Thursday, June 15, 2017

Konflik Yahudi Muslim: Siapa Umat Pilihan



Semua pemeluk agama akan mengklaim agamanya sebagai yang terbaik dan kelompoknya sebagai umat pilihan. Ini logis, sebab jika tidak demikian maka dapat dipastikan bahwa landasan bagi pemilihan agama yang dipeluk seseorang itu sangat rapuh. Apakah seseorang akan memilih agama yang tidak sempurna untuk dianutnya? Memilih agama terbaik berarti menjadi umat terbaik. Tapi adakah semua orang memilih agama yang dipeluknya? Bukankah hampir semua orang memeluk agama yang “dibaptiskan” kepadanya pada waktu ia masih kecil, ketika ia sendiri belum mengerti secara mendalam ajaran agama yang akan harus ia pegang teguh itu? Jadi benarkah setiap orang telah memilih agama yang terbaik untuk dirinya? Atau itu hanya sebuah pembenaran psikologis, agar setiap orang puas dengan agama yang dipeluknya? Atau, tidakkah mungkin, itu hanya politik penguasa agama agar dapat mempertahankan atau memperbanyak komunitas agamanya? Siapa tahu, dan siapa yang akan dapat menjawabnya secara objektif?
Sebelum isu ini didiskusikan lebih jauh, yakni pada bab selanjutnya, di sini beberapa analisa akan difokuskan pada sejumlah ekspresi al-Qur’an mengenai umat pilihan atau umat terbaik. Dalam al-Qur’an, umat Nabi Muhammad disebut sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang diutus untuk manusia, karena mereka menyuruh perbuatan makruf dan mencegah perbuatan mungkar.
Kamu adalah umat terbaik (khayr ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[1]

Di samping itu, umat pengikut Musa, yakni Bani Israil, juga dikatakan sebagai umat pilihan, di mana Tuhan telah memilih mereka atau melebihkan mereka dari umat-umat lain di dunia.
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Ia mengangkat nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja, dan memberimu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun (wa ātākum mālam yu’ti ah}adan) di antara umat-umat yang lain.”[2]

Dalam ayat lain, al-Qur’an mengekspresikannya dengan lebih jelas:
Wahai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu (fad}d}altukum) atas segala umat.[3]

Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka (ikhtarnā hum) dengan pengetahuan (Kami) atas segala umat.[4]

Lalu siapa, menurut al-Qur’an, umat pilihan? Umat Islam atau umat Yahudi? Pertanyaan ini tentu amat mudah dijawab oleh kedua belah pihak. Tanpa diragukan, keduanya pasti memiliki cukup banyak argumentasi untuk membela pihaknya masing-masing. Memang perdebatan linguistik mungkin terjadi, sebab al-Qur’an menyebutkan apresiasi tersebut dengan ekspresi kata berbeda: khayr ummah, ikhtarnā hum, fad}d}altukum, wa’ātākum mā lam yu’ti ah}adan dan lain-lain. Tapi hal ini tidak akan diperbincangkan lebih jauh dalam kajian disertasi ini, karena sudah berada di luar fokus; yang jelas, al-Qur’an telah mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ada umat yang diberikan penilaian lebih tinggi dari yang lain. Jika persoalannya demikian, menurut kebanyakan mufassir, maka dapat saja dipahami bahwa penilaian tersebut bersifat relatif. Sebuah penilaian akan terbatas pada aspek-aspek tertentu. Jika seseorang mendapatkan prestasi yang tinggi dalam satu hal maka tidak mustahil dalam hal lain ia berkurang.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menurut Ibn Katsīr, orang-orang Israel adalah umat yang terbaik pada zamannya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir dan Yunani.[5] Mengenai pernyataan al-Qur’an bahwa Allah telah memilih bangsa Israel, para mufassir secara general menganggap bahwa keunggulan mereka tersebut bersifat relatif, tidak mutlak. Dalam beberapa hal mereka memang memiliki kelebihan, namun ada juga bangsa-bangsa lain yang memiliki kelebihan berbeda. Namun dalam hal agama, kepemimpinan, kedatangan nabi-nabi dan kitab suci, bangsa Yahudi memang termasuk spesial pada zaman tersebut, seperti kata Ibn Katsīr di atas. Demikian juga pendapat al-Rāzī.[6]
Namun al-Qurt}ubī memiliki pendapat agak berbeda. Ketika menafsirkan ayat 47 surat al-Baqarah, al-Qurt}ubī berkata, bahwa Bani Israil telah dilebihkan oleh Tuhan atas segala umat, baik umat di zamannya atau pun umat di zaman-zaman yang lain. Tuhan telah mengangkat nabi-nabi yang banyak di kalangan mereka; ini merupakan kelebihan Bani Israil secara khusus.[7] Tetapi ketika menjelaskan ayat 32 surat al-Dukhān, al-Qurt}ubī tampak ragu untuk bersikap tegas dengan pandangannya sebelum itu. Ia mengatakan bahwa kelebihan Bani Israil adalah jika dibandingkan dengan umat-umat lain di zamannya; ini berdasarkan ayat 110 surat Āli ‘Imrān yang menegaskan keterpilihan umat Muhammad. Namun, setelah itu ia berkata: ini pendapat Qatādah, sementara pendapat yang lain mengatakan, kelebihan mereka adalah atas segala umat pada setiap zaman, karena mereka memiliki nabi-nabi yang banyak.[8] Al-Qurt}ubī tidak memberikan komentar yang banyak setelah itu. Tampaknya ia sendiri menyadari bahwa kebanyakan mufassir pendahulunya juga memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ia sendiri tentu saja tidak mungkin menolak bahwa umat Muhammad adalah umat pilihan, berdasarkan al-Qur’an sediri. Menyambung al-Qurt}ubī, lalu apa salahnya jika diterima bahwa kedua komunitas ini adalah umat pilihan?
Apa sesungguhnya arti “umat pilihan” itu? Ketika Tuhan telah memilih suatu umat, apakah berarti Ia telah menyia-nyiakan umat yang lain? “Kita” sepertinya cenderung menafikan setiap kelebihan pada “orang lain” dan amat takut jika ternyata harus mengakui bahwa orang lain mengungguli kita. Al-Qur’an sebenarnya telah memberikan isyarat bahwa Tuhan telah memilih siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Tuhan telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas sekalian manusia; Tuhan juga telah menjadikan Maryam sebagai perempuan pilihan di atas sekalian perempuan di dunia.[9] Tuhan telah memilih banyak manusia dan melebihkan mereka dari manusia-manusia yang lain. Namun Tuhan tidak memilih mereka begitu saja tanpa alasan. Ketundukan mereka yang tulus kepada-Nya dan komitmen moral mereka yang berada pada level standar tertinggi adalah alasan utama mengapa mereka menempati posisi lebih terhormat di mata Tuhan. Dalam berbagai ayat dan surat, al-Qur’an menegaskan hal tersebut. Ketika dipilih oleh Tuhan menjadi imam bagi sekalian manusia, Ibrahim bermohon: “(Ya Tuhan! Demikian juga) dari anak keturunanku!” Tuhan menjawab: “Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.”[10]
Al-Qur’an selalu mengacu pada prinsip-prinsip yang universal. Al-Qur’an tidak mungkin dipahami dalam konteks yang sempit. Menalar al-Qur’an dengan cara-cara yang tendensius akan berhadapan dengan berbagai paradoks, dan membingungkan. Sejauh ini, kasus ayat-ayat yang telah dibicarakan di atas adalah contoh-contoh yang jelas. Sekali lagi, ayat-ayat ini menunjukkan historisitas al-Qur’an dan keterikatannya dengan sosial-budaya masyarakat yang menjadi sasarannya. Ayat-ayat al-Qur’an pertama sekali ditujukan kepada masyarakat Arab dan pembicaraan al-Qur’an mengenai orang-orang Yahudi dan Nasrani pada intinya juga tidak terlepas dari persoalan hubungan mereka dengan Nabi Muhammad dan orang-orang Arab. Orang-orang Bani Israil yang dibicarakan al-Qur’an haruslah dilihat sebagai contoh-contoh untuk dijadikan pelajaran. Mereka dipilih oleh Tuhan karena ketulusan hati dan kebaikan amalnya; mereka dicela karena sikap-sikapnya yang menyimpang dari kebenaran dan melanggar sumpah setia yang telah mereka ikrarkan.
Gagasan al-Qur’an mengenai keterpilihan Bani Israil barangkali juga tidak terlepas dari klaim Bani Israil sendiri bahwa mereka telah dipilih oleh Tuhan. Beberapa ayat al-Qur’an mengindikasikan bahwa orang-orang Yahudi Medinah telah mengekspresikan hal tersebut, namun mungkin dengan nada sinis dan merendahkan.
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah di antara orang-orang musyrik.”

Katakanlah (hai orang-orang Mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”[11]

Pada ayat lain ekspresi ini tampak lebih tegas:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah: “Lalu mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).[12]

Ayat-ayat ini turun mengoreksi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memandang diri mereka terlalu eksklusif. Kedua komunitas ini dianggap al-Qur’an telah terjebak dalam kesesatan mental yang sama. Tuhan telah memilih mereka dengan menurunkan agama yang benar, namun mereka telah mengalihkan makna keterpilihan itu kepada bentuk-bentuk yang lebih sempit: rasialisme dan formalitas. Al-Qur’an membantah klaim-klaim yang telah merusak kebenaran universal dan merendahkan persaudaraan kemanusiaan itu.
            Dalam konteks seperti ini, barangkali, ayat-ayat di atas dapat dilihat secara lebih terang. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an tidak boleh dilihat dengan perspektif yang sempit, sehingga seseorang terjebak kembali dalam kekeliruan yang sama. Al-Qur’an adalah petunjuk dan peringatan, bukan buku manual; ia harus dipahami melalui perspektif kehidupan yang lebih luas, lebih real dan lebih bijaksana.
            Kesadaran sebagai umat pilihan, melalui cara-cara tertentu, telah terbentuk dalam berbagai komunitas agama yang percaya agamanya sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan yang Esa; dan ini telah mencirikhaskan ketiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam. Masing-masing memiliki alasan, yakni dari kitab suci, untuk mengklaim dirinya sebagai umat pilihan Tuhan; dan bahwa Tuhan sendiri telah berkata demikian. Namun, sesungguhnya yang lebih penting adalah upaya mengeksplorasi makna yang lebih dalam dari pernyataan bahwa Tuhan telah memilih seseorang atau suatu umat. Jika Yahudi adalah umat pilihan, mengapa Tuhan menghukum mereka dengan berbagai siksaan? Demikian al-Qur’an mengajukan kritikan. Namun kritik ini sering kali tidak diterapkan oleh umat Islam (pemilik al-Qur’an) untuk diri mereka sendiri. Artinya, meskipun umat Islam melihat dirinya sebagai umat pilihan, kebanyakan mereka tidak berupaya dengan sungguh-sungguh untuk merealisasikan hal tersebut dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan al-Qur’an.
            Para sarjana Muslim sejak awal telah mengemukakan pendapat berbeda dalam memahami ungkapan al-Qur’an: kuntum khayr ummah (kamu adalah umat terbaik).[13] Berdasarkan riwayat al-T{abarī, Ibn ‘Abbās berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah para sahabat Nabi yang berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Medinah. ‘Umar ibn al-Khat}t}āb juga mengatakan demikian. Menurutnya, mereka yang terpilih itu adalah khusus para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang berbuat seperti para sahabat Rasul berbuat. Namun sejumlah riwayat lain yang barangkali lebih mencerminkan kepedulian akan makna sejati ayat tersebut juga dikutip oleh al-T{abarī. Menurut Mujāhid, demikian al-T{abarī meriwayatkan, umat di zaman mana saja dapat menjadi umat terbaik sejauh mereka memenuhi persyaratan yang telah dibuat al-Qur’an, yaitu: menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar; buktinya al-Qur’an mengatakan: “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” Sayangnya, “di antara mereka ada yang beriman, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”[14]
            Umumnya kaum Muslim, sebagaimana terungkap dalam berbagai literatur Islam sepanjang sejarah, menyadari bahwa menjadi pilihan Tuhan tidaklah dengan serta-merta, tetapi harus dengan amal dan ketulusan hati. Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, dalam keyakinan yang lebih populer, pada akhirnya umat Nabi Muhammadlah yang diyakini sebagai umat yang terbaik; sebaik apa pun umat lain (umat terdahulu), tidak akan menyamai, apa lagi melebihi, umat Nabi terakhir. Padahal, ini jelas amat sulit disejalankan dengan semangat dasar al-Qur’an. Beberapa riwayat telah dijadikan sandaran untuk pandangan ini. Al-T{barī, misalnya, telah menukilkan riwayat-riwayat yang mengatakan – mengenai takwil ayat 110 di atas – “kita adalah umat terakhir dan kita yang terbaik.” Bahkan Nabi diriwayatkan bersabda: “Kamu sekalian telah menyempurnakan sembilan puluh umat, dan kamu adalah yang terbaik dan termulia di sisi Allah.”[15]
Sementara itu al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa para rasul memang telah dilebihkan oleh Tuhan, sebagian mereka di atas sebagian yang lain, namun masing-masing mereka mempunyai kelebihan tersendiri; dan manusia sebagai umatnya serta sebagai hamba Tuhan tidaklah berhak membanding-bandingkan mereka.
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung kepadanya) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Rūh} al-Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdo‘a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[16]

            Kedua ayat ini memperlihatkan pandangan al-Qur’an yang cukup jelas soal bagaimana umat Muhammad seharusnya bersikap terhadap umat dan nabi-nabi yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan secara sahih oleh al-Bukhārī, Nabi Muhammad sendiri telah mengekspresikan sikap yang cukup tegas. Pada suatu hari seorang Muslim bertengkar dengan seorang Yahudi; mereka saling mencaci maki. Maka terucap oleh si Muslim: “Demi Tuhan yang telah memilih Muhammad atas sekalian manusia.” Lalu Yahudi tersebut membalas: “Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas sekalian manusia.” Maka orang Muslim tadi marah dan menampar si Yahudi. Yahudi itu mengadu kepada Rasulullah. Rasul memanggil orang tersebut dan bertanya apakah benar pengaduan tersebut. Ia mengaku. Lalu Rasul bersabda: “Janganlah engkau melebih-lebihkan aku atas Musa ...”[17]
            Pertengkaran demi pertengkaran, baik politik maupun ideologi, telah mewarnai sejarah hubungan Yahudi-Muslim dari awal sampai hari ini. “Siapa yang telah memulainya?” Ini adalah pertanyaan yang keliru kalau pertengkaran tersebut tidak ingin dilanjutkan lagi. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak akan pernah relevan bagi dialog antar umat. Jawaban yang diberikan, baik itu “benar” atau keliru, justeru akan memperkeruh suasana. Keinginan mencari jawaban tersebut telah mendorong masing-masing untuk saling merendahkan dan mengindoktrinasi setiap pemeluk masing-masing untuk meyakini diri merekalah yang lebih superior, dengan mencari berbagai legitimasi dari kitab suci dan mengabaikan realitas kehidupan yang lebih nyata. Kadang-kadang kebodohan atau kejahatan segelintir orang – atau bahkan satu orang – dalam sebuah komunitas, harus ditanggung konsekuensinya oleh seluruh individu dalam komunitas tersebut. Dalam setiap komunitas pasti ada orang, atau orang-orang, yang berbuat bodoh, namun tidak adil kalau hal tersebut digeneralisir kepada semua individu. Fakta bahwa al-Qur’an telah mengkritik orang-orang Yahudi dan bahkan melemparkan beberapa tuduhan tercela, tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus fakta bahwa al-Qur’an juga telah mengekspresikan sejumlah apresiasi positif kepada mereka; bahwa Tuhan telah memilih Bani Israil telah diekspresikan al-Qur’an secara nyata.
            Klaim umat Islam sebagai khayr ummah jelas merupakan tantangan bagi kaum Yahudi. Pertengkaran seorang Yahudi dengan seorang Muslim di Medinah, sebagaimana tersebut dalam riwayat di atas, memperlihatkan suasana tersebut. Masing-masing mengatakan Nabinya yang terhebat dan, logikanya, masing-masing menganggap dirinya, sebagai pengikut Nabi tersebut, adalah yang terhebat pula. Dalam situasi pergolakan pemikiran keagamaan yang hebat, pada abad tengah, ketika kaum Muslim mengalami kejayaan dan berkesempatan melancarkan misi Islam dengan gencar, Moses Maimonides (1135-1204), untuk yang pertama kalinya dalam sejarah perkembangan agama Yahudi, memformulasikan tiga belas prinsip dasar keyakinan Yahudi, di mana salah satunya menyebutkan: Moses is the greatest of the prophets.[18] Apa yang dilakukan Maimonides, hampir dapat dipastikan, adalah sebagai upaya melawan klaim umat Islam atas “kebesaran” Nabi Muhammad.[19] Maimonides jelas bukan yang pertama menciptakan gagasan tersebut, tetapi, dalam kondisi pertentangan ideologi seperti di abad tengah itu, ia merasa perlu menegaskannya kembali dalam rangka “memperteguh keimanan” kaumnya dan “menyelamatkan” mereka dari “kemurtadan.” Kedua belah pihak sebenarnya sama saja. Keinginan untuk menjadi yang terhebat, atau mendapat pengakuan sebagai yang terhebat, barangkali, merupakan naluri dasar manusia. Lagi-lagi al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang menjadi hebat bukan karena keturunan atau komunitasnya, tetapi karena hati dan amalnya. Maka Nabi Muhammad pun menolak untuk disebut sebagai lebih hebat dari Nabi Musa. Hanya Tuhan yang berhak menilai hati dan amal manusia.
Di kalangan Yahudi telah muncul pula kesadaran untuk mengkritisi makna keberadaan mereka sebagai the chosen people. Dalam tradisi Yahudi, gagasan bahwa Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi sebagai umat istimewa yang akan melaksanakan kehendak-Nya dapat ditemukan secara jelas dalam Bible – di antaranya sebagaimana telah dikutip di atas – dan menjadi ajaran yang diyakini secara luas oleh masyarakat Yahudi. Namun, apakah ketika Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi berarti Ia telah mengabaikan umat-umat yang lain? Para sarjana Yahudi telah mengembangkan tafsiran berbeda-beda dalam menjelaskan makna “umat pilihan Tuhan.” Sebagian mereka menunjukkan bahwa persoalannya tidaklah sederhana. Bible memang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih bangsa Yahudi, tetapi  nowhere is it suggested that other peoples have no role to play in God’s plan for humanity.[20] Lebih jauh, doktrin tersebut tampak dengan jelas bertentangan dengan keyakinan akan betapa luasnya rahmat Tuhan, whose care and providence extends equally ... to all human beings He has created in His image.[21]
Sebagian mereka bahkan merasa “risih” dengan sebutan tersebut. Mengapa Tuhan harus memilih satu umat khusus untuk suatu tugas tertentu? Mengapa orang-orang Yahudi sebagai pilihan terbaik? Why not make the whole human race the instrument for the fulfillment of His purpose? Kita tidak tahu, itu adalah urusan Tuhan, jawab Maimonides dan sejumlah pemikir Yahudi lainnya.[22]
Namun sebagian mereka sangat yakin bahwa Tuhan memang telah memilih ras Yahudi sebagai yang terbaik di antara umat manusia. Jiwa orang-orang Yahudi lebih superior dari yang lainnya. Walaupun demikian, ini tidak berarti orang-orang Yahudi dapat bertindak sekehendaknya terhadap bangsa lain yang dianggap berjiwa inferior. Yang dituntut justeru sebaliknya: Karena Tuhan telah memilih mereka, berarti Tuhan telah memundakkan tugas yang lebih besar, yaitu memberikan servis kepada umat lain, bukan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri; mengajak mereka ke jalan Tuhan dan membantu mereka menjalankan kehendak Tuhan. Pandangan ini, walaupun mencoba menunjukkan diri bersikap dan berniat baik, jelas sangat imperialistik. Kebanyakan sarjana Yahudi menolak pandangan tersebut, atau dianggap sebagai pandangan yang kurang meyakinkan.[23]
Mengenai hal ini George Robinson mengutip dua kisah ilustratif. Yang pertama, Tuhan menawarkan Taurat kepada bangsa-bangsa lain. Satu kelompok bertanya: “Apa  di dalam nya?” di mana Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh mencuri.” Mereka lalu berkata: “Ya, bagaimana, itulah penghidupan kami. Kami tidak tertarik.” Kelompok lain lagi juga bertanya apa isi Taurat itu, dan Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh membunuh.” Mereka merespon: “Kami adalah bangsa pahlawan, maaf, kami tidak dapat mengikutinya.” Akhirnya Tuhan menawarkan Taurat itu kepada orang-orang Hebrew dan mereka setuju untuk menerimanya.
Dalam kisah kedua, Tuhan mengangkat gunung Sinai ke atas kepala orang-orang Israel, lalu menahannya dan berkata bahwa jika mereka tidak mau menerima Taurat, Ia akan menjatuhkan gunung tersebut.
Jadi, kata Robinson, orang-orang Yahudi tidak dipilih karena superioritasnya, tetapi karena kemauannya mengikuti hukum Tuhan. Mereka dipilih karena mereka tidak berani menolak. Either way, the worldview these two stories propound is one in which being chosen is a responsibility and a burden. In Deuteronomy 7: 7, God tells the Israelites that they were not chosen because they were greater among the nations but because they were small, the least of the nations.[24]
Apa yang dikemukakan al-Qur’an tentang keterpilihan Bani Israil adalah konsep yang telah dikembangkan oleh Bani Israil itu sendiri. Dalam kenyataannya sekarang, orang-orang Yahudi berselisih tentangnya. Al-Qur’an dalam hal ini sebenarnya telah menawarkan konsep yang lebih tercerahkan bagi orang-orang Yahudi dalam memaknai arti gagasan “keterpilihan” tersebut. Sekiranya saja para pemeluk suatu agama tidak merasa segan mengambil kitab suci umat lain untuk memperkaya pemahaman mereka tentang isi kitab suci mereka sendiri mungkin mereka akan bisa melihat dunia ini agak lebih luas. Tapi bagi kebanyakan orang, ini pasti amat menjijikkan dan dianggap sebagai cara beragama paling keliru. Namun para sarjana Muslim ternyata telah mengambil inisiatif seperti ini sejak awal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, walaupun pada akhirnya dikalahkan oleh pendapat lain, yang mampu menciptakan kesan negatif bagi isrā’īliyyāt.


[1]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[2]Q.S. al-Mā’idah: 20.
[3]Q.S. al-Baqarah: 47 dan 122.
[4]Q.S. al-Dukhān: 32.
[5]Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Kairo, 1956), Vol. 3, 36-7.
[6]Al-Rāzī, Mafātih} al-Ghayb, (Kairo, 1308 H.), Vol. 1, 336-7.
[7]Al-Qurt}ubī, al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Sya‘b, Cet. II, 1372 H.), Vol. 1, 376. Pendapat ini didukung pula oleh Q.S. al-Jātsiyah: 16: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil kitab (Taurat), kekuasaan (al-h}ukm) dan kenabian (al-nubuwwah) dan Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa yang lain.”
[8]Ibid., Vol. 16, 142-143.
[9]Q.S. Āli ‘Imrān: 33 dan 42.
[10]Q.S. al-Baqarah: 124.
[11]Q.S. al-Baqarah: 135-136.
[12]Q.S. al-Mā’idah: 18.
[13]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[14]Al-T{abārī, Jāmi‘ al-Bayān, Vol. 4, 43-45.
[15]Ibid., 45
[16]Q.S. al-Baqarah: 253 dan 285.
[17]Al-Bukhārī, S{ah}īh} al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, 1987 M./1407 H.), Vol. 2, 849: Hadis No. 2280. Dalam teks lain disebutkan, mendengar itu “maka Nabi s.a.w. marah ...” Lihat Ibid., Vol. 3, 1254: Hadis No. 3233.
[18]Tiga belas prinsip dasar keyakinan tersebut, sebagaimana dikutip Tracey Rich, ialah: 1. G-d is one and unique; 2.G-d is incorporeal; 3. G-d is eternal; 4. Prayer is to be directed to G-d alone and to no other; 5. The words of the prophets are true; 6. Moses’s prophecies are true, and Moses was the greatest of the prophets; 7. The Written Torah (first 5 books of the Bible) and Oral Torah (teachings now contained in the Talmud and other writings) were given to Moses; 8. There will be no other Torah; 9. G-d knows the thoughts and deeds of men; 10. G-d will reward the good and punish the wicked 11. The Messiah will come; 12. The dead will be resurrected. Lihat . Lihat juga Louis Jacobs, The Book of Jewish Belief, (Behrman House, t.t.), 5.
[19]Louis Jacobs, The Book of Jewish Belief, (Behrman House, t.t.), 6.
[20]Ibid., 38.
[21]Louis Jacobs, The Jewish, 77.
[22]Louis Jacobs, The Book, 40.
[23]Ibid.
[24]George Robinson, Essential Judaism: A Complete Guide to Beliefs, Customs, and Rituals, (New York: Pocket Boks, 2000), 73-74.

Wednesday, June 14, 2017

Renungan Awal Tahun



Kita dan Perubahan: Refleksi Awal Tahun 2017/1438

Hari-hari yang kita lalui sepanjang masa sebenarnya sama saja. Kitalah yang menentukan nilai dari hari-yang kita lalui itu. Kita yang menentukan kemana arah perjalanan hidup yang kita tempuh. Kita yang menentukan, amalan-amalan apa saja yang akan kita buat untuk mengisi hari-hari tersebut. Hari demi hari berganti. Tahun demi tahun berganti. Hidup kita akan sama saja dengan sebelumnya apabila tidak ada yang kita lakukan untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Manusia yang hidupnya sama saja dari hari ke hari tanpa kemajuan dan peningkatan adalah manusia yang rugi. Maka mari kita mengisi hari-hari kita dengan amalan kebaikan yang selalu lebih baik dari sebelumnya, baik kualitas maupun kuantitasnya. Marilah menjadi orang yang beruntung, jangan menjadi orang yang rugi.
Hidup tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi harus digerakkan, dan harus ada power atau kekuatan untuk menggerakkannya. Hidup tanpa gerakan adalah kematian. We have to move. Kita harus membuat gerakan untuk menunjukkan bahwa kita hidup. Gerakan itulah yang akan menjadi proses perubahan. Kita memang harus berubah. We have to change. Ada sebahagian orang yang takut pada perubahan, karena mereka mengira perubahan akan menghancurkannya. Mereka melihat dirinya telah berada pada secure space yakni wilayah aman dan perubahan akan merusak segalanya. Mereka bangun tidur setiap pagi lalu melakukan rutinitas seperti biasa, sore hari pulang ke rumah, beristirahat dan besok pagi kembali kepada rutinitas yang sama. Mereka seperti burung, seperti binatang ternak atau seperti keledai yang akan kebingungan kalau jalan yang ia lalui telah berubah.
Setiap perubahan pada awalnya akan mendatangkan kebingungan, dan bahkan kejatuhan. Tetapi hal itulah yang menjadi pelajaran dan latihan bagi kita untuk bangkit, maju dan bergerak labih cepat. Para Nabi pun, sebagai manusia dan pejuang, pernah mengalami “kebingungan” dalam hidupnya sebagai prerequisite (prasyarat) mendapatkan pencerahan. Nabi Ibrahim mengukuhkan imannya lewat sebuh proses inquiry terhadap berbagai fenomena alam yang menakjubkan. Beliau mempertanyakan apakah bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan. Ternyata tidak. Mereka semua tidak lain hanyalah ciptaan Tuhan yang maha berkuasa di atas segalanya.
Nabi Yunus bahkan pernah keliru dalam keputusan yang beliau ambil tatkala berhadapan dengan kesulitan dan kepahitan dalam perjuangannya. Beliau memutuskan untuk lari meniggalkan kaumnya yang taunya hanya membangkang dan durhaka. Tuhan memberi beliau teguran lewat sebuah cobaan yang tidak terbayangkan. Belilau harus mendekam dalam perut ikan sekian lama sampai akhirnya ia memuntahkan beliau ke sebuah tepi pantai yang asing.
Nabi Musa terlibat dalam sebuah tindakan “criminal” sebab tidak sanggup lagi melihat perihnya penderitaan yang dialami Bani Israil karena kezaliman Firaun. Beliau membunuh seorang Qubti yang terlibat perkelahian dengan bangsa Beliau (Bani Israil) karena melawan titah Penguasa zalim itu. Beliau menjadi buronan Firaun dan kemudian menjadi seorang “pemberontak” yang menyulut semangat perlawanan yang berapi-api.
Nabi Muhammad bahkan hampir saja melihat kematian sebagai sebuah solusi atas “kepanikannya.” Imam al-Bukhari telah meriwayatkan sebuah kisah yang kemudian mejadi kontroversial di kalangan ahli hadis, karena menyebut Nabi hampir saja melakukan bunuh diri karena “bingung” terhadap apa yang terjadi atas dirinya, setelah menerima wahyu. Terlepas dari kontroversi tersebut, Nabi Muhammad mamang pernah berada dalam sebuah kondisi yang secara psikologis amat membebani jiwanya. Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan menemukan Nabi sebagai sebuah pribadi yang dhall, yakni sesat. Namun kemudian Tuhan memberikan petunjuk kepadanya. Ini harus dipahami dengan baik dan hati-hati. Kata dhall kadang-kadang diartikan dengan sesat, tetapi di sini tidak dalam pengertian seperti aliran sesat yang berkembang selam ini; sesat yang tidak cerdas. Sesat yang dimaksudkan di sini adalah berada dalam kondisi di mana seseorang tidak dapat memberikan keputusan yang pasti atas apa yang sedang terjadi; In a state of confusion. Para filosof, mujtahid dan orang-orang yang kreatif berpikir, sering mengalami hal seperti itu. Termasuk para Nabi. Para Nabi bukanlah robot yang di kepalanya ada receiver dan chip sebagai alat penerima dan penyimpan wahyu. Demikian juga kitab suci, bukanlah buku manual seperti petunjuk merakit sebuah mainan anak-anak. Nabi adalah manusia yang jejak langkahnya  dan seluruh perilaku hidupnya menjadi teladan bagi manusia. Kita tidak akan dapat meneladani robot, karena ia adalah mesin dan segala keputusan yang diambilnya bersifat programatik; tidak ada kebijakan dan perubahan; tidak ada ijtihad. Tapi Nabi adalah manusia yang merupakan patron kehidupan ideal. Perilakunya yang kita ikuti adalah berupa nilai dan keteladanan, bukan perkara-perkara teknis yang setiap saat bisa berubah dan berkembang. Begitu pula kitab suci yang mereka bawa dan bacakan untuk manusia, harus dipahami dengan cermat dan mendalam.
Sejarah para nabi penuh aneka warna, menampilkan berbagai pelajaran dan iktibar yang sangat berfariasi. Namun satu hal sangat jelas: mereka adalah manusia yang hadir ke dunia ini dengan membawa cita-cita perubahan. Mereka adalah orang-orang yang peduli, karena itu mereka resah. Mereka berpikir, karena itu mereka kadang-kadang berada dalam ketermenungan – kalau tidak boleh menggunakan kata “bingung.” Mereka berijtihad, karena itu mereka kadang-kadang “keliru.” Tetapi Nabi bukan tukang sihir yang mengubah dunia ini dengan tongkatnya, atau akan terbang dengan menggunakan sapu lidi. Memang para nabi dibekali dengan mukjizat. Nabi Ibrahim tiak terbakar dalam api. Nabi Isa menghidupakan orang mati. Nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya. Itu hanya kasus-kasus special, untuk membungkam orang-orang kafir atau para pembangkang. Mereka tidak melakukan itu sepanjang hidupnya. Itu justeru untuk menunjukkan kepada kita bahwa berhadapan dengan orang-orang kafir tidak ada gunanya menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat. Mereka tetap kafir walaupun kepadanya diperlihatkan berbagai kekuasaan Tuhan. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan telah memfasilitasi kita untuk melihat ayat-ayat Tuhan di seluruh jagad raya dan pada diri kita sendiri. Kita pun tidak perlu lagi kepada mukjizat yang seolah-olah terlihat ganjil.
Tahun 2017 sudah kita masuki. Sebagian orang sibuk dengan ramalan-ramalan, baik tentang rezki, jodoh atau lainnya.  Mereka mengira ramalan-ramalan itu akan menciptakan perubahan dalam hidup mereka. Kalau kita meniru jejak kehidupan Nabi, maka cara mengubah kehidpan bukanlah dengan ramalan-ramalan. Para nabi memang manusia visioner, yang mempunyai pandangan jauh ke depan, tetapi bukan dengan cara menghitung angka-angka atau mengaitkan nasib dengan gerak benda-benda angkasa atau dengan cara-cara magic lainnya. Para nabi adalah orang-orang yang selalu berkarya dan berdoa. Mereka tidak berkarya saja dengan penuh kesombongan menganggap bahwa mereka akan sukses sebab sukses itu ada di tangan dirinya sendiri. Mereka juga bukan berdoa saja dengan keyakinan bahwa Tuhan maha kuasa dan doa kita pasti diterima sebab Tuhan itu Pengasih dan Penyayang. Dalam meraih sukses tidak perlu mengambighitamkan Tuhan. Untuk mengubah nasib tidak boleh menyalahkan doa. Orang-orang yang telah sukses di dunia ini tidak lahir dengan catatan di dahinya bahwa ia adalah manusia sukses. Orang-orang sukses itu juga bukan manusia yang tidak pernah gagal. Sukses adalah mata rantai kehidupan yang panjang, yang harus dimulai di sini dan hari ini atau sekarang. Untuk itu kita membutuhkan kepada kemauan dan keberanian. Orang-orang yang telah sukses menghadirkan visinya ke dunia nyata adalah mereka yang memiliki keberanian. Tidak akan ada perubahan bagi mereka yang pengecut.
Mari kita meraih sukses di tahun ini dengan manaklukkan ketakutan dan memberanikan diri menghadapi tantangan. Kita harus berani secara intelektual seperti Nabi Ibrahim dalam melawan kesesatan berpikir dan kerancuan akal. Kita harus berani seperti Nabi Musa dalam mengatakan kebenaran dan berjuang menegakkan keadilan. Kita harus berani seperti Nabi Yunus dalam membuat pengakuan atas kesalahan dirinya. Kita harus berani seperti Nabi Muhammad dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi cinta, yakni cintanya kepada kita, umatnya. Semua ketakutannya sirna dan lenyap melebur dalam cinta tatkala tawhid telah menjadi landasan hidupnya. Tidak ada lagi cinta harta, kemewahan, ataupun jabatan dan penghormatan duniawi, yang amat ditakuti kehilangannya oleh kebanyakan manusia. Semuanya berubah menjadi kekuatan dan keberanian, sebab yang ADA hanya satu: ALLAH, Tuhan semesta alam. Allahumma shalli ‘alayhi wa ‘ala alihi wa shahbihi wan man tabi’ah. Itulah keberanian yang sempurna, keberanian yang melampaui apa pun dalam seluruh jagad raya ini, keberanian spiritual yang tiada bandingnya dalam kehidupan. Wallahu a’lam!

Zulkarnaini Abdullah

Tuesday, May 25, 2010

Derajat Perempuan

Adakah laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan? Ini adalah sebuah wacana kontroversial dalam beberapa dekade terakhir, dimana pada masa-masa sebelumnya orang dengan mudah menjawab bahwa benar laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Namun demikian, asal muasal superioritas laki-laki atas perempuan juga dipandang secara berbeda oleh kebanyakan orang. Ada yang percaya bahwa laki-laki secara alamiah lebih hebat (lebih unggul) dari perempuan; artinya, memang telah demikian diciptakan. Sementara yang lain lagi menganggap bahwa tatanan sosial seperti sekarang ini, yang menempatkan laki-laki pada posisi lebih tinggi dari perempuan, hanyalah karena sebuah proses sosio-kultural semata; laki-laki dan perempuan tidak dilahirkan agar jenis yang satu menguasai dan mengalahkan jenis yang lain. Mereka dilahirkan sama, akan tetapi manusia sendiri yang menetapkan posisi-posisi tertentu kepada jenis kelamin tertentu dalam kehidupan sosialnya.
Dalam al-Qur’an (al-Nisā’ [4]: 34) Allah berfirman:
Kaum laki-laki adalah qawwāmūn (pemimpin) bagi kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (kaum laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir, sebab Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatir nusyūz-nya (melanggar kewajiban suami isteri), nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini telah dijadikan alasan oleh kebanyakan orang untuk mengatakan bahwa laki-laki telah dilebihkan kedudukannya oleh agama dari perempuan. Qawwāmūn secara general dapat diartikan dengan para pemimpin, pelindung, penanggung jawab, atau orang yang mengurus atau bertindak atas nama urusan orang lain. Para mufassir, terutama mufassir klasik, memberikan pengertian yang lebih kurang sama terhadap kata tersebut, meskipun dengan redaksi yang agak berbeda. Semua penjelasan mereka mengarah pada kesimpulan bahwa laki-laki adalah kaum yang terdepan dan bertanggung jawab atas segala urusan perempuan. Sebagian mereka bahkan secara tegas menyatakan superioritas laki-laki atas perempuan dengan menyebutkan berbagai keungulan yang pertama atas yang kedua: laki-laki lebih cerdas, lebih terhormat, lebih teguh pendiriannya, lebih kuat agamanya (dst.) dari perempuan. Karena itu, dari kaum laki-lakilah munculnya ulama, imam-imam besar, pejuang dan sebagainya. Demikian juga beberapa ketentuan syari’at dikhususkan bagi laki-laki, seperti jihad, azan, khutbah, salat Jum’at, kesaksian, wali nikah dan lain-lain.
Komentar dengan nada yang serupa juga disampaikan dalam kitab tafsir Ibnu Katsīr, sebuah kitab tafsir standar yang dijadikan rujukan oleh para sarjana Muslim sampai sekarang. Ibn Katsīr mengatakan bahwa laki-laki lebih utama dan lebih baik dari perempuan. Laki-laki adalah pemimpin perempuan, seniornya, pemberi keputusan [atas tindakan-tindakannya] dan pemberi peringatan apabila ia menyeleweng. Karena itu kenabian dan pemimpin agung dikhususkan bagi laki-laki.
Sementara itu dalam ayat yang lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 228) juga dikatakan bahwa laki-laki berada satu tingkat di atas perempuan. Secara lengkap arti ayat tersebut sebagai berikut:
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci. Tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Dan suami-suami mereka lebih berhak rujuk kepadanya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki perdamaian. Dan mereka (perempuan-perempuan tersebut) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (kebiasaan baik yang berlaku). Sementara kaum laki-laki (para suami) memiliki satu derajat lebih tinggi dari isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini, dan juga ayat 34 surat al-Nisā’ yang telah dikutip sebelumnya, jelas sekali berbicara tentang laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami isteri. Kesan yang paling kuat ketika kita membaca kedua ayat tersebut adalah bahwa laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga, sedangkan perempuan tunduk dan tersubordinasi pada laki-laki dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan rumah tangga. Secara tidak langsung dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan di luar konteks tersebut adalah sejajar. Dalam hubungan sosial, interaksi bisnis, pergulatan politik dan lain-lain di luar hubungan suami isteri, mereka dapat bekerja bersama-sama dan memilih siapa saja yang dianggap paling berkualitas di antara mereka, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai pemimpin. Tetapi pertanyaan tetap dapat diajukan: apakah dalam konteks kehidupan keluarga, laki-laki (suami) juga mesti “selalu” yang berada di depan, sebagai pemimpin, pembimbing isteri dan sebagai yang paling bertanggung jawab? Bagaimana sekiranya sang isteri dapat mengungguli suaminya dalam banyak hal? Ini sebenarnya termasuk juga masalah yang masih dapat diperdebatkan, seperti yang akan kita lihat nanti.
Penafsiran ulama klasik ihwal keutamaan laki-laki atas perempuan tentu dapat dipahami apabila dilihat dalam konteks zaman atau lingkungan peradaban di mana mereka hidup. Laki-laki mendapat kesempatan yang labih besar dari perempuan dalam segala hal: pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Tetapi kenyataan yang kita saksikan sekarang – di mana berbagai fasilitas teknologi global, terutama sekali dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi telah memberikan kemudahan-kemudahan, akses dan ruang gerak yang lebih luas kepada semua kelompok masyarakat, laki-laki dan perempuan – tentu saja amat berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi hambatan-hambatan fisik yang menjadi alasan, misalnya, perempuan tidak dapat menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu; tidak ada lagi alasan keamanan bagi perempuan untuk tidak bisa keluar rumah untuk menjalankan bisnis. Sehingga, kita pun dapat menyaksikan bahwa kecerdasan, ketrampilan mengemukakan pendapat di depan publik, dan berbagai keahlian serta profesionalisme lainnya ternyata tidak dimonopoli laki-laki. Banyak perempuan telah mampu menunjukkan kesejajarannya dengan, atau bahkan mengungguli, laki-laki dalam berbagai bidang.
Hal ini sebenarnya telah menjadi wacana penting juga di kalangan mufassir, terutama sekali mereka yang sempat hidup dalam, dan/atau bersentuhan dengan, peradaban modern. Rasyīd Ridā, seorang ulama tafsir modern, misalnya, dengan tegas menyatakan penolakannya atas tafsiran klasik yang mendiskreditkan perempuan atas dasar jenis kelamin dan atas dasar “faktor-faktor” alamiah serta historis yang melekat pada perempan. Misalnya haid dan mengandung dikatakan sebagai hal yang telah menyebabkan kegiatan-kegiatan tertentu terhalang bagi perempuan; atau bahwa dalam sejarah tidak kita temukan seorang nabi yang diangkat Tuhan dari kaum perempuan; demikian juga alasan syar‛iy, bahwa beberapa ketentuan agama telah dikhususkan bagi laki-laki, seperti telah disebutkan di atas. Semua ini, menurut Rasyīd Ridā, tidak bisa dijadikan hujah untuk mengatakan bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan. Faktor-faktor alamiah adalah ketentuan Tuhan, karena itu manusia tidak bisa menjadikannya sebagai dasar untuk merendahkan atau meninggikan sebagian atas sebagian yang lain. Ketentuan-ketentuan keagamaan juga berasal dari Tuhan, laki-laki dan perempuan mendapatkan pahala yang sama dalam melaksanakan kepatuhan kepada-Nya. Perempuan yang sedang menstruasi, misalnya, akan mendapatkan pahala meninggalkan shalat, sebagaimana juga ia akan berdosa jika melaksanakan shalat pada waktu tersebut; meninggalkan shalat itu sendiri adalah sebuah kepatuhan. Sesungguhnya yang menjadikan laki-laki itu qawwām (pemimpin) bagi perempuan, kata Rasyīd Ridā, adalah apa yang dinyatakan sendiri secara tegas oleh al-Qur’an, yaitu: bimā faddalallāh ba‘dahum ‘alā ba‘d wa bimā anfaqū (karena Allah memang telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka memberikan nafkah).
Rasyīd Ridā juga berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan tidak berlaku untuk semua individu. Sebab tidak sedikit juga perempuan yang melebihi laki-laki dalam hal ilmu, ekonomi dan bisnis atau aktivitas kerja. Pernyataan ayat di atas hanyalah merujuk pada kenyataan umum semata.
Menurut ayat di atas ada dua alasan laki-laki menjadi qawwām (pemimpin) bagi perempuan yaitu: (1) karena memang Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan (2) karena mereka memberikan nafkah.
Mengenai poin pertama, kebanyakan ulama (klasik) mengatakan bahwa maksudnya adalah: Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan. Namun jika kita perhatikan secara seksama, dalam ayat tersebut tidak dikatakan demikian; yang dikatakan dalam ayat adalah: faddalallāh ba‘dahum ‘alā ba‘d. Artinya, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian (yang lain) – tidak dikatakan: melebihkan laki-laki atas perempuan. Menurut Didin Syafruddin, pemahaman ulama klasisk seperti itu menunjukkan bahwa mereka telah dipengaruhi oleh historisitasnya. Pada zaman mereka kesejajaran antara laki-laki dan perempuan baik secara teoritis maupun dalam praktek belum terbukti secara meyakinkan dalam sejarah, sehingga pandangan minor terhadap kedudukan perempuan masih mewarnai pikiran mereka hatta dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Disebabkan oleh paradigma berpikir serta keterbatasan-keterbatasan historis dan kultural seperti itulah maka maksud sebuah ungkapan atau suatu ayat dalam al-Qur’an mungkin saja telah ditakwilkan ke dalam pengertian lain yang al-Qur’an sendiri tidak mengatakannya. Padahal, menurut Didin, pernyataan al-Qur’an “Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain” justeru secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa perempuan pun mungkin saja memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki. Sebagian laki-laki mungkin memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki lain; sebagian laki-laki mungkin juga memiliki kelebihan atas sebagian (bukan semua) perempuan. Demikian juga, secara implisit, mungkin saja sebagian perempuan memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki.
Kelebihan yang dimaksudkan di sini memiliki makna bervariasi atau beragam. Kelebihan tersebut bisa bersifat alamiah seperti kecantikan, kesehatan, kecerdasan otak, bakat dan sebagainya atau sebagai hasil usaha (achievement) seperti ilmu pengetahuan, keahlian, kekayaan dan lain-lain. Kedua model kelebihan ini pada dasarnya berasal dari Allah. Dialah yang menganugerahi manusia berbagai karunia, walaupun secara lahiriah kadang-kadang terlihat sebagai hasil kerja keras manusia itu sendiri, seperti kekayaan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Semua kerja dan semua hasil karya manusia terikat dan terkait dengan berbagai faktor, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga tidak mungkin manusia dapat mengontrol semuanya dan, karena itu, tidak mungkin mereka mengklaim semua yang mereka miliki sebagai miliknya sepenuhnya. Sebab itulah, apa pun kelebihan yang ada pada seseorang, baik sebagai warisan ataupun hasil prestasi, oleh al-Qur’an dirujuk sebagai karunia yang diberikan Allah.
Dalam kenyataannya, siapa pun dapat menyaksikan, bahwa kehidupan manusia sangat variatif; kualitas-kualitas yang ada pada setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan, juga sangat beragam. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa secara fisikal laki-laki lebih kuat dari perempuan. Tetapi kita tidak dapat memungkiri bahwa ada juga sebagian perempuan yang lebih kuat fisiknya dari sebagian laki-laki. Kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah itu meliputi laki-laki dan perempuan. Ada orang memiliki kelebihan yang banyak dan ada pula yang sedikit. Yang jelas semua itu adalah karunia Tuhan yang diberikan-Nya kepada manusia secara berbeda-beda, agar hidup ini bervariasi dan penuh dinamika. Tuhan mengingatkan hal tersebut dalam al-Qur’an supaya manusia tidak saling mendengki dan cemburu secara berlebih-lebihan.
Akan tetapi perlu juga diingat bahwa dalam sebuah budaya masyarakat tertentu bisa saja berlaku kebiasaan-kebiasaan yang khas mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, sehingga muncullah kelebihan-kelebihan personal yang seakan-akan khas bagi satu kelompok gender saja karena memang kelompok gender itulah yang selalu menangani aktivitas tersebut. Misalnya saja sebuah pandangan yang menganggap bahwa memasak adalah aktivitas khas perempuan dan, misal yang lain, bahwa laki-laki lebih ahli dalam berbisnis. Pandangan-pandangan seperti itu akan sulit diterima di zaman sekarang karena kenyataan menunjukkan bahwa keahlian-keahlian apapun tidak dimonopoli suatu kelompok gender. Banyak laki-laki ternyata juga ahli dalam memasak dan begitu juga ternyata banyak perempuan yang cukup “berbakat” dalam berbisnis. Sebenarnya kenyataan-kenyataan seperti ini telah ada sejak dahulu kala. Khadijah, isteri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang businesswoman yang dikenal cukup sukses berdagang. Namun, barangkali karena bertentangan dengan budaya patriarki, maka kenyataan tersebut sengaja dikaburkan. Dalam tradisi masyarakat kita, pekerjaan-pekerjaan tertentu bahkan dianggap sebagai pekerjaan perempuan dan sekaligus dikesankan sebagai pekerjaan “rendahan”. Seorang laki-laki kadang-kadang dianggap “tercela” jika memasak di rumah, mencuci piring dan pakaian serta menjaga anak. Padahal semua ini tidak ada kaitannya dengan kemuliaan dan kerendahan; ini hanya tradisi dan kebiasaan saja yang secara kebetulan telah disepakati bersama oleh masyarakat untuk suatu kondisi sosial tertentu. Dalam ajaran Islam pembagian pekerjaan seperti ini tidak diatur; yang penting adalah tegaknya keadilan dan kepada semua pihak mesti diberikan kesempatan dan kebebasan yang pantas. Oleh karena itu pernyataan ayat di atas yang mengaitkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dengan kelebihan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagaian yang lain harus dipahami dalam konteks sosio-kultural masyarakat Arab pada saat ayat tersebut diturunkan.

Monday, May 10, 2010

Psikologi Perempuan

Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita sekarang perempuan kerap diasumsikan sebagai kelompok gender yang lemah, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikologis, mental dan spiritual. Perempuan adalah makhluk lembut dan penuh perasaan, berbeda dari laki-laki yang berwatak keras dan berpikir lebih rasional. Laki-laki pantang menangis, tetapi bagi perempuan tangis justeru merupakan senjata yang paling ampuh. Karena itu muncullah anggapan, bahwa watak dasar perempuan seperti itulah yang menyebabkan ia harus tunduk kepada laki-laki. Laki-laki adalah pelindung dan pembimbingnya.
Banyak kisah dan pengalaman hidup sehari-hari dijadikan alasan untuk menopang pandangan di atas. Telah lazim kita lihat, demikian orang sering mengatakan, bahwa perempuan senang mengikuti apa yang dikatakan atau diinginkan laki-laki; perempuan lebih cenderung menyesuaikan diri dengan laki-laki dibanding sebaliknya; perempuan lebih senang diperintah daripada memerintah. Semua ini adalah “bukti” bahwa secara psikologis perempuan adalah lemah, bersifat penurut dan akan lebih tenteram berada di bawah pengawasan laki-laki. Ini adalah kodrat yang tidak boleh dilawan; menentangnya akan membawa akibat-akibat buruk dan bahkan dapat merusak keharmonisan hidup.
Lebih jauh lagi pandangan seperti ini sampai pada tuntutan supaya perempuan rela berkorban untuk berbagai kepentingan laki-laki atau suaminya, namun tidak sebaliknya; laki-laki tidak perlu berkorban untuk memenuhi cita-cita isterinya. Lebih tragis lagi adalah anggapan bahwa perempuan memang menikmati ketertindasannya di bawah kekuasaan laki-laki – semacam masokisme dalam aliran psikologi, di mana seseorang menikmati penderitaan dan kepasrahan kepada lawan jenisnya.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, di sekitar kita, juga tidak jarang kita dengar perempuan dinasehati untuk patuh kepada suaminya, dan laki-laki tidak boleh sekali-kali tunduk kepada isterinya – sebuah ironi yang sangat menyedihkan: laki-laki seakan-akan telah kebal dan maksum dari kesalahan. Perempuan selalu diingatkan untuk sabar dan tabah atas segala kekeliruan suaminya, sementara kepada laki-laki dinasehatkan agar tidak pernah kalah menghadapi perempuan.
Padahal dalam al-Qur’an, yang diingatkan justeru sebaliknya: … dan hendaklah kamu (laki-laki) menggauli mereka (isterimu) dengan cara yang makruf (baik). Maka jika kamu membenci mereka, (bersabarlah); mungkin saja, kamu membenci sesuatu sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (an-Nisā’ [4]: 19).
Dalam ayat yang lain dikatakan bahwa Tuhan menciptakan pasangan bagi manusia supaya mereka dapat saling berkasih-kasihan dalam kedamaian.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Ia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram dengannya. Dan Ia menciptakan di antara kamu kerinduan dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar (terdapat) tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir (al-Rūm [30]: 21).
Ayat ini mengisyaratkan kesetaraan dalam hak mendapatkan kasih sayang dan kedamaian dengan jalan saling memberi dan saling menerima. Tuhan tidak menciptakan yang satu untuk mengeksploitasi yang lain. Tetapi justeru dengan saling mengasihi dan menyayangi mereka akan mendapatkan kedamaian. Tidak ada kodrat yang menjadikan perempuan harus tunduk kepada laki-laki atau pun sebaliknya. Laki-laki dan perempuan harus tunduk kepada kebenaran dan harus sama-sama menegakkan keadilan.
Kisah-kisah tentang penderitaan perempuan juga terdapat di kalangan orang-orang terkenal dan mereka yang telah mengukir prestasi besar. Mary Gergen, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat, pernah meneliti riwayat hidup sejumlah laki-laki dan perempuan ternama. Hasil yang didapat layak mendapatkan perhatian.
Laki-laki bercerita tentang keberhasilan mereka melalui penderitaan dan kesusahan. Istri dan anak-anak tidak pernah menjadi bagian penting dalam perjuangan itu. Tidak jarang mereka dengan bangga berkisah bagaimana mereka mengorbankan istrinya demi karir yang ingin digapainya. Yang penting adalah bagaimana laki-laki menaklukkan para pesaingnya. … [dalam bahasa yang ekstrem] Perempuan berkorban untuk kebahagiaan laki-laki: pada saat laki-laki mengorbankan perempuan untuk mengejar kesenangan sendiri.
Ini adalah apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kenyataan tersebut telah menjadi bagian dari sebuah keyakinan: bahwa hal seperti itu biasa! Laki-laki berbuat seenaknya terhadap perempuan adalah hal yang tidak aneh. Tetapi yang ganjil adalah bahwa dalam psikologi, perempuan dianggap aneh (yakni tidak normal) ketika menikmati penderitaan akibat perlakuan kasar atau kejam lawan jenisnya. Itu adalah masokisme, semacam penyakit jiwa, kata para psikolog. Dalam hal ini, yang disalahkan adalah korban, sementara pelaku kajahatan itu sendiri dianggap normal. Inilah, kata Jalaluddin Rahmat, bias gender dalam psikologi.
Itulah sebabnya psikologi kemudian sampai pada kesimpulan yang rumit tentang perempuan. Perempuan selalu mengalami banyak problem, kata para psikolog. Masokisme, seperti telah disinggung di atas, dianggap sebagai bagian dari perasaan batin mereka; mereka memang menikmati penderitaan – sebuah teori lama yang berasal dari S. Freud. Tahun 1960-an, Matina Horner membantah anggapan tersebut. Yang menjadi masalah bagi perempuan menurutnya adalah takut sukses. Untuk mengatasi hal tersebut perempuan harus berupaya menghilangkan panghalang internal itu; perempuan harus berani dan mampu menikmati kesuksesan. Tetapi psikolog yang lain lagi, termasuk kaum agamawan (Kristen) konservatif, mengatakan bahwa problem perempuan justeru karena mereka menginginkan sukses, sementara mereka harus tunduk dan pasrah kepada Tuhan dan suaminya; maka jalan keluarnya adalah, mereka harus menjadi perempuan yang serba total, positif dan memenuhi tugas-tugasnya. Tetapi itu salah, kata psikolog yang lain. Perempuan sebenarnya menderita “Cinderella Complex, ketakutan tersembunyi untuk mandiri.” Maka yang harus mereka lakukan adalah melawan keinginan untuk selalu diselamatkan, dilindungi dan mungkin juga disayangi oleh Sang Pangeran. Kemudian sejumlah penulis mengatakan, bukan itu masalahnya. Perempuan sering menciptakan masalah karena mereka mengatakan “ya” pada saat ingin mengatakan “tidak”; tetapi ketika mengatakan “tidak” mereka merasa bersalah. Karena itu mereka harus melatih berkata jujur dan menampilkan diri sebagaimana adanya. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa munculnya masalah bagi perempuan karena mereka mencintai berlebihan. Akibatnya mereka harus menanggung resiko yang berat. Ini dibantah oleh yang lain: persoalannya adalah karena perempuan mencintai laki-laki yang keliru atau tidak cocok. Jika mereka memilih laki-laki yang tepat tentu tidak akan ada masalah. Akhirnya, pada tahun 1987, Melody Beattie, menegaskan bahwa laki-laki tidak bisa disalahkan, karena mereka memang “sakit”.
Perempuan memang sering mendatangkan masalah, demikian keyakinan banyak orang dalam masyarakat kita. Perempuan tidak dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan penting. Mereka lebih mengedepankan perasaan dari pikiran, sehingga sulit menyelesaikan masalah dengan tepat. Masyarakat awam menganggap itu adalah bagian dari kenyataan yang dapat disaksikan oleh siapa pun dalam kehidupan keseharian kita. Di dunia akademik, khususnya bidang psikologi, hal tersebut dianggap sebagai pandangan yang berasal hasil penelitian ilmiah: secara psikologis, perempuan adalah rentan terhadap berbagai masalah yang menyusahkan; “mereka memiliki kecerdasan yang lebih rendah, struktur otak yang kurang terspesialisasi, dan kepribadian yang lebih emosional dibanding dengan laki-laki.” Para psikolog mengatakan, itulah psikologi perempuan; para agamawan mengatakan, itulah kodrat perempuan.
Benarkah itu kodrat perempuan dan adakah bukti-bukti ilmiah yang mendukung anggapan kebanyakan psikolog tentang berbagai kelemahan kepribadian perempuan? Adakah agama memihak pada laki-laki dan memojokkan perempuan? Mengapa kita mengatakan segala “kelemahan” yang ada pada perempuan selama ini sebagai kodrat? Apa yang kita maksud dengan kelemahan dan kelebihan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengharuskan kita melihat kembali secara kritis berbagai teori yang sebenarnya tidak lebih dari stereotype tentang perempuan.
Psikologi klasik yang diwariskan oleh S. Freud adalah psikologi yang dibangun dengan menggunakan standar laki-laki. Perempuan dipandang dan dinilai sesuai dengan apa yang dipikirkan laki-laki terhadap perempuan, bukan sebagaimana perempuan memandang dirinya. Perilaku perempuan harus menurut pada selera laki-laki: pasif, penurut, masokis, penyayang dan sebagainya. Jadi perempuan selalu dipaksa menyesuaikan diri dengan laki-laki berdasarkan ukuran yang dibuat laki-laki. Jika tidak dapat menyesuaikan diri seperti itu mereka disebut tidak normal. Dengan kerangka berpikir seperti itu maka setiap gerakan pembebasan kaum perempuan, upaya pemberdayaan perempuan dan setiap tuntutan yang lebih adil bagi perempuan akan dicap sebagai gerakan yang menyimpang, tuntutan yang tidak normal, sikap yang berlebih-lebihan dan sebagainya.
Semua teori – sebenarnya stereotype – yang dikarang para psikolog lama tentang berbagai kelemahan perempuan memang siap dengan seperangkat “bukti” ilmiah yang mendukungnya. Katanya, kecerdasan perempuan lebih rendah dari kecerdasan laki-laki karena memang ukuran dan struktur otak kedua jenis kelamin ini berbeda. “… sejumlah besar perempuan mempunyai otak yang ukurannya lebih dekat dengan otak gorila daripada dengan otak lelaki yang paling maju,” kata Gustave Le Bon. Begitu pula T. Lang, dengan tegas mengatakan bahwa:
pemikiran konseptual hanya terdapat pada intelek laki-laki … tetapi tidak perlu juga perempuan enggan untuk menyatakan bahwa ia lebih sensitif dalam emosinya dan kurang dikendalikan oleh inteleknya kita hanya mengatakan perbedaan, perbedaan yang memang diperlukan untuk peran istimewa yang dimainkan perempuan … Tengkoraknya lebih kecil dari tengkorak laki-laki; dan tentu saja juga otaknya.
Ini adalah di antara dugaan-dugaan atau hipotesis yang tidak pernah terbukti secara empiris, dan beginilah stereotype itu dibuat dan dikukuhkan dengan berbagai dalih yang disebut ilmiah. Stereotype atau pelabelan terbentuk secara evolutif dalam masyarakat sejalan dengan perkembangan institusi atau tradisi-tradisi yang dibuat masyarakat. Institusi atau tradisi-tradisi tersebut umumnya di awali oleh keyakinan-keyakinan tertentu atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian dikuatkan menjadi kepercayaan. Hal ini jarang disadari oleh masyarakat itu sendiri, sehingga umumnya orang cenderung menyamaratakan semua tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku dan meyakininya sebagai ketetapan yang tidak bisa diganggu-gugat. Misalnya pakaian, seperti celana panjang, sarung, rok dan peci. Kita menganggap celana panjang sebagai pakaian khas laki-laki dan rok sebagai pakaian khas perempuan. Siapa yang menetapkan pembagian seperti itu? Tentu saja masyarakat dengan filosofinya sendiri. Tetapi masyarakat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain atau satu negara dengan negara yana lain. Contoh yang paling menarik adalah kain sarung. Dalam masyarakat kita, kain sarung barangkali termasuk pakaian unisex, dapat dipakai laki-laki dan perempuan. Tetapi kain sarung sebenarnya lebih mirip dengan rok, pakaian perempuan. Karena itu masyarakat luar sering heran melihat orang-orang (laki-laki) Indonesia yang pergi ke mesjid pakai kain sarung.
Begitu juga berkenaan dengan tingkah laku. Kalau laki-laki bersikap kasar dianggap biasa, tetapi jika perempuan melakukan hal yang sama, diangap tidak wajar. Kalau laki-laki lebih kuat dari perempuan dianggap biasa, tetapi jika ada perempuan lebih kuat dari laki-laki, akan diakatakan: pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jika kita tanya apa alsannya? Mungkin saja jawaban yang akan diberikan adalah: menyalahi kodrat! Inilah yang disebut kepercayaan; tapi sayangnya kepercayaan seperti ini tidak dibangun atas landasan yang rasional atau ajaran agama yang benar. Maka orang menyebutnya stereotype. Artinya sebuah label yang diberikan kemudian, bukan karena hakikatnya memang demikian.
Barangkali sosiologilah yang paling berperan membongkar mitos-mitos tentang psikologi perempuan yang telah terlanjur dianggap sebagai teori-teori ilmiah. Sayangnya, pengaruh sosial budaya terhadap kepribadian manusia sering dilupakan para psikolog. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan sosio-kultural dalam kajian-kajian ilmiah mereka sering terabaikan. Padahal kajian-kajian ilmiah kontemporer justeru menunjukkan bahwa pertumbuhan jiwa seseorang juga sangat terkait dengan dengan irama perkembangan sosial budaya di sekitarnya.
Dalam pandangan para sosiolog, perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan daripada faktor-faktor biologis dan genetik. Masyarakatlah yang menentukan perilaku-perilaku tertentu manjadi milik jenis kelamin tertentu. Seperti telah disebutkan di atas, alasan-alsasan sosial lebih berperan dan berpengaruh terhadap tingkah laku kita, sebab tingkah laku itu sendiri adalah ujud dari hubungan atau interaksi di antara sesama kita atau interaksi sosial. Dalam berinteraksi, kita lebih banyak mempertimbangkan tuntutan-tuntutan sosial, karena ia menyentuh secara langsung kehidupan nyata dalam keseharaian kita. Lalu mengapa dalam peran-peran sosiologis kita membedakan laki-laki dan perempuan? Karena pada awalnya dengan cara seperti itulah kita dapat mengenal seseorang apakah dia laki-laki atau perempuan. Kita bisa saja dengan mudah membedakan apakah seorang anak yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan dengan melihat alat kelaminnya. Tapi, seperti kata Jalaluddin Rahmat, kita tidak mungkin mencari tahu apakah sesseorang yang berjumpa di jalan itu laki-laki atau perempuan dengan cara meneliti alat kelaminnya. “Terlalu riskan.” Kita bisa dianggap tidak waras atau langsung dikeroyok. Karena itu masyarakat menciptakan nama, pakaian, tingkah laku dan bahkan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kita tahu seseorang itu laki-laki karena bernama Iqbal, atau ia perempuan karena bernama Mawar. Atau yang satu memakai celana dan yang satu lagi memakai rok. Inilah yang disebut gender. Namun semua ini bukan hakikat atau kodrat; hanya kesepakatan sosial. Masyarakat lain bisa saja sepakat sebaliknya. Tapi yang paling penting adalah, perbedaan-perbedaan tersebut hendaklah mengacu pada landasan yang adil.
Gerakan-gerakan kaum feminis sebenarnya labih banyak diilhami oleh sosiologi. Bahkan kritik-kritik yang muncul dalam tubuh psikologi sendiri diinspirasikan oleh hasil-hasil kajian sosiologi. Sosiologi menyingkap sesuatu yang dilupakan psikologi. Dalam sosiologi, perilaku suatu masyarakat diyakini berasal dari hasil evolusi yang panjang. Kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat pada akhirnya mengkristal dan mempengaruhi kesadaran umumnya individu dalam masyarakat tersebut. Kenyataan inilah yang manjadi sasaran kajian psikologi sehingga para psikolog terpedaya untuk menyebutnya sebagai bagian dari kenyataan psikologis yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Maka ketidak adilan gender dalam suatu masyarakat, yang menyebabkan banyak perempuan mengalami penderitaan, dianggap sebagai “kelemahan batiniah atau cacat psikologis pada perempuan” – sebuah cacat batin yang dianggap tidak mungkin disembuhkan.
Inilah di antara hal yang memilukan tentang perempuan: mereka direndahkan dan sekaligus disiapkan sekian dalih untuk membenarkan tuduhan tersebut atas nama kehormatan ilmu pengetahuan. Dengan “sabar” lalu kaum perempuan terpaksa merelakan dirinya disingkirkan dari posisi-posisi penting, dari dunia akademik, politik dan bahkan dari dominasi ekonomi. Kaum perempuan barangkali perlu berterimakasih kepada bidang sosiologi yang telah melemparkan diskursus tentang gender sehigga menyentak perhatian banyak psikolog. Kini psikologi telah banyak membicarakan perempuan dengan berbagai pertimbangan sosio-kultural dan tidak lagi berpusat melulu pada hasrat kaum laki-laki. Batin manusia, demikian umumnya para psikolog sekarang berkesimpulan, sebenarnya juga memiliki akses ke dunia luar sehingga ia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi. Beginilah hubungan sosiologi dan psikologi dalam membentuk perilaku masyarakat dan individu: Masyarakatlah, sebagai kelompok sosial, yang menetapkan teradisi-tradisi, dan kemudian tradisi tersebut menjadi kesadaran kolektif yang mendalam. Psikolog menyebutnya kesadaran psikologis.

Thursday, May 6, 2010

Perempuan Penghuni Neraka?


Beberapa hadits sahīh meriwayatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Akan tetapi dalam hadits tersebut tidak dikatakan bahwa kebanyakan penghuni sorga adalah laki-laki. Nabi justeru mengatakan – masih menurut teks hadits tersebut – bahwa kebanyakan penghuni sorga adalah orang-orang miskin. Hadits-hadits ini perlu dicermati secara baik karena pembacaan secara sepintas dapat menimbulkan kebingungan atau salah paham. Mungkinkah perempuan menjadi penghuni neraka tanpa sebab? Atau, adakah kebanyakan laki-laki itu miskin, dan karena itu mereka masuk sorga? Di antara hadits-hadits yang membicarakan hal tersebut adalah:
Dari Usamah ibn Zayd r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Aku berdiri di pintu sorga, lalu (aku lihat) kebanyakan orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin, dan aku berdiri di pintu neraka, lalu (aku melihat) kebanyakan orang yang memasukinya adalah perempuan” (H.R. al-Bukhārī).
Haditsdalam pengertian yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga diriwayatkan oleh al-Bukhārī, berasal dari Ibnu ‘Abbās. Redaksi yang lebih panjang dan lengkap diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari Jābir.
Jābir ibn ‘Abdillāh berkata: “Aku ikut melaksanakan salat ‘īd bersama Rasulullah s.a.w. Beliau salat sebelum khutbah, tanpa azan dan tanpa iqāmah. Beliau memberikan pelajaran dan peringatan-peringatan kepada manusia. Kemudian bersama Bilāl beliau mendatangi kaum perempuan dan memberikan pelajaran serta peringatan-peringatan kepada mereka. Beliau menyuruh mereka bersedekah dan berkata: ‘sesungguhnya di antara kamu sekalian yang masuk sorga sangat sedikit.’ Maka seorang perempuan berkata: ‘mengapa ya Rasulallah?’ Beliau menjawab: ‘Karena kalian banyak [mengeluarkan kata-kata] kutukan dan kalian kufur (tidak berterimakasih) kepada suami’.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbās memperjelas lagi pengertian hadits di atas:
Dari Ibnu ‘Abbās, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Aku melihat neraka dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah perempuan.” Mereka (para sahabat) bertanya: “Mengapa ya Rasulallah?” Nabi menjawab: “Karena mereka kufur.” “Apakah mereka kufur kepada Allah?” tanya mereka lagi. Nabi menjawab: “Mereka kufur kepada suami[nya] dan mereka kufur terhadap ihsān (kebaikan atau perbuatan baik). Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka setahun, kemudian ia melihat sesuatu [yang tidak berkenan] darimu, ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat satu kebaikan pun dari kamu’.”
Hadits-hadits di atas dan sejumlah hadits lain yang senada, secara sepintas, memberikan kesan bahwa perempuan memiliki citra buruk dalam pandangan Islam. Namun jika diperhatikan dengan cermat akan nampak bahwa pernyataan-pernyataan Nabi itu tidak dalam rangka mendiskreditkan perempuan secara keseluruhan. Namun apa yang dilakukan beliau adalah memperingatkan mereka dengan keras. Ada kemungkinan bahwa peringatan tersebut disampaikan oleh Nabi karena munculnya kecenderungan baru di kalangan perempuan, yaitu semacam euphoria (kegembiraan yang meluap-luap dan melewati batas) karena kebebasan dan kelonggaran yang diberikan Islam pada masa awal. Pada masa jahiliah mereka terkungkung sehingga hak-hak mereka banyak yang terabaikan. Maka begitu Islam membebaskan mereka, muncullah kejutan-kejutan psikologis sehingga seringkali menimbulkan sikap berlebih-lebihan, terutama sekali sikap mereka terhadap suaminya. Dalam kondisi seperti itu, tidak diragukan, kaum laki-laki pun akan berhadapan dengan berbagai kesulitan, dan akan kebingungan menyaksikan perubahan-perubahan yang terjadi. Barangkali pada waktu itu masyarakat Muslim dapat dikatakan berada dalam masa transisi menuju kehidupan sosial yang lebih ideal. Maka Nabi tentu saja merasa perlu memberikan peringatan-peringatan khusus kepada perempuan, bahkan dengan cara yang agak keras. Karena itu hadits-hadits tersebut dapat dianggap bersifat kondisional karena berbicara dalam konteks kondisi sosial tertentu. Ia akan berubah atau dapat ditafsirkan ulang sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi.
Di samping itu ada juga kelompok yang menolak hadits tersebut karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan juga dengan hadits-hadits Nabi yang lain. Jalaluddin Rahmat, tanpa menyebutkan sumber, mengutip sebuah dialog antara seorang murid dengan gurunya, Imam Ja‘far. “Benarkah hadits yang mengatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka itu perempuan?” tanya murid tersebut. Sang guru menjawab: “Tidakkah anda membaca ayat al-Qur’an Sesungguhnya Kami ciptakan mereka sebenar-benarnya; Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan berusia sebaya. Ayat ini berkenaan dengan para bidadari, yang Allah ciptakan dari perempuan yang saleh. Di surga lebih banyak bidadari daripada laki-laki mukmin.” Secara implisit, seperti dikomentari Jalaluddin, Imam Ja‘far menolak keabsahan hadits di atas, dan menunjukkan bahwa sebenarnya penghuni sorga justeru lebih banyak perempuan. Lebih lanjut, Jalaluddin juga memberikan komentar:
Hadits yang ‘mendiskreditkan’ perempuan ternyata sudah masyhur sejak abad kedua hijriah. Tetapi sejak itu juga telah ada ahli agama yang menolaknya. Dari Imam Ja’far inilah berkembang mazhab Ja’fari, yang menetapkan bahwa akikah harus sama baik buat laki-laki maupun perempuan. Pada mazhab yang lain, untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja. Mengingat sejarahnya, mazhab Ja‘fari lebih tua, karena itu lebih dekat dengan masa Nabi daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadits-hadits yang memojokkan perempuan itu baru muncul kemudian: sebagai produk budaya yang sangat maskulin.
Jalaluddin sepertinya ingin menegaskan bahwa pendapat Imam Ja‘far yang menolak hadits di atas lebih kuat dari yang lain, yakni yang mempertahankannya. Dan hadits-hadits tersebut menurutnya lebih merupakan produk budaya masa setelah Nabi, di mana laki-laki mulai memerankan diri kembali sebagai penguasa atas perempuan. Pada masa Nabi, ketika wahyu masih diturunkan, mereka tidak mau memperlakukan isteri mereka secara tidak sopan, sebab takut wahyu akan turun dan mengancam mereka. Setelah Nabi wafat, mereka merasa “bebas” kembali.
Namun demikian, menolak keabsahan hadits-hadits di atas, menurut kami, tidak cukup beralasan. Kita tidak hanya harus kritis terhadap proses periwayatan sebuah hadits, tetapi juga perlu memiliki ketajaman dalam melihat dan memahami matan (teks) serta konteks hadits tersebut. Kalau hadits-hadits di atas ditolak hanya karena alasan bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang lain, itu menunjukkan kelemahan hermeneutika (pemahaman, tafsiran atau takwilan) orang yang menolaknya. Kita bisa saja bertanya: Mungkinkah Rasulullah telah mengucapkan hadits seperti itu? Tetapi pertanyaan yang lebih krusial di sini adalah: Mengapa Rasulullah sampai mengeluarkan sabdanya demikian?
Jika dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat Muslim, termasuk Nabi sendiri, pada waktu itu, kesimpulan yang paling mungkin ditarik dari hadits-hadits di atas adalah bahwa Nabi sedang memberikan pembelaan kepada kaum miskin, sebagaimana yang dilakukan al-Qur’an sendiri dan juga tindakan-tindakan Nabi pada kesempatan yang lain. Kaum miskin yang dibela di sini khususnya yang berurusan dengan problem rumah tangga akibat tuntutan-tuntutan isterinya yang sudah melebihi kepatutan (dalam konteks di mana umat Islam sedang berjuang membangun dan mempertahankan sebuah masyarakat yang baru saja terbentuk). Nabi sendiri merasakan beratnya suasana tersebut, seperti yang akan kita lihat nanti. Karena itu tidak mengherankan hadits-hadits tersebut bernada tinggi dan keras.
Ajaran Islam telah meletakkan dasar-dasar yang sangat jelas mengenai jalan keselamatan manusia. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat serta mengerjakan amal saleh akan selamat. Siapa saja yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya akan selamat. Dan setiap mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, sedikit pun tidak akan dizalimi di hari akhirat. Setiap amal manusia akan diperhitungkan dan diperlihatkan walaupun sebesar atom ukurannya. Lalu apa persoalannya sehingga isi neraka itu terkait dengan jenis kelamin? Karena itu hadits-hadits tersebut harus dilihat sebagai bersifat kondisional. Ucapan Nabi dalam masalah ini harus dipahami dalam pengertian khusus, yakni sebagai sebuah ancaman terhadap kaum perempuan dalam kondisi tertentu dan pada zaman tertentu. “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tidak merubahnya” (Q.S. al-Ra‘d [13]: 11). Dengan demikian, bukan visi yang dinampakkan kepada Nabi (ihwal banyaknya perempuan yang menjadi isi neraka) itu yang menentukan nasib perempuan, tetapi mereka sendiri. Visi gaib yang terlihat dalam kesadaran Nabi s.a.w. itu boleh jadi merupakan refleksi dari pengalaman beliau sendiri dan sahabat-sahabatnya dalam menggauli perempuan (isteri-isterinya), yang selama ini terasa pahit. Nabi adalah orang yang sangat menghargai perempuan, namun tidak jarang penghargaan yang diberikan Nabi itu tidak diresponi dengan baik. Kebebasan telah dipahami sebagai keleluasaan untuk bertindak sesuka hati. Penghormatan telah diartikan sebagai peluang untuk kesewenangan. Ini tentu saja sangat menggundahkan hati Nabi dan menciptakan kegelisahan di kalangan kaum laki-laki yang melihat isteri-isteri mereka mulai menunjukkan berbagai perubahan tingkah laku, sementara mereka sendiri masih dalam kebimbangan melepaskan berbagai kebiasaan yang mengakar cukup kuat pada tradisi sebelum Islam. Menurut sebuah riwayat, ‛Umar Ibn al-Khattāb pernah mengeluh atas kelakuan kaum perempuan (isteri-isteri orang mukmin) setelah hijrah ke Medinah:
Kami orang-orang Quraysy dulu [di Mekkah] berkuasa atas isteri-isteri kami, tetapi ketika kami datang di tengah-tengah kaum Anshār, kami dapati kaum perempuan mereka menguasai kaum lelaki. Karena itu perempuan-perempuan kami pun mulai mempelajari cara-cara kaum Ansār (Riwayat al-Bukhārī).
Gambaran situasi ini memperlihatkan adanya interaksi dua tradisi berbeda antara kaum Muhājirīn dan Ansār ihwal kehidupan kaum perempuan di tengah-tengah kaum prianya, yang pada gilirannya menciptakan ketegangan-ketegangan tertentu. Jika ini dipahami dengan baik, tidak mengherankan jika Nabi mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus untuk meredamnya, dan mungkin terpaksa dengan jalan memberikan ancaman-ancaman atau peringatan keagamaan. Jika hadits di atas dapat dipahami dalam konteks ini maka tidak ada alasan mendiskreditkan perempuan dengannya. Jika pada masa tertentu dan dalam budaya tertentu perempuan terpaksa diperingatkan secara keras, maka boleh jadi pada zaman dan budaya yang berbeda laki-lakil akan mendapat giliran yang sama. Contohnya saja zaman sekarang, dimana secara umum laki-laki bertindak sebagai pengontrol seluruh lini kehidupan: sosial, budaya, ekonomi, politik, dan bahkan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa peradaban yang kita bangun sekarang adalah peradaban yang berpihak hampir sepenuhnya pada keinginan laki-laki. Lalu muncullah berbagai arogansi kaum laki-laki terhadap perempuan atas dasar jenis kelamin. Dalam kondisi seperti ini hadits di atas akan lebih relevan kalau dipahami sebaliknya: laki-laki lebih banyak menjadi penghuni neraka, karena mereka sering sekali bertindak kasar, menghina dan tidak berterimakasih kepada keluarganya. Isterinya berbelanja dan memasak untuknya, mencuci pakaiannya, menyusui dan mengasuh anak-anaknya – padahal itu semua bukan kewajibannya – tetapi ketika sang isteri berbuat sedikit kesalahan, sang suami akan berkata: ‘pekerjaanmu tidak pernah ada yang beres!’
Jika ucapan Nabi bahwa banyak perempuan menjadi penghuni neraka tetap dipahami secara harfiah dan dianggap sebagai sebuah ketetapan yang pasti, maka tidak ada artinya Nabi melanjutkan sabdanya dengan memberikan wejangan kepada mereka dan memperingatkan mereka untuk melakukan introspeksi dan memperbanyak kebaikan. Adanya keterangan tambahan dari Nabi seperti tersebut dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa bukanlah jenis kelamin yang berpengaruh besar dalam menentukan nasib seseorang di sorga atau neraka, tetapi sejauh mana ia dengan tekun dan ikhlas mengikuti petunjuk Rasulullah itu. Karena pada waktu itu Nabi menemukan banyak perempuan – karena berbagai faktor sosial-budaya – yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran maka beliau menekankan peringatan tersebut kepada perempuan. Sementara itu dalam konteks yang berbeda Nabi juga pernah membuat pernyataan-pernyataan yang menunjukkan sisi kelebihan yang dimiliki perempuan.
Seperti telah kami katakan, Nabi sendiri sebenarnya mengalami peristiwa tidak menyenangkan bersama isteri-isterinya di Medinah. Al-Qur’an (al-Ahzāb [33]: 28-33) mengisyaratkan peringatan keras kepada para isteri Nabi dan mengingatkan mereka akan pentingnya kepatuhan kepada Allah dan rasul-Nya serta harus menjadi teladan bagi kaum mukminat lainnya.
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut‘ah dan kuceraikan kamu semua dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki [keridhaan] Allah dan Rasul-Nya serta [kesenangan] di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.
Wahai isteri-isteri Nabi, siapa saja di antaramu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat-gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.
Dan barangsiapa di antara kamu sekalian tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan lain, bila kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang dalam hatinya ada penyakit, dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Dan hendaklah kamu sekalin tetap berada di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Peringatan keras ini menunjukkan ada gejala kurang beres yang muncul akhir-akhir ini dalam kehidupan para isteri Nabi. Sikap mereka sudah berlebih-lebihan sehingga berdampak tidak baik bagi wibawa Nabi sebagai seorang utusan Allah. Jika isteri-isteri Nabi sudah demikian halnya, maka dapat dibayangkan betapa lagi keadaan perempuan-perempuan lain. Sebuah perubahan sosial telah terjadi dan membawa dampak psikologis yang besar. Kondisi inilah sebenarnya yang mewarnai suasana kehidupan perempuan pada periode transisi tersebut. Maka sabda-sabda Nabi pun muncul dengan nada mengancam. Beberapa riwayat dalam kitab-kitab tafsir telah disebutkan ihwal kesedihan Nabi terhadap isteri-isterinya yang menuntut nafkah di luar kesanggupan beliau, sehingga Abu Bakar dan ‛Umar (mertua Nabi) sempat marah kepada anak-anak mereka (‘Āisyah dan Hafsah) karena memperlakukan Nabi seperti itu. Dan akhirnya ayat di atas diturunkan untuk memberikan sebuah solusi yang tegas serta mengisyaratkan sebuah petunjuk kepada Nabi untuk mengambil sikap yang lebih tepat (kisah turun ayat ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan al-Nasā’ī).
Kondisi aktual tentang kehidupan perempuan saat itu juga nampak dalam ungkapan Nabi di atas ketika mendeskripsikan kelakuan mereka secara umum: “Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka setahun, kemudian ia melihat sesuatu [yang tidak berkenan] darimu, ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat satu kebaikan pun dari kamu.” Ini tentu saja ungkapan dari seorang perempuan yang sangat liberal dan berani. Kata-kata seperti ini tidak mungkin keluar dari seorang perempuan dalam budaya yang dikontrol secara ketat oleh laki-laki, sebab hal yang demikian merupakan malapetaka bagi dirinya. Tetapi kenapa Nabi “marah?” Jawaban yang paling mungkin diberikan adalah: Karena telah banyak perempuan yang tidak memanfaatkan liberalitas atau kebebasan tersebut secara fair; mereka telah berlebih lebihan. Dan hal ini tentu saja dapat dipahami dalam konteks psiko-sosiologis tertentu, seperti telah didiskusikan di atas. Sebab itu pula kata-kata Nabi berkenaan dengan masalah ini mesti dilihat dan diterjemahkan sebagai pesan-pesan moral yang terikat dengan psiko-sosiologis tertentu juga.
Hadits-hadits di atas menurut pendapat kami patut dipertahankan, namun harus dijelaskan dalam konteks yang tepat. Hadits-hadits seperti itu perlu, sebab, dalam kondisi-kondisi yang spesial, orang kadang-kadang tidak dapat dinasehati dengan cara yang biasa.

Sunday, May 2, 2010

Darah Menstruasi

Adakah cercaan yang lebih menjijikkan dari penghinaan atas seseorang karena sesuatu yang tidak dapat ia elakkan secara alamiah? Tetapi itulah yang harus dialami oleh mareka yang dilahirkan ke dunia ini dengan membawa jenis kelamin perempuan. Ketika telah sampai umur, mereka dituduh sebagai harus menjalankan hukuman dalam bentuk menstruasi atau keluarnya darah haid melalui liang vagina setiap bulan. “Itulah darah kutukan” – sebuah tuduhan tanpa dasar yang diwariskan dari zaman kuno. Lama kelamaan penghinaan tersebut tidak lagi terasa karena telah ditunjang oleh sejumlah dogma atau ajaran yang diatas-namakan agama serta cerita-cerita dusta yang dikarang oleh para “pemuja jenis kelamin” untuk menjadikannya sebagai “kompensasi” sehingga rasa inferioritas kaum perempuan turun ke bawah sadarnya. Ketika dihina, mereka pun tidak lagi memberontak. Sebab, alasannya telah dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar kelihatan sangat kuat: “itu adalah ketetapan dari Tuhan yang Maha Kuasa, yang harus disembah, dan segala hukum-Nya harus diterima dan ditaati. Tuhan telah menghukum perempuan sejak awal penciptaan dan hukuman tersebut harus dirasakan oleh seluruh keturunannya. Perempuan memang telah berbuat salah, maka penghinaan tersebut layak diterimanya.”
Dogma ini berasal dari tradisi Yahudi-Kristen dan telah menghiasi berbagai literatur peradaban Barat hingga melampaui abad pertengahan. Sebuah sajak tua berasal dari karya Milne berbunyi (dalam bahasa Indonesia) sebagai berikut:
Duhai wanita yang sedang menstruasi
Kalian adalah Iblis
Darinya seluruh alam
Hendaknya dilindungi dengan seksama
Dalam tradisi masyarakat Barat, cercaan terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi telah demikian dalam mengakar pada sejarah keagamaan, filsafat dan juga budaya mereka. Pada saat menstruasi, perempuan harus dijauhkan, bahkan dari sentuhan segala sesuatu atau barang-barang berharga. Sebab apa pun yang bersentuhan dengannya akan membawa akibat buruk: buah-buahan jadi busuk, tanaman-tanaman akan mati, dan bahkan besi dan perunggu pun jadi berkarat. Jika menghirup bau darah tersebut “anjing-anjing akan menjadi gila dan gigitannya mengandung racun yang tak tersembuhkan.”
Warisan inilah, bukan dari Islam, yang berkembang dalam masyarakat Muslim sampai akhir-akhir ini. Perempuan yang sedang haid dipersepsikan tidak hanya sebagai mengalami masa “kotor” secara biologis tetapi juga sedang tidak bersih secara mental dan spiritual. Mereka tidak boleh memasak karena akan menghilangkan rasa sedap; mereka juga tidak diizinkan memasuki kebun karena akan membuat mati pohon-pohon di dalamnya. Jika mereka menanam pohon, maka pohon itu tidak akan tumbuh. Darah haid seakan-akan telah menjadi sebuah kekuatan mistik hitam yang mempengaruhi alam sekitarnya, dan si pemiliknya harus pasrah menjadi yang tertuduh sebagai pembawa sial dan malapetaka yang sangat tidak diinginkan. Bukan tidak ada dalam masyarakat kita yang percaya akan kekuatan jahat “darah pembawa sial” itu, sehingga begitu takut kepada perempuan yang sedang mengalami haid. Mereka bahkan menunjukkan bukti-bukti konkrit dari pengalamannya sendiri. Namun seorang perempuan desa terpelajar mengemukakan kepada kami ihwal keyakinannya tentang pengaruh darah menstruasi itu. Ia pertama yakin bahwa ketika sedang haid perempuan tidak boleh menanam pohon, sebab sia-sia saja karena pohon itu tidak akan tumbuh. Darah haid, demikian alasan dogmatis dikemukakan, berhawa panas, maka pohon yang ditanam perempuan berhaid akan mati. Apa yang diyakini itu benar-benar tejadi. Tetapi kemudian, setelah mengalami kematangan intelektual yang lebih baik, ia tidak lagi percaya akan “tahyul” tersebut. Ia kembali mempraktekkan percobaannya dengan suatu kemantapan hati dan rasa tawakkal. Ternyata, demikian ia mengisahkan, pohon itu tumbuh dengan subur. Ia menunjukkan kepada sebatang pohon mangga yang subur dan berbuah lebat di halaman rumahnya, yang ia katakan sebagai pohon yang sengaja ia tanam pada saat sedang mengalami menstruasi. Ternyata “hanya keyakinan bodoh yang akan membodohi kita,” katanya.
Banyak cerita yang dikarang, sejak zaman kuno, untuk menyudutkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Tidak kurang dari Aristoteles, seorang filosuf Yunani terkenal, berpendapat bahwa perempuan adalah manusia tidak sempurna. Menstruasi itu sendiri adalah salah satu bentuk cacat pada perempuan; ia tidak mampu memberikan air mani yang merupakan sumber kehidupan, satu-satunya yang dapat diberikannya adalah darah menstruasi sebagai gizi bagi janin dalam kandungan. Ini juga, menurut Aristoteles, menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya dari laki-laki.
Pandangan-pandangan sinis seperti itu ternyata menyusup juga ke dalam pikiran sebagian Muslim, walaupun al-Qur’an telah menjelaskan secara tegas tanpa sedikit pun menyisakan kebingungan:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘haid itu kotoran.’ Karenanya menjauhkan-dirilah kamu dari perempuan pada waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Bila mereka telah suci maka campurilah mereka sesuai yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang mensucikan diri (al-Baqarah [2]: 222).
Pandangan Islam tentang menstruasi jelas. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa menstruasi berada dalam keadaan tidak suci seacara fisik selama berlangsungnya menstruasi itu dan hubungan seksual dengan perempuan tersebut dilarang sampai ia telah menyucikan dirinya kembali. Tidak ada diskriminasi di sini; yang ada hanyalah sebuah pengakuan realistik akan kenyataan biologis yang dialami perempuan dan siapa pun harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan serta wajib menghargai perempuan sebagai seorang manusia meskipun sedang berhaid.
Mengenai perintah menjauhi perempuan yang sedang berhaid dalam ayat di atas, ‘Alī al-Sāyis mengemukakan bahwa di sana telah timbul beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian ulama mengatakan bahwa laki-laki wajib menjauhi seluruh tubuh isterinya yang sendang berhaid, dengan alasan bahwa perintah i‘tizāl (menjauhkan diri) dalam ayat tersebut diungkapkan secara umum dan tidak ada rinciannya; sementara ulama yang lain mengatakan bahwa yang harus dijauhi hanyalah tempat “kotor” saja. Artinya, yang dilarang hanyalah melakukan hubungan seksual. Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibn Jarīr, dari Masruq ibn al-Ajda‘, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Āisyah ‘apa saja yang dihalalkan kepada seorang suami dari isterinya yang sedang mengalami haid?’ Beliau menjawab: ‘Segala sesuatu dihalalkan, kecuali hubungan seksual’.” Namun ada satu pendapat yang mencoba mencari jalan tengah dengan mengatakan bahwa yang harus dijauhi oleh si suami adalah antara pusat dan lutut.
Bagaimana pun, yang jelas bahwa Islam tidak bersikap sinis sedikit pun terhadap perempuan yang mengalami menstruasi. Bahkan Islam telah melakukan perubahan yang sangat berarti dalam memandang perempuan berhaid. Sabāb al-nuzūl (Sebab turun) ayat di atas menggambarkan dengan jelas kesimpulan tersebut: Qatādah mengatakan bahwa kaum jahiliah tidak mengizinkan perempuan berhaid tinggal di dalam rumah dan tidak mau memberi makan mereka dalam piring. Maka turunlah ayat tersebut di atas; maka Allah mengharamkan faraj-nya saja tatkala ia berhaid, dan dihalalkan selainnya.
Muhammad ‛Abduh, seorang mufassir abad modern, lebih jauh mengemuka¬kan bahwa ayat tentang haid di atas diturunkan di Madinah setelah terjadi kontak antara orang-orang Arab dengan kaum Yahudi. Ayat ini diturunkan dalam rangka menjawab kebingungan yang terjadi dalam masyarakat Muslim atas pandangan dan sikap orang-orang Ahl al-Kitāb, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang persoalan haid. Orang-orang Yahudi cenderung berlebih-lebihan mengenai masalah ini. ‛Abduh mengutip Kitab Imamat Orang Levi: 15 yang berisi hukum Yahudi mengenai perempuan berhaid: “Pada hari-hari keluarnya darah haid, perempuan itu bernajis; siapa saja menyentuh tempat tidurnya, hendaklah ia mencuci pakaiannya serta mandi dengan air, dan ia bernajis sampai sore hari; dan jika seorang laki-laki tidur bersamanya, maka darah tersebut menjadikannya bernajis sampai tujuh hari dan setiap tempat tidur yang ia berbaring di atasnya akan menjadi najis … dst.” Sementara itu, orang-orang Nasrani malah terlalu meringan-ringankan hal tersebut. Mereka bahkan melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam syari’at agama mereka. Karena itu masyarakat Muslim bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya persoalan haid itu? Maka turunlah ayat (Q.S. al-Baqarah [2]: 222) tersebut untuk menghilangkan kebimbangan mereka.
Kata adhā dalam ayat itu (qul huwa adhā,), yang pada dasarnya berarti “rasa sakit”, dipahami atau ditakwilkan oleh kebanyakan mufassir dengan pengertian al-qadhr, artinya kotoran. Tetapi ‛Abduh berusaha memberikan penjelasan agak berbeda. Menurutnya, hubungan seksual dengan perempuan yang sedang dalam keadaan menstruasi dilarang karena dapat mendatangkan rasa sakit dan ad-darar, yakni kesulitan dan perasaan tidak nyaman. Laki-laki memang tidak merasakan hal tersebut namun bagi perempun hampir dapat dipastikan itu sangat mengganggu. Pada saat sedang haid, anggota tubuh reproduksi perempuan tidak siap untuk melakukan hubungan seksual karena sistem biologisnya sedang mengalami kesibukan lain. Karena itu, kata ‛Abduh, istilah adhā tersebut tidak perlu ditakwilkan; ia lebih tepat dipahami dengan makna asalnya. Oleh karena itu perintah “manjauhi” perempuan yang sedang mengalami masa haid dapat dipahami sebagai kiasan dari larangan melakukan hubungan seksual, bukan menjauhi dalam arti yang sebenarnya seperti dipahami oleh sebagian orang. Ini didukung oleh sebuah hadits, yang juga dikutip oleh ‛Abduh, dimana berkenaan dengan perempuan yang sedang haid Nabi mengatakan:
Lakukanlah segala sesuatu kecuali jimak (H.R. Muslim dan Ahmad).
‛Abduh juga mengutip pendapat yang agak berbeda beserta dalil yang digunakan dan ia menyadari bahwa para fuqaha memang sedikit berbeda pendapat dalam masalah ini. Namun poin paling penting yang diutarakan ‛Abduh adalah mengenai penafsiran kata adhā, sebagai konsep paling mendasar tentang pandangan Islam mengenai haid. Tafsiran yang diberikan ‛Abduh memberikan implikasi yang cukup signifikan: bahwa haid adalah sebuah peristiwa alamiah yang dialami perempuan dan karena sebab-sebab biologis tertentu perempuan mengalami kondisi tidak nyaman pada waktu tersebut sehingga laki-laki (suaminya) perlu berusaha memahami kondisi itu. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa makna “kotor” berkenaan dengan haid dapat diabaikan. ‛Abduh juga menyadari hal tersebut, dan ia mengatakan:
Ketentuan [al-Qur’an] ini muncul sebagai penengah di antara dua pandangan ekstrim, yaitu: yang menganggap perempuan berhaid serta setiap orang yang menyentuhnya, menyentuh pakaiannya atau tempat tidurnya sebagai bagian dari najis, dan yang terlalu mempermudah-mudahkan sehingga menghalalkan menggauli perempuan yang mengalami haid meskipun padanya terdapat penyakit dan kotoran.
Jadi meski Islam menganggap darah haid sebagai “kotor” dan perempuan harus menyucikan diri darinya (Q.S. al-Baqarah [2]: 222), pelarangan mendekati perempuan pada masa haid lebih disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang tidak kondusif, baik secara psikologis maupun medis. Karena itu ‛Abduh mengatakan pandangannya itu didukung oleh bukti-bukti dalam ilmu kedokteran. Jika pandangan ini dapat dianggap lebih tepat maka sesungguhnya kata adhā yang digunakan al-Qur’an mengandung hikmah yang sangat mendalam: al-Qur’an hendak menghapus kesan perempuan itu najis pada masa haid. Haid pada dasarnya adalah adhā, sakit atau kondisi tidak nyaman yang dialami perempuan.
Islam memang mengenal konsep hadats, yakni kotor atau tidak suci secara maknawi, hal mana membuat seseorang terlarang melakukan kegiatan-kegiatan ibadah ritual tertentu – seperti salat, puasa, tawwaf, membaca al-Qur’an dan i‛tikāf (diam dalam mesjid dengan niat ibadah) – sebelum orang tersebut bersuci. Mengenai masalah ini, diskusi telah dilakukan secara panjang lebar oleh para fuqaha dan di sana-sini terdapat beberapa perbedaan pendapat, terutama sekali berkenaan dengan syarat-syarat dan jenis pelarangan tersebut. Formulasi fiqh telah dibuat secara sistematis dan rinci tentang masalah ini sehingga tidak perlu di sini dibicarakan secara detail. Poin yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa haid termasuk hadats, yakni hadats besar, dan karena itu seorang perempuan diwajibkan mandi setelah haidnya selesai untuk menyucikan dirinya dari hadats besar tersebut. Hadats adalah sebuah istilah dalam fiqh yang berbeda sama sekali dari najis. Hadats sama sekali tidak memberikan kesan kotor dan menjijikkan. Orang berjunub (melakukan hubungan seksual, atau keluar mani/sperma) dan orang melahirkan disebut berhadats besar; karena itu mereka wajib mandi. Perempuan yang mengalami masa haid juga sama dengan mereka itu. Jadi meskipun perempuan diwajibkan mandi karena haid, tidak berarti ia dipandang telah diliputi najis atau mengalami hal menjijikkan.
Menstruasi atau haid dalam pandangan Islam tidak lebih dari sebuah sistem biologis tubuh di mana kotoran tertentu dikeluarkan melalui liang vagina, sehingga seorang perempuan yang mengalami menstruasi perlu melakukan penyucian fisik. Tidak ada tuduhan-tuduhan yang dibuat oleh Islam untuk menghina perempuan dengan mengatakan, misalnya, bahwa menstruasi adalah sebuah kutukan, hasil kerja setan, atau akibat dari sebuah dosa yang diwariskan. Dalam kenyataannya memang ada mitos yang beredar dalam masyarakat bahwa menstruasi merupakan akibat dari “buah terlarang” yang dimakan oleh perempuan pertama (Hawa) ketika masih bersama suaminya (Adam) dalam sorga. Tuhan telah melarang memakan buah kayu itu. Tetapi karena godaan setan, keduanya terpedaya; mereka memakan buah tersebut. Namun Adam sedikit beruntung karena tidak sempat menelannya sebab malaikat datang dan mencekek lehernya. Sementara Hawa, karena duluan memakannya maka buah tersebut terlanjur tertelan. Sayang sekali, malaikat kurang sigap dalam menangani peristiwa tersebut, sehingga perempuan tidak sempat terselamatkan. Buah “kayu terkutuk” itulah yang menyebabkan datangnya darah haid pada perempuan setiap bulan. Perempuan, dalam mitos tersebut, ternyata sejak awal memang kurang beruntung. Celakanya lagi, kemalangan tersebut diwariskan juga kepada semua perempuan lain dari anak cucunya yang telah pantas menerimanya, yakni telah dewasa atau sampai umur. Tetapi semua hikayat kuno ini tidak berasal dari ajaran Islam; ia tentu saja datang dari negeri “entah-berantah”.
Islam tidak pernah mengenal cerita seperti ini. Karya-karya Muslim klasik sekalipun, yang otoritatif, yakni diakui keabsahannya, tidak menyebutkan cerita-cerita serupa demikian. Fiqh Islam klasik, yang merupakan interpretasi atau hasil pikiran ulama atau sarjana Muslim zaman dahulu sekalipun, mengungkapkan persoalan haid ini dengan penuh respek. Syeikh Zakaria al-Ansārī, seorang Fāqih dan Qādī agung negeri Mesir abad pertengahan yang terkenal karena wibawa, keluasan ilmu dan keadilannya, mengatakan bahwa haid adalah darah jublah yang keluar dari rahim perempuan pada waktu-waktu tertentu. Kemudian al-Bujayrimī, ketika mengomentari pernyataan al-Anshārī, mempertegas bahwa yang dimaksud dengan jublah adalah tabī‘ah, yakni kebiasaan atau natural. Lebih lanjut al-Ansārī mengatakan bahwa peristiwa kedatangan haid pada setiap perempuan dewasa adalah ketetapan dari Allah atas setiap anak-cucu (perempuan) Adam. Sedikit pun tidak ada tendensi penghinaan atau pelecehan terhadap jenis kelamin dalam pernyataan-pernyataan di atas. Menstruasi itu berasal dari Allah dan telah menjadi kenyataan dalam hidup manusia. Ia tidak terkait dengan apa pun selain kehendak Allah; tidak ada sebab-sebab padanya yang berasal dari kemurkaan atau kutukan. Tradisi Islam, meskipun dalam hal-hal tertentu banyak dipengaruhi pandangan luar, memiliki konsep yang sangat jernih dan jenius terhadap perempuan. Demikian juga terhadap hal-hal lain. Khurafat, yakni mitos-mitos irrasional dan tak bersumber, sejak lama telah dibicarakan oleh ulama atau sarjana Muslim, dan telah dilakukan berbagai upaya serius untuk membersihkan masyarakat Muslim dan tradisi Islam darinya. Ihwal pandangan tentang perempuan, memang bukan tanpa kontroversi. Tetapi yang menarik adalah sikap kaum Muslim yang selalu berupaya merujuk berbagai persoalan yang dibicarakan pada sumber asli ajaran agama. Jadi perbedaan hanya sekitar penafsiran saja. Karena itu kritik dan rekonstruksi pemikiran dalam tradisi intelektual Muslim pada dasarnya adalah hal biasa, bukan sesuatu yang tabu dan menakutkan.
Namun perlu juga diingat bahwa kontroversi tersebut bukan hanya terkait dengan pemahaman saja tetapi juga mengenai metodologi. Terlebih lagi jika yang dipersoalkan adalah hadits, maka perdebatan bukan hanya sekitar matan atau teksnya tetapi juga soal periwayatan atau historisnya. Sebagai sebuah laporan, hadits mungkin saja didengar, disampaikan atau dicatat sebagian saja oleh seorang perawi, dan penjelasan yang tidak lengkap itu kemudian disampaikannya kepada orang lain. Atau bisa jadi seorang pembawa laporan telah memasukkan interpretasinya sendiri ke dalam teks. Kasus-kasus seperti ini tidak mustahil telah terjadi dalam berbagai catatan hadits. Karena itu hadits harus ditelaah secara cermat dan kritis.
Sebagai contoh adalah hadits riwayat al-Bukhārī dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa “Tiga hal yang membawa bencana: rumah, wanita dan kuda.” Fatimah Mernissi mengkritik dengan keras hadits tersebut. Menurutnya hadits tersebut adalah contoh sebuah kekeliruan yang dilakukan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits Nabi. Serangan pertama yang dilakukan Mernissi adalah terhadap Abu Hurairah sendiri. Menurut Mernissi, banyaknya riwayat Abu Hurairah tentang hadits-hadits yang memojokkan perempuan tidak mengherankan sebab orang ini memang terkenal antipati terhadap perempuan. Di samping itu pemahaman Abu Hurairah terhadap hadits Nabi dalam berbagai masalah juga tidak cermat. Tapi yang mengherankan, kata Mernissi, adalah sikap al-Bukhārī (seorang perawi hadits yang cermat dan kritis) yang memasukkan banyak hadits misoginis (yang menunjukkan kebencian akan perempuan) ke dalam kumpulan hadits shahihnya, bahkan tanpa koreksi sama sekali. Haditstersebut, demikian menurut Mernissi, telah dikritik atau dikoreksi oleh ‘Āisyah sendiri. Abu Hurairah, menurut keterangan ‘Āisyah, tidak mendengar penjelasan Rasulullah secara lengkap. Padahal yang dimaksud oleh Rasulullah justeru sebaliknya: Rasulullah sedang menjelaskan betapa kelirunya kaum Yahudi yang mengatakan bahwa tiga hal tersebut, yakni rumah, perempuan dan kuda, sebagai penyebab terjadinya bencana.
Karena itu Mernissi mengajak pembacanya mengkaji ulang berbagai masalah mengenai perempuan yang mungkin selama ini dianggap telah selesai. Banyak teks hadits tentang perempuan serta periwatan dan konteksnya perlu ditelaah kembali secara teliti dan mendalam. Mungkin saja Mernissi keliru dalam berbagai analisis yang ia buat tentang para sahabat Nabi, tentang Abū Hurayrah misalnya. Tetapi apa yang diungkap Mernissi, paling tidak, menyiratkan adanya keresahan seorang intelektual terhadap perlunya ruang dialog, diskusi, kereksi dan telaah ulang atas berbagai persepsi yang telah kita yakini selama ini berdasarkan sejarah dan hadits-hadits Nabi; bahwa kita harus meninjau sebuah “keyakinan” bukan berarti kita ingin menghancurkannya.