Wednesday, June 14, 2017

Renungan Awal Tahun



Kita dan Perubahan: Refleksi Awal Tahun 2017/1438

Hari-hari yang kita lalui sepanjang masa sebenarnya sama saja. Kitalah yang menentukan nilai dari hari-yang kita lalui itu. Kita yang menentukan kemana arah perjalanan hidup yang kita tempuh. Kita yang menentukan, amalan-amalan apa saja yang akan kita buat untuk mengisi hari-hari tersebut. Hari demi hari berganti. Tahun demi tahun berganti. Hidup kita akan sama saja dengan sebelumnya apabila tidak ada yang kita lakukan untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Manusia yang hidupnya sama saja dari hari ke hari tanpa kemajuan dan peningkatan adalah manusia yang rugi. Maka mari kita mengisi hari-hari kita dengan amalan kebaikan yang selalu lebih baik dari sebelumnya, baik kualitas maupun kuantitasnya. Marilah menjadi orang yang beruntung, jangan menjadi orang yang rugi.
Hidup tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi harus digerakkan, dan harus ada power atau kekuatan untuk menggerakkannya. Hidup tanpa gerakan adalah kematian. We have to move. Kita harus membuat gerakan untuk menunjukkan bahwa kita hidup. Gerakan itulah yang akan menjadi proses perubahan. Kita memang harus berubah. We have to change. Ada sebahagian orang yang takut pada perubahan, karena mereka mengira perubahan akan menghancurkannya. Mereka melihat dirinya telah berada pada secure space yakni wilayah aman dan perubahan akan merusak segalanya. Mereka bangun tidur setiap pagi lalu melakukan rutinitas seperti biasa, sore hari pulang ke rumah, beristirahat dan besok pagi kembali kepada rutinitas yang sama. Mereka seperti burung, seperti binatang ternak atau seperti keledai yang akan kebingungan kalau jalan yang ia lalui telah berubah.
Setiap perubahan pada awalnya akan mendatangkan kebingungan, dan bahkan kejatuhan. Tetapi hal itulah yang menjadi pelajaran dan latihan bagi kita untuk bangkit, maju dan bergerak labih cepat. Para Nabi pun, sebagai manusia dan pejuang, pernah mengalami “kebingungan” dalam hidupnya sebagai prerequisite (prasyarat) mendapatkan pencerahan. Nabi Ibrahim mengukuhkan imannya lewat sebuh proses inquiry terhadap berbagai fenomena alam yang menakjubkan. Beliau mempertanyakan apakah bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan. Ternyata tidak. Mereka semua tidak lain hanyalah ciptaan Tuhan yang maha berkuasa di atas segalanya.
Nabi Yunus bahkan pernah keliru dalam keputusan yang beliau ambil tatkala berhadapan dengan kesulitan dan kepahitan dalam perjuangannya. Beliau memutuskan untuk lari meniggalkan kaumnya yang taunya hanya membangkang dan durhaka. Tuhan memberi beliau teguran lewat sebuah cobaan yang tidak terbayangkan. Belilau harus mendekam dalam perut ikan sekian lama sampai akhirnya ia memuntahkan beliau ke sebuah tepi pantai yang asing.
Nabi Musa terlibat dalam sebuah tindakan “criminal” sebab tidak sanggup lagi melihat perihnya penderitaan yang dialami Bani Israil karena kezaliman Firaun. Beliau membunuh seorang Qubti yang terlibat perkelahian dengan bangsa Beliau (Bani Israil) karena melawan titah Penguasa zalim itu. Beliau menjadi buronan Firaun dan kemudian menjadi seorang “pemberontak” yang menyulut semangat perlawanan yang berapi-api.
Nabi Muhammad bahkan hampir saja melihat kematian sebagai sebuah solusi atas “kepanikannya.” Imam al-Bukhari telah meriwayatkan sebuah kisah yang kemudian mejadi kontroversial di kalangan ahli hadis, karena menyebut Nabi hampir saja melakukan bunuh diri karena “bingung” terhadap apa yang terjadi atas dirinya, setelah menerima wahyu. Terlepas dari kontroversi tersebut, Nabi Muhammad mamang pernah berada dalam sebuah kondisi yang secara psikologis amat membebani jiwanya. Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan menemukan Nabi sebagai sebuah pribadi yang dhall, yakni sesat. Namun kemudian Tuhan memberikan petunjuk kepadanya. Ini harus dipahami dengan baik dan hati-hati. Kata dhall kadang-kadang diartikan dengan sesat, tetapi di sini tidak dalam pengertian seperti aliran sesat yang berkembang selam ini; sesat yang tidak cerdas. Sesat yang dimaksudkan di sini adalah berada dalam kondisi di mana seseorang tidak dapat memberikan keputusan yang pasti atas apa yang sedang terjadi; In a state of confusion. Para filosof, mujtahid dan orang-orang yang kreatif berpikir, sering mengalami hal seperti itu. Termasuk para Nabi. Para Nabi bukanlah robot yang di kepalanya ada receiver dan chip sebagai alat penerima dan penyimpan wahyu. Demikian juga kitab suci, bukanlah buku manual seperti petunjuk merakit sebuah mainan anak-anak. Nabi adalah manusia yang jejak langkahnya  dan seluruh perilaku hidupnya menjadi teladan bagi manusia. Kita tidak akan dapat meneladani robot, karena ia adalah mesin dan segala keputusan yang diambilnya bersifat programatik; tidak ada kebijakan dan perubahan; tidak ada ijtihad. Tapi Nabi adalah manusia yang merupakan patron kehidupan ideal. Perilakunya yang kita ikuti adalah berupa nilai dan keteladanan, bukan perkara-perkara teknis yang setiap saat bisa berubah dan berkembang. Begitu pula kitab suci yang mereka bawa dan bacakan untuk manusia, harus dipahami dengan cermat dan mendalam.
Sejarah para nabi penuh aneka warna, menampilkan berbagai pelajaran dan iktibar yang sangat berfariasi. Namun satu hal sangat jelas: mereka adalah manusia yang hadir ke dunia ini dengan membawa cita-cita perubahan. Mereka adalah orang-orang yang peduli, karena itu mereka resah. Mereka berpikir, karena itu mereka kadang-kadang berada dalam ketermenungan – kalau tidak boleh menggunakan kata “bingung.” Mereka berijtihad, karena itu mereka kadang-kadang “keliru.” Tetapi Nabi bukan tukang sihir yang mengubah dunia ini dengan tongkatnya, atau akan terbang dengan menggunakan sapu lidi. Memang para nabi dibekali dengan mukjizat. Nabi Ibrahim tiak terbakar dalam api. Nabi Isa menghidupakan orang mati. Nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya. Itu hanya kasus-kasus special, untuk membungkam orang-orang kafir atau para pembangkang. Mereka tidak melakukan itu sepanjang hidupnya. Itu justeru untuk menunjukkan kepada kita bahwa berhadapan dengan orang-orang kafir tidak ada gunanya menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat. Mereka tetap kafir walaupun kepadanya diperlihatkan berbagai kekuasaan Tuhan. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan telah memfasilitasi kita untuk melihat ayat-ayat Tuhan di seluruh jagad raya dan pada diri kita sendiri. Kita pun tidak perlu lagi kepada mukjizat yang seolah-olah terlihat ganjil.
Tahun 2017 sudah kita masuki. Sebagian orang sibuk dengan ramalan-ramalan, baik tentang rezki, jodoh atau lainnya.  Mereka mengira ramalan-ramalan itu akan menciptakan perubahan dalam hidup mereka. Kalau kita meniru jejak kehidupan Nabi, maka cara mengubah kehidpan bukanlah dengan ramalan-ramalan. Para nabi memang manusia visioner, yang mempunyai pandangan jauh ke depan, tetapi bukan dengan cara menghitung angka-angka atau mengaitkan nasib dengan gerak benda-benda angkasa atau dengan cara-cara magic lainnya. Para nabi adalah orang-orang yang selalu berkarya dan berdoa. Mereka tidak berkarya saja dengan penuh kesombongan menganggap bahwa mereka akan sukses sebab sukses itu ada di tangan dirinya sendiri. Mereka juga bukan berdoa saja dengan keyakinan bahwa Tuhan maha kuasa dan doa kita pasti diterima sebab Tuhan itu Pengasih dan Penyayang. Dalam meraih sukses tidak perlu mengambighitamkan Tuhan. Untuk mengubah nasib tidak boleh menyalahkan doa. Orang-orang yang telah sukses di dunia ini tidak lahir dengan catatan di dahinya bahwa ia adalah manusia sukses. Orang-orang sukses itu juga bukan manusia yang tidak pernah gagal. Sukses adalah mata rantai kehidupan yang panjang, yang harus dimulai di sini dan hari ini atau sekarang. Untuk itu kita membutuhkan kepada kemauan dan keberanian. Orang-orang yang telah sukses menghadirkan visinya ke dunia nyata adalah mereka yang memiliki keberanian. Tidak akan ada perubahan bagi mereka yang pengecut.
Mari kita meraih sukses di tahun ini dengan manaklukkan ketakutan dan memberanikan diri menghadapi tantangan. Kita harus berani secara intelektual seperti Nabi Ibrahim dalam melawan kesesatan berpikir dan kerancuan akal. Kita harus berani seperti Nabi Musa dalam mengatakan kebenaran dan berjuang menegakkan keadilan. Kita harus berani seperti Nabi Yunus dalam membuat pengakuan atas kesalahan dirinya. Kita harus berani seperti Nabi Muhammad dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi cinta, yakni cintanya kepada kita, umatnya. Semua ketakutannya sirna dan lenyap melebur dalam cinta tatkala tawhid telah menjadi landasan hidupnya. Tidak ada lagi cinta harta, kemewahan, ataupun jabatan dan penghormatan duniawi, yang amat ditakuti kehilangannya oleh kebanyakan manusia. Semuanya berubah menjadi kekuatan dan keberanian, sebab yang ADA hanya satu: ALLAH, Tuhan semesta alam. Allahumma shalli ‘alayhi wa ‘ala alihi wa shahbihi wan man tabi’ah. Itulah keberanian yang sempurna, keberanian yang melampaui apa pun dalam seluruh jagad raya ini, keberanian spiritual yang tiada bandingnya dalam kehidupan. Wallahu a’lam!

Zulkarnaini Abdullah

No comments:

Post a Comment