Kita dan Perubahan: Refleksi Awal Tahun 2017/1438
Hari-hari yang kita lalui sepanjang masa sebenarnya sama
saja. Kitalah yang menentukan nilai dari hari-yang kita lalui itu. Kita yang
menentukan kemana arah perjalanan hidup yang kita tempuh. Kita yang menentukan,
amalan-amalan apa saja yang akan kita buat untuk mengisi hari-hari tersebut.
Hari demi hari berganti. Tahun demi tahun berganti. Hidup kita akan sama saja
dengan sebelumnya apabila tidak ada yang kita lakukan untuk mengubahnya menjadi
lebih baik. Manusia yang hidupnya sama saja dari hari ke hari tanpa kemajuan
dan peningkatan adalah manusia
yang rugi. Maka mari kita mengisi hari-hari kita dengan amalan kebaikan yang
selalu lebih baik dari sebelumnya, baik kualitas maupun kuantitasnya. Marilah
menjadi orang yang beruntung, jangan menjadi orang yang rugi.
Hidup tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi harus
digerakkan, dan harus ada power atau kekuatan untuk menggerakkannya. Hidup
tanpa gerakan adalah kematian. We have to move. Kita harus membuat gerakan
untuk menunjukkan bahwa kita hidup. Gerakan itulah yang akan menjadi proses
perubahan. Kita memang harus berubah. We have to change. Ada sebahagian
orang yang takut pada perubahan, karena mereka mengira perubahan akan
menghancurkannya. Mereka melihat dirinya telah berada pada secure space
yakni wilayah aman dan perubahan akan merusak segalanya. Mereka bangun tidur
setiap pagi lalu melakukan rutinitas seperti biasa, sore hari pulang ke rumah,
beristirahat dan besok pagi kembali kepada rutinitas yang sama. Mereka seperti
burung, seperti binatang ternak atau seperti keledai yang akan kebingungan
kalau jalan yang ia lalui telah berubah.
Setiap perubahan pada awalnya akan mendatangkan kebingungan,
dan bahkan kejatuhan. Tetapi hal itulah yang menjadi pelajaran dan latihan bagi
kita untuk bangkit, maju dan bergerak labih cepat. Para Nabi pun, sebagai
manusia dan pejuang, pernah mengalami “kebingungan” dalam hidupnya sebagai prerequisite
(prasyarat) mendapatkan pencerahan. Nabi Ibrahim mengukuhkan imannya lewat sebuh
proses inquiry terhadap berbagai fenomena alam yang menakjubkan. Beliau
mempertanyakan apakah bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan. Ternyata tidak.
Mereka semua tidak lain hanyalah ciptaan Tuhan yang maha berkuasa di atas
segalanya.
Nabi Yunus bahkan pernah keliru dalam keputusan yang beliau
ambil tatkala berhadapan dengan kesulitan dan kepahitan dalam perjuangannya.
Beliau memutuskan untuk lari meniggalkan kaumnya yang taunya hanya membangkang
dan durhaka. Tuhan memberi beliau teguran lewat sebuah cobaan yang tidak
terbayangkan. Belilau harus mendekam dalam perut ikan sekian lama sampai akhirnya ia
memuntahkan beliau ke sebuah tepi pantai yang asing.
Nabi Musa terlibat dalam sebuah tindakan “criminal” sebab
tidak sanggup lagi melihat perihnya penderitaan yang dialami Bani Israil karena
kezaliman Firaun. Beliau membunuh seorang Qubti yang terlibat perkelahian
dengan bangsa Beliau (Bani Israil) karena melawan titah Penguasa zalim itu.
Beliau menjadi buronan Firaun dan kemudian menjadi seorang “pemberontak” yang
menyulut semangat perlawanan yang berapi-api.
Nabi Muhammad bahkan hampir saja melihat kematian sebagai
sebuah solusi atas “kepanikannya.” Imam al-Bukhari telah meriwayatkan sebuah
kisah yang kemudian mejadi kontroversial di kalangan ahli hadis, karena
menyebut Nabi hampir saja melakukan bunuh diri karena “bingung” terhadap apa
yang terjadi atas dirinya, setelah menerima wahyu. Terlepas dari kontroversi
tersebut, Nabi Muhammad mamang pernah berada dalam sebuah kondisi yang secara
psikologis amat membebani jiwanya. Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan menemukan
Nabi sebagai sebuah pribadi yang dhall, yakni sesat. Namun kemudian
Tuhan memberikan petunjuk kepadanya. Ini harus dipahami dengan baik dan
hati-hati. Kata dhall kadang-kadang diartikan dengan sesat, tetapi di
sini tidak dalam pengertian seperti aliran sesat yang berkembang selam ini;
sesat yang tidak cerdas. Sesat yang dimaksudkan di sini adalah berada dalam
kondisi di mana seseorang tidak dapat memberikan keputusan yang pasti atas apa
yang sedang terjadi; In a state of confusion. Para filosof, mujtahid dan
orang-orang yang kreatif berpikir, sering mengalami hal seperti itu. Termasuk
para Nabi. Para Nabi bukanlah robot yang di kepalanya ada receiver dan chip
sebagai alat penerima dan penyimpan wahyu. Demikian juga kitab suci, bukanlah
buku manual seperti petunjuk merakit sebuah mainan anak-anak. Nabi adalah
manusia yang jejak langkahnya dan
seluruh perilaku hidupnya menjadi teladan bagi manusia. Kita tidak akan dapat
meneladani robot, karena ia adalah mesin dan segala keputusan yang diambilnya
bersifat programatik; tidak ada kebijakan dan perubahan; tidak ada ijtihad.
Tapi Nabi adalah manusia yang merupakan patron kehidupan ideal. Perilakunya
yang kita ikuti adalah berupa nilai dan keteladanan, bukan perkara-perkara
teknis yang setiap saat bisa berubah dan berkembang. Begitu pula kitab suci
yang mereka bawa dan bacakan untuk manusia, harus dipahami dengan cermat dan
mendalam.
Sejarah para nabi penuh aneka warna, menampilkan berbagai
pelajaran dan iktibar yang sangat berfariasi. Namun satu hal sangat jelas:
mereka adalah manusia yang hadir ke dunia ini dengan membawa cita-cita
perubahan. Mereka adalah orang-orang yang peduli, karena itu mereka resah.
Mereka berpikir, karena itu mereka kadang-kadang berada dalam ketermenungan –
kalau tidak boleh menggunakan kata “bingung.” Mereka berijtihad, karena itu
mereka kadang-kadang “keliru.” Tetapi Nabi bukan tukang sihir yang mengubah
dunia ini dengan tongkatnya, atau akan terbang dengan menggunakan sapu lidi.
Memang para nabi dibekali dengan mukjizat. Nabi Ibrahim tiak terbakar dalam
api. Nabi Isa menghidupakan orang mati. Nabi Musa membelah laut dengan
tongkatnya. Itu hanya kasus-kasus special, untuk membungkam orang-orang kafir
atau para pembangkang. Mereka tidak melakukan itu sepanjang hidupnya. Itu
justeru untuk menunjukkan kepada kita bahwa berhadapan dengan orang-orang kafir
tidak ada gunanya menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat. Mereka tetap
kafir walaupun kepadanya diperlihatkan berbagai kekuasaan Tuhan. Di zaman
modern ini, ilmu pengetahuan telah memfasilitasi kita untuk melihat ayat-ayat
Tuhan di seluruh jagad raya dan pada diri kita sendiri. Kita pun tidak perlu
lagi kepada mukjizat yang seolah-olah terlihat ganjil.
Tahun 2017 sudah kita masuki. Sebagian orang sibuk dengan
ramalan-ramalan, baik tentang rezki, jodoh atau lainnya. Mereka mengira ramalan-ramalan itu akan
menciptakan perubahan dalam hidup mereka. Kalau kita meniru jejak kehidupan
Nabi, maka cara mengubah kehidpan bukanlah dengan ramalan-ramalan. Para nabi
memang manusia visioner, yang mempunyai pandangan jauh ke depan, tetapi bukan
dengan cara menghitung angka-angka atau mengaitkan nasib dengan gerak
benda-benda angkasa atau dengan cara-cara magic lainnya. Para nabi
adalah orang-orang yang selalu berkarya dan berdoa. Mereka tidak berkarya saja
dengan penuh kesombongan menganggap bahwa mereka akan sukses sebab sukses itu
ada di tangan dirinya sendiri. Mereka juga bukan berdoa saja dengan keyakinan
bahwa Tuhan maha kuasa dan doa kita pasti diterima sebab Tuhan itu Pengasih dan
Penyayang. Dalam meraih sukses tidak perlu mengambighitamkan Tuhan. Untuk
mengubah nasib tidak boleh menyalahkan doa. Orang-orang yang telah sukses di
dunia ini tidak lahir dengan catatan di dahinya bahwa ia adalah manusia sukses.
Orang-orang sukses itu juga bukan manusia yang tidak pernah gagal. Sukses
adalah mata rantai kehidupan yang panjang, yang harus dimulai di sini dan hari
ini atau sekarang. Untuk itu kita membutuhkan kepada kemauan dan keberanian.
Orang-orang yang telah sukses menghadirkan visinya ke dunia nyata adalah mereka
yang memiliki keberanian. Tidak akan ada perubahan bagi mereka yang pengecut.
Mari kita meraih sukses di tahun ini dengan manaklukkan
ketakutan dan memberanikan diri menghadapi tantangan. Kita harus berani secara
intelektual seperti Nabi Ibrahim dalam melawan kesesatan berpikir dan kerancuan
akal. Kita harus berani seperti Nabi Musa dalam mengatakan kebenaran dan
berjuang menegakkan keadilan. Kita harus berani seperti Nabi Yunus dalam membuat
pengakuan atas kesalahan dirinya. Kita harus berani seperti Nabi Muhammad dalam
mengabdikan seluruh hidupnya demi cinta, yakni cintanya kepada kita, umatnya. Semua ketakutannya sirna dan
lenyap melebur dalam cinta tatkala tawhid telah menjadi landasan
hidupnya. Tidak ada lagi cinta harta, kemewahan, ataupun jabatan dan
penghormatan duniawi, yang amat ditakuti kehilangannya oleh kebanyakan manusia.
Semuanya berubah menjadi kekuatan dan keberanian, sebab yang ADA hanya satu:
ALLAH, Tuhan semesta alam. Allahumma
shalli ‘alayhi wa ‘ala alihi wa shahbihi wan man tabi’ah. Itulah keberanian
yang sempurna, keberanian yang melampaui apa pun dalam seluruh jagad raya ini,
keberanian spiritual yang tiada bandingnya dalam kehidupan. Wallahu a’lam!
Zulkarnaini Abdullah
No comments:
Post a Comment