan “Teungku (panggilan untuk orang ‘alīm dan dihormati) di mana?” Ia pasti akan melempari kami dengan benda-benda kecil yang ada di dekatnya. Ia pernah mengatakan “aku membenci laki-laki itu.” Saya tidak tahu persis apakah ia benar-benar membencinya atau tidak. Hanya saja, sikap dan ekspresinya selalu menunjukkan kebenaran ucapannya. Pesta perkawinan pun berlangsung. Ia kini kelihatan berbeda: sangat ceria dan bahagia; ia selalu nampak sangat bangga di samping suaminya. Orang tua mungkin benar: “anak-anak tidak mengerti.” Mungkin juga perempuan itu telah berubah pikiran: dulu ia benci, sekarang sayang. Jika kasusnya demikian, maka perasaan saya mungkin benar: “perempuan memang aneh dan penuh misteri.”
Dalam kehidupan rumah tangga, istri bertugas melayani suami: memasak, mencuci pakaian, menata dan merapikan kamar, membersihkan rumah dan sebagainya. Pokoknya, kalau di rumah, suami terima beres. Istri mulai bekerja sejak subuh dan berhenti ketika tidur di waktu malam; itu pun jika tidak ada anak kecil atau bayi yang harus dikasih susu ketika menangis di tengah malam. Perempuan-perempuan yang menjaga bayi mungkin hanya “mencuri” tidur pada waktu-waktu tertentu saja. Perempuan selalu siap melakukan apa pun demi anaknya. Di meunasah, ketika masih kecil, saya sering mendengar teman-teman membaca sebuah bait tentang Ibu dalam bahasa Aceh: bak saboh jamok poma meulet-let, bak saboh pijet poma meujaga (karena seekor nyamuk Ibu berkejar-kejaran, karena seekor kutu busuk Ibu berjaga malam). Ketika mengasuh dua anak kembarnya yang pertama, bibi saya (yang saya ceritakan pada Prolog buku ini) bekerja mati-matian. Kami (saya, kakak dan adik) kadang-kadang datang dan menginap di rumahnya untuk menjadi “pembantu.” Suatu hari, ketika saya di rumahnya untuk membantu dan menjaga anak-anak, seorang anaknya menangis dan tidak mau berhenti; sementara itu, di dapur makanan sedang mendidih dan bibi sedang melaksanakan sembahyang. Bibi ternyata mempercepat sembahyangnya, sampai-sampai pada rakaat kedua dan seterusnya ia tidak (sempat) lagi berdiri, tetapi dilaksanakannya sambil duduk, dan gerakan-gerakan sembahyangnya menjadi super express. (Saya tidak mempermasalahkan sah atau tidaknya sembahyang bibi, tetapi ia sendiri pernah mengatakan: “itu darurat”). Panggilan tugas seorang istri atau Ibu kadang-kadang cukup membuat hati kita berdebar.
Menjadi istri bagi sebagian perempuan barangkali berat, melajang terus menerus juga akan menjadi pembicaraan orang. “Perawan tua” adalah istilah yang menyakitkan. Tetapi bagi perempuan, kadang-kadang apa pun pilihannya sama saja. Dalam bahasa Aceh “perempuan” dan “istri” sering disebut dengan ungkapan yang sama, yaitu: inong. Aneuk inong berarti anak perempuan, inong lon (perempuan saya) berarti istri saya. Inong, baik sebelum atau sesudah kawin, pekerjaannya tetap di dalam dan sekitar rumah, di sekitar dapur dan sumur. Perempuan-perempuan karier juga demikian. Pulang dari kantor, ia akan ganti pakaian dan langsung ke dapur dan sumur. Ia akan memasak, mencuci piring dan pakaian, serta mempersiapkan segala keperluan pelayanan bagi suaminya – perempuan adalah an endless working creature. Perempuan-perempuan di kampung lebih-lebih lagi. Di samping memasak, mencuci dan sebagainya – untuk suaminya – ia juga bekerja mencari nafkah: pergi ke sawah, menjahit pakaian, berjualan atau apa pun pekerjaan yang dapat dikerjakannya. Kedudukan istri dan anak perempuan memang tidak sama, tetapi dalam soal bekerja, mereka termasuk dalam kategori tidak berbeda. Walaupun ada pembantu di rumah, istri tetap sebagai pengontrol dan bertanggung jawab atas semua urusan dalam rumah. Kalau ada hal yang tidak beres maka istri yang kena marah. Istri yang “tidak tahan” mungkin pada akhirnya akan minta cerai.
Nasihat perkawinan “alakadar” diberikan kepada suami dan istri pada saat acara peresmian perkawinan, biasanya ketika diadakan serah terima antara pihak suami (lintobaro) dan istri (darabaro) yang diwakili oleh tokoh masyarakat kampung masing-masing. Di sela-sela pidato serah terima itu, pembicara akan menyampaikan wejangan-wejangan kepada kedua mempelai, kadang-kadang dengan nada humor dan ditambah dengan pantun-pantun Aceh, yang membuat para hadirin tertawa. Nasihat perkawinan secara resmi di kampung-kampung jarang diberikan. Saya pernah melihat Ayah saya menikahkan orang di kampung atau di KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan. Dia hanya membaca khutbah nikah dalam bahasa Arab, lalu dilanjutkan dengan ijab kabul. Akan tetapi sebelum ritual resmi pernikahan dilakukan, biasanya Penghulu atau Pak Kuakec akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah agama (seperti niat dan tata cara mandi junub) dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan berumah tangga. Sering juga para calon darabaro dan lintobaro disuruh membaca dua kalimah syahadat, surat al-Fatihah atau ayat-ayat Qur’an yang lain untuk memastikan bahwa mereka secara keagamaan telah siap untuk memasuki kehidupan berumah tangga. Saya sendiri mengalami hal itu. Beberapa hari sebelum acara pernikahan, saya dan calon istri saya dipanggil ke KUA untuk “diinterogasi” dan diberikan nasihat perkawinan. Di kampung-kampung, proses “interogasi” ini kadang-kadang berujung pada suasana menegangkan. (Saya pernah beberapa kali mendengar peristiwa seperti ini sekitar awal 1980an). Jika calon suami yang mau menikah itu seorang pemuda agak “gengsi,” alumni pesantren misalnya, dan merasa dirinya cukup mengerti masalah agama dan tidak suka ditanyakan “ini itu” terkait soal-soal keagamaan yang “sepele,” maka ia akan berkata: “Saya hadir di sini bukan untuk mengikuti ujian, tetapi untuk menikah.” Suasana tentu saja menjadi panas serta dirasakan tidak nyaman (oleh sebagian orang, walaupun sebagian yang lain mungkin menyukainya) dan mungkin perdebatan akan terjadi beberapa saat, sebelum orang yang lebih bijak meredamnya. Semua ini mengindikasikan bahwa kematangan beragama dan pengetahuan tentang kehidupan suami istri pada dasarnya merupakan prerequisite (prasyarat) sebelum kedua calon suami dan istri diizinkan melanjutkan kehidupan mereka ke jenjang perkawinan. Karena itu sebagian pemuda yang merasa “belum siap” akan takut menghadapi pernikahan – mereka takut “ujian”nya.
Sekarang tentu telah banyak perubahan, terutama di daerah-daerah perkotaan. Pada acara akad nikah biasanya nasihat perkawinan akan diberikan Pak Kuakec. Keluarga tertentu – dari kalangan orang berada – sering mengundang seorang ustaz, penceramah, Teungku atau ulama untuk secara khusus menyampaikan nasihat perkawinan. Majalah-majalah nasihat perkawinan dan buku-buku saku untuk bimbingan suami istri yang baru menikah sudah banyak disediakan oleh KUA. Bahkan ketika menjabat sebagai Kepala KUA (sebelum dan awal 1990an), Ayah saya sering membawa pulang majalah Nasihat Perkawinan. Tetapi saya hampir tidak pernah melihat Ibu membacanya; kami anak-anak yang sering membacanya, padahal waktu itu belum menikah. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja, perempuan adalah pihak yang paling ditekankan dalam pemberian nasihat. Istri saya pernah menceritakan bahwa Ibunya sering sekali menasihati begini: “agar rumah tangga bahagia hendaklah istri mengalah jika terjadi keributan.” Saya tentu saja tertawa. Itu adalah nasihat yang telah berulang kali kita dengar. Saya bertanya dalam hati: Mengapa laki-laki tidak boleh mengalah? Mengapa ia tidak pernah boleh disalahkan dalam setiap perkara keributan rumah tangga?
Di mana juga high status perempuan? “Ada, di Pidie dan Aceh Besar,” demikian sebagian teman diskusi saya menjawab. Memang dalam sebagian kehidupan rumah tangga, perempuan memiliki peran dan otoritas yang lebih besar, apabila perempuan itu lebih kaya, lebih tinggi pendidikannya, lebih terkenal (terhormat) asal usulnya (misalnya, keturunan hulubalang atau uleebalang), lebih cerdas, atau lebih tua umurnya. Di daerah Pidie dan Aceh Besar, ketika seorang anak perempuan mau dikawinkan oleh orangtuanya, biasanya akan disediakan rumah dan diberikan sepetak (atau beberapa petak, tergantung kekayaan orangtua) sawah. Jadi dengan demikian, si istri lebih merasa memiliki otoritas di rumahnya. Kalau mereka bercerai maka suamilah yang harus meninggalkan rumah. Karena itu ada istilah lain untuk “istri” dalam bahasa Aceh, yaitu peurumoh yang berasal dari kata po rumoh, yakni pemilik rumah. Perempuan di Pidie, menurut deskripsi Siegel, lebih otoritatif dalam kehidupan keluarga mereka, dan laki-laki powerless (tidak memiliki kekuasaan). Ketika menceritakan kehidupan Maun di Pidie, Siegel menulis: Regardless of how well he provided, he could never exercise what he felt was his right to participate in making decisions (betapa pun bagus ia menyediakan [nafkah], ia tidak akan mendapatkan apa yang dirasakan sebagai haknya untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan-keputusan). Menurut perspektif perempuan, famili atau keluarga adalah mereka sendiri (para istri), saudara-saudara perempuannya, Ibu dan anak-anak. Their husbands have no place and hence no right to make decisions (suami mereka tidak ada tempat [di sana] dan karena itu tidak punya hak untuk membuat keputusan-keputusan).
Mungkin juga high status perempuan itu ada dalam norma, dalam teori, dalam kitab; ia sepertinya jarang terdapat dalam praktek. Ketika berumur sekitar sepuluh tahun, saya pernah mendengar Ayah mengajarkan kitab kepada murid-murid perempuan di rumah mengenai soal pernikahan. Pada waktu itu, saya masih ingat, Ayah sedang menjelaskan tentang nafkah: “Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, berupa tempat tinggal, makanan dan pakaian. Yang dimaksudkan dengan makanan,” demikian ia melanjutkan, “adalah makanan yang siap untuk dimakan dan pakaian adalah pakaian yang siap untuk dikenakan; jadi bukan kewajiban istri untuk memasak dan menjahit pakaian ... itu kewajiban suami.” Ayah membaca paragraf demi paragraf dalam kitab itu (saya tidak tahu kitab apa yang dibacakan ketika itu) sambil sesekali, dengan merendahkan kacamatanya, menengok ke Ibu yang tersenyum-senyum dan duduk agak jauh. Tetapi dalam kenyataannya, saya tidak pernah melihat Ayah pergi ke dapur, memasak atau menjahit pakaian. Bagaimana mungkin, saya berpikir, Ayah mengajarkan sesuatu yang ia sendiri tidak pernah mengerjakannya. Baru belakangan saya mengerti bahwa dalam kehidupan suami istri di Aceh tradisinya memang begitu. Suami dan istri sama-sama bekerja dengan pembagian tugas yang jelas: suami bekerja di luar rumah, istri di dalam rumah. Semua harta kekayaan yang mereka dapatkan selama perkawinan adalah milik bersama. Karena itu jika salah seorang suami istri meninggal dunia, maka ia (suami atau istri yang ditinggalkan) akan mengambil setengah (tergantung tradisi yang dianut masyarakat setempat; masing-masing daerah memiliki cara pembagian yang agak berbeda) dari harta yang ditinggalkan sebelum dibagi-bagikan sebagai harta warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi, pada dasarnya istri tidak bekerja sebagai budak, kuli atau babu, tetapi sebagai seorang profesional yang di sana ia juga mendapatkan bagian atau haknya; statusnya tetap sebagai partner laki-laki. Sikap merendahkan perempuan tidak dikenal dalam tradisi Aceh, dan penghinaan terhadap istri serta pembebanan tugas yang tidak wajar terhadapnya akan mendapatkan celaan dari masyarakat.
Dalam sebagian rumah tangga, perempuan memang sama sekali tidak boleh membantah suaminya, atau bersuara lantang terhadap laki-laki yang lebih senior dalam keluarga. Jika mereka mengadakan musyawarah keluarga di mana hadir beberapa famili yang lain baik laki-laki maupun perempuan, maka tugas perempuan adalah mendengar semata. Jika perempuan ada yang berani bicara, apa lagi dengan nada yang agak membantah, maka suaminya akan berkata: ta’iem gata (diam engkau). Tetapi dalam sebagian rumah tangga yang lain, suasananya bisa jadi berbeda atau sebaliknya. Dalam beberapa keluarga dari famili yang agak dekat, saya bahkan pernah melihat laki-laki yang sengaja memanggil istrinya untuk meminta pendapat dalam sebuah permusyawaratan kecil di rumah. Sebagian suami – ini sering terjadi di Pidie, seperti telah disinggung di atas – bahkan memberikan otoritas penuh kepada istrinya mengenai soal-soal seperti pengaturan biaya rumah tangga, pengadaan acara kenduri, perbaikan rumah dan urusan pendidikan anak; suami memfokuskan diri pada pekerjaan atau usaha, yakni mencari uang atau nafkah.
Perceraian tidak pernah diinginkan. Perceraian dirasakan sebagai cerminan dari ketidakmampuan seseorang membina rumah tangga sebagaimana diharapkan. Perceraian menandakan kelemahan kepribadian dan ketidaksabaran. “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak,” demikian sabda Nabi Muhammad. Hadis ini sangat populer. Namun, dalam masyarakat Aceh perceraian juga tidak terlalu tabu, dan penyebabnya bisa bermacam-macam: ekonomi, kesehatan, kecemburuan, pengkhianatan, perselisihan, dan bahkan politik yang menyebabkan terjadinya kekacauan sosial. Seorang mantan DI/TII dan TNI di kampung saya (tempat tinggal sekarang: Banda Aceh) pernah menceritakan bahwa pada masa pergolakan di Aceh setelah kemerdekaan, ia pernah menceraikan istrinya karena mereka harus hidup di wilayah yang berbeda dan tidak memungkinkan untuk bertemu. Daripada istrinya menderita, demikian ia mengatakan, lebih baik mereka bercerai saja; masing-masing mencari jodohnya yang lain. Dalam kasus ini, kebersamaan merupakan prioritas utama.
Di daerah Pidie adat istiadatnya agak unik. Laki-laki pergi merantau setelah kawin adalah hal yang biasa. Tradisi di sana menganjurkan laki-laki pergi merantau jika penghasilan di daerahnya tidak mencukupi. Kebersamaan tidak selalu dan tidak terlalu penting, asal saja kehidupan ekonomi keluarga dapat terpenuhi dengan baik. Namun perlu dicatat bahwa maksud dari kehidupan ekonomi di sini tidak melulu bermakna kekayaan harta; tanggung jawab barangkali adalah istilah yang lebih tepat. Jika seorang laki-laki telah pergi merantau berarti ia telah menunjukkan usaha dan kemauan untuk bertanggung jawab. Kehidupan di kampung kadang-kadang tidak kondusif bagi seseorang untuk menjadi gigih bekerja; suasana kehidupan di desa sendiri cenderung membuat orang lebih suka bermalas-malasan. Siegel mengisahkan perempuan pedesaan yang kadang-kadang mengalami paradoks dalam dirinya. Ketika ditanya mengenai suami yang merantau, apakah ia tidak merindukannya pulang, perempuan itu menjawab (Siegel mengutipnya dalam bahasa Inggris): Yes and no. If he comes, there is a lot of work cooking for him. But without him there is no money. No husband, no money (ya dan tidak. Jika ia pulang, banyak sekali pekerjaan memasak untuknya. Tetapi tanpa dia tidak ada uang. Tidak ada suami, tidak ada uang). Karena itu, masih menurut Siegel, kebanyakan konflik perkawinan (dalam masyarakat Aceh yang ditelitinya) terkait dengan masalah finansial atau nafkah.
Uang, finansial, atau apa pun namanya yang terkait dengan kebutuhan fisik, adalah masalah universal. “Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang.” Tidak dapat dipungkiri bahwa uang itu perlu. Akan tetapi sebuah perkawinan tentu saja tidak dilangsungkan hanya karena uang. Dalam masyarakat Aceh, istilah “nafkah lahir” dan “nafkah batin” yang harus dipenuhi oleh seorang suami kepada istrinya sudah kerap kita dengar. Nafkah lahir tentu saja segala kebutuhan fisik istri, baik makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Di Pidie, seperti telah didiskusikan, seorang istri barangkali lebih mengharapkan suaminya membawa banyak uang ketika pulang dari perantauan. Itulah nafkah lahir. Mereka tidak terlalu risau dengan makanan dan tempat tinggal; mereka memiliki padi di sawah dan rumah sendiri yang diberikan orangtuanya. Sementara itu, nafkah batin sering diasumsikan sebagai hubungan seksual. Ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa hubungan seksual lebih merupakan kebutuhan istri ketimbang kebutuhan suami. Hubungan seksual seakan-akan merupakan kewajiban suami, dan istri menerimanya sebagai nafkah. Saya bahkan sering mendengar orang mengatakan bahwa nafsu (keinginan melakukan hubungan seksual) perempuan jauh lebih besar dari nafsu laki-laki. (Saya akan mendiskusikan lebih jauh masalah ini nanti pada bagian yang lain). Cukup dikatakan bahwa di sini ada semacam paradoks: sementara hubungan seksual dianggap juga sebagai nafkah, persoalan yang acap kali diasumsikan telah menyeret kehidupan rumah tangga pada perpecahan adalah finansial. Orang enggan berbicara soal seks, mungkin karena merasa malu, maka yang sering dikemukakan adalah masalah finansial – nafkah lahir. Seorang perempuan pernah datang ke KUA (Kantor Urusan Agama) salah satu Kecamatan di wilayah kota Banda Aceh (berdasarkan informasi dari Kepala KUA tersebut), untuk mengonsultasikan masalah konflik dengan suaminya. Ia menceritakan panjang lebar tentang masalah yang dihadapinya dalam rumah tangga. Setiap pertanyaan yang diajukan Pak Kuakec (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) dijawabnya dengan lancar, dan Pak Kuakec pun menyampaikan berbagai penjelasan dan nasihat. Namun Pak Kepala KUA dapat membaca perasaan tidak puas dari wajah perempuan itu, lalu ia mengajukan satu pertanyaan lagi: “Bagaimana dengan masalah nafkah batin?” Perempuan tersebut seperti terperanjat dan langsung mengatakan: “Sebenarnya itulah yang mau saya bicarakan dari tadi!”
Masalah nafkah, baik lahir maupun batin, dan perselisihan dalam rumah tangga adalah alasan paling menonjol yang dikemukakan dalam setiap perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama atau dalam setiap konsultasi keluarga di KUA Kecamatan. Dalam soal nafkah, laki-laki dilaporkan sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan bahkan ada yang meninggalkan istrinya bertahun-tahun tanpa menghiraukan kewajibannya dalam bentuk apa pun. Dalam kondisi seperti itu, perempuan tentu saja merasa dizalimi dan mereka mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Di samping itu, untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, perempuan bekerja membanting tulang, melawan gersangnya alam dan kerasnya kehidupan, bekerja mati-matian walau hanya dengan upah yang sangat minim.

Canberra, Musim Panas 2006

No comments:

Post a Comment