Wednesday, March 31, 2010

PSIKOLOGI DALAM ISLAM: Menuju Kesadaran Spiritual Melalui al-Qur’an

Pendahuluan

Hidup adalah peristiwa yang relatif singkat, namun ia terus berlanjut. Sebagian orang telah memanfaat hidupnya dengan baik dan ia mungkin merasa bahagia dengan apa yang telah ia kerjakan. Sementara itu, sebagai orang mungkin kurang cerdas dalam memanfaatkan hidupnya, maka ia akan banyak mengalami penyesalan. Sebagian orang menjalani hidup sebagaimana adanya, seperti air yang mengalir, tanpa ada upaya untuk mengubah keadaan; sebagian yang lain bekerja lebih keras dan menentang kondisi yang ada untuk mengubah arah hidupnya. Ada orang yang terlena dengan “takdir”, ada juga orang yang berusaha “mengubah takdir”. Itulah yang disebut dengan jalan hidup. Setiap orang bebas memilih jalan hidupnya sendiri, dan jalan hidup yang berbeda akan menyampaikan seseorang pada titik akhir yang berbeda.
Jalan hidup itu disebut dengan agama, kepercayaan ataupun ideologi. Ia bersumber dari kesadaran manusia yang amat dalam. Namun dalam menempuh jalan hidup itu, manusia berbeda-beda: ada yang melakukannya dengan penuh kesadaran, dan ada pula yang hanya ikut-ikutan. Di situlah letak perbedaan antara orang yang cerdas dan bodoh secara spiritual. Dalam sejarah Islam dan dalam al-Qur’an kita mengenal istilah “jahiliah”, artinya “kondisi bodoh”. Orang-orang jahiliah bukanlah orang bodoh dalam pengertian tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka bodoh secara spiritual, walau pun mereka sangat cerdas dalam berdagang dan membangun peradaban duniawi.
Dalam psikologi kontemporer, para ahli telah mendapatkan titik temu antara ajaran agama dan gejala-gejala psikologi yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Kalau dalam psikologi kuno, orang beragama dianggap sebagai orang yang kurang waras, dalam psikologi kontemporer bahkan kesadaran keagamaan dianggap sebagai visi kejiwaan yang paling cerdas. Dalam kajian ini kita akan melihat, secara ringkas, pandangan Islam tentang gejala-gejala kesehatan mental atau kecerdasan spiritual menuju kebahagiaan hidup yang lebih tinggi.

Psikologi Sebagai Ilmu

Psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari proses mental dan tingkah laku pada manusia dan juga binatang. Secara harfiah, psychology berarti study of mind, yakni “kajian tentang pikiran”. Pikiran inilah – pikiran dalam pengertian yang luas, mencakup segala aspek yang terkait dengan nalar dan kesadaran – yang menjadi sumber tingkah laku manusia. Psikologi juga terkait dengan biologi dan ilmu-ilmu sosial, sebab berbagai karakter manusia juga tidak terlepas dari kondisi dirinya dan masyarakat di sekitarnya.
Persoalan yang dikaji dalam psikologi sangat luas, mencakup: kesadaran, inteligensia, learning, motivasi, emosi, persepsi, kekacauan mental, kepribadian dan juga genetika tingkah laku. Demikian juga cabang-cabang psikologi serta spesialisasinya, sangat banyak, misalnya: psikologi sosial, psikologi agama, psikologi anak, psikologi remaja dan sebagainya. Karena itu psikologi sebagai ilmu kadang-kadang terlihat sangat general dan tidak utuh; teori-teori yang dikembangkan tentangnya juga sangat bervariasi dan kadang-kadang saling bertentangan.
Namun demikian, psikologi telah banyak memberikan sumbangan keilmuan bagi pengembangan kehidupan manusia, dan ilmu ini sendiri telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, mulai dari aliran behaviorisme (yang melihat tingkah laku manusia semata-mata sebagai hasil dari kebiasaan, dan mengabaikan adanya ruh), psikoanalisis (yang menganalisa perilaku manusia agak lebih dalam, sampai pada teori alam bawah sadar), psikologi humanitis (yang mengkritik kedua psikologi sebelumnya; mencari keterangan mengapa orang sehat, alih-alih mempertanyakan mengapa orang sakit), sampai kepada psikologi transpersonal (yang berbicara tentang kecerdasan spiritual dan kesadaran batin manusia). Pada generasi terakhir inilah psikologi mengalami persentuhan dengan agama atau kesadaran jiwa manusia yang amat dalam.

Manusia Sebagai Makhluk Spiritual

Manusia berbeda dari binatang lainnya, karena manusia mempunyai akal. Dalam pengertian yang luas, akal adalah segala bentuk kesadaran yang melahirkan berbagai kecerdasan, baik inteligensia, emosional maupun spiritual. Dengan akal, manusia dapat menganalisa suatu persoalan, merespons perasaan tertentu dan juga memutuskan suatu sikap yang akan diambil mengenai suatu perkara. Manusia dapat mengubah alam untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan memudahkan jalan hidupnya karena akalnya; manusia juga dapat menentukan pilihan baik dan buruk, karena potensi akalnya.
Akal inilah yang mengantakan manusia pada puncak kesadarannya yang disebut dengan kesadaran spiritual, di mana manusia dapat melakukan transendensi, melampaui dirinya yang bersifat duniawi dan material, memasuki pengalaman batin yang inmaterial serta berkomunikasi dengan Tuhan.
Spiritualitas adalah kesadaran manusia yang paling dalam dan hakiki. Sabar, santun, pengasih, rela berkorban, adalah bagian refleksi kecerdasan spiritual. Dalam psikologi klasik dikenal adanya istilah seperti id, ego dan superego. Id adalah dorongan nafsi tanpa pertimbangan. Dorongan itu muncul dari adanya reaksi hormon tertentu dalam tubuh manusia (dan juga binatang lainnya) terhadap sesuatu yang diterima oleh inderanya, seperti melihat, mendengar atau mencium sesuatu. Ketika mencium bau makanan yang lezat, kita ingin untuk menyantapnya. Pada tahap ini belum ada pertimbangan apa pun dan juga belum ada proses berpikir. Sedangkan ego adalah tahapan di mana seseorang mulai melawan id-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi dan lebih memuaskan. Anak-anak, misalnya, menahan diri untuk tidak menghabiskan uang jajannya untuk menabung. Ia mulai belajar menahan diri terhadap dorongan nafsu tertentu untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi. Sedangkan superego adalah kesadaran yang lebih tinggi yang dapat mengalahkan kedua dorongan sebelumnya. Contohnya: seseorang rela menghabiskan waktu dan kekayaannya serta bersedia menahan lapar untuk suatu tujuan moral yang lebih tinggi atau untuk mencapai nilai ketakwaan. Inilah yang dalam analisa psikologi baru disebut dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan seperti ini hanya ada pada manusia, tidak ada pada binatang lainnya.
Kecerdasan spiritual tidak dapat dicapai begitu saja tanpa riyadhah atau latihan. Karena dalam Islam kita diajarkan untuk bersembahyang, berpuasa, berzakat dan berhaji serta berbagai amal kebaikan lainnya. Manusia perlu dibiasakan melawan nafsunya dan diajarkan cara-cara melawannya. Namun semua ajaran tersebut harus dilakukan dengan penuh penghayatan, supaya menimbulkan suatu kesadaran yang mendalam. Banyak kita temukan orang yang rajin sembahyang namun perilakunya masih menjengkelkan orang banyak, atau orang sudah berkali-kali naik haji tetapi masih menipu dan korupsi. Hal itu dikarenakan ibadah-ibadah yang mereka lakukan hanya sebatas ikut-ikutan saja, atau bahkan (lebih celaka lagi) untuk tujuan mendapatkan pujian dan penghormatan dari orang lain. Ibadah itu mengandung kegiatan-kegiatan yang simbolik. Sujud dalam sembahyang, misalnya, adalah simbol dari penyerahan diri secara total kepada Allah. Manusia tidak ada apa-apanya di hadapan Allah yang Maha Besar. Sujud adalah simbol kepatuhan yang harus diterapkan dalam perilaku dan berbagai aktivitas sehari-hari. Contoh lain adalah ibadah haji. Ibadah ini penuh dengan kegiatan-kegiatan fisik yang bersifat simbolik, misalnya melontar jumrah. Kegiatan ini dilakukan sebagai ekspresi permusuhan kita dengan setan. Setan sebenarnya ada di mana-mana, bukan hanya di Mekkah itu. Lalu apa artinya orang melempar setan di sana, tetapi kemudian berteman lagi dengan setan sesampai di tanah airnya?
Kecerdasan spiritual bahkan juga dapat melampaui segala penderitaan fisik. Tidak sedikit kisah-kisah penderitaan fisik yang dialami kaum sufi, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah menderita sedikit pun. Sayyidina Ali dikisahkan pernah tertusuk anak panah dalam sebuah peperangan, tetapi tabib yang berusaha mencabutnya kesulitan sebab Imam Ali kesakitan. Tetapi kemudian beliau menyuruhnya mencabut ketika beliau sedang sembahyang. Tabib itu mematuhinya dan ternyata beliau tidak merasakan saktinya waktu itu. Jadi penderitaan fisik pun dapat dilampaui dengan kekuatan spiritual. Kepatuhan dan pelaksaan ajaran agama secara benar dan konsekuen adalah jalan menuju kesempurnaan jiwa atau kecerdasan spiritual.

Al-Qur’an Sebagai Obat bagi Jiwa

Al-Qur’an adalah pedoman menuju kesempurnaan jiwa, kecerdasan spiritual atau kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’an, Allah menegaskan:

وننزل من القرءان ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا

Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Al-Qur’an adalah petunjuk, ibarat kompas dan peta. Kita memerlukan kepada berbagai pengetahuan pelengkap untuk dapat memaknai al-Qur’an sebagai petunjuk secara lebih sempurna. Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman hidup seseorang, semakin mampu ia menjabarkan pesan al-Qur’an secara lebih baik dan mendalam.
Al-Qur’an harus disentuh secara langsung dan diserapi berbagai pesan yang terkandung di dalamnya. Banyak orang membaca al-Qur’an tetapi tetap awam akan apa sebenarnya yang dibicarakan al-Qur’an. Sebenarnya, jika seseorang membaca al-Qur’an dengan serius, maka ia akan merasakan bahwa setiap ungkapan al-Qur’an mengandung kritikan terhadap dirinya. Jadi, obat dan rahmat dari al-Qur’an bukan saja dari kemuliaannya sebagai kalam Allah tetapi yang lebih membumi adalah pesannya mengenai jalan keselamatan manusia.
Jiwa manusia, seperti tubuhnya juga, mengalami sehat dan sakit. Jika berbagai bakteri dan virus-virus menyerang tubuh kita, maka nafsu dan setan menyerang jiwa kita. Kecerdasan spiritual diperlukan adalah untuk mempertahankan diri terhadap serangan setan dan hawa nafsu tersebut, sama seperti kebutuhan kita akan kekebalan tubuh atau imunisasi.
Dalam al-Qur’an ada istilah “penyakit dalam hati” (al-Baqarah: 10) yaitu penderitaan yang dialami oleh orang-orang munafik. Sayangnya orang-orang yang disebut dengan istilah berpenyakit dalam hatinya itu tidak pernah menyadari dan bahkan tidak mau mengakui mereka sedang diserang oleh penyakit dalam hati atau batinnya. Ini yang merupakan problem terbesar umat manusia, yaitu ketika mereka “sakit” tetapi tidak merasakan mereka sedang “sakit”. Dan, dalam menghadapi orang-orang sakit seperti itu pun kita membutuhkan kepada bimbingan al-Qur’an.



Jalan Menuju Kesadaran Spiritual yang Lebih Tinggi

Kebahagiaan adalah cita-cita tertinggi manusia, hanya saja manusia mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai jalan menuju kebahagiaan itu. Orang mengira akan bahagia dengan uang, maka ia akan berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Orang yang menyangka kebahagiaan itu ada pada posisi tertentu atau jabatan, maka ia akan memperebutkan jabatan itu mati-matian.
Di mana sebenarnya letak kebahagiaan itu? Kebahagiaan sebenarnya ada di mana-mana. Sebagian orang hanya dapat menikmati kebahagiaan dalam kondisi tertentu, tetapi sebagian yang lain dapat hidup bahagia dalam kondisi apa pun. Kebahagiaan ada di dalam batin manusia itu sendiri. Orang yang mencari bahagia ke luar dirinya dan mengabaikan apa yang ada dalam batinnya, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan itu. Danah Zohar, seorang psikolog kontemporer yang memprakarsai kajian tentang kecerdasan spiritual mengajukan enam jalan menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Melalui jalan-jalan inilah seseorang dapat meraih kebahagiaan yang lebih sempurna.

1. Jalan Tugas

Ini adalah jalan pengabdian dan kesetiaan yang paling tulus; dalam Islam dikenal dengan istilah ikhlas. Orang yang beragama dengan ikhlas berarti melakukan semua kegiatannya karena tugas suci yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ia tidak mau menyeleweng dan ia tidak mengerjakannya karena imbalan dari manusia. Setiap manusia telah mengikat janji dengan Tuhan. Janji seperti ini dikenal dalam semua ajaran agama. Tetapi jalan ini dapat juga dikacaukan oleh kebodohan spiritual sebagai akibat dari prasangka-prasangka, dogmatisme, pikiran sempit, tidak sabar, egoisme dan menganggap diri sendiri paling benar dan bersih. Jalan Tugas ini kalau ditempuh dengan cerdas secara spiritual akan mengantarkan orang pada kebahagiaan yang luar biasa.

بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah: 112)

2. Jalan Pengasuhan

Jalan ini berkaitan dengan kasih sayang. Pengasuhan adalah simbol dari kasih sayang dan perlindungan. Ia sering diperlambangkan dengan Ibu atau Ibu Pertiwi. Banyak orang yang telah bekerja secara tulus sebagai orangtua, guru, perawat, volunter, pekerja sosial dan ahli terapi, mereka menemukan kebahagiaan tersendiri. Pengasuhan adalah jalan menuju kebahagiaan melalui kasih sayang dan cinta. Dunia ini penuh dengan penderitaan dan makhluk yang lemah tak berdaya; semua itu merupakan objek bagi Jalan Pengasuhan. Jalan Pengasuhan menuntun kita merasakan penderitaan orang lain, memiliki kepekaan sosial dan rasa humanis yang tinggi. Mencintai makhluk hidup, membantu orang-orang miskin dan menolong orang-orang lemah adalah bagian dari jalan menggapai kebahagiaan yang hakiki. Menghabiskan waktu untuk mengurangi penderitaan orang lain dengan perasaan yang tulus akan memberikan kita rasa kepuasan tersendiri. Dalam al-Qur’an, kepedulian sosial seperti itu sangat ditekankan; bahkan pendusta agama itu secara terang-terangan ditujukan la-Qur’an kepada orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan untuk memberi makan kepada orang-orang miskin (Surat al-Ma‘un). Namun, jalan ini juga harus ditempuh dengan hati-hati: gelora cinta kadang-kadang juga dapat menimbulkan api kecemburuan, amarah dan dendam. Sebagian binatang kadang-kadang memakan anaknya sendiri. Juga bukan tidak ada orangtua yang membunuh anaknya sendiri. Jalan tersebut kalau ditempuh dengan cara yang tidak cerdas, akan membawa mala petaka juga.

3. Jalan Pengetahuan

Pengetahuan membentang sepanjang jalan hidup manusia. Dalam segala kegiatan, kita membutuhkan pengetahuan, dari perencanaan-perencanaan yang kecil dan sederhana seperti makan dan minum sampai pada hal-hal yang besar dan rumit seperti membangun sebuah negeri. Pengetahuan dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya. Sayyidina Ali KW telah menunjukkan sepuluh kelebihan ilmu di atas harta, di mana ilmu mempunyai kualitas yang tidak tertandingi. Beliau misalnya mengatakan bahwa ilmu akan menjaga kita, sementara harta, kita yang harus selalu menjaganya.
Dalam Islam, pengetahuan itu dianggap sebagai warisan para nabi dan orang-orang yang berilmu ditinggikan kedudukannya oleh Allah (al-Mujadilah: 11). Namun demikian, pengetahuan juga seperti pisau bermata dua, ia dapat menyelamatkan dan dapat pula menghancurkan. Pengetahuan modern, misalnya, telah menyelamatkan banyak nyawa manusia melalui ilmu-ilmu medis, tetapi juga telah menghancurkan banyak manusia dengan berbagai teknologi persenjataan. Karena itu dalam Islam telah ditegaskan bahwa iman harus mendahului pengetahuan. Pengetahuan tanpa iman justru akan menggiring manusia pada kesombongan dan akhirnya saling menghancurkan.

4. Jalan Perubahan Pribadi

Orang yang menempuh jalan ini memerlukan integritas personal dan transpersonal. Dalam hal ini kita memerlukan kepekaan dan keberanian untuk menyelami kedalaman diri kita sendiri untuk mengukur potensi dan kekuatan kepribadian yang kita miliki. Kita harus dapat menyatukan berbagai fragmen dari diri kita yang terpecah-pecah sehingga menyatu dan utuh sebagai sebuah kepribadian kokoh. Dengan jalan seperti itu kita akan menemukan sumber kekuatan diri sehingga kita dapa melangkah dengan tepat ke arah mana yang membawa kebahagiaan yang hakiki bagi kita.
Perubahan pribadi amat penting untuk menuju kehidupan yang lebih baik, sebab manusia tidak pernah dilahirkan sempurna; perubahan-perubahan itulah yang mengantarkan kita menuju kesempurnaan. Dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Tuhan pun tidak mengubah kehidupan kita jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya.

ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم

Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (al-Anfal: 53).

5. Jalan Persaudaraan

Orang-orang yang telah sama-sama memilih jalan kebenaran itu bersaudara, demikian kata al-Qur’an (al-Hujurat: 10). Karena itu persaudaraan tersebut harus diperkokoh.
Persaudaraan akan mengajarkan kepada kita makna hidup yang lebih mendalam dengan menyadari bahwa kita tidak dapat hidup sendirian dan bahwa kita mempunyai tanggung jawab sosial yang besar. Kita akan semakin bermakna ketika kita dapat menjadi orang yang bermakna bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri. Semakin makna persaudaraan itu dihayati, semakin jelas makna hidup dirasakan.

6. Jalan Kepemimpinan yang Penuh Pengabdian

Seorang pemimpin yang hebat tidak mengabdi kepada suatu apa pun kecuali Tuhan. Yang paling penting bagi seorang pemimpin adalah membangkitkan dalam dirinya dan para pengikutnya semacam kesadaran yang dapat membimbing diri mereka kepada kebenaran. Pemimpin yang penuh pengabdian akan selalu mengikuti kerinduannya yang amat dalam untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk umatnya, sesuatu yang dianggap mustahil oleh orang lain sekalipun. Ia akan berusaha menemukan cara-cara yang berbeda bagi masyarakatnya agar mereka menjadi eksis.
Menjadi pemimpin memang penuh dengan tantangan, bahkan kadang-kadang nyawa pun harus dipertaruhkan, tetapi pemimpin yang telah berhasil dapat beristirahat dengan senyum.

Wallahu a’lam


Penutup



ولا تستوي الحسنة ولا السيئة ادفع بالتي هي أحسن فإذا الذي بينك وبينه عداوة كأنه ولي حميم(34)Fushshilat

إن أحسنتم أحسنتم لأنفسكم وإن أسأتم فلها فإذا جاء وعد الآخرة ليسوءوا وجوهكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أول مرة وليتبروا ما علوا تتبيرا(7)al-Isra’

من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها ومن جاء بالسيئة فلا يجزى إلا مثلها وهم لا يظلمون(160)al-An’am

وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين(77) وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين(77)al-Qashash


الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون(275)al-Baqarah

إن الذين اتقوا إذا مسهم طائف من الشيطان تذكروا فإذا هم مبصرون(201)al-A’raf

الذين ءامنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب(28)al-Ra’d

في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا يكذبون(10)al-Baqarah

إن تمسسكم حسنة تسؤهم وإن تصبكم سيئة يفرحوا بها وإن تصبروا وتتقوا لا يضركم كيدهم شيئا إن الله بما يعملون محيط(120)Ali ‘Imran

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ يَعْنِي ابْنَ خَالِدٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ كَرَمُ الرَّجُلِ دِينُهُ وَمُرُوءَتُهُ عَقْلُهُ وَحَسَبُهُ خُلُقُهُ أحمد

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ كَرَمُ الْمُؤْمِنِ تَقْوَاهُ وَدِينُهُ حَسَبُهُ وَمُرُوءَتُهُ خُلُقُهُ وَالْجُرْأَةُ وَالْجُبْنُ غَرَائِزُ يَضَعُهَا اللَّهُ حَيْثُ شَاءَ فَالْجَبَانُ يَفِرُّ عَنْ أَبِيهِ وَأُمِّهِ وَالْجَرِيءُ يُقَاتِلُ عَمَّا لَا يَئُوبُ بِهِ إِلَى رَحْلِهِ وَالْقَتْلُ حَتْفٌ مِنْ الْحُتُوفِ وَالشَّهِيدُ مَنْ احْتَسَبَ نَفْسَهُ عَلَى اللَّهِ مالك

kemuliaan seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya
diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya

STUDI ISLAM DAN TANTANGAN KEHIDUPAN GLOBAL


“Studi Islam” adalah istilah yang masih menimbulkan makna ganda. Bagi kalangan non-Muslim, Studi Islam berarti kajian historis terhadap agama dan budaya masyarakat Muslim. Perhatian mereka terfokus pada realitas kehidupan umat Islam dan pandangan (termasuk ideologi, filsafat dan hukum) serta budaya yang dibangun umat Islam. Sebagian besar dari karya hasil pemikiran mereka hari ini telah menjadi konsumsi kebanyakan akademisi Muslim sendiri. Karangan-karangan mereka umumnya bersifat akademik dan kritis; ini tentu saja sangat mudah dilakukan karena mereka adalah “orang luar”. Karya-karya mereka yang muncul pada masa awal lahirnya Studi Islam di dunia Barat memang sangat bernuansa kolonialisme dan permusuhan, karena tujuan awal dari pendirian pusat-pusat Studi Islam dan Oriental adalah untuk kepentingan penjajahan. Sama dengan dampak Perang Salib dan mungkin juga kristenisasi di Aceh, upaya-upaya permusuhan tersebut lambat laun membawa dampak tersendiri terhadap perubahan pemikiran dan pandangan dunia Barat terhadap dunia Islam. Sangat banyak juga kajian akademik yang mereka lakukan telah memberikan manfaat bagi peradaban Islam sendiri, terutama sekali dalam membongkar berbagai dokumen dan data-data sejarah yang langka. Perubahan-perubahan itu terjadi akibat dari interaksi dan komunikasi langsung yang terjalin dengan baik antara kedua belah pihak, terutama sekali setelah banyak munculnya para pakar Studi Islam, sosiolog dan antropolog dari kalangan Muslim sendiri yang bersikap akademik dan kritis serta dewasa dalam merespons dunia Barat yang sebelumnya mutlak dianggap sebagai musuh.

Dalam konteks umat Islam sendiri, Studi Islam adalah semacam payung yang menaungi seluruh ilmu, baik asli hasil penelitian, teori-teori, pemikiran, filsafat sampai pada bentuk-bentuk pemikiran keagamaan tradisional, seperti kalam, fikih, tafsir dan hadis. Studi Islam dalam pengertian seperti ini di dunia Islam umumnya dikaji tidak secara kritis dan kadang kala karya-karya yang dihasilkan pun cenderung berulang-ulang. Pendidikan di dunia Islam kurang kreatif dan inovatif. Hal ini tentu saja disebabkan banyak faktor terutama sekali terkait dengan masalah kemiskinan, baik mental maupun struktural, ketertutupan, tradisi dan juga karena masih kurangnya sumber daya manusia. Di samping itu, pemerintah-pemerintah di dunia Islam juga banyak yang korup, menggunakan kekuasaan untuk hidup bermewah-mewah, kurang peka atau kurang memiliki perasaan terhadap kaum lemah; hal ini sangat berdampak terhadap pendidikan dan akhirnya terhadap pembangunan masyarakat dan budaya.

Studi-studi Islam yang dilakukan di dunia Barat memang luar biasa karena mereka memiliki fasilitas, sumber daya manusia, semangat akademik, dana dan juga rujukan yang sangat memadai. Penelitian-penelitian yang mereka dapat dikatakan secara keilmuan sangat berkualitas, karena secara tradisi dan kelembagaan mereka tidak dapat “main-main” dalam melakukan tugas tersebut. Keseriusan dalam bekerja, profesionalisme, kejujuran akademik dan kedisiplinan hampir saja merupakan karakteristik kehidupan keilmuan mereka, di mana hal serupa sangat sulit di temukan dalam kehidupan keilmuan umat Islam hari ini.

Ada beberapa hal yang dapat didiskusikan menyangkut persoalan-persoalan Studi Islam seperti yang disebutkan di atas, yakni terkait dengan karakteristik budaya orang-orang yang melakukan kajian itu sendiri. Para peneliti di Barat (baik orang Barat sendiri atau pun orang Timur yang telah terdidik secara Barat) melakukan kajian keilmuan dengan berangkat dari sikap: liberal (kebebasan), kesadaran plural (kemajemukan) dan sekuler (duniawi). Mereka merasa bebas mengekspresikan pandangannya karena tidak merasa takut ada yang marah atau mengancam. Walaupun dalam kenyataannya hal itu terjadi (dan itu datang dari dunia Islam). Kebebasan seperti ini telah menjadikan mereka dinamis, lebih aktif dan kreatif. Di dunia Islam, karena umat Islam memandang kebenaran-kebenaran itu absolut, maka sikap seperti ini sulit ditumbuhkan. Ketakutan ada di mana-mana. Bahkan sampai hari ini, murid yang takut dimarahi guru juga masih ada. Jadi kebebasan itu masih sangat mahal di sini.

Pluralisme atau kesadaran akan kemajemukan di Barat telah menjadi landasan hidup yang penting, baik secara politik maupun keagamaan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap keilmuan mereka. Ketika orang-orang menyadari bahwa mereka banyak dan beragam serta sadar bahwa keragaman itu sendiri adalah fakta kehidupan yang tidak mungkin dilawan, maka mereka tidak merasa perlu memaksakan orang lain mengikuti kehendaknya; yang perlu dilakukan mencari solusi-solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi persama melalui negosiasi-negosiasi dan dialog yang sehat. Dengan demikian dalam kajian keilmuan tidak ada klaim-klaim kemutlakan dan siapa saja harus merasa siap untuk dikritisi semua hasil karyanya tanpa merasa terhina. Sikap takzim, respek dan rasa hormat yang di bangun dalam tradisi masyarakat Timur dan dunia Islam kadang-kadang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk bersikap arogan. Penghormatan itu sering kali dipaksakan, bukan tumbuh dari kesadaran yang ikhlas. Tradisi dan bahkan ajaran-ajaran agama sering dikelabui untuk kepentingan pribadi dan golongan. Itu disebabkan pandangan yang monolitik, dan perasaan ingin menyalahkan semua pendapat dan pemikiran orang lain. Dalam dunia seperti itu, perbedaan amat menakutkan, karena perbedaan dan sikap kritis suatu waktu dapat menjadi ancaman kekuasaan.

Terakhir adalah sekularisme, sebuah istilah yang amat menakutkan, karena seolah-olah ia akan langsung mengirim “kita” ke neraka. Sekularisme adalah pandangan keduniaan, di mana segala sesuatu dikaitkan dengan kehidupan dunia dan kepentingan hidup di dunia. Sikap seperti ini akan menumbuhkan optimisme karena orang berbuat untuk mendapatkan hasilnya di dunia secara nyata. Dunia di sini tidak berarti dunia yang rendah dan tidak bermoral, tetapi kehidupan di dunia atau di atas muka bumi ini. Kenyataan-kenyataan hidup tidak dapat diabaikan, sebab menyangkut dengan hajat kehidupan manusia secara beragam. Ada orang kaya dan ada orang miskin, ada orang bernasib baik dan ada juga orang bernasib malang. Kenyataan-kenyataan seperti ini tidak dapat ditanggapi secara pasif dan pasrah. Akibatnya, orang kaya akan selalu berkata “sabarlah wahai saudara ku” kepada orang miskin, dan orang miskin akan berkata “bersyukurlah karena Tuhan telah memberkatimu” kepada orang kaya. Sementara itu orang kaya tidak pernah merasa lagi harus bersabar dan orang miskin juga lupa bagaimana bersyukur kepada Tuhan. Sikap itu kemudian mengkristal dan membuat setiap orang pasrah tetapi tetap kecewa. Sekularisme menghendaki sikap yang jujur pada kenyataan hidup di dunia. Hal ini tentu saja akan terserah bagaimana kita membangun sikap dan menanggapinya. Artinya, jika kenyataan hidup ini dilihat sebagai proses materi semata maka kita akan menjadi atheis, sementara jika kita memandangnya dengan mata hati dan spiritualitas maka ia akan menjadi tantangan untuk kesempurnaan iman kita.

***

Beberapa bidang Studi Islam dapat dijadikan contoh di sini, yaitu: fikih, tafsir, filsafat dan perbandingan agama. Fikih adalah nalar terhadap sumber ajaran Islam yaitu Qur’an dan hadis. Hasil nalar ini telah tertuang dalam jutaan volume literatur di dunia Islam sepanjang sejarah Islam. Ini adalah sebuah kekayaan khazanah pemikiran Islam. Namun tidak semua umat Islam menyadari kekayaan ini, buktinya umat Islam umumnya masih sangat tidak respek terhadap berbagai perbedaan pendapat yang merupakan refleksi dari kekayaan khazanah tersebut. Di samping itu, kajian-kajian dalam bidang fikih masih berulang-ulang pada persoalan-persoalan yang sama, tidak melampau nalar kritis dan masih terkesan bahwa penelitinya takut untuk “menyeleweng” dari paradigma yang telah mapan. Fikih (klasik) juga kurang mempertimbangkan realitas sosial, artinya teks lebih dipaksakan untuk mengalahkan realitas.

Tafsir sering kali dilihat sebagai upaya memahami firman Tuhan yang teramat suci bagi manusia yang berlumuran dosa. Akibatnya perasaan takut untuk memberi makna yang lebih realistis dan mendunia atau sekuler sangat menghantui para mufassir.

Kajian filsafat Islam pada awalnya adalah hasil dari pengembaraan ke dunia yang lain. Umat Islam pada waktu itu demikian bersemangat untuk mengkaji ilmu pengetahuan sehingga muncullah pernyataan “ambillah hikmah, dari mana saja sumbernya.” Akan tetapi kemudian filsafat Islam menjadi semacam rasionalisasi terhadap dogma-dogma keyakinan Islam semata. Filsafat bergerak mengikuti frame ideologi yang telah dibangun sebelumnya, bukan lagi kajian kritis untuk mencari “kebenaran.”

Perbandingan agama memiliki fenomena yang unit dalam kajian Islam. Sebab bagi umat Islam yang mengkaji perbandingan agama, Islam telah terlebih dahulu diposisikan sebagai kebenaran mutlak, dan kajian perbandingan tersebut tidak lebih dari upaya mencari kekeliruan agama lain semata untuk memunculkan keunggulan agama Islam. Kajian agama kontemporer tidak dilakukan dengan semangan seperti itu. Perbandingan agama bukan untuk mencari mana agama yang benar dan mana agama yang salah, tetapi untuk memperkaya pemahaman manusia terhadap agama-agama yang ada atau yang dikaji itu. Setiap agama memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri sebagai bagian dari intuisi, hasil nalar, imajinasi dan pemikiran manusia dalam merespons dunia dan kehidupan ini. Suatu agama bisa saja menjadi inspirasi, memberikan kritikan dan semangat tertentu bagi agama (pemeluk agama) yang lain. Semangat seperti inilah yang dicari dan dikembangkan dalam studi perbandingan agama kontemporer. Melakukan perbandingan agama dengan semangat ortodoksi, fanatisme dan permusuhan tidak akan memberikan keuntungan bagi pemeluk agama mana pun.

***

Pada akhirnya, perlu ditegaskan bahwa Studi Islam yang berkembang di dunia Islam dewasa ini masih membutuhkan semangat dan keberanian kaum Muslim untuk melangkah lebih maju, lebih profesional dan terarah untuk mencapai dan membangun sebuah tradisi keilmuan yang lebih sehat, berkualitas dan memiliki harapan yang lebih cerah ke depan. Kita tidak perlu takut untuk mengambil hikmah dari mana pun sumbernya, walau dari orang-orang yang kita anggap telah memusuhi kita. Strategi untuk maju dapat dipelajari di mana-mana. “Musuh kita adalah yang paling mungkin memiliki strategi lebih baik di bandingkan sahabat kita.”

Wallahu a‘lam

ISLAM DAN DEMOKRASI


Islam adalah agama atau sistem hidup yang mengatur segala aspek kehidupan. Agama-agama selain Islam juga mengajarkan hal yang lebih kurang sama, yaitu bahwa mereka memiliki aturan-aturan untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan hidup lahir dan batin. Dalam sejarah umat manusia, agama memainkan peran penting. Agamalah yang telah menjadi sumber inspirasi bagi berbagai peristiwa hebat dan penting dalam sejarah. Bahkan peperangan, perdamaian, bangunan dan arsitektur juga diinspirasikan oleh pandangan keagamaan tertentu. Terkait dengan persoalan kenegaraan, peran agama telah mengalami pasang surut.
Jika merujuk kepada kehidupan Nabi Muhammad tampak bahwa Islam tidak memisahkan aspek-aspek kehidupan tertentu dari agama. Islam memandang kehidupan manusia menyatu secara integral antara aspek-aspek keduniaan dan spiritualitas. Nabi sendiri adalah Kepala Negara atau pemimpin dari umatnya; beliau memimpin pasukan perang, mengajarkan sembahyang kepada sahabat-sahabatnya, membimbing sikap moral masyarakat, memberikan keteladanan dan memutuskan perkara-perkara. Jadi Islam mengajarkan kebaikan dan mengisi kesadaran spiritual ke dalam seluruh aktivitas yang dikerjakan manusia di dunia ini. Dengan kata lain, Islam tidak memisahkan antaran dunia dan akhirat, antara agama dan negara; dunia adalah tempat mencari bekal untuk akhirat, dan agama adalah sumber bimbingan untuk menata seluruh aspek kehidupan, termasuk negara.
Fenomena seperti ini, yaitu keberadaan otoritas agama di atas negara, bukanlah hal baru dalam sejarah kerajaan dan negara-negara di dunia. Islam bukan yang pertama memulainya. Jauh sebelum Islam datang sudah ada raja-raja yang bertitah atas nama dewa, atau negara yang diatur di bawah daulat Tuhan. Raja-raja Bani Israil, misalnya, menetapkan aturan-aturan sebagaimana difirmankan Tuhan. Bagi mereka, Penguasa langit dan bumi adalah juga penguasa atas manusia sebagai hamba-Nya. Orang-orang Romawi yang kemudian menerima ajaran Nasrani, juga menjadikan dogma agama tersebut sebagai landasan bagi penataan seluruh aspek kehidupan mereka. Ringkasnya, ketundukan manusia kepada ajaran agama sebagai sumber otoritas yang berdiri di atas segala otoritas yang lain, termasuk negara, telah dikenal sejak zaman dahulu kala. Negara dianggap tidak mungkin sepenuhnya menjadi milik rakyat – dan dalam kenyataannya memang jarang sekali negara menjadi milik rakyat – tetapi milik Tuhan.
***
Mengenai kenegaraan dalam Islam telah terjadi perdebatan yang panjang antara orang-orang yang berpendapat bahwa pengurusan negara merupakan bagian dari ajaran agama dan orang-orang yang berkeyakinan bahwa urusan agama bersifat pribadi dan berada di luar tugas negara. Sebagian orang menganggap agama dan negara harus menyatu, sementara yang lain memandang lebih tepat apabila antara keduanya dipisahkan. Dalam hal ini muncul pertanyaan: bukankah Nabi Muhammad telah menunjukkan keteladanan yang cukup jelas? Mengapa masih dianggap ada perdebatan lagi tentangnya?
Nabi Muhammad memang telah memberikan keteladanan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan, tetapi Nabi tidak mendeklarasikan dirinya sebagai Kepala Negara dan juga tidak menegaskan bahwa model kenegaraan yang beliau perlihatkan sebagai satu-satunya yang harus diikuti. Nabi diangkat oleh Allah menjadi Rasul, tetapi masyarakat yang telah mengangkat beliau menjadi pemimpin di tengah-tengah mereka. Nabi diterima sebagai Kepala pimpinan masyarakat karena masyarakat sepakat menerima hal itu sebagai ketetapan yang “demokratis”. Otoritas Nabi sebagai Rasul Allah hanya berlaku dalam menyampaikan wahyu dan dalam menetapkan hal-hal tertentu yang ditegaskan sendiri oleh Nabi sebagai hal yang harus diikuti. Sementara di luar hal tersebut maka terserah kepada umat untuk mengembangkannya sendiri. Di situlah letak penting dan manfaatnya akal dan nalar manusia. Jika semuanya ditetapkan Tuhan maka apa lagi yang tersisa bagi manusia dalam memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan, seperti akal dan pemahaman.
***
Itulah demokrasi, yakni pemberian kebebasan bagi umat atau masyarakat dalam upaya mengatur dirinya terkait dengan kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi besar yang kerap kali disebut dengan negara. Islam tidak mengatakan hal itu dengan istilah demokrasi. Namun apa yang dikatakan Nabi dalam sebuah sabda beliau, bahwa “umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan”, merupakan rumusan kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berorganisasi yang paling mendasar. Otoritas tertinggi dalam menetapkan sebuah keputusan bersama ada di tangan rakyat. Inilah yang dalam istilah modern disebut Demokrasi.
***
Demokrasi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani: dēmos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Jadi demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Istilah ini memang sudah sangat tua dan tentu saja telah mengalami perubahan yang signifikan secara linguistik, apalagi sekarang orang lebih mengenal istilah demokrasi sebagai sistem kenegaraan versi Barat atau berasal dari budaya Barat. Meski secara etimologis istilah tersebut menunjukkan kepada beberapa pengertian dasar yang sangat signifikan, perkembangannya telah melampaui isu-isu semantik yang dikandungnya. Berbagai pertanyaan muncul ketika dikatakan bahwa sebuah kekuasaan harus dikembalikan ke tangan rakyat:
1. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan? (Apakah ia terkait dengan posisi semata? Apakah persoalan kekayaan masuk di dalamnya? Bagaimana dengan kekuasaan dalam menentukan keputusan? Bagaimana dengan munculnya kekuasaan yang memaksa?)
2. Sebesar mana kekuasaan tersebut? (Sebuah organisasi biasa, sebuah kota, sebuah negara, seluruh dunia? Dalam batasan mana demokrasi itu dapat diterapkan dengan baik? Atau tidak ada batas?)
3. Siapa yang dimaksud dengan rakyat? (Semua individu, termasuk anak-anak? Sebatas mana umurnya? Sebatas mana pendidikannya sehingga ia pantas dianggap layak memberikan pendapat? Apakah semua pendapat dianggap sama antara yang berpendidikan tinggi dan yang berpendidikan rendah?)
4. Apakah semua pikiran rakyat itu dapat dianggap sama? (Bagaimana jika rakyat berbeda pendapat? Mana yang harus diambil? Apakah pikiran mayoritas merupakan yang terbaik? Mayoritas yang mana?)
Sebenarnya sangat banyak pertanyaan yang perlu diajukan untuk mengukuhkan validitas penerapan sebuah sistem demokrasi dalam kehidupan suatu masyarakat. Namun tidak dapat disangkal bahwa demokrasi telah dianggap menjadi acuan dasar berorganisasi dan bernegara di zaman ini.
Lima abad sebelum Masehi istilah ini telah digunakan bangsa Yunani untuk merujuk pada sistem beberapa negara kota di negeri itu, terutama sekali di Athena. Negara-negara itu benar-benar di bawah kendali rakyat, dan suara rakyat adalah keputusan yang final. Namun sekarang, demokrasi telah dianggap sebagai landasan bagi peradaban Barat dan ia disebarkan ke seluruh dunia sebagai acuan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat yang paling mendasar. Siapa pun yang bersikap memaksakan kehendaknya kepada orang lain akan disebut tidak demokratis. Tetapi sayangnya, banyak orang yang memaksakan kehendaknya dengan cara yang “licik” sehingga tidak terpantau oleh kebanyakan orang, maka ia terhindar dari tuduhan tidak demokratis.
***
Disebabkan oleh problem-problem seperti itulah diperlukan kajian yang lebih dalam mengenai konsep demokrasi yang lebih tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat. Masyarakat dengan pandangan dunia dan budaya berbeda bisa jadi membutuhkan konsep demokrasi yang berbeda pula.
Sebagai mana telah disebutkan, demokrasi telah mengalami perubahan yang sangat banyak sejak ia diterapkan oleh masyarakat Yunani lima abad sebelum Masehi sampai sekarang, atau sampai masyarakat Amerika memproklamasikan dirinya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Ketika Presiden Amerika Serikat yang ke-16 Araham Lincoln (1809-1865) menyatakan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ia telah menguraikan unsur paling hakiki dari pemerintahan yang demokratis.
Akhir-akhir ini, isu yang paling hangat dibicarakan terkait dengan demokrasi adalah apakah ia bertentangan dengan Islam atau sejalan dengan Islam. Kaum Muslim yang Westophobic dan non-Muslim yang Islamophobic, secara umum, meskipun karena alasan berbeda, sepakat bahwa Islam dan demokrasi tidak kompatibel. Bagi kelompok pertama, Islam adalah ajaran Tuhan dan demokrasi adalah ciptaan manusia yang berdasar pada kehendak dan kepentingan manusia sendiri. Ketetapan Allah tentu saja harus didahulukan dan ketetapan manusia harus dikesampingkan Sementara itu kelompok kedua menganggap bahwa Islam tidak lain dari hasil pikiran picik dan sangat takut terhadap kemajuan serta anti kemodernan. Karena itu demokrasi sebagai hasil kecerdasan manusia modern dalam mengembangkan tatanan hidup bernegara yang lebih baik tentu saja tidak sejalan Islam yang “kolot” dan ketinggalan zaman.
***
Kedua paham di atas tentu saja tidak demokratis pada dirinya sendiri. Demokrasi pada dasarnya adalah sistem yang rumit dan mungkin juga paling sulit diterapkan. Demokrasi tidak didesain untuk membentuk sistem bernegara yang efisien, tetapi untuk pertanggung jawaban. Karena itu syarat paling penting untuk keberhasilan demokrasi adalah pendidikan yang lebih baik dan merata dalam masyarakat. Demokrasi mensyaratkan publik yang informatif, yang mengenal siapa pemerintahnya dan apa problem yang mereka hadapi. Sedangkan penyakit demokrasi yang paling berbahaya adalah perpecahan.
Kembali kepada persoalan Islam dan demokrasi, alangkah baiknya dilakukan kajian tentang peran rakyat dalam memperlancar roda pemerintahan. Sejauh mana rakyat dapat berpartisipasi dengan baik untuk mengkritiki proses pemerintahan, maka sejauh itu pula demokrasi dapat berjalan dengan baik. Jika rakyat telah berperan dalam menentukan jalannya roda pemerintahan, maka apakah itu bukan demokrasi dan bukankah hal tersebut yang dikehendaki oleh Islam?
Wallahu a’lam.

Langsa, 21 Desember 2007

ISLAM DAN PLURALISME


1. Pendahuluan


FUTURE historians, it has been said, will look back upon the twentieth century not primarily for its scientific achievements but as the century of the coming-together of peoples, when all mankind for the first time became one community.

Abad ini memperlihatkan kesadaran baru umat manusia. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan kontemporer yang memperkenalkan berbagai kemudahan bagi manusia dalam beraktivitas, mata manusia menjadi semakin terbuka terhadap berbagai misteri mengenai dirinya. Berbagai cabang ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian memberi tahu kita berbagai aspek dari kehidupan manusia dan mempersiapkan kita menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tiba, meski kelihatan tidak akan pernah berakhir. Namun, setidak-tidaknya, manusia semakin sadar betapa tidak ada batasnya cakrawala, imajinasi dan ilmu pengetahuan; dan betapa kecil dirinya di tengah-tengah segala eksistensi.
Kesadaran ini meniscayakan manusia melihat dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan tidak pernah berhenti berproses untuk mencapai yang lebih baik. Kebenaran tidak lagi berhenti pada sebuah titik, tetapi bergerak dan dinamis. Kebenaran tidak dapat lagi dianggap absolut dan monopoli orang atau kelompok tertentu; kebenaran harus selalu diuji dalam konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Jika kesadaran ini benar telah tumbuh dengan baik, maka manusia akan enggan menciptakan permusuhan dan amat malu bersikap arogan; manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sebagai makhluk yang mungkin saja bersalah dan enggan membuat klaim-klaim kebenaran dengan cara-cara yang merendahkan orang lain. Dengan demikian, persaudaraan kemanusiaan menjadi sesuatu yang amat mungkin.
2. Kesadaran Historis
Sejarah mengingatkan manusia akan kekayaan khazanah peradaban yang luar biasa. Sejarah juga menyadarkan manusia akan keragaman warna hidup yang mereka jalani dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan yang mereka alami dan diversitas lingkungan sosial yang telah terbentuk sepanjang lintasan waktu yang pernah mereka kenal. Sejarah adalah masa lalu yang tidak mungkin lagi diubah, tetapi ia dapat menjadi pelajaran berharga bagi manusia yang menyadarinya. Sejarah adalah Mahaguru, dan waktu adalah Universitasnya. Tidak ada orang yang dapat melawan waktu; dan tidak ada orang yang mengabaikan sejarah melainkan ia juga akan diabaikan. Karena itu sejarah amat penting untuk membangun kesadaran bahwa manusia hidup dengan cara yang sangat beragam dan mereka tidak pernah berhenti berubah. Kesadaran historis inilah yang mengawali konsep pluralisme.
Kesadaran historis ditekankan karena history berperan amat penting dalam menampilkan wajah peradaban dan agama manusia yang sangat variatif. Orang yang mengenal sejarah akan mengenal dengan baik posisi dirinya di tengah-tengah perubahan dan ia akan sadar bahwa ternyata waktu telah menghapus banyak hal, menimbulkan banyak hal dan mengubah arah kehidupan. Sebagai contoh, kita dapat belajar dari kenyataan, bahwa banyak tokoh atau pemikir (Muhammad Abduh, misalnya) yang dibenci, dicela dan dimusuhi pada suatu zaman, kemudian namanya menjadi harum dan pikiran-pikirannya dikagumi di zaman yang lain. Fakta ini kiranya menjadikan kita bersikap hati-hati ketika berhadapan dengan pikiran-pikiran para pemikir yang melampaui zamannya. Mereka seharusnya diberikan apresiasi, bukan malah dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak layak serta dimusuhi.
Orang yang membaca sejarah Islam dengan baik, akan mampu melihat dirinya beserta segala keyakinan, paham dan lingkungan sosial yang ikut bersamanya sebagai bagian dari kekayaan peradaban Islam yang sangat luas, beragam dan tidak satu warna. Sejarah adalah sebuah kesaksian betapa manusia telah menempuh jalan yang sangat banyak untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kebaikan dan kesejahteraan; sejarah juga menjadi saksi betapa banyak manusia atau generasi yang menyesal karena kebodohannya.

3. Konsep Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan satu fakta kemanusiaan, yaitu keragaman dan kemajemukan. Pluralisme meniscayakan sikap lapang dada dan pengakuan yang tulus akan segala perbedaan kemanusiaan sebagai fakta yang harus dipelihara dan tidak perlu diubah. Dalam pluralisme, keragaman dan perbedaan itu diakui dan tidak untuk dileburkan supaya menjadi satu, mono atau tunggal.
Pluralisme menolak segala bentuk absolutisme, pembenaran terhadap diri sendiri dan penafian terhadap orang lain. Pluralisme melampaui segala penghalang kemajemukan, sebab pluralisme berangkat dari pengakuan akan keterbatasan segenap pencerapan, penafsiran dan penggapaian manusia. Manusia tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari subjektivitas, emosi, kepentingan, keterbatasan nalar, keterbatasan perspektif dan daya cakup. Karena itu pluralisme merupakan ketulusan menerima keyakinan, paham, pandangan dan tafsiran orang lain tidak pada tingkat inferior. Semua keyakinan keagamaan, misalnya, adalah setaraf dalam sisi kemanusiaannya, meskipun tidak sama – setaraf dalam pengertian tidak ada yang superior dan tidak ada yang inferior. Pluralisme tidak berarti memandang semua agama sama, seperti dipersepsikan kebanyakan orang; pluralisme adalah kesadaran yang menghindarkan seseorang dari sikap gegabah menjustifikasi orang lain sebagai keliru, sesat, bodoh atau apa pun yang bersifat merendahkan. Seorang pluralis adalah orang yang selalu membuka diri kepada kebenaran dan tidak berhenti belajar.
Karena itu, pluralisme mensyaratkan relativisme: kebenaran, sejauh menyangkut penalaran manusia, tidak ada yang absolut. “Kebenaran” selalu terkait dengan berbagai konteks dan kebutuhan kesejahteraan umat manusia. Relativisme soal kebenaran tidak berarti relativisme yang tidak terkendali, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas dan tidak ada yang dapat disepakati. Relativisme di sini memberi makna bahwa kebenaran (dalam konteks manusia) selalu dapat berkembang dan dapat dikoreksi; kebenaran selalu terbuka dan berproses menuju tingkat yang lebih tinggi.
Dengan pandangan seperti itu, pluralisme membuka ruang yang longgar untuk dialog dan persaudaraan kemanusiaan. Pluralisme bukan sekedar toleransi dalam pengertian membiarkan setiap orang bebas dengan keyakinannya “asal tidak ribut-ribut”, tetapi lebih jauh dari itu, pluralisme menghendaki seseorang menghargai dan bahkan tidak pernah segan belajar dari orang lain atau dari umat lain. Oleh sebab itu, pluralisme kadang-kadang amat menyakitkan bagi sebagian orang, ketika ia bersikap fanatik dan arogan.
4. Kemunculan Pluralisme Agama
Sejarah agama penuh dengan berbagai perdebatan, konflik dan permusuhan. Sering kali sebuah agama bukan hanya memusuhi dan membenci agama lain, tetapi juga memiliki konflik di dalam dirinya sendiri. Pertentangan dan bahkan perang di antara kelompok-kelompok dalam satu agama bukanlah cerita yang mengejutkan. Sejarah umat Yahudi, Kristen dan Islam penuh dengan lumuran darah saudaranya sendiri. Umat Kristen di Eropa sebelum zaman pencerahan saling berperang di antara mazhab-mazhab yang berbeda. Dalam Islam, tidak lama (hanya dalam hitungan tahun) setelah Nabi Muhammad wafat, umatnya saling membunuh karena persoalan kepemimpinan.
Lebih jauh lagi, dalam agama-agama telah muncul pula apa yang disebut oleh orang-orang Kristen dengan Inkuisisi, yaitu pengadilan agama terhadap kaum bid’ah dan sesat. Ketika dalam sebuah agama muncul otoritas tertentu dalam memberi makna atas teks ajaran agama, maka segala tafsiran yang berbeda akan dituduh sesat dan bahkan kafir serta dianggap halal darahnya. Banyak ilmuwan telah dibunuh karena hal tersebut. Mereka digantung atau dipancung, hanya karena mengeluarkan opini berbeda dalam memberikan tafsiran terhadap masalah tertentu yang terkait dengan agama atau apa yang mereka yakini sebagai bagian dari agama.
“Muak” terhadap konflik dan permusuhan yang bukan hanya menyedihkan tetapi juga mengerikan itulah yang telah melahirkan gagasan dari sejumlah para pemikir untuk mewacanakan hidup damai tanpa permusuhan atas dasar perbedaan agama dan mazhab. Dalam masyarakat Kristen Eropa, perkembangan ini terjadi secara sistematis, sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh, pemikir atau filosof yang melakukan kritik terhadap agama. Mereka adalah para pendeta atau agamawan yang kemudian melakukan kritik keras terhadap keyakinan mereka sendiri. Perkembangan tersebut menjadi semakin jelas dalam wacana-wacana berikutnya di abad 19 dan 20 ketika John Hick berbicara mengenai berbagai model pluralisme agama. Hick pernah mempertanyakan: bukankah lebih dari 90 % penganut agama menganut agama yang diwariskan orangtua atau masyarakatnya? Lalu bagaimana kita dapat mengklaim kebenaran absolut dari agama tertentu yang kita anut? Berangkat dari kenyataan tersebut Hick mencoba memformulasikan paradigma baru dalam memahami agama. Pandangan Kristen yang percaya keselamatan hanya ada melalui Kristus atau ajaran Gereja dikritiknya dengan tajam. Akhirnya, di abad 21, dialog antar agama terutama antara Kristen dan Islam dalam bentuk yang lebih sehat dan terbuka menjadi semakin mendapat penguatan.
5. Peran Teologi
Teologi adalah interpretasi atas keyakinan keagamaan. Teologi berarti pemaknaan terhadap Tuhan atas dasar pemahaman dan pengetahuan manusia. Teologi merupakan interpretasi manusia. Akan tetapi, penggagas-penggagas teologi begitu berani, dan bahkan dengan sikap arogan, mengklaim kebenaran dirinya dan menolak setiap pemahaman yang berbeda sebagai bidah, sesat dan bahkan kufur. Teologi inilah yang telah memainkan peran penting pembentukan sikap keberagamaan kebanyakan umat manusia. Teologilah yang telah menentukan bagaimana kita bersikap terhadap orang lain. Teologi pula yang telah “memasukkan orang ke surga dan ke neraka.”
Karena itu seharusnya teologi perlu dicermati kembali dengan baik dan direkonstruksi untuk mewadahi kebenaran yang lebih tercerahkan. Teologi perlu dikaji kembali dengan melihat konteks di mana ia tumbuh dan dirujuk kembali secara lebih proporsional kepada teks ajaran agama yang asli. Dalam Islam, teologi telah menjadi sumber perpecahan yang amat dahsyat dan bahkan perang yang mengerikan. Perdebatan teologis bukan hanya menciptakan permusuhan dengan non Muslim, tetapi juga sesama Muslim – tidak berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Kristen di seluruh dunia. Namun sekarang, dengan kesadaran baru, masyarakat agama akan melihat teologi dengan pandangan yang berbeda. Kesadaran baru inilah yang harus terus menerus diwacanakan dan diperkaya agar menjadi semakin solid dalam melahirkan teologi yang lebih manusiawi dan bersaudara.
6. Paradigma Baru dan Hermeneutika
Perjalanan sejarah manusia melahirkan paradigma-paradigma. Thomas Kuhn adalah di antara para pemikir yang banyak berbicara mengenai paradigma. Kuhn mengatakan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan telah terjadi banyak perubahan paradigma, dan perubahan paradigma tersebut akan menandai model berpikir baru dalam suatu masyarakat. Perubahan paradigma akan dirasakan amat berat oleh para pejuangnya sebab ia akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Pluralisme adalah bagian dari perubahan paradigma tersebut, sekurang-kurangnya, untuk masyarakat kita sekarang ini. Dalam kajian keagamaan, perubahan paradigma ini sangat terasa pada penekanan penafsiran ajaran agama yang tidak lagi dianggap absolut. Penafsiran adalah human institution, karena itu ia relatif. Model pembacaan dan pemaknaan terhadap kitab suci selama ini digugat untuk digantikan dengan yang baru, maka sebagian agamawan akan merasa dihina.
Dalam, katakanlah, paradigma baru ini, pembacaan terhadap kitab suci dilakukan dengan cara bergerak melampaui the “innocent” manner dan melangkah ke model baru: the “no innocent” manner. Pembacaan model yang kedua inilah, seperti dikatakan González, yang akan menjadikan seseorang mampu melihat kesalahan dan kegagalan dirinya. Banyak orang kadang-kadang terlalu takut ketika menemukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui atau diyakininya selama ini, sehingga membuang pengetahuan berharga dan lebih memilih diam demi mempertahankan sebuah keyakinan yang rapuh.
Pembacaan yang innocent melihat segala sesuatu yang dibaca sebagai kebenaran, dan menyingkirkan segala nalar kritis terutama sekali yang dapat menyalahkan diri pembaca sendiri. Teks-teks yang dibaca tidak dipertentangkan antara yang satu dengan yang lain, tetapi dilakukan dengan cara yang selektif, sehingga bagian-bagian yang tidak “menguntungkan” ditinggalkan atau ditafsirkan sesuai dengan yang diinginkan. Sebaliknya pembacaan yang noninnocent meniscayakan kesediaan untuk menerima diri sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kegagalan sehingga merasa perlu selalu membuka diri untuk dikritik dan dikoreksi. Pembacaan seperti ini akan membuka ruang dialog yang lebih sehat dan luas serta memungkinkan si pembaca bersikap berani memasuki wilayah-wilayah mana pun dari potensi kemanusiaannya.
Pembacaan al-Qur’an dengan cara noninnocent akan memudahkan proses kerja nalar dengan tafsiran pluralisme, karena ia selalu menyisakan ruang untuk kritik dan koreksi meskipun berasal dari wilayah yang asing. Noninnocent menjadikan seseorang sadar, rendah hati, tidak arogan dan respek terhadap sesama. “Saya” ataupun “kita” bukanlah satu-satunya pemilik kebenaran dan “kita” seharusnya welcome meski terhadap mereka yang punya pandangan berbeda atau berseberangan. Hal ini bisa terlihat dari prinsip-prinsip hermeneutika, sebagaimana dikemukakan oleh Douglas Jacobsen dalam artikelnya Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical Dialogue. Hermeneutika inilah yang menjadi landasan penafsiran kitab suci bagi wacana pluralisme. Menurut Jacobsen ada beberapa prinsip yang membantu seseorang bernegosiasi dengan diversitas hermeneutika di sekitar dirinya, di antara lain: Pertama, seseorang menyadari bahwa ia tidak berangkat dari awal. We all “start in the middle.” Banyak orang mengatakan bahwa menafsirkan kitab suci haruslah dengan sikap yang netral. Dalam tradisi Islam sudah dikenal luas bahwa di antara syarat seorang mufassir adalah tidak fanatik kepada suatu mazhab atau aliran. Seorang mufassir harus dapat memposisikan dirinya sebagai seorang peneliti yang independent, tidak memihak dan jujur secara akademik. Ini sepertinya telah menjadi mitos yang menyenangkan untuk didengar dan mungkin orang mengira amat mudah melakukannya. Namun, sesungguhnya manusia tidak terlepas dari dunia dalam dirinya. Pada saat membaca sebuah teks, seseorang acap kali membacanya dengan paradigma yang telah terbentuk dalam dirinya; seseorang adakala membuat teks itu masuk akal atau menjadikannya sebagai nonsense, sesuai dengan keyakinannya tentang kebenaran. Pada saat memahami sebuah teks, orang lalu cenderung memahaminya sejalan dengan warisan tradisi dan budaya yang dimilikinya: prasuposisi, pradisposisi dan prapemahaman selalu mempengaruhi cara pikir dan kecenderungan nalar dirinya. Jadi dengan menyadari hal ini, orang dapat lebih berhati-hati dalam memposisikan diri berhadapan dengan teks. Sikap seperti ini tidak mesti mengubah pandangan seseorang mengenai otoritas teks, tetapi dapat mengubah cara seseorang menemukan makna yang diungkapkan oleh teks.
Kedua, berdialog dengan orang-orang yang tidak sepaham. Adalah awal dari kesalahan ketika orang menganggap dirinya tidak bersalah. Adalah pemilik pikiran yang sempit orang yang menganggap dirinya berpikiran sangat luas. Dunia dan pengetahuan tidak ada batas. Manusia tidak akan mampu melihat segala sesuatu sekaligus; manusia penuh dengan keterbatasan. Ketika orang melihat ke satu arah, pandangannya tertutup untuk arah yang lain. Orientasi menghalangi seseorang untuk menggapai segalanya. Inilah yang oleh Mikhail Bakhtin (w. 1975), seorang filosof Bahasa dan teoritikus sastra Rusia, disebut dengan law of placement. Ruang dan waktu menghalangi manusia mengusai segalanya. Karena itu setiap orang membutuhkan orang lain yang bahkan berbeda orientasi dan pandangan darinya; karena itu, juga sangat penting bagi seseorang untuk mengakui bahwa hanya karena ia tidak dapat melihat sesuatu yang orang lain dapat melihatnya, tidak berarti sesuatu itu tidak eksis. Dengan berdialog dengan “orang lain,” seseorang akan mendapatkan a new “surplus of seeing.” Dialog tidak mesti membawa seseorang kepada sebuah kesimpulan yang harus diambil, tetapi dialog dapat memperkaya dunia setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Ketiga, melakukan pergantian hermeneutik, antara diam dan berjuang. Hermeneutical struggle tentu saja tidak akan berujung ketika ia terus menerus didialogkan. Poin kedua di atas membawa seseorang pada perputaran dialog yang tidak berkesudahan. Ini akan membingungkan. It is thus writ in heaven that any critic who has not given up will remain to some degree confused. Tidak akan ada manusia yang dapat menyelesaikan dialog ini dengan tuntas. Lalu mengapa berdialog? Karena manusia telah memulainya; mereka sedang berada di tengah jalan. Jadi pertanyaannya bukan mengapa berdialog, tetapi bagaimana seseorang harus menyikapinya Dalam hal memahami teks kitab suci, seseorang memang harus berjuang untuk mendapatkan pemahaman yang benar, tetapi tidak berarti bahwa ketika dialog tidak berhenti maka kebenaran juga tidak pernah diterapkan dalam kehidupan. Orang perlu “beristirahat” sejenak untuk mengamalkan “kebenaran” yang telah dicapainya, untuk kemudian bergumul kembali dengan pemahaman dan makna-makna kehidupan yang tiada habisnya. Inilah barangkali makna taqarrub dalam tradisi Islam: bahwa kebenaran hanya dapat didekati, tidak dapat ditangkap hakikatnya.
7. Penutup
Diskusi di atas hanya sebuah ikhtiar merambah jalan yang mungkin dapat ditempuh atas dasar sebuah kesadaran baru dalam upaya memahami kitab suci dan ajaran agama. Hermeneutika adalah sebuah model pendekatan dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci yang dapat merespons wacana pluralisme dan dapat memberikan nuansa baru untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dalam konteks diversitasnya kehidupan manusia, khususnya umat beragama, di zaman ini.
Kesadaran baru tersebut tidak lain adalah pluralisme. Pluralisme bukan sebuah pemaksaan, tetapi konsekuensi dari fakta kehidupan yang tidak mungkin dilawan. Pluralisme hanyalah istilah lain untuk kemanusiaan, persaudaraan dan persahabatan; ia menghendaki manusia semata-mata menjadi manusia bukan menjadi Tuhan. Orang-orang yang tulus dan rendah hati itu selalu belajar dan mencari kebenaran; mereka percaya hanya Tuhan yang Maha Benar.


Wallahu a’lam,

Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA.

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Poligami artinya kawin dengan lebih dari satu pasangan – adakala berbentuk poligini, yaitu laki-laki kawin dengan lebih dari satu perempuan, atau poliandri, yakni perempuan kawin dengan lebih dari satu laki-laki. Akan tetapi istilah poligami dengan pengertian poligini (laki-laki kawin dengan dua atau lebih perempuan) lebih terkenal dan digunakan di mana-mana di seluruh dunia. Dalam tulisan ini, poligami digunakan dalam pengertian poligini.
Dari sudut pandang laki-laki, poligami tentu disukai dan menyenangkan dengan alasan: pertama, banyak isteri akan mendatang banyak masukan bagi kehidupan rumah tangga bila para isteri diajak bekerja bersama-sama. Kedua, tersedianya teman seksual yang lebih dari satu, di mana laki-laki lebih leluasa dan jarang terhalang untuk memenuhi keinginannya melakukan hubungan sebadan dengan pasangannya. Ketiga, dalam kultur tertentu, poligami memberikan prestise tersendiri bagi laki-laki. Bahkan ada alasan-alasan lain, terutama sekali yang mengatasnamakan agama.
Perempuan juga, sebenarnya, mendapatkan keuntungan tertentu dari perkawinan poligami. Dalam masyarakat di mana perempuan yang tidak kawin tidak mendapatkan peran sosial yang memadai, poligami menawarkan jalan hidup yang menguntungkan. Jika dalam suatu masyarakat jumlah perempuannya lebih banyak, maka tidak mustahil, bagi mereka yang menginginkan, dapat menjadikan poligami sebagai sebuah solusi. Demikian juga jika kebanyakan perempuan dalam suatu masyarakat mengalami kesulitan hidup dan beban ekonomi yang berat, maka dengan poligami, kesulitan pemerataan kehidupan ekonomi bagi perempuan mungkin dapat diatasi.
Namun demikian, dalam kenyataannya, poligami tidak selalu membawa nikmat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Kecemburuan seksual terutama sekali sangat besar perannya dalam merusak keharmonisan keluarga yang berpoligami. Dalam kisah-kisah kehidupan keseharian, cerita tentang poligami lebih banyak menghadirkan fenomena nestapa ketimbang keceriaan. Dalam masyarakat yang mengenal legalitas poligami sekalipun ternyata sangat minim keluarga yang berpoligami – mayoritas adalah monogami.
***
Dalam fikih Islam, hukum poligami adalah sah. Akan tetapi tidak berarti seorang laki-laki dapat dengan “seenaknya” kawin dengan banyak perempuan. Syarat paling utama poligami adalah berlaku adil. Jika khawatir tidak sanggup, maka poligami tidak dibolehkan. Rujukan yang digunakan kebanyakan ulama terhadap masalah ini adalah Q.S. An-Nisa’: 3:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Al-Qur’an sangat mengkhawatirkan orang berbuat aniaya, karena itu ia menganjurkan kawin monogami saja, namun peluang untuk berpoligami tetap diberikan asal saja yang bersangkutan dapat memastikan dirinya tidak berlaku aniaya dan tetap berbuat adil. Akan tetapi siapakah di antara manusia yang dapat menjamin dirinya mampu berlaku adil? Berlaku adil terhadap isteri adalah hal yang teramat sulit, maka sebagian ulama mengatakan bahwa prinsip dasar kawin dalam Islam adalah monogami. Sedangkan poligami hanya dibolehkan dalam kondisi darurat.
Sebelum ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad muncul di Arab, poligami sudah dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Arab sendiri, poligami telah merupakan tradisi yang biasa. Nabi-nabi dan tokoh-tokoh Ibrani yang terkenal dalam tradisi Yahudi, seperti Ibrahim, Yakub dan Daud, juga melakukan poligami. Nabi Muhammad sendiri dan kebanyakan orang di zamannya, yang dikenal dengan para Sahabat, tidak terkecuali melakukan poligami. Akan tetapi Islam, melalui al-Qur’an dan lisan Nabi Muhammad melakukan perubahan penting dalam soal poligami tersebut, yaitu dibatasi pada jumlah empat isteri dan disyaratkan mampu berbuat adil kepada semuanya (sesuatu yang sebenarnya hampir saja mustahil), sementara sebelum Islam, ketentuan-ketentuan seperti itu tidak dikenal.
***
Konsep legalitas poligami dalam masyarakat Muslim seperti yang terdapat pada masa awal Islam terus berkembang sampai hari ini. Kitab-kitab fikih (hukum Islam) yang ditulis sejak generasi setelah Sahabat sampai di zaman ini umumnya mengukuhkan hal tersebut: bahwa Islam mengenal legalitas poligami dengan syarat-syarat tertentu. Ibn Rusyd (w. 595/1198) mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat mengenai kebolehan mengawini perempuan sampai empat orang secara bersamaan. Bahkan sebagian ahli fikih menganggap bahwa laki-laki boleh mengawini perempuan dengan jumlah 2 (dua) tambah 3 (tiga) tambah 4 (empat), yakni 9 (sembilan).
Sepanjang sejarah dari masa jauh sebelum Islam sampai zaman Nabi Muhammad ternyata poligami dipraktekkan dan berlaku secara universal, walaupun tidak dilakukan oleh kebanyakan orang – mungkin hanya kalangan well-to-do dan orang-orang tertentu saja yang memanfaatkan legalitas tersebut. Fikih tidak pernah mempersoalkan keabsahannya, dan tidak seorang perempuan pada masa Nabi Muhammad yang mengajukan protes terhadap kebolehan poligami (ta‘addud al-zawjāt) itu. Mungkin kaum perempuan Muslimat hari ini heran mengapa tidak ada Shahābiyyah yang mengajukan keberatan kepada Nabi atau langsung kepada Tuhan (seperti dilakukan oleh Khawlah yang mengajukan keberatan kepada Nabi mengenai zhihār) dalam soal poligami. Mungkin kaum perempuan pada masa itu tidak merasa keberatan. Mungkin juga ada, tetapi tidak pernah sampai riwayat tersebut kepada kita hari ini. Mungkin juga tradisi pada waktu itu telah menekan mental dan kesadaran perempuan sehingga mereka menjadi pasrah. Tidak ada yang tahu, kecuali hanya menduga saja.
***
Para pembela poligami umumnya tidak banyak berhujah dengan al-Qur’an ataupun pernyataan tegas dalam hadis Nabi, tetapi lebih atas dasar berbagai argumentasi yang lain. Mereka mengatakan, misalnya, bahwa kebanyakan para nabi telah mempraktekkan poligami dan poligami telah merupakan norma universal serta telah dikenal sepanjang sejarah. Alasan lain yang digunakan untuk mendukung legalitas poligami adalah apa yang mereka sebut sebagai fakta bahwa kebutuhan seksual laki-laki lebih tinggi dari kebutuhan seksual perempuan. Demikian juga, perempuan mengalami masa-masa penghentian aktivitas seksual yaitu ketika menstruasi, melahirkan dan nifas, yakni masa-masa setelah melahirkan. Untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, laki-laki tentu saja memerlukan kepada isteri lebih dari satu. Alasan lain adalah jika seorang isteri mengalami sakit atau tidak dapat memberikan keturunan, maka daripada harus menceraikannya lebih baik bagi si suami tetap mempertahankannya walaupun ia telah kawin dengan perempuan yang lain. Alasan yang lebih populer dikemukakan adalah bahwa jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak dari laki-laki. Maka untuk mengimbangi hal tersebut, dan agar tidak banyak perempuan terlantar tanpa suami, diperlukan adanya poligami.
Alasan-alasan di atas tentu saja dapat dibantah oleh mereka yang tidak sepakat mendukung poligami. Alasan historis tidak selamanya dapat diterima; tidak segala sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat terdahulu menjadi norma bagi masyarakat sekarang. Perbudakan adalah hal yang normal dalam masyarakat dahulu, tetapi dianggap keji dalam masyarakat modern.
Jika alasan kebutuhan seksual dikemukakan maka akan sangat nampak bahwa laki-laki adalah makhluk raya umpeuen, mempunyai nafsu yang besar dan sangat tidak sabar. Seks tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai kebutuhan seperti kebutuhan kita akan makanan dan minuman. Seks adalah nafsu, ia akan bangkit dengan rangsangan dan ia dapat dikendalikan. Tidak ada orang mati karena “kehausan” seks. Alasan poligami karena seks sangat tidak etis dan mengimplikasikan penghinaan terhadap perempuan (perempuan seolah-olah hanya sebagai sex provider, pemuas seks laki-laki semata).
Kalau soal sakit atau tidak dapat memberikan keturunan, hal ini tidak spesifik pada perempuan; laki-laki juga dapat mengalami hal yang sama. Bagaimana perasaan laki-laki jika isterinya menggugat cerai atau meninggalkannya karena ia sakit dan tidak dapat memberikan nafkah baik lahir maupun batin?
Mengenai perbandingan populasi laki-laki dan perempuan, tidak selamanya dapat dijadikan alasan dan tidak selalu demikian keadaannya. Keadaan populasi manusia dapat berubah kapan saja karena berbagai kondisi alam dan kehidupan. Lebih dari itu, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki bahkan lebih tinggi (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000).
Berbagai argumentasi yang sering dikemukakan untuk menjustifikasi legalitas poligami tidak sunyi dari kelemahan dan tidak dapat menjelaskan dengan baik eksistensi poligami itu. Alasan-alasan tersebut diciptakan untuk membela laki-laki dan menutupi kelemahannya dalam mengendalikan nafsu seksualnya, dan supaya laki-laki selalu memiliki otoritas dan berkuasa terhadap perempuan. Laki-laki kadang-kadang berkata bahwa ia telah jatuh cinta pada perempuan lain selain isterinya. Maka alih-alih ia terjerumus dalam dosa, bukankah lebih baik ia kawin saja dengan perempuan yang lain itu (berpoligami)? Tetapi bagaimana jika hal yang sama terjadi pada perempuan (isteri), yang jatuh cinta pada laki-laki lain? Apakah si suami tidak akan murka?
***
Poligami tidak semata-mata problem teks kitab suci dan ajaran agama, tetapi juga terkait soal bagaimana memahami budaya, sikap hidup dan moralitas. Ia lebih terkait dengan masalah-masalah lingkungan hidup, sosial budaya, kondisi ekonomi dan pemaknaan yang diberikan terhadap semua itu. Walaupun sebagian orang menganggap poligami termasuk tindakan dehumanisasi, kadang kala sebagian perempuan sendiri menganggapnya sebagai hal yang wajar-wajar saja; bahkan mungkin ada perempuan yang menganggap bahwa karena kesalahan dirinyalah maka suaminya berpoligami, dan ia menerimanya sebagai bagian dari pengorbanan hidup yang harus ia jalani dengan tulus ikhlas. Bisa jadi ada perempuan yang memanfaatkan poligami untuk menutupi berbagai kebutuhan hidupnya. Ia tidak merasakan poligami sebagai penderitaan, sebab ia telah mengalami penderitaan yang lebih pahit dari itu.
Dalam lingkungan masyarakat Arab sebelum Islam, perkawinan seorang laki-laki dengan banyak perempuan telah menjadi kebiasaan yang dipraktekkan oleh banyak orang. Pada waktu itu hukum perkawinan sangat longgar; kendali ekonomi dan kekuasaan politik berada di tangan laki-laki, dan sangat jarang perempuan terlibat di dalamnya. Jika hari ini, di sini, orang berlomba-lomba menjadi pegawai negeri untuk mendapatkan sedikit jaminan hidup yang dianggap agak melegakan, maka pada zaman sebelum Islam, di gurun Arab yang tandus, orang berlomba-lomba memperebutkan di mana saja ada sumber rezeki. Perkawinan termasuk salah satu cara memperebutkan sumber rezeki itu, bahkan melalui tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat menganiaya perempuan.
Ketika kitab suci al-Qur’an menyinggung soal poligami, yang menjadi tekanannya adalah soal keadilan dan moralitas. Perempuan dan anak-anak yatim sering kali menjadi sasaran eksploitasi pada zaman tersebut. Seorang wali kadang-kadang akan memperhatikan apakah perempuan yang ditinggal mati suaminya atau anak-anak perempuan yang ditinggalkannya itu cantik dan kaya; jika cantik atau kaya maka ia akan mengawininya sendiri, tetapi jika tidak, ia akan mengawinkannya dengan orang lain. Jika yang dikawini adalah perempuan yatim, maka bisa jadi mahar perkawinan yang diberikan amat rendah, sebab yatim dipandang sebagai kondisi yang kurang bermartabat. Karena itu turunlah perintah al-Qur’an:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisā’: 3).

Masyarakat Arab selalu terpesona dengan kecantikan perempuan dan harta kekayaan yang banyak, sedemikian rupa sehingga aturan-aturan moral pun kadang-kadang dilanggar. Berbagai kitab tafsir menyebutkan bahwa ayat di atas diturunkan dalam konteks mengkritik orang-orang Arab yang tamak terhadap harta anak yatim dan memandang kenikmatan seksual sebagai sebuah petualangan yang tidak akan pernah habis bagi laki-laki. Maka al-Qur’an menegaskan bahwa wajib berlaku adil bagi anak-anak yatim yang dikawini; kalau tidak sanggup, maka kawinlah dengan perempuan yang lain saja, dua, tiga atau empat. Memuliakan anak yatim telah menjadi norma amat penting dalam al-Qur’an, demikian juga terhadap orang-orang lemah dan kaum perempuan. Pernyataan yang mengimplikasikan poligami dalam ayat tersebut di atas perlu dilihat tidak hanya dalam konteks legalitas poligami, tetapi juga – dan ini lebih penting – dalam konteks kritik sosial dan perjuangan penegakan keadilan serta langkah penghapusan poligami.
Ayat-ayat al-Qur’an tidak dapat dibaca sendirian secara terpisah dari ayat-ayat yang lain. Dalam ayat di atas telah disebutkan bahwa kebolehan poligami terganjal dengan syarat tidak khawatir akan berlaku aniaya atau zalim atau tidak adil. Jika seseorang merasa khawatir saja tidak dapat berlaku adil, ia tidak boleh berpoligami. Namun pada ayat lain disebutkan dengan tegas bahwa berlaku adil dalam pengertian yang sesungguhnya terhadap isteri-isteri yang lebih dari satu tidaklah mungkin.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Nisa’: 129).

Ini berarti – demikian kebanyakan para pemikir Muslim kontemporer beralasan – poligami adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan tindakan yang menyakiti perempuan; artinya poligami tidak dibolehkan. Hanya saja, dalam kondisi yang amat khusus, di mana perempuan mungkin merasa lebih tertolong dengan tindakan poligami, maka ia bisa dipandang sebagai pilihan yang kurang buruk di antara pilihan-pilihan yang buruk.
Hari ini, legalitas poligami diperdebatkan oleh berbagai kalangan dan dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta bertentangan dengan HAM. Di kalangan Muslim, isu ini telah menjadi pembicaraan hangat sejak gerakan-gerakan perempuan dari Barat memasuki dunia Islam abad 17 sampai sekarang. Tokoh-tokoh Muslim pembaharu pun bermunculan, terutama mereka yang terdidik di Barat, dan melakukan gugatan terhadap legalitas poligami dalam hukum Islam. Celal Nuri Ileri (w. 1938) dari Turki misalnya melarang poligami. Ahmad Khan (w. 1898), seorang mufassir terkenal di India, juga mengajukan berbagai argumentasi melawan poligami dan perbudakan.
Suara-suara anti poligami banyak bermunculan setelah masyarakat Muslim terpengaruh oleh berbagai cara pikir dan gaya hidup masyarakat Barat. Sekarang, di negara-negara Muslim, praktek-praktek poligami sudah mulai jarang dilakukan dan image tentang poligami juga mulai terasa negatif. Ini adalah “berkat” dari berbagai perubahan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi dan pandangan serta life style yang mengglobal.
***
Kebolehan laki-laki mengawini perempuan sampai empat orang (poligami) dianggap oleh banyak kalangan sebagai bagian dari syari’at Islam yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunah Nabi. Sementara itu, akhir-akhir ini sebagian kaum Muslim bahkan menggalakkan poligami dan mempopulerkannya sebagai sunnah, yakni perilaku Utusan Allah yang patut ditiru. Poligami disebut-sebut sebagai sesuatu yang dianjurkan, dan orang yang menerapkannya akan mendapatkan pahala. Bahkan yang lebih merisaukan lagi adalah munculnya tindakan yang mengukur keislaman seseorang dengan ada-tidaknya ia berpoligami.
Tetapi coba direnungkan: dalam kenyataannya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Terlebih lagi, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami sebagai hal yang lumrah. Rumah tangga Nabi bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan “poligami itu sunah”. Dari sudut pandang Fikih Islam sendiri, istilah “poligami itu sunnah” justru merupakan sebuah reduksi besar. Hukum melaksanakan perkawinan itu sendiri bermacam-macam, apalagi poligami.
Merujuk pada karakter dasar hukum Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami adalah persoalan parsial. Ketentuan hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang mendasar. Prinsip yang sesungguhnya adalah keharusan untuk selalu merujuk pada semangat dasar syariah, yaitu: keadilan, kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
***
Perlakuan al-Qur’an terhadap kasus poligami sebenarnya sama dengan perlakuannya terhadap perbudakan. Al-Qur’an tidak melarang perbudakan sebab ia telah merupakan norma umum dalam masyarakat Arab tradisional, namun al-Qur’an menganjurkan pemerdekaan budak dan bahkan dalam beberapa kasus, pemerdekaan budak dijadikan sebagai salah satu bentuk pembayaran denda. Kemudian di sisi lain dalam berbagai tempat ditegaskan bahwa manusia semuanya sama di sisi Tuhan dan Tuhan telah memuliakan semua anak cucu Adam (manusia). Hari ini manusia telah sadar bahwa perbudakan adalah tindakan dehumanisasi, dan perbudakan dilarang.
Demikian juga halnya dengan poligami, pada awalnya ia dibatasi dan diberi syarat harus berlaku adil, kemudian turunlah ayat yang mengatakan bahwa adil terhadap isteri-isteri itu tidaklah sanggup dilakukan laki-laki dalam pengertian yang sebenarnya. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan nampak pula bahwa “perintah” mengawini perempuan-perempuan, dua, tiga dan empat, semata-mata sebagai kritik dan sindiran kepada mereka yang melirik kepada anak yatim untuk tujuan eksploitasi. “Kawin saja perempuan-perempuan lain” adalah “perintah” dalam bentuk “pengusiran” agar mereka menjauh saja dari anak yatim kalau ingin menganiayanya. Dengan demikian, poligami bukanlah norma dalam pembicaraan al-Qur’an; yang merupakan norma adalah keadilan dan moralitas. Maka, menghambat poligami melalui aturan hukum semata tidak akan berjalan dengan baik, tanpa disertai dengan upaya mengoreksi pandangan dan perilaku sosial dalam memandang perempuan sebagai makhluk yang bermartabat, yang sama seperti laki-laki.

Langsa, Juni 2009
Zulkarnaini Abdullah

ISLAM, KAPITALISME DAN KEADILAN EKONOMI

Prolog

Negeri kita amat kaya, tetapi anehnya bangsa kita secara umum tergolong miskin. Sepertinya antara kita dan negeri kita tidak ada urusan apa-apa. Kita seolah-olah terpisah dengannya, mungkin karena kita tidak merasa memiliki negeri ini, atau karena orang-orang yang mengurus negeri ini tidak merasa cukup penting memperhatikan dan mendengarkan suara rakyatnya, kecuali kalau sudah dekat Pemilu atau saat rakyat angkat senjata. Keanehan juga terasa tatkala negeri ini sendiri merasa dirinya miskin dan dengan demikian memohon bantuan finansial dari luar negeri. Kita pun berutang, mungkin karena kita ingin kaya, tetapi sayang sekali, sekarang kita sadar bahwa negeri asing itu tidak lebih dari sekedar “mengimpor” kemiskinan ke negeri ini (Kompas 18 November 06).
Sesungguhnya dunia ini tidak akan pernah damai dan harmonis jika keadilan tidak ditegakkan. Semua agama sebenarnya mengajarkan keadilan, tetapi umatnya acap kali menyelewengkan keadilan itu. Tulisan ini mencoba memberikan sebuah analisa ringkas tentang keadilan sosial ekonomi dalam Islam dan kritik terhadap tatanan dunia yang menjadi kepercayaan kebanyakan kita pada hari ini.

Moralitas dan Keadilan

Keadilan hanya dapat ditegakkan dengan moral, dan moral berakar pada spiritualitas. Ini berarti, jika kita menghendaki dunia ini ditata dengan adil, maka hendaklah penghuninya memiliki kesadaran spiritual yang memadai. Tanpa spiritualitas, manusia tidak akan menemukan hakikat kemanusiaannya yang paling sejati. Tanpa spiritualitas, manusia tidak lebih dari “saudara” dan “sepupu” dari hewan-hewan lain, “bahkan lebih sesat lagi.”
Moral adalah dasar kebaikan. Moral merupakan kesadaran kemanusiaan, di mana dengan kesadaran tersebut seseorang akan terdorong untuk melakukan kebaikan (sebanyak-banyaknya) dan menjauhkan kejahatan (sejauh-jauhnya). Orang yang tidak memiliki kesadaran tersebut dapat dikatakan orang tidak bermoral. Barangkali yang sebanding dengan kata moral dalam idiom Islam adalah kata takwa.
Dalam al-Qur’an perintah berlaku adil dikaitkan dengan takwa (ketakwaan). “Berlaku adillah kamu! Itu lebih dekat kepada takwa” (Q.S. al-Maidah: 8). Dalam ayat ini orang-orang Mukmin bahkan diingatkan untuk tetap teguh menegakkan keadilan dan mereka sama sekali tidak boleh berbuat curang meski terhadap orang-orang yang mereka benci. Dalam ayat yang lain (Q.S. an-Nisa’: 135 dan al-An’am: 152) dikatakan bahwa keadilan mesti ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri atau keluarga dekat sekalipun. Artinya, kecintaan dan kebencian tidak boleh mempengaruhi seseorang untuk berbuat curang atau bertindak tidak adil. Ini menunjukkan keadilan itu memiliki kemerdekaan tersendiri. Seorang penegak keadilan mesti terbebas dari kepentingan pribadi atau golongan, dari kebencian dan sentimen pribadi.
Dalam suasana tertentu berbuat adil mungkin mudah, tetapi kadang-kadang kita berada dalam atmosfer yang sulit dan dilematis. Pada saat seperti itulah moral kita diuji. Ketika, misalnya, kebenaran berada di pihak orang yang kita benci dan kesalahan berada di pihak saudara, keluarga dekat atau teman kita sendiri (orang-orang yang kita cintai), apa yang harus kita lakukan? Di situlah ketakwaan berperan. Dalam kondisi seperti itulah al-Qur’an mengingatkan agar kita menolak hawa nafsu dan memilih keadilan, karena dalam suasana seperti itu keadilan akan sulit ditegakkan tanpa kesadaran moral yang tinggi. “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu alih-alih menegakkan keadilan” (Q.S. an-Nisa’: 135). Jadi keberanian moral memang modal utama dalam penegakan keadilan, seperti dikatakan Yusuf ‘Ali ketika mengomentari ayat di atas (al-Maidah: 8) di atas: “But no less is required of you by the higher moral law” (The Holy Qur’an).
Dalam kehidupan ekonomi, keadilan memiliki pengaruh yang lebih luas. Kecurangan-kecurangan dalam bidang ekonomi dan keuangan akan berdampak serius bagi kehidupan sosial suatu masyarakat. “Penuhilah sukatan dan timbangan, dan janganlah kamu mengurangi jatah orang lain,” demikian al-Qur’an (al-A’raf: 85) menegaskan larangan berbuat curang dalam bidang ekonomi. Lanjutan ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan membuatnya damai.” Ini adalah isyarat bahayanya kecurangan tersebut. Dunia ini yang sejatinya damai dan harmonis, bisa rusak akibat tindakan zalim sebagian manusia yang tamak.

Kaya dan Miskin

Dalam Ihya’ ‘Ulumid-Din Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa pada dasarnya orang kaya adalah orang yang tidak memiliki ketergantungan pada yang lain. Tuhan adalah Maha Kaya karena Tuhan tidak bergantung pada siapa pun. Justru seluruh alam inilah yang bergantung pada-Nya. Karena itu seluruh alam ini faqir, artinya berhajat kepada-Nya. Namun dalam pengertian khusus, demikian Imam al-Ghazali, orang kaya adalah orang yang memiliki harta mencukupi atau melebihi kebutuhan pokoknya, sedangkan orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Persoalannya di sini adalah apa yang dimaksud dengan “kebutuhan pokok.” Ini jelas selalu dapat didefinisikan ulang sesuai dengan kebutuhan zaman. Sehingga, ciri-ciri orang kaya atau orang miskin pada zaman/peradaban tertentu atau masyarakat tertentu bisa saja berbeda dari yang lainnya.
Kaya dan miskin barangkali telah menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Menghapus sama sekali kemiskinan “mungkin” merupakan hal yang mustahil. Akan tetapi yang disesalkan adalah dalam suatu masyarakat terdapat orang-orang kaya dengan harta yang melimpah ruah sementara di sekitarnya terdapat juga orang-orang yang hampir saja tidak memiliki harta sama sekali. Dapatkah masyarakat tersebut dikatakan masyarakat yang adil.
Di sini keadilan kita coba telaah lebih serius. Keadilan mempunyai makna keseimbangan, yakni sebuah hukum kosmos yang berlaku pada alam semesta. Hukum keseimbangan yang berlaku pada neraca yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari gejala cosmic orders dalam jagat raya ini. Jadi keseimbangan pada dasarnya adalah pilar dari keutuhan alam semesta.
Dalam al-Qur’an (ar-Rahman: 7-9) disebutkan :
Dan langit ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan (hukum) keseimbangan tersebut.
Karena masyarakat adalah bagian dari alam semesta ini, masyarakat juga tidak terlepas dari hukum keseimbangan tersebut. Masyarakat yang tidak seimbang akan mengalami kekacauan dan bahkan keruntuhan.
Keadilan dalam kehidupan sosial berarti bersikap lurus dan jujur, atau tetap berjalan di atas garis kebenaran. Keadilan dalam memutuskan perkara berarti tidak berat sebelah dan tidak memihak kecuali kepada kebenaran, sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Keadilan tidak berarti “netral” dalam pengertian tidak berpihak ke mana-mana. Keadilan adalah sebuah sikap yang jelas: membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah serta memberikan pembelaan kepada yang lemah atas kesewenangan yang kuat dan arogan. Karena itu pada dasarnya yang paling mampu (karenanya: yang paling bertanggung jawab) menegakkan keadilan adalah “penguasa”.
Apabila konsep keseimbangan ini dikaitkan dengan masalah ekonomi, maka implikasi yang terkandung di dalamnya jauh lebih besar, karena menyangkut dengan sumber yang memberikan kehidupan kepada manusia. Jika manusia telah bertindak curang dan zalim (zalim adalah lawan dari adil) dalam kehidupan ekonomi, maka bukan hanya kehidupan sosial kemasyarakatan yang akan terganggu, tetapi bahkan kehidupan nyawa sebagian manusia akan terancam. Ketidakseimbangan ekonomi adalah faktor utama penyebab kekacauan dalam masyarakat.
Dalam al-Qur’an, sebagai kelanjutan dari hukum keseimbangan kosmos di atas, juga disebutkan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk rezeki manusia, telah ditetapkan kadar atau ukurannya (ath-Thalaq: 3). Kekayaan dan kemiskinan adalah ibarat dua daun neraca yang mengisi rezeki manusia; kalau yang sebelah sudah lebih berat, maka tidak ada jalan lain agar neraca itu seimbang kembali, melainkan dengan memindahkan sebagian dari beban yang lebih berat kepada yang lebih ringan. Dengan bahasa yang lebih tegas: taraf hidup orang miskin hanya akan naik kalau taraf hidup orang kaya bersedia “diturunkan”. Itu adalah hukum keseimbangan alam semesta. Bagaimana mungkin kita meningkatkan taraf hidup kaum miskin dalam suatu masyarakat jika orang-orang kaya (kaum elite) di dalamnya tidak pernah berhenti menuntut tingkat kesejahteraan [material] yang lebih tinggi, bahkan dengan cara-cara yang curang (namun diupayakan seolah-olah legal).

Zuhud: Antara Dunia dan Akhirat

Islam bukan agama yang membenci harta kekayaan. Tetapi yang diingatkan dan dikecam al-Qur’an berulang kali adalah ketamakan akan harta sehingga menyebabkan orang lalai dari tanggung jawab serta lupa akan keuntungan spiritual yang lebih tinggi nilainya. Kesenangan-kesenangan sementara dan melalaikan inilah yang disebut “dunia” oleh al-Qur’an, bukan dunia tempat kita tinggal ini. Sebaliknya “akhirat” adalah kualitas-kualitas spiritual yang membawa kepada kebahagiaan atau kedamaian yang abadi. Mencintai dan mengejar dunia adalah sumber kesengsaraan, karena ia dapat menghapus nilai-nilai moral dan bahkan membuat manusia sama sekali mengabaikan tujuan akhirnya yang lebih mulia.
Al-Qur’an menyebutkan Qarun sebagai contoh orang kaya yang tercela. Al-Qur’an tidak mencela harta kekayaannya, tetapi yang menjadi sasaran perhatian al-Qur’an adalah sikap mentalnya yang berubah sama sekali akibat kekayaan tersebut. Qarun menjadi manusia arogan dan menganggap seluruh harta yang ada di tangannya sebagai milik dia sepenuhnya. Ia lupa bahwa semuanya adalah anugerah Tuhan dan ia tidak mau berterima kasih kepada siapa pun. Qarun menganggap segala karunia tersebut diperolehnya karena keahliannya, sehingga ia menolak segala nasihat yang diberikan (Q.S. al-Qashash: 76-78). Inilah pangkal bencana yang menimpanya.
Qarun adalah simbol kepongahan. Tetapi bukan tidak ada orang yang begitu terkesima dengan kekayaannya. Sebelum ia dimusnahkan oleh Tuhan, banyak orang berangan-angan menjadi seperti dia dan membayangkan betapa bahagia menjadi seorang Qarun. Tetapi setelah bencana menimpanya, barulah orang sadar betapa ruginya menjadi orang kafir. Hanya orang-orang yang berlimu yang sadar sejak awal (Q.S. al-Qashash: 79-82).
Dari sinilah konsep zuhud dimulai, yakni pada kesadaran moral yang tinggi serta kepekaan terhadap segala konsekuensi dari harta benda dunia. Zuhud tidak berarti malas dan tanpa kreativitas, tetapi zuhud adalah keinginan mencapai kualitas kemanusiaan sejati dan menghindari segala kemungkinan rintangan yang menghambat jalan menuju kepada cita-cita mulia tersebut. Karena itu Imam al-Ghazali membagi zuhud kepada beberapa tingkatan, dari yang tercela sampai yang paling mulia. Zuhud yang paling tercela adalah zuhudnya orang malas: ia seakan-akan membenci dunia tetapi hatinya penuh dengan angan-angan memperoleh harta. Zuhud yang paling mulia adalah zuhud seperti yang dipraktekkan Nabi: selalu berkreativitas dengan ikhlas untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi, dan menolak segala kesenangan yang memperdaya. Jadi zuhud lebih merupakan sebuah sikap mental yang kemudian mempengaruhi perilaku hidup seseorang. Kualitas ukhrawi bagi seorang zahid lebih penting dari pesona duniawi.

Aspek Sosial dalam Zakat

Sebagaimana telah disebutkan, pada dasarnya yang menjadi perhatian al-Qur’an bukanlah kaya atau miskin, tetapi bagaimana mentalitas seseorang dalam menyikapi kehidupan di dunia ini. Karena itu yang perlu dilakukan adalah mengingatkan orang kaya agar tidak lalai dan tertipu dengan hartanya, dan mengingatkan orang miskin agar selalu sabar. Demikian juga orang kaya diwajibkan membantu saudara-saudaranya yang miskin, dan orang miskin hendaknya giat berusaha agar menjadi kaya dan dapat membantu saudaranya yang lain lagi. Begitulah seterusnya.
Namun di dalam kenyataan, persoalannya tidaklah sederhana. Orang kaya biasanya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan melarat. Celakanya lagi orang-orang kaya mengeksploitasi tenaga orang-orang miskin, sehingga yang terakhir ini selalu berada dalam kontrol kelompok pertama. Kemiskinan akhirnya tetap dilestarikan untuk kepentingan kelompok kaya.
Karena manusia ternyata tidak cukup dengan diingatkan saja maka Islam memerintahkan agar harta (zakat) itu dipungut dari orang-orang kaya dan didistribusikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Dalam hal ini, negara atau pemerintah memiliki peran penting. Sebab, stabilitas sebuah negara sebenarnya amat ditentukan oleh sejauh mana ia memiliki keberpihakan kepada kaum lemah atau rakyat kecil.
Islam pada dasarnya adalah sebuah pemberontakan terhadap kesombongan status quo yang berkuasa dan mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap rakyatnya. Nabi-nabi yang diutus Tuhan juga umumnya adalah “pemberontak” terhadap kesombongan kaum elite zamannya. Karena itu para pemuka kaum tersebut menuduh nabi-nabi mereka sebagai orang-orang bodoh, gila, kurang akal, sok suci dan sebagainya, yang para pengikutnya dianggap sebagai orang-orang hina (Q.S. al-A‘raf: 59-91). Karena itu, Islam menjadi sebuah gerakan perlawanan sejak awal kemunculannya, sebab Islam memang ingin menghapus penindasan.
Setelah Islam menang, zakat menjadi sebuah kewajiban dalam rangka mempertahankan stabilitas agar penindasan tidak terjadi lagi. Zakat bukan hanya didasarkan pada konsep kesadaran moral, tetapi juga memiliki target-target sosial yang ingin dicapai, yakni kemakmuran dan pemerataan, serta agar kekayaan itu tidak menumpuk hanya pada segelintir orang, sementara yang lainnya hidup sengsara (Q.S. al-Hasyar: 7).

Tatanan Dunia Kapitalisme

Tatanan dunia yang ada sekarang menganut “mazhab” kapitalisme. Mazhab ini semakin dominan setelah dapat mengalahkan lawan utamanya, yaitu komunisme, dan mampu menguasai teknologi modern. Kapitalisme dan teknologi memiliki hubungan yang erat: teknologi membutuhkan kapital untuk pengembangannya, dan kapitalisme membutuhkan teknologi untuk memperkuat kedudukannya. Karena teknologi mampu memberikan banyak kemudahan dan bahkan menciptakan banyak hal yang menakjubkan maka banyak pula orang terkesima dengannya.
Kita bahkan memuji-muji kapitalisme dan teknologi yang dihasilkannya. Bukankah pesawat terbang telah mempermudah umat Islam naik haji? Bukankah pengeras suara, mobil, telepon, listrik, komputer, internet dan berbagai alat elektronik lainnya dapat digunakan untuk kepentingan Islam dan umat Islam? Bukankah Barat, kapitalisme, Jepang, teknologi canggih, (semuanya telah menjadi simbol kemajuan peradaban dan kemodernan) telah membantu kemajuan Islam dan kaum Muslim? Mengapa kita membenci mereka? Tetapi kebanyakan kita tidak sadar bahwa semua itu tidak lain dari hasil peras otak kaum materialis untuk mencari keuntungan semata. Tidak lebih dari itu. Kebanyakan orang juga lupa bahwa semua itu telah mempengaruhi perilaku moral kita. Bukankah pesawat terbang, handphone, mobil dan rumah mewah, internet, peralatan dapur yang canggih dan sebagainya telah membuat kita lupa kepada saudara-saudara kita yang miskin? Bukankah semua kecanggihan teknologi (kenyataan dalam konteks sekarang ini) tersebut berarti ketergantungan kita kepada kaum kapitalis. Listrik, bensin, satelit, misalnya, sekarang dikuasai kelompok tertentu dengan mengandalkan modal atau kapital dan – to some extent – barangkali juga tanpa moral. Dan segala kecanggihan teknologi yang ada sekarang terikat erat dengannya. Inilah yang dikatakan Ziauddin Sardar dengan the highly sophisticated colonialism, sebuah penjajahan yang cukup canggih.
Islam tidak anti teknologi. Akan tetapi teknologi yang kita kenal sekarang tidak lebih dari kegiatan kaum kapitalis untuk memperbesar keuntungannya. Teknologi yang diimpor Barat ke berbagai negara dunia ketiga bukan untuk menguntungkan negara-negara pengimpor; tetapi yang diuntungkan adalah negara-negara Barat sendiri. Penindasan di negara-negara ketiga tetap berjalan dengan baik: yang kaya semakin senang, yang miskin semakin melarat. Ini bukan cara Islam. Sekali lagi, ini adalah the highly sophisticated colonialism; dan umumnya negara-negara pengimpor, bukan mengimpor barang-barang kebutuhannya, tetapi apa yang didikte oleh Barat.

Sistem Ekonomi Islam

Komunisme lebih dekat dengan Islam daripada kapitalisme. Tapi Islam berbeda dari keduanya karena Islam tidak berlandas pada falsafah materialisme. Kesadaran awal untuk melawan penindasan dan kesewenangan menjadikan Islam memiliki kedekatan dengan komunisme walaupun kebanyakan umat Islam lebih cenderung – karena kemunafikan dan keinginan mencari untung material – membela kapitalisme.
Landasan ekonomi Islam adalah moralitas/spiritualitas dan keadilan: tidak menganiaya/merugikan orang lain dan kita juga tidak dirugikan (Q.S. al-Baqarah: 279). Namun Islam tetap menganjurkan agar orang-orang yang mengalami kesulitan tetap dibantu dan bila perlu utang-utangnya dimaafkan (Q.S. al-Baqarah: 280). Ini menunjukkan karakteristik Islam yang paling mendasar, yaitu: berlomba meraih ketakwaan (keuntungan spiritual), bukan keuntungan material.
Akan tetapi Islam juga menyadari bahwa ada orang yang culas memperalat kebaikan hati orang lain. “Mentang-mentang” seorang mukmin suka memaafkan utangnya, maka ia berutang banyak-banyak padanya lalu meminta agar utangnya dimaafkan karena ia dalam kesulitan. Ini harus diwaspadai sebab membiarkan orang bertingkah laku seperti itu akan membawa konsekuensi yang berbahaya bagi moralitas masyarakat. Karena itu Islam mengingatkan perlunya perjanjian utang dan bahkan pembuatan catatan khusus untuk transaksi (Q.S. al-Baqarah: 282).
Ini adalah dasar-dasar yang paling sederhana mengenai sistem ekonomi Islam. Tetapi dalam bentuk dan tujuannya yang lebih makro, Islam ingin membebaskan manusia dari perbudakan ekonomi atau perbudakan sebagian manusia atas manusia lain atas dasar kepentingan ekonomi. Ini pula sebenarnya yang menjadi keresahan kaum Marxis: manusia harus terbebaskan dari perbudakan kaum kapitalis dan hubungan antar manusia hendaknya terjalin secara merdeka, terlepas dari penderitaan-penderitaan represif kelompok lain. Banyak orang mencela Marxisme habis-habisan karena pandangannya tentang Tuhan dan agama yang dianggap ateistik. Sebaliknya orang tidak mau melihatnya dalam konteks perlawanan terhadap kapitalisme. Ini tentu tidak fair.

Epilog: Ibadah Sebagai Filsafat Kerja Islam

Dalam Islam, segala kreativitas yang membawa kebaikan dan kemaslahatan adalah ibadah, asal saja pelakunya ikhlas (tidak arogan dan tidak atas dasar kepentingan diri sendiri). Bekerja atau berusaha untuk mencari nafkah juga ibadah, karena di dalamnya mengandung berbagai kebaikan dan keuntungan bagi orang lain. Islam melarang berbagai kecurangan dalam bekerja, karena hal tersebut merugikan orang lain. Jadi ibadah dalam Islam sangat universal. Jika ini dijadikan filsafat kerja oleh orang-orang Mukmin, maka mereka tentu akan menjadi masyarakat yang paling giat bekerja. Karena itu dianggap tercela orang yang tidak mau bekerja dengan alasan untuk lebih konsentrasi beribadah. Pandangan yang memisahkan ibadah dan kreativitas benar-benar dianggap sebuah kekacauan oleh Islam.


Langsa, Akhir Maret 2008

Zulkarnaini Abdullah