Wednesday, March 31, 2010

ISLAM DAN DEMOKRASI


Islam adalah agama atau sistem hidup yang mengatur segala aspek kehidupan. Agama-agama selain Islam juga mengajarkan hal yang lebih kurang sama, yaitu bahwa mereka memiliki aturan-aturan untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan hidup lahir dan batin. Dalam sejarah umat manusia, agama memainkan peran penting. Agamalah yang telah menjadi sumber inspirasi bagi berbagai peristiwa hebat dan penting dalam sejarah. Bahkan peperangan, perdamaian, bangunan dan arsitektur juga diinspirasikan oleh pandangan keagamaan tertentu. Terkait dengan persoalan kenegaraan, peran agama telah mengalami pasang surut.
Jika merujuk kepada kehidupan Nabi Muhammad tampak bahwa Islam tidak memisahkan aspek-aspek kehidupan tertentu dari agama. Islam memandang kehidupan manusia menyatu secara integral antara aspek-aspek keduniaan dan spiritualitas. Nabi sendiri adalah Kepala Negara atau pemimpin dari umatnya; beliau memimpin pasukan perang, mengajarkan sembahyang kepada sahabat-sahabatnya, membimbing sikap moral masyarakat, memberikan keteladanan dan memutuskan perkara-perkara. Jadi Islam mengajarkan kebaikan dan mengisi kesadaran spiritual ke dalam seluruh aktivitas yang dikerjakan manusia di dunia ini. Dengan kata lain, Islam tidak memisahkan antaran dunia dan akhirat, antara agama dan negara; dunia adalah tempat mencari bekal untuk akhirat, dan agama adalah sumber bimbingan untuk menata seluruh aspek kehidupan, termasuk negara.
Fenomena seperti ini, yaitu keberadaan otoritas agama di atas negara, bukanlah hal baru dalam sejarah kerajaan dan negara-negara di dunia. Islam bukan yang pertama memulainya. Jauh sebelum Islam datang sudah ada raja-raja yang bertitah atas nama dewa, atau negara yang diatur di bawah daulat Tuhan. Raja-raja Bani Israil, misalnya, menetapkan aturan-aturan sebagaimana difirmankan Tuhan. Bagi mereka, Penguasa langit dan bumi adalah juga penguasa atas manusia sebagai hamba-Nya. Orang-orang Romawi yang kemudian menerima ajaran Nasrani, juga menjadikan dogma agama tersebut sebagai landasan bagi penataan seluruh aspek kehidupan mereka. Ringkasnya, ketundukan manusia kepada ajaran agama sebagai sumber otoritas yang berdiri di atas segala otoritas yang lain, termasuk negara, telah dikenal sejak zaman dahulu kala. Negara dianggap tidak mungkin sepenuhnya menjadi milik rakyat – dan dalam kenyataannya memang jarang sekali negara menjadi milik rakyat – tetapi milik Tuhan.
***
Mengenai kenegaraan dalam Islam telah terjadi perdebatan yang panjang antara orang-orang yang berpendapat bahwa pengurusan negara merupakan bagian dari ajaran agama dan orang-orang yang berkeyakinan bahwa urusan agama bersifat pribadi dan berada di luar tugas negara. Sebagian orang menganggap agama dan negara harus menyatu, sementara yang lain memandang lebih tepat apabila antara keduanya dipisahkan. Dalam hal ini muncul pertanyaan: bukankah Nabi Muhammad telah menunjukkan keteladanan yang cukup jelas? Mengapa masih dianggap ada perdebatan lagi tentangnya?
Nabi Muhammad memang telah memberikan keteladanan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan, tetapi Nabi tidak mendeklarasikan dirinya sebagai Kepala Negara dan juga tidak menegaskan bahwa model kenegaraan yang beliau perlihatkan sebagai satu-satunya yang harus diikuti. Nabi diangkat oleh Allah menjadi Rasul, tetapi masyarakat yang telah mengangkat beliau menjadi pemimpin di tengah-tengah mereka. Nabi diterima sebagai Kepala pimpinan masyarakat karena masyarakat sepakat menerima hal itu sebagai ketetapan yang “demokratis”. Otoritas Nabi sebagai Rasul Allah hanya berlaku dalam menyampaikan wahyu dan dalam menetapkan hal-hal tertentu yang ditegaskan sendiri oleh Nabi sebagai hal yang harus diikuti. Sementara di luar hal tersebut maka terserah kepada umat untuk mengembangkannya sendiri. Di situlah letak penting dan manfaatnya akal dan nalar manusia. Jika semuanya ditetapkan Tuhan maka apa lagi yang tersisa bagi manusia dalam memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan, seperti akal dan pemahaman.
***
Itulah demokrasi, yakni pemberian kebebasan bagi umat atau masyarakat dalam upaya mengatur dirinya terkait dengan kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi besar yang kerap kali disebut dengan negara. Islam tidak mengatakan hal itu dengan istilah demokrasi. Namun apa yang dikatakan Nabi dalam sebuah sabda beliau, bahwa “umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan”, merupakan rumusan kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berorganisasi yang paling mendasar. Otoritas tertinggi dalam menetapkan sebuah keputusan bersama ada di tangan rakyat. Inilah yang dalam istilah modern disebut Demokrasi.
***
Demokrasi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani: dēmos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Jadi demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Istilah ini memang sudah sangat tua dan tentu saja telah mengalami perubahan yang signifikan secara linguistik, apalagi sekarang orang lebih mengenal istilah demokrasi sebagai sistem kenegaraan versi Barat atau berasal dari budaya Barat. Meski secara etimologis istilah tersebut menunjukkan kepada beberapa pengertian dasar yang sangat signifikan, perkembangannya telah melampaui isu-isu semantik yang dikandungnya. Berbagai pertanyaan muncul ketika dikatakan bahwa sebuah kekuasaan harus dikembalikan ke tangan rakyat:
1. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan? (Apakah ia terkait dengan posisi semata? Apakah persoalan kekayaan masuk di dalamnya? Bagaimana dengan kekuasaan dalam menentukan keputusan? Bagaimana dengan munculnya kekuasaan yang memaksa?)
2. Sebesar mana kekuasaan tersebut? (Sebuah organisasi biasa, sebuah kota, sebuah negara, seluruh dunia? Dalam batasan mana demokrasi itu dapat diterapkan dengan baik? Atau tidak ada batas?)
3. Siapa yang dimaksud dengan rakyat? (Semua individu, termasuk anak-anak? Sebatas mana umurnya? Sebatas mana pendidikannya sehingga ia pantas dianggap layak memberikan pendapat? Apakah semua pendapat dianggap sama antara yang berpendidikan tinggi dan yang berpendidikan rendah?)
4. Apakah semua pikiran rakyat itu dapat dianggap sama? (Bagaimana jika rakyat berbeda pendapat? Mana yang harus diambil? Apakah pikiran mayoritas merupakan yang terbaik? Mayoritas yang mana?)
Sebenarnya sangat banyak pertanyaan yang perlu diajukan untuk mengukuhkan validitas penerapan sebuah sistem demokrasi dalam kehidupan suatu masyarakat. Namun tidak dapat disangkal bahwa demokrasi telah dianggap menjadi acuan dasar berorganisasi dan bernegara di zaman ini.
Lima abad sebelum Masehi istilah ini telah digunakan bangsa Yunani untuk merujuk pada sistem beberapa negara kota di negeri itu, terutama sekali di Athena. Negara-negara itu benar-benar di bawah kendali rakyat, dan suara rakyat adalah keputusan yang final. Namun sekarang, demokrasi telah dianggap sebagai landasan bagi peradaban Barat dan ia disebarkan ke seluruh dunia sebagai acuan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat yang paling mendasar. Siapa pun yang bersikap memaksakan kehendaknya kepada orang lain akan disebut tidak demokratis. Tetapi sayangnya, banyak orang yang memaksakan kehendaknya dengan cara yang “licik” sehingga tidak terpantau oleh kebanyakan orang, maka ia terhindar dari tuduhan tidak demokratis.
***
Disebabkan oleh problem-problem seperti itulah diperlukan kajian yang lebih dalam mengenai konsep demokrasi yang lebih tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat. Masyarakat dengan pandangan dunia dan budaya berbeda bisa jadi membutuhkan konsep demokrasi yang berbeda pula.
Sebagai mana telah disebutkan, demokrasi telah mengalami perubahan yang sangat banyak sejak ia diterapkan oleh masyarakat Yunani lima abad sebelum Masehi sampai sekarang, atau sampai masyarakat Amerika memproklamasikan dirinya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Ketika Presiden Amerika Serikat yang ke-16 Araham Lincoln (1809-1865) menyatakan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ia telah menguraikan unsur paling hakiki dari pemerintahan yang demokratis.
Akhir-akhir ini, isu yang paling hangat dibicarakan terkait dengan demokrasi adalah apakah ia bertentangan dengan Islam atau sejalan dengan Islam. Kaum Muslim yang Westophobic dan non-Muslim yang Islamophobic, secara umum, meskipun karena alasan berbeda, sepakat bahwa Islam dan demokrasi tidak kompatibel. Bagi kelompok pertama, Islam adalah ajaran Tuhan dan demokrasi adalah ciptaan manusia yang berdasar pada kehendak dan kepentingan manusia sendiri. Ketetapan Allah tentu saja harus didahulukan dan ketetapan manusia harus dikesampingkan Sementara itu kelompok kedua menganggap bahwa Islam tidak lain dari hasil pikiran picik dan sangat takut terhadap kemajuan serta anti kemodernan. Karena itu demokrasi sebagai hasil kecerdasan manusia modern dalam mengembangkan tatanan hidup bernegara yang lebih baik tentu saja tidak sejalan Islam yang “kolot” dan ketinggalan zaman.
***
Kedua paham di atas tentu saja tidak demokratis pada dirinya sendiri. Demokrasi pada dasarnya adalah sistem yang rumit dan mungkin juga paling sulit diterapkan. Demokrasi tidak didesain untuk membentuk sistem bernegara yang efisien, tetapi untuk pertanggung jawaban. Karena itu syarat paling penting untuk keberhasilan demokrasi adalah pendidikan yang lebih baik dan merata dalam masyarakat. Demokrasi mensyaratkan publik yang informatif, yang mengenal siapa pemerintahnya dan apa problem yang mereka hadapi. Sedangkan penyakit demokrasi yang paling berbahaya adalah perpecahan.
Kembali kepada persoalan Islam dan demokrasi, alangkah baiknya dilakukan kajian tentang peran rakyat dalam memperlancar roda pemerintahan. Sejauh mana rakyat dapat berpartisipasi dengan baik untuk mengkritiki proses pemerintahan, maka sejauh itu pula demokrasi dapat berjalan dengan baik. Jika rakyat telah berperan dalam menentukan jalannya roda pemerintahan, maka apakah itu bukan demokrasi dan bukankah hal tersebut yang dikehendaki oleh Islam?
Wallahu a’lam.

Langsa, 21 Desember 2007

No comments:

Post a Comment