Thursday, June 15, 2017

Konflik Yahudi Muslim: Siapa Umat Pilihan



Semua pemeluk agama akan mengklaim agamanya sebagai yang terbaik dan kelompoknya sebagai umat pilihan. Ini logis, sebab jika tidak demikian maka dapat dipastikan bahwa landasan bagi pemilihan agama yang dipeluk seseorang itu sangat rapuh. Apakah seseorang akan memilih agama yang tidak sempurna untuk dianutnya? Memilih agama terbaik berarti menjadi umat terbaik. Tapi adakah semua orang memilih agama yang dipeluknya? Bukankah hampir semua orang memeluk agama yang “dibaptiskan” kepadanya pada waktu ia masih kecil, ketika ia sendiri belum mengerti secara mendalam ajaran agama yang akan harus ia pegang teguh itu? Jadi benarkah setiap orang telah memilih agama yang terbaik untuk dirinya? Atau itu hanya sebuah pembenaran psikologis, agar setiap orang puas dengan agama yang dipeluknya? Atau, tidakkah mungkin, itu hanya politik penguasa agama agar dapat mempertahankan atau memperbanyak komunitas agamanya? Siapa tahu, dan siapa yang akan dapat menjawabnya secara objektif?
Sebelum isu ini didiskusikan lebih jauh, yakni pada bab selanjutnya, di sini beberapa analisa akan difokuskan pada sejumlah ekspresi al-Qur’an mengenai umat pilihan atau umat terbaik. Dalam al-Qur’an, umat Nabi Muhammad disebut sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang diutus untuk manusia, karena mereka menyuruh perbuatan makruf dan mencegah perbuatan mungkar.
Kamu adalah umat terbaik (khayr ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[1]

Di samping itu, umat pengikut Musa, yakni Bani Israil, juga dikatakan sebagai umat pilihan, di mana Tuhan telah memilih mereka atau melebihkan mereka dari umat-umat lain di dunia.
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Ia mengangkat nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja, dan memberimu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun (wa ātākum mālam yu’ti ah}adan) di antara umat-umat yang lain.”[2]

Dalam ayat lain, al-Qur’an mengekspresikannya dengan lebih jelas:
Wahai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu (fad}d}altukum) atas segala umat.[3]

Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka (ikhtarnā hum) dengan pengetahuan (Kami) atas segala umat.[4]

Lalu siapa, menurut al-Qur’an, umat pilihan? Umat Islam atau umat Yahudi? Pertanyaan ini tentu amat mudah dijawab oleh kedua belah pihak. Tanpa diragukan, keduanya pasti memiliki cukup banyak argumentasi untuk membela pihaknya masing-masing. Memang perdebatan linguistik mungkin terjadi, sebab al-Qur’an menyebutkan apresiasi tersebut dengan ekspresi kata berbeda: khayr ummah, ikhtarnā hum, fad}d}altukum, wa’ātākum mā lam yu’ti ah}adan dan lain-lain. Tapi hal ini tidak akan diperbincangkan lebih jauh dalam kajian disertasi ini, karena sudah berada di luar fokus; yang jelas, al-Qur’an telah mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ada umat yang diberikan penilaian lebih tinggi dari yang lain. Jika persoalannya demikian, menurut kebanyakan mufassir, maka dapat saja dipahami bahwa penilaian tersebut bersifat relatif. Sebuah penilaian akan terbatas pada aspek-aspek tertentu. Jika seseorang mendapatkan prestasi yang tinggi dalam satu hal maka tidak mustahil dalam hal lain ia berkurang.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menurut Ibn Katsīr, orang-orang Israel adalah umat yang terbaik pada zamannya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir dan Yunani.[5] Mengenai pernyataan al-Qur’an bahwa Allah telah memilih bangsa Israel, para mufassir secara general menganggap bahwa keunggulan mereka tersebut bersifat relatif, tidak mutlak. Dalam beberapa hal mereka memang memiliki kelebihan, namun ada juga bangsa-bangsa lain yang memiliki kelebihan berbeda. Namun dalam hal agama, kepemimpinan, kedatangan nabi-nabi dan kitab suci, bangsa Yahudi memang termasuk spesial pada zaman tersebut, seperti kata Ibn Katsīr di atas. Demikian juga pendapat al-Rāzī.[6]
Namun al-Qurt}ubī memiliki pendapat agak berbeda. Ketika menafsirkan ayat 47 surat al-Baqarah, al-Qurt}ubī berkata, bahwa Bani Israil telah dilebihkan oleh Tuhan atas segala umat, baik umat di zamannya atau pun umat di zaman-zaman yang lain. Tuhan telah mengangkat nabi-nabi yang banyak di kalangan mereka; ini merupakan kelebihan Bani Israil secara khusus.[7] Tetapi ketika menjelaskan ayat 32 surat al-Dukhān, al-Qurt}ubī tampak ragu untuk bersikap tegas dengan pandangannya sebelum itu. Ia mengatakan bahwa kelebihan Bani Israil adalah jika dibandingkan dengan umat-umat lain di zamannya; ini berdasarkan ayat 110 surat Āli ‘Imrān yang menegaskan keterpilihan umat Muhammad. Namun, setelah itu ia berkata: ini pendapat Qatādah, sementara pendapat yang lain mengatakan, kelebihan mereka adalah atas segala umat pada setiap zaman, karena mereka memiliki nabi-nabi yang banyak.[8] Al-Qurt}ubī tidak memberikan komentar yang banyak setelah itu. Tampaknya ia sendiri menyadari bahwa kebanyakan mufassir pendahulunya juga memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ia sendiri tentu saja tidak mungkin menolak bahwa umat Muhammad adalah umat pilihan, berdasarkan al-Qur’an sediri. Menyambung al-Qurt}ubī, lalu apa salahnya jika diterima bahwa kedua komunitas ini adalah umat pilihan?
Apa sesungguhnya arti “umat pilihan” itu? Ketika Tuhan telah memilih suatu umat, apakah berarti Ia telah menyia-nyiakan umat yang lain? “Kita” sepertinya cenderung menafikan setiap kelebihan pada “orang lain” dan amat takut jika ternyata harus mengakui bahwa orang lain mengungguli kita. Al-Qur’an sebenarnya telah memberikan isyarat bahwa Tuhan telah memilih siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Tuhan telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas sekalian manusia; Tuhan juga telah menjadikan Maryam sebagai perempuan pilihan di atas sekalian perempuan di dunia.[9] Tuhan telah memilih banyak manusia dan melebihkan mereka dari manusia-manusia yang lain. Namun Tuhan tidak memilih mereka begitu saja tanpa alasan. Ketundukan mereka yang tulus kepada-Nya dan komitmen moral mereka yang berada pada level standar tertinggi adalah alasan utama mengapa mereka menempati posisi lebih terhormat di mata Tuhan. Dalam berbagai ayat dan surat, al-Qur’an menegaskan hal tersebut. Ketika dipilih oleh Tuhan menjadi imam bagi sekalian manusia, Ibrahim bermohon: “(Ya Tuhan! Demikian juga) dari anak keturunanku!” Tuhan menjawab: “Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.”[10]
Al-Qur’an selalu mengacu pada prinsip-prinsip yang universal. Al-Qur’an tidak mungkin dipahami dalam konteks yang sempit. Menalar al-Qur’an dengan cara-cara yang tendensius akan berhadapan dengan berbagai paradoks, dan membingungkan. Sejauh ini, kasus ayat-ayat yang telah dibicarakan di atas adalah contoh-contoh yang jelas. Sekali lagi, ayat-ayat ini menunjukkan historisitas al-Qur’an dan keterikatannya dengan sosial-budaya masyarakat yang menjadi sasarannya. Ayat-ayat al-Qur’an pertama sekali ditujukan kepada masyarakat Arab dan pembicaraan al-Qur’an mengenai orang-orang Yahudi dan Nasrani pada intinya juga tidak terlepas dari persoalan hubungan mereka dengan Nabi Muhammad dan orang-orang Arab. Orang-orang Bani Israil yang dibicarakan al-Qur’an haruslah dilihat sebagai contoh-contoh untuk dijadikan pelajaran. Mereka dipilih oleh Tuhan karena ketulusan hati dan kebaikan amalnya; mereka dicela karena sikap-sikapnya yang menyimpang dari kebenaran dan melanggar sumpah setia yang telah mereka ikrarkan.
Gagasan al-Qur’an mengenai keterpilihan Bani Israil barangkali juga tidak terlepas dari klaim Bani Israil sendiri bahwa mereka telah dipilih oleh Tuhan. Beberapa ayat al-Qur’an mengindikasikan bahwa orang-orang Yahudi Medinah telah mengekspresikan hal tersebut, namun mungkin dengan nada sinis dan merendahkan.
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah di antara orang-orang musyrik.”

Katakanlah (hai orang-orang Mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”[11]

Pada ayat lain ekspresi ini tampak lebih tegas:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah: “Lalu mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).[12]

Ayat-ayat ini turun mengoreksi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memandang diri mereka terlalu eksklusif. Kedua komunitas ini dianggap al-Qur’an telah terjebak dalam kesesatan mental yang sama. Tuhan telah memilih mereka dengan menurunkan agama yang benar, namun mereka telah mengalihkan makna keterpilihan itu kepada bentuk-bentuk yang lebih sempit: rasialisme dan formalitas. Al-Qur’an membantah klaim-klaim yang telah merusak kebenaran universal dan merendahkan persaudaraan kemanusiaan itu.
            Dalam konteks seperti ini, barangkali, ayat-ayat di atas dapat dilihat secara lebih terang. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an tidak boleh dilihat dengan perspektif yang sempit, sehingga seseorang terjebak kembali dalam kekeliruan yang sama. Al-Qur’an adalah petunjuk dan peringatan, bukan buku manual; ia harus dipahami melalui perspektif kehidupan yang lebih luas, lebih real dan lebih bijaksana.
            Kesadaran sebagai umat pilihan, melalui cara-cara tertentu, telah terbentuk dalam berbagai komunitas agama yang percaya agamanya sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan yang Esa; dan ini telah mencirikhaskan ketiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam. Masing-masing memiliki alasan, yakni dari kitab suci, untuk mengklaim dirinya sebagai umat pilihan Tuhan; dan bahwa Tuhan sendiri telah berkata demikian. Namun, sesungguhnya yang lebih penting adalah upaya mengeksplorasi makna yang lebih dalam dari pernyataan bahwa Tuhan telah memilih seseorang atau suatu umat. Jika Yahudi adalah umat pilihan, mengapa Tuhan menghukum mereka dengan berbagai siksaan? Demikian al-Qur’an mengajukan kritikan. Namun kritik ini sering kali tidak diterapkan oleh umat Islam (pemilik al-Qur’an) untuk diri mereka sendiri. Artinya, meskipun umat Islam melihat dirinya sebagai umat pilihan, kebanyakan mereka tidak berupaya dengan sungguh-sungguh untuk merealisasikan hal tersebut dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan al-Qur’an.
            Para sarjana Muslim sejak awal telah mengemukakan pendapat berbeda dalam memahami ungkapan al-Qur’an: kuntum khayr ummah (kamu adalah umat terbaik).[13] Berdasarkan riwayat al-T{abarī, Ibn ‘Abbās berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah para sahabat Nabi yang berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Medinah. ‘Umar ibn al-Khat}t}āb juga mengatakan demikian. Menurutnya, mereka yang terpilih itu adalah khusus para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang berbuat seperti para sahabat Rasul berbuat. Namun sejumlah riwayat lain yang barangkali lebih mencerminkan kepedulian akan makna sejati ayat tersebut juga dikutip oleh al-T{abarī. Menurut Mujāhid, demikian al-T{abarī meriwayatkan, umat di zaman mana saja dapat menjadi umat terbaik sejauh mereka memenuhi persyaratan yang telah dibuat al-Qur’an, yaitu: menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar; buktinya al-Qur’an mengatakan: “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” Sayangnya, “di antara mereka ada yang beriman, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”[14]
            Umumnya kaum Muslim, sebagaimana terungkap dalam berbagai literatur Islam sepanjang sejarah, menyadari bahwa menjadi pilihan Tuhan tidaklah dengan serta-merta, tetapi harus dengan amal dan ketulusan hati. Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, dalam keyakinan yang lebih populer, pada akhirnya umat Nabi Muhammadlah yang diyakini sebagai umat yang terbaik; sebaik apa pun umat lain (umat terdahulu), tidak akan menyamai, apa lagi melebihi, umat Nabi terakhir. Padahal, ini jelas amat sulit disejalankan dengan semangat dasar al-Qur’an. Beberapa riwayat telah dijadikan sandaran untuk pandangan ini. Al-T{barī, misalnya, telah menukilkan riwayat-riwayat yang mengatakan – mengenai takwil ayat 110 di atas – “kita adalah umat terakhir dan kita yang terbaik.” Bahkan Nabi diriwayatkan bersabda: “Kamu sekalian telah menyempurnakan sembilan puluh umat, dan kamu adalah yang terbaik dan termulia di sisi Allah.”[15]
Sementara itu al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa para rasul memang telah dilebihkan oleh Tuhan, sebagian mereka di atas sebagian yang lain, namun masing-masing mereka mempunyai kelebihan tersendiri; dan manusia sebagai umatnya serta sebagai hamba Tuhan tidaklah berhak membanding-bandingkan mereka.
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung kepadanya) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Rūh} al-Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdo‘a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[16]

            Kedua ayat ini memperlihatkan pandangan al-Qur’an yang cukup jelas soal bagaimana umat Muhammad seharusnya bersikap terhadap umat dan nabi-nabi yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan secara sahih oleh al-Bukhārī, Nabi Muhammad sendiri telah mengekspresikan sikap yang cukup tegas. Pada suatu hari seorang Muslim bertengkar dengan seorang Yahudi; mereka saling mencaci maki. Maka terucap oleh si Muslim: “Demi Tuhan yang telah memilih Muhammad atas sekalian manusia.” Lalu Yahudi tersebut membalas: “Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas sekalian manusia.” Maka orang Muslim tadi marah dan menampar si Yahudi. Yahudi itu mengadu kepada Rasulullah. Rasul memanggil orang tersebut dan bertanya apakah benar pengaduan tersebut. Ia mengaku. Lalu Rasul bersabda: “Janganlah engkau melebih-lebihkan aku atas Musa ...”[17]
            Pertengkaran demi pertengkaran, baik politik maupun ideologi, telah mewarnai sejarah hubungan Yahudi-Muslim dari awal sampai hari ini. “Siapa yang telah memulainya?” Ini adalah pertanyaan yang keliru kalau pertengkaran tersebut tidak ingin dilanjutkan lagi. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak akan pernah relevan bagi dialog antar umat. Jawaban yang diberikan, baik itu “benar” atau keliru, justeru akan memperkeruh suasana. Keinginan mencari jawaban tersebut telah mendorong masing-masing untuk saling merendahkan dan mengindoktrinasi setiap pemeluk masing-masing untuk meyakini diri merekalah yang lebih superior, dengan mencari berbagai legitimasi dari kitab suci dan mengabaikan realitas kehidupan yang lebih nyata. Kadang-kadang kebodohan atau kejahatan segelintir orang – atau bahkan satu orang – dalam sebuah komunitas, harus ditanggung konsekuensinya oleh seluruh individu dalam komunitas tersebut. Dalam setiap komunitas pasti ada orang, atau orang-orang, yang berbuat bodoh, namun tidak adil kalau hal tersebut digeneralisir kepada semua individu. Fakta bahwa al-Qur’an telah mengkritik orang-orang Yahudi dan bahkan melemparkan beberapa tuduhan tercela, tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus fakta bahwa al-Qur’an juga telah mengekspresikan sejumlah apresiasi positif kepada mereka; bahwa Tuhan telah memilih Bani Israil telah diekspresikan al-Qur’an secara nyata.
            Klaim umat Islam sebagai khayr ummah jelas merupakan tantangan bagi kaum Yahudi. Pertengkaran seorang Yahudi dengan seorang Muslim di Medinah, sebagaimana tersebut dalam riwayat di atas, memperlihatkan suasana tersebut. Masing-masing mengatakan Nabinya yang terhebat dan, logikanya, masing-masing menganggap dirinya, sebagai pengikut Nabi tersebut, adalah yang terhebat pula. Dalam situasi pergolakan pemikiran keagamaan yang hebat, pada abad tengah, ketika kaum Muslim mengalami kejayaan dan berkesempatan melancarkan misi Islam dengan gencar, Moses Maimonides (1135-1204), untuk yang pertama kalinya dalam sejarah perkembangan agama Yahudi, memformulasikan tiga belas prinsip dasar keyakinan Yahudi, di mana salah satunya menyebutkan: Moses is the greatest of the prophets.[18] Apa yang dilakukan Maimonides, hampir dapat dipastikan, adalah sebagai upaya melawan klaim umat Islam atas “kebesaran” Nabi Muhammad.[19] Maimonides jelas bukan yang pertama menciptakan gagasan tersebut, tetapi, dalam kondisi pertentangan ideologi seperti di abad tengah itu, ia merasa perlu menegaskannya kembali dalam rangka “memperteguh keimanan” kaumnya dan “menyelamatkan” mereka dari “kemurtadan.” Kedua belah pihak sebenarnya sama saja. Keinginan untuk menjadi yang terhebat, atau mendapat pengakuan sebagai yang terhebat, barangkali, merupakan naluri dasar manusia. Lagi-lagi al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang menjadi hebat bukan karena keturunan atau komunitasnya, tetapi karena hati dan amalnya. Maka Nabi Muhammad pun menolak untuk disebut sebagai lebih hebat dari Nabi Musa. Hanya Tuhan yang berhak menilai hati dan amal manusia.
Di kalangan Yahudi telah muncul pula kesadaran untuk mengkritisi makna keberadaan mereka sebagai the chosen people. Dalam tradisi Yahudi, gagasan bahwa Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi sebagai umat istimewa yang akan melaksanakan kehendak-Nya dapat ditemukan secara jelas dalam Bible – di antaranya sebagaimana telah dikutip di atas – dan menjadi ajaran yang diyakini secara luas oleh masyarakat Yahudi. Namun, apakah ketika Tuhan telah memilih orang-orang Yahudi berarti Ia telah mengabaikan umat-umat yang lain? Para sarjana Yahudi telah mengembangkan tafsiran berbeda-beda dalam menjelaskan makna “umat pilihan Tuhan.” Sebagian mereka menunjukkan bahwa persoalannya tidaklah sederhana. Bible memang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih bangsa Yahudi, tetapi  nowhere is it suggested that other peoples have no role to play in God’s plan for humanity.[20] Lebih jauh, doktrin tersebut tampak dengan jelas bertentangan dengan keyakinan akan betapa luasnya rahmat Tuhan, whose care and providence extends equally ... to all human beings He has created in His image.[21]
Sebagian mereka bahkan merasa “risih” dengan sebutan tersebut. Mengapa Tuhan harus memilih satu umat khusus untuk suatu tugas tertentu? Mengapa orang-orang Yahudi sebagai pilihan terbaik? Why not make the whole human race the instrument for the fulfillment of His purpose? Kita tidak tahu, itu adalah urusan Tuhan, jawab Maimonides dan sejumlah pemikir Yahudi lainnya.[22]
Namun sebagian mereka sangat yakin bahwa Tuhan memang telah memilih ras Yahudi sebagai yang terbaik di antara umat manusia. Jiwa orang-orang Yahudi lebih superior dari yang lainnya. Walaupun demikian, ini tidak berarti orang-orang Yahudi dapat bertindak sekehendaknya terhadap bangsa lain yang dianggap berjiwa inferior. Yang dituntut justeru sebaliknya: Karena Tuhan telah memilih mereka, berarti Tuhan telah memundakkan tugas yang lebih besar, yaitu memberikan servis kepada umat lain, bukan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri; mengajak mereka ke jalan Tuhan dan membantu mereka menjalankan kehendak Tuhan. Pandangan ini, walaupun mencoba menunjukkan diri bersikap dan berniat baik, jelas sangat imperialistik. Kebanyakan sarjana Yahudi menolak pandangan tersebut, atau dianggap sebagai pandangan yang kurang meyakinkan.[23]
Mengenai hal ini George Robinson mengutip dua kisah ilustratif. Yang pertama, Tuhan menawarkan Taurat kepada bangsa-bangsa lain. Satu kelompok bertanya: “Apa  di dalam nya?” di mana Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh mencuri.” Mereka lalu berkata: “Ya, bagaimana, itulah penghidupan kami. Kami tidak tertarik.” Kelompok lain lagi juga bertanya apa isi Taurat itu, dan Tuhan menjawab: “Kamu tidak boleh membunuh.” Mereka merespon: “Kami adalah bangsa pahlawan, maaf, kami tidak dapat mengikutinya.” Akhirnya Tuhan menawarkan Taurat itu kepada orang-orang Hebrew dan mereka setuju untuk menerimanya.
Dalam kisah kedua, Tuhan mengangkat gunung Sinai ke atas kepala orang-orang Israel, lalu menahannya dan berkata bahwa jika mereka tidak mau menerima Taurat, Ia akan menjatuhkan gunung tersebut.
Jadi, kata Robinson, orang-orang Yahudi tidak dipilih karena superioritasnya, tetapi karena kemauannya mengikuti hukum Tuhan. Mereka dipilih karena mereka tidak berani menolak. Either way, the worldview these two stories propound is one in which being chosen is a responsibility and a burden. In Deuteronomy 7: 7, God tells the Israelites that they were not chosen because they were greater among the nations but because they were small, the least of the nations.[24]
Apa yang dikemukakan al-Qur’an tentang keterpilihan Bani Israil adalah konsep yang telah dikembangkan oleh Bani Israil itu sendiri. Dalam kenyataannya sekarang, orang-orang Yahudi berselisih tentangnya. Al-Qur’an dalam hal ini sebenarnya telah menawarkan konsep yang lebih tercerahkan bagi orang-orang Yahudi dalam memaknai arti gagasan “keterpilihan” tersebut. Sekiranya saja para pemeluk suatu agama tidak merasa segan mengambil kitab suci umat lain untuk memperkaya pemahaman mereka tentang isi kitab suci mereka sendiri mungkin mereka akan bisa melihat dunia ini agak lebih luas. Tapi bagi kebanyakan orang, ini pasti amat menjijikkan dan dianggap sebagai cara beragama paling keliru. Namun para sarjana Muslim ternyata telah mengambil inisiatif seperti ini sejak awal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, walaupun pada akhirnya dikalahkan oleh pendapat lain, yang mampu menciptakan kesan negatif bagi isrā’īliyyāt.


[1]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[2]Q.S. al-Mā’idah: 20.
[3]Q.S. al-Baqarah: 47 dan 122.
[4]Q.S. al-Dukhān: 32.
[5]Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Kairo, 1956), Vol. 3, 36-7.
[6]Al-Rāzī, Mafātih} al-Ghayb, (Kairo, 1308 H.), Vol. 1, 336-7.
[7]Al-Qurt}ubī, al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Sya‘b, Cet. II, 1372 H.), Vol. 1, 376. Pendapat ini didukung pula oleh Q.S. al-Jātsiyah: 16: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil kitab (Taurat), kekuasaan (al-h}ukm) dan kenabian (al-nubuwwah) dan Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa yang lain.”
[8]Ibid., Vol. 16, 142-143.
[9]Q.S. Āli ‘Imrān: 33 dan 42.
[10]Q.S. al-Baqarah: 124.
[11]Q.S. al-Baqarah: 135-136.
[12]Q.S. al-Mā’idah: 18.
[13]Q.S. Āli ‘Imrān: 110.
[14]Al-T{abārī, Jāmi‘ al-Bayān, Vol. 4, 43-45.
[15]Ibid., 45
[16]Q.S. al-Baqarah: 253 dan 285.
[17]Al-Bukhārī, S{ah}īh} al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, 1987 M./1407 H.), Vol. 2, 849: Hadis No. 2280. Dalam teks lain disebutkan, mendengar itu “maka Nabi s.a.w. marah ...” Lihat Ibid., Vol. 3, 1254: Hadis No. 3233.
[18]Tiga belas prinsip dasar keyakinan tersebut, sebagaimana dikutip Tracey Rich, ialah: 1. G-d is one and unique; 2.G-d is incorporeal; 3. G-d is eternal; 4. Prayer is to be directed to G-d alone and to no other; 5. The words of the prophets are true; 6. Moses’s prophecies are true, and Moses was the greatest of the prophets; 7. The Written Torah (first 5 books of the Bible) and Oral Torah (teachings now contained in the Talmud and other writings) were given to Moses; 8. There will be no other Torah; 9. G-d knows the thoughts and deeds of men; 10. G-d will reward the good and punish the wicked 11. The Messiah will come; 12. The dead will be resurrected. Lihat . Lihat juga Louis Jacobs, The Book of Jewish Belief, (Behrman House, t.t.), 5.
[19]Louis Jacobs, The Book of Jewish Belief, (Behrman House, t.t.), 6.
[20]Ibid., 38.
[21]Louis Jacobs, The Jewish, 77.
[22]Louis Jacobs, The Book, 40.
[23]Ibid.
[24]George Robinson, Essential Judaism: A Complete Guide to Beliefs, Customs, and Rituals, (New York: Pocket Boks, 2000), 73-74.

No comments:

Post a Comment