Monday, May 10, 2010

Psikologi Perempuan

Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita sekarang perempuan kerap diasumsikan sebagai kelompok gender yang lemah, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikologis, mental dan spiritual. Perempuan adalah makhluk lembut dan penuh perasaan, berbeda dari laki-laki yang berwatak keras dan berpikir lebih rasional. Laki-laki pantang menangis, tetapi bagi perempuan tangis justeru merupakan senjata yang paling ampuh. Karena itu muncullah anggapan, bahwa watak dasar perempuan seperti itulah yang menyebabkan ia harus tunduk kepada laki-laki. Laki-laki adalah pelindung dan pembimbingnya.
Banyak kisah dan pengalaman hidup sehari-hari dijadikan alasan untuk menopang pandangan di atas. Telah lazim kita lihat, demikian orang sering mengatakan, bahwa perempuan senang mengikuti apa yang dikatakan atau diinginkan laki-laki; perempuan lebih cenderung menyesuaikan diri dengan laki-laki dibanding sebaliknya; perempuan lebih senang diperintah daripada memerintah. Semua ini adalah “bukti” bahwa secara psikologis perempuan adalah lemah, bersifat penurut dan akan lebih tenteram berada di bawah pengawasan laki-laki. Ini adalah kodrat yang tidak boleh dilawan; menentangnya akan membawa akibat-akibat buruk dan bahkan dapat merusak keharmonisan hidup.
Lebih jauh lagi pandangan seperti ini sampai pada tuntutan supaya perempuan rela berkorban untuk berbagai kepentingan laki-laki atau suaminya, namun tidak sebaliknya; laki-laki tidak perlu berkorban untuk memenuhi cita-cita isterinya. Lebih tragis lagi adalah anggapan bahwa perempuan memang menikmati ketertindasannya di bawah kekuasaan laki-laki – semacam masokisme dalam aliran psikologi, di mana seseorang menikmati penderitaan dan kepasrahan kepada lawan jenisnya.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, di sekitar kita, juga tidak jarang kita dengar perempuan dinasehati untuk patuh kepada suaminya, dan laki-laki tidak boleh sekali-kali tunduk kepada isterinya – sebuah ironi yang sangat menyedihkan: laki-laki seakan-akan telah kebal dan maksum dari kesalahan. Perempuan selalu diingatkan untuk sabar dan tabah atas segala kekeliruan suaminya, sementara kepada laki-laki dinasehatkan agar tidak pernah kalah menghadapi perempuan.
Padahal dalam al-Qur’an, yang diingatkan justeru sebaliknya: … dan hendaklah kamu (laki-laki) menggauli mereka (isterimu) dengan cara yang makruf (baik). Maka jika kamu membenci mereka, (bersabarlah); mungkin saja, kamu membenci sesuatu sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (an-Nisā’ [4]: 19).
Dalam ayat yang lain dikatakan bahwa Tuhan menciptakan pasangan bagi manusia supaya mereka dapat saling berkasih-kasihan dalam kedamaian.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Ia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram dengannya. Dan Ia menciptakan di antara kamu kerinduan dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar (terdapat) tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir (al-Rūm [30]: 21).
Ayat ini mengisyaratkan kesetaraan dalam hak mendapatkan kasih sayang dan kedamaian dengan jalan saling memberi dan saling menerima. Tuhan tidak menciptakan yang satu untuk mengeksploitasi yang lain. Tetapi justeru dengan saling mengasihi dan menyayangi mereka akan mendapatkan kedamaian. Tidak ada kodrat yang menjadikan perempuan harus tunduk kepada laki-laki atau pun sebaliknya. Laki-laki dan perempuan harus tunduk kepada kebenaran dan harus sama-sama menegakkan keadilan.
Kisah-kisah tentang penderitaan perempuan juga terdapat di kalangan orang-orang terkenal dan mereka yang telah mengukir prestasi besar. Mary Gergen, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat, pernah meneliti riwayat hidup sejumlah laki-laki dan perempuan ternama. Hasil yang didapat layak mendapatkan perhatian.
Laki-laki bercerita tentang keberhasilan mereka melalui penderitaan dan kesusahan. Istri dan anak-anak tidak pernah menjadi bagian penting dalam perjuangan itu. Tidak jarang mereka dengan bangga berkisah bagaimana mereka mengorbankan istrinya demi karir yang ingin digapainya. Yang penting adalah bagaimana laki-laki menaklukkan para pesaingnya. … [dalam bahasa yang ekstrem] Perempuan berkorban untuk kebahagiaan laki-laki: pada saat laki-laki mengorbankan perempuan untuk mengejar kesenangan sendiri.
Ini adalah apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kenyataan tersebut telah menjadi bagian dari sebuah keyakinan: bahwa hal seperti itu biasa! Laki-laki berbuat seenaknya terhadap perempuan adalah hal yang tidak aneh. Tetapi yang ganjil adalah bahwa dalam psikologi, perempuan dianggap aneh (yakni tidak normal) ketika menikmati penderitaan akibat perlakuan kasar atau kejam lawan jenisnya. Itu adalah masokisme, semacam penyakit jiwa, kata para psikolog. Dalam hal ini, yang disalahkan adalah korban, sementara pelaku kajahatan itu sendiri dianggap normal. Inilah, kata Jalaluddin Rahmat, bias gender dalam psikologi.
Itulah sebabnya psikologi kemudian sampai pada kesimpulan yang rumit tentang perempuan. Perempuan selalu mengalami banyak problem, kata para psikolog. Masokisme, seperti telah disinggung di atas, dianggap sebagai bagian dari perasaan batin mereka; mereka memang menikmati penderitaan – sebuah teori lama yang berasal dari S. Freud. Tahun 1960-an, Matina Horner membantah anggapan tersebut. Yang menjadi masalah bagi perempuan menurutnya adalah takut sukses. Untuk mengatasi hal tersebut perempuan harus berupaya menghilangkan panghalang internal itu; perempuan harus berani dan mampu menikmati kesuksesan. Tetapi psikolog yang lain lagi, termasuk kaum agamawan (Kristen) konservatif, mengatakan bahwa problem perempuan justeru karena mereka menginginkan sukses, sementara mereka harus tunduk dan pasrah kepada Tuhan dan suaminya; maka jalan keluarnya adalah, mereka harus menjadi perempuan yang serba total, positif dan memenuhi tugas-tugasnya. Tetapi itu salah, kata psikolog yang lain. Perempuan sebenarnya menderita “Cinderella Complex, ketakutan tersembunyi untuk mandiri.” Maka yang harus mereka lakukan adalah melawan keinginan untuk selalu diselamatkan, dilindungi dan mungkin juga disayangi oleh Sang Pangeran. Kemudian sejumlah penulis mengatakan, bukan itu masalahnya. Perempuan sering menciptakan masalah karena mereka mengatakan “ya” pada saat ingin mengatakan “tidak”; tetapi ketika mengatakan “tidak” mereka merasa bersalah. Karena itu mereka harus melatih berkata jujur dan menampilkan diri sebagaimana adanya. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa munculnya masalah bagi perempuan karena mereka mencintai berlebihan. Akibatnya mereka harus menanggung resiko yang berat. Ini dibantah oleh yang lain: persoalannya adalah karena perempuan mencintai laki-laki yang keliru atau tidak cocok. Jika mereka memilih laki-laki yang tepat tentu tidak akan ada masalah. Akhirnya, pada tahun 1987, Melody Beattie, menegaskan bahwa laki-laki tidak bisa disalahkan, karena mereka memang “sakit”.
Perempuan memang sering mendatangkan masalah, demikian keyakinan banyak orang dalam masyarakat kita. Perempuan tidak dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan penting. Mereka lebih mengedepankan perasaan dari pikiran, sehingga sulit menyelesaikan masalah dengan tepat. Masyarakat awam menganggap itu adalah bagian dari kenyataan yang dapat disaksikan oleh siapa pun dalam kehidupan keseharian kita. Di dunia akademik, khususnya bidang psikologi, hal tersebut dianggap sebagai pandangan yang berasal hasil penelitian ilmiah: secara psikologis, perempuan adalah rentan terhadap berbagai masalah yang menyusahkan; “mereka memiliki kecerdasan yang lebih rendah, struktur otak yang kurang terspesialisasi, dan kepribadian yang lebih emosional dibanding dengan laki-laki.” Para psikolog mengatakan, itulah psikologi perempuan; para agamawan mengatakan, itulah kodrat perempuan.
Benarkah itu kodrat perempuan dan adakah bukti-bukti ilmiah yang mendukung anggapan kebanyakan psikolog tentang berbagai kelemahan kepribadian perempuan? Adakah agama memihak pada laki-laki dan memojokkan perempuan? Mengapa kita mengatakan segala “kelemahan” yang ada pada perempuan selama ini sebagai kodrat? Apa yang kita maksud dengan kelemahan dan kelebihan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengharuskan kita melihat kembali secara kritis berbagai teori yang sebenarnya tidak lebih dari stereotype tentang perempuan.
Psikologi klasik yang diwariskan oleh S. Freud adalah psikologi yang dibangun dengan menggunakan standar laki-laki. Perempuan dipandang dan dinilai sesuai dengan apa yang dipikirkan laki-laki terhadap perempuan, bukan sebagaimana perempuan memandang dirinya. Perilaku perempuan harus menurut pada selera laki-laki: pasif, penurut, masokis, penyayang dan sebagainya. Jadi perempuan selalu dipaksa menyesuaikan diri dengan laki-laki berdasarkan ukuran yang dibuat laki-laki. Jika tidak dapat menyesuaikan diri seperti itu mereka disebut tidak normal. Dengan kerangka berpikir seperti itu maka setiap gerakan pembebasan kaum perempuan, upaya pemberdayaan perempuan dan setiap tuntutan yang lebih adil bagi perempuan akan dicap sebagai gerakan yang menyimpang, tuntutan yang tidak normal, sikap yang berlebih-lebihan dan sebagainya.
Semua teori – sebenarnya stereotype – yang dikarang para psikolog lama tentang berbagai kelemahan perempuan memang siap dengan seperangkat “bukti” ilmiah yang mendukungnya. Katanya, kecerdasan perempuan lebih rendah dari kecerdasan laki-laki karena memang ukuran dan struktur otak kedua jenis kelamin ini berbeda. “… sejumlah besar perempuan mempunyai otak yang ukurannya lebih dekat dengan otak gorila daripada dengan otak lelaki yang paling maju,” kata Gustave Le Bon. Begitu pula T. Lang, dengan tegas mengatakan bahwa:
pemikiran konseptual hanya terdapat pada intelek laki-laki … tetapi tidak perlu juga perempuan enggan untuk menyatakan bahwa ia lebih sensitif dalam emosinya dan kurang dikendalikan oleh inteleknya kita hanya mengatakan perbedaan, perbedaan yang memang diperlukan untuk peran istimewa yang dimainkan perempuan … Tengkoraknya lebih kecil dari tengkorak laki-laki; dan tentu saja juga otaknya.
Ini adalah di antara dugaan-dugaan atau hipotesis yang tidak pernah terbukti secara empiris, dan beginilah stereotype itu dibuat dan dikukuhkan dengan berbagai dalih yang disebut ilmiah. Stereotype atau pelabelan terbentuk secara evolutif dalam masyarakat sejalan dengan perkembangan institusi atau tradisi-tradisi yang dibuat masyarakat. Institusi atau tradisi-tradisi tersebut umumnya di awali oleh keyakinan-keyakinan tertentu atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian dikuatkan menjadi kepercayaan. Hal ini jarang disadari oleh masyarakat itu sendiri, sehingga umumnya orang cenderung menyamaratakan semua tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku dan meyakininya sebagai ketetapan yang tidak bisa diganggu-gugat. Misalnya pakaian, seperti celana panjang, sarung, rok dan peci. Kita menganggap celana panjang sebagai pakaian khas laki-laki dan rok sebagai pakaian khas perempuan. Siapa yang menetapkan pembagian seperti itu? Tentu saja masyarakat dengan filosofinya sendiri. Tetapi masyarakat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain atau satu negara dengan negara yana lain. Contoh yang paling menarik adalah kain sarung. Dalam masyarakat kita, kain sarung barangkali termasuk pakaian unisex, dapat dipakai laki-laki dan perempuan. Tetapi kain sarung sebenarnya lebih mirip dengan rok, pakaian perempuan. Karena itu masyarakat luar sering heran melihat orang-orang (laki-laki) Indonesia yang pergi ke mesjid pakai kain sarung.
Begitu juga berkenaan dengan tingkah laku. Kalau laki-laki bersikap kasar dianggap biasa, tetapi jika perempuan melakukan hal yang sama, diangap tidak wajar. Kalau laki-laki lebih kuat dari perempuan dianggap biasa, tetapi jika ada perempuan lebih kuat dari laki-laki, akan diakatakan: pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jika kita tanya apa alsannya? Mungkin saja jawaban yang akan diberikan adalah: menyalahi kodrat! Inilah yang disebut kepercayaan; tapi sayangnya kepercayaan seperti ini tidak dibangun atas landasan yang rasional atau ajaran agama yang benar. Maka orang menyebutnya stereotype. Artinya sebuah label yang diberikan kemudian, bukan karena hakikatnya memang demikian.
Barangkali sosiologilah yang paling berperan membongkar mitos-mitos tentang psikologi perempuan yang telah terlanjur dianggap sebagai teori-teori ilmiah. Sayangnya, pengaruh sosial budaya terhadap kepribadian manusia sering dilupakan para psikolog. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan sosio-kultural dalam kajian-kajian ilmiah mereka sering terabaikan. Padahal kajian-kajian ilmiah kontemporer justeru menunjukkan bahwa pertumbuhan jiwa seseorang juga sangat terkait dengan dengan irama perkembangan sosial budaya di sekitarnya.
Dalam pandangan para sosiolog, perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan daripada faktor-faktor biologis dan genetik. Masyarakatlah yang menentukan perilaku-perilaku tertentu manjadi milik jenis kelamin tertentu. Seperti telah disebutkan di atas, alasan-alsasan sosial lebih berperan dan berpengaruh terhadap tingkah laku kita, sebab tingkah laku itu sendiri adalah ujud dari hubungan atau interaksi di antara sesama kita atau interaksi sosial. Dalam berinteraksi, kita lebih banyak mempertimbangkan tuntutan-tuntutan sosial, karena ia menyentuh secara langsung kehidupan nyata dalam keseharaian kita. Lalu mengapa dalam peran-peran sosiologis kita membedakan laki-laki dan perempuan? Karena pada awalnya dengan cara seperti itulah kita dapat mengenal seseorang apakah dia laki-laki atau perempuan. Kita bisa saja dengan mudah membedakan apakah seorang anak yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan dengan melihat alat kelaminnya. Tapi, seperti kata Jalaluddin Rahmat, kita tidak mungkin mencari tahu apakah sesseorang yang berjumpa di jalan itu laki-laki atau perempuan dengan cara meneliti alat kelaminnya. “Terlalu riskan.” Kita bisa dianggap tidak waras atau langsung dikeroyok. Karena itu masyarakat menciptakan nama, pakaian, tingkah laku dan bahkan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kita tahu seseorang itu laki-laki karena bernama Iqbal, atau ia perempuan karena bernama Mawar. Atau yang satu memakai celana dan yang satu lagi memakai rok. Inilah yang disebut gender. Namun semua ini bukan hakikat atau kodrat; hanya kesepakatan sosial. Masyarakat lain bisa saja sepakat sebaliknya. Tapi yang paling penting adalah, perbedaan-perbedaan tersebut hendaklah mengacu pada landasan yang adil.
Gerakan-gerakan kaum feminis sebenarnya labih banyak diilhami oleh sosiologi. Bahkan kritik-kritik yang muncul dalam tubuh psikologi sendiri diinspirasikan oleh hasil-hasil kajian sosiologi. Sosiologi menyingkap sesuatu yang dilupakan psikologi. Dalam sosiologi, perilaku suatu masyarakat diyakini berasal dari hasil evolusi yang panjang. Kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat pada akhirnya mengkristal dan mempengaruhi kesadaran umumnya individu dalam masyarakat tersebut. Kenyataan inilah yang manjadi sasaran kajian psikologi sehingga para psikolog terpedaya untuk menyebutnya sebagai bagian dari kenyataan psikologis yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Maka ketidak adilan gender dalam suatu masyarakat, yang menyebabkan banyak perempuan mengalami penderitaan, dianggap sebagai “kelemahan batiniah atau cacat psikologis pada perempuan” – sebuah cacat batin yang dianggap tidak mungkin disembuhkan.
Inilah di antara hal yang memilukan tentang perempuan: mereka direndahkan dan sekaligus disiapkan sekian dalih untuk membenarkan tuduhan tersebut atas nama kehormatan ilmu pengetahuan. Dengan “sabar” lalu kaum perempuan terpaksa merelakan dirinya disingkirkan dari posisi-posisi penting, dari dunia akademik, politik dan bahkan dari dominasi ekonomi. Kaum perempuan barangkali perlu berterimakasih kepada bidang sosiologi yang telah melemparkan diskursus tentang gender sehigga menyentak perhatian banyak psikolog. Kini psikologi telah banyak membicarakan perempuan dengan berbagai pertimbangan sosio-kultural dan tidak lagi berpusat melulu pada hasrat kaum laki-laki. Batin manusia, demikian umumnya para psikolog sekarang berkesimpulan, sebenarnya juga memiliki akses ke dunia luar sehingga ia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi. Beginilah hubungan sosiologi dan psikologi dalam membentuk perilaku masyarakat dan individu: Masyarakatlah, sebagai kelompok sosial, yang menetapkan teradisi-tradisi, dan kemudian tradisi tersebut menjadi kesadaran kolektif yang mendalam. Psikolog menyebutnya kesadaran psikologis.

No comments:

Post a Comment