Thursday, May 6, 2010

Perempuan Penghuni Neraka?


Beberapa hadits sahīh meriwayatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Akan tetapi dalam hadits tersebut tidak dikatakan bahwa kebanyakan penghuni sorga adalah laki-laki. Nabi justeru mengatakan – masih menurut teks hadits tersebut – bahwa kebanyakan penghuni sorga adalah orang-orang miskin. Hadits-hadits ini perlu dicermati secara baik karena pembacaan secara sepintas dapat menimbulkan kebingungan atau salah paham. Mungkinkah perempuan menjadi penghuni neraka tanpa sebab? Atau, adakah kebanyakan laki-laki itu miskin, dan karena itu mereka masuk sorga? Di antara hadits-hadits yang membicarakan hal tersebut adalah:
Dari Usamah ibn Zayd r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Aku berdiri di pintu sorga, lalu (aku lihat) kebanyakan orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin, dan aku berdiri di pintu neraka, lalu (aku melihat) kebanyakan orang yang memasukinya adalah perempuan” (H.R. al-Bukhārī).
Haditsdalam pengertian yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga diriwayatkan oleh al-Bukhārī, berasal dari Ibnu ‘Abbās. Redaksi yang lebih panjang dan lengkap diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari Jābir.
Jābir ibn ‘Abdillāh berkata: “Aku ikut melaksanakan salat ‘īd bersama Rasulullah s.a.w. Beliau salat sebelum khutbah, tanpa azan dan tanpa iqāmah. Beliau memberikan pelajaran dan peringatan-peringatan kepada manusia. Kemudian bersama Bilāl beliau mendatangi kaum perempuan dan memberikan pelajaran serta peringatan-peringatan kepada mereka. Beliau menyuruh mereka bersedekah dan berkata: ‘sesungguhnya di antara kamu sekalian yang masuk sorga sangat sedikit.’ Maka seorang perempuan berkata: ‘mengapa ya Rasulallah?’ Beliau menjawab: ‘Karena kalian banyak [mengeluarkan kata-kata] kutukan dan kalian kufur (tidak berterimakasih) kepada suami’.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbās memperjelas lagi pengertian hadits di atas:
Dari Ibnu ‘Abbās, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Aku melihat neraka dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah perempuan.” Mereka (para sahabat) bertanya: “Mengapa ya Rasulallah?” Nabi menjawab: “Karena mereka kufur.” “Apakah mereka kufur kepada Allah?” tanya mereka lagi. Nabi menjawab: “Mereka kufur kepada suami[nya] dan mereka kufur terhadap ihsān (kebaikan atau perbuatan baik). Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka setahun, kemudian ia melihat sesuatu [yang tidak berkenan] darimu, ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat satu kebaikan pun dari kamu’.”
Hadits-hadits di atas dan sejumlah hadits lain yang senada, secara sepintas, memberikan kesan bahwa perempuan memiliki citra buruk dalam pandangan Islam. Namun jika diperhatikan dengan cermat akan nampak bahwa pernyataan-pernyataan Nabi itu tidak dalam rangka mendiskreditkan perempuan secara keseluruhan. Namun apa yang dilakukan beliau adalah memperingatkan mereka dengan keras. Ada kemungkinan bahwa peringatan tersebut disampaikan oleh Nabi karena munculnya kecenderungan baru di kalangan perempuan, yaitu semacam euphoria (kegembiraan yang meluap-luap dan melewati batas) karena kebebasan dan kelonggaran yang diberikan Islam pada masa awal. Pada masa jahiliah mereka terkungkung sehingga hak-hak mereka banyak yang terabaikan. Maka begitu Islam membebaskan mereka, muncullah kejutan-kejutan psikologis sehingga seringkali menimbulkan sikap berlebih-lebihan, terutama sekali sikap mereka terhadap suaminya. Dalam kondisi seperti itu, tidak diragukan, kaum laki-laki pun akan berhadapan dengan berbagai kesulitan, dan akan kebingungan menyaksikan perubahan-perubahan yang terjadi. Barangkali pada waktu itu masyarakat Muslim dapat dikatakan berada dalam masa transisi menuju kehidupan sosial yang lebih ideal. Maka Nabi tentu saja merasa perlu memberikan peringatan-peringatan khusus kepada perempuan, bahkan dengan cara yang agak keras. Karena itu hadits-hadits tersebut dapat dianggap bersifat kondisional karena berbicara dalam konteks kondisi sosial tertentu. Ia akan berubah atau dapat ditafsirkan ulang sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi.
Di samping itu ada juga kelompok yang menolak hadits tersebut karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan juga dengan hadits-hadits Nabi yang lain. Jalaluddin Rahmat, tanpa menyebutkan sumber, mengutip sebuah dialog antara seorang murid dengan gurunya, Imam Ja‘far. “Benarkah hadits yang mengatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka itu perempuan?” tanya murid tersebut. Sang guru menjawab: “Tidakkah anda membaca ayat al-Qur’an Sesungguhnya Kami ciptakan mereka sebenar-benarnya; Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan berusia sebaya. Ayat ini berkenaan dengan para bidadari, yang Allah ciptakan dari perempuan yang saleh. Di surga lebih banyak bidadari daripada laki-laki mukmin.” Secara implisit, seperti dikomentari Jalaluddin, Imam Ja‘far menolak keabsahan hadits di atas, dan menunjukkan bahwa sebenarnya penghuni sorga justeru lebih banyak perempuan. Lebih lanjut, Jalaluddin juga memberikan komentar:
Hadits yang ‘mendiskreditkan’ perempuan ternyata sudah masyhur sejak abad kedua hijriah. Tetapi sejak itu juga telah ada ahli agama yang menolaknya. Dari Imam Ja’far inilah berkembang mazhab Ja’fari, yang menetapkan bahwa akikah harus sama baik buat laki-laki maupun perempuan. Pada mazhab yang lain, untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja. Mengingat sejarahnya, mazhab Ja‘fari lebih tua, karena itu lebih dekat dengan masa Nabi daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadits-hadits yang memojokkan perempuan itu baru muncul kemudian: sebagai produk budaya yang sangat maskulin.
Jalaluddin sepertinya ingin menegaskan bahwa pendapat Imam Ja‘far yang menolak hadits di atas lebih kuat dari yang lain, yakni yang mempertahankannya. Dan hadits-hadits tersebut menurutnya lebih merupakan produk budaya masa setelah Nabi, di mana laki-laki mulai memerankan diri kembali sebagai penguasa atas perempuan. Pada masa Nabi, ketika wahyu masih diturunkan, mereka tidak mau memperlakukan isteri mereka secara tidak sopan, sebab takut wahyu akan turun dan mengancam mereka. Setelah Nabi wafat, mereka merasa “bebas” kembali.
Namun demikian, menolak keabsahan hadits-hadits di atas, menurut kami, tidak cukup beralasan. Kita tidak hanya harus kritis terhadap proses periwayatan sebuah hadits, tetapi juga perlu memiliki ketajaman dalam melihat dan memahami matan (teks) serta konteks hadits tersebut. Kalau hadits-hadits di atas ditolak hanya karena alasan bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang lain, itu menunjukkan kelemahan hermeneutika (pemahaman, tafsiran atau takwilan) orang yang menolaknya. Kita bisa saja bertanya: Mungkinkah Rasulullah telah mengucapkan hadits seperti itu? Tetapi pertanyaan yang lebih krusial di sini adalah: Mengapa Rasulullah sampai mengeluarkan sabdanya demikian?
Jika dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat Muslim, termasuk Nabi sendiri, pada waktu itu, kesimpulan yang paling mungkin ditarik dari hadits-hadits di atas adalah bahwa Nabi sedang memberikan pembelaan kepada kaum miskin, sebagaimana yang dilakukan al-Qur’an sendiri dan juga tindakan-tindakan Nabi pada kesempatan yang lain. Kaum miskin yang dibela di sini khususnya yang berurusan dengan problem rumah tangga akibat tuntutan-tuntutan isterinya yang sudah melebihi kepatutan (dalam konteks di mana umat Islam sedang berjuang membangun dan mempertahankan sebuah masyarakat yang baru saja terbentuk). Nabi sendiri merasakan beratnya suasana tersebut, seperti yang akan kita lihat nanti. Karena itu tidak mengherankan hadits-hadits tersebut bernada tinggi dan keras.
Ajaran Islam telah meletakkan dasar-dasar yang sangat jelas mengenai jalan keselamatan manusia. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat serta mengerjakan amal saleh akan selamat. Siapa saja yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya akan selamat. Dan setiap mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, sedikit pun tidak akan dizalimi di hari akhirat. Setiap amal manusia akan diperhitungkan dan diperlihatkan walaupun sebesar atom ukurannya. Lalu apa persoalannya sehingga isi neraka itu terkait dengan jenis kelamin? Karena itu hadits-hadits tersebut harus dilihat sebagai bersifat kondisional. Ucapan Nabi dalam masalah ini harus dipahami dalam pengertian khusus, yakni sebagai sebuah ancaman terhadap kaum perempuan dalam kondisi tertentu dan pada zaman tertentu. “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tidak merubahnya” (Q.S. al-Ra‘d [13]: 11). Dengan demikian, bukan visi yang dinampakkan kepada Nabi (ihwal banyaknya perempuan yang menjadi isi neraka) itu yang menentukan nasib perempuan, tetapi mereka sendiri. Visi gaib yang terlihat dalam kesadaran Nabi s.a.w. itu boleh jadi merupakan refleksi dari pengalaman beliau sendiri dan sahabat-sahabatnya dalam menggauli perempuan (isteri-isterinya), yang selama ini terasa pahit. Nabi adalah orang yang sangat menghargai perempuan, namun tidak jarang penghargaan yang diberikan Nabi itu tidak diresponi dengan baik. Kebebasan telah dipahami sebagai keleluasaan untuk bertindak sesuka hati. Penghormatan telah diartikan sebagai peluang untuk kesewenangan. Ini tentu saja sangat menggundahkan hati Nabi dan menciptakan kegelisahan di kalangan kaum laki-laki yang melihat isteri-isteri mereka mulai menunjukkan berbagai perubahan tingkah laku, sementara mereka sendiri masih dalam kebimbangan melepaskan berbagai kebiasaan yang mengakar cukup kuat pada tradisi sebelum Islam. Menurut sebuah riwayat, ‛Umar Ibn al-Khattāb pernah mengeluh atas kelakuan kaum perempuan (isteri-isteri orang mukmin) setelah hijrah ke Medinah:
Kami orang-orang Quraysy dulu [di Mekkah] berkuasa atas isteri-isteri kami, tetapi ketika kami datang di tengah-tengah kaum Anshār, kami dapati kaum perempuan mereka menguasai kaum lelaki. Karena itu perempuan-perempuan kami pun mulai mempelajari cara-cara kaum Ansār (Riwayat al-Bukhārī).
Gambaran situasi ini memperlihatkan adanya interaksi dua tradisi berbeda antara kaum Muhājirīn dan Ansār ihwal kehidupan kaum perempuan di tengah-tengah kaum prianya, yang pada gilirannya menciptakan ketegangan-ketegangan tertentu. Jika ini dipahami dengan baik, tidak mengherankan jika Nabi mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus untuk meredamnya, dan mungkin terpaksa dengan jalan memberikan ancaman-ancaman atau peringatan keagamaan. Jika hadits di atas dapat dipahami dalam konteks ini maka tidak ada alasan mendiskreditkan perempuan dengannya. Jika pada masa tertentu dan dalam budaya tertentu perempuan terpaksa diperingatkan secara keras, maka boleh jadi pada zaman dan budaya yang berbeda laki-lakil akan mendapat giliran yang sama. Contohnya saja zaman sekarang, dimana secara umum laki-laki bertindak sebagai pengontrol seluruh lini kehidupan: sosial, budaya, ekonomi, politik, dan bahkan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa peradaban yang kita bangun sekarang adalah peradaban yang berpihak hampir sepenuhnya pada keinginan laki-laki. Lalu muncullah berbagai arogansi kaum laki-laki terhadap perempuan atas dasar jenis kelamin. Dalam kondisi seperti ini hadits di atas akan lebih relevan kalau dipahami sebaliknya: laki-laki lebih banyak menjadi penghuni neraka, karena mereka sering sekali bertindak kasar, menghina dan tidak berterimakasih kepada keluarganya. Isterinya berbelanja dan memasak untuknya, mencuci pakaiannya, menyusui dan mengasuh anak-anaknya – padahal itu semua bukan kewajibannya – tetapi ketika sang isteri berbuat sedikit kesalahan, sang suami akan berkata: ‘pekerjaanmu tidak pernah ada yang beres!’
Jika ucapan Nabi bahwa banyak perempuan menjadi penghuni neraka tetap dipahami secara harfiah dan dianggap sebagai sebuah ketetapan yang pasti, maka tidak ada artinya Nabi melanjutkan sabdanya dengan memberikan wejangan kepada mereka dan memperingatkan mereka untuk melakukan introspeksi dan memperbanyak kebaikan. Adanya keterangan tambahan dari Nabi seperti tersebut dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa bukanlah jenis kelamin yang berpengaruh besar dalam menentukan nasib seseorang di sorga atau neraka, tetapi sejauh mana ia dengan tekun dan ikhlas mengikuti petunjuk Rasulullah itu. Karena pada waktu itu Nabi menemukan banyak perempuan – karena berbagai faktor sosial-budaya – yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran maka beliau menekankan peringatan tersebut kepada perempuan. Sementara itu dalam konteks yang berbeda Nabi juga pernah membuat pernyataan-pernyataan yang menunjukkan sisi kelebihan yang dimiliki perempuan.
Seperti telah kami katakan, Nabi sendiri sebenarnya mengalami peristiwa tidak menyenangkan bersama isteri-isterinya di Medinah. Al-Qur’an (al-Ahzāb [33]: 28-33) mengisyaratkan peringatan keras kepada para isteri Nabi dan mengingatkan mereka akan pentingnya kepatuhan kepada Allah dan rasul-Nya serta harus menjadi teladan bagi kaum mukminat lainnya.
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut‘ah dan kuceraikan kamu semua dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki [keridhaan] Allah dan Rasul-Nya serta [kesenangan] di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.
Wahai isteri-isteri Nabi, siapa saja di antaramu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat-gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.
Dan barangsiapa di antara kamu sekalian tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan lain, bila kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang dalam hatinya ada penyakit, dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Dan hendaklah kamu sekalin tetap berada di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Peringatan keras ini menunjukkan ada gejala kurang beres yang muncul akhir-akhir ini dalam kehidupan para isteri Nabi. Sikap mereka sudah berlebih-lebihan sehingga berdampak tidak baik bagi wibawa Nabi sebagai seorang utusan Allah. Jika isteri-isteri Nabi sudah demikian halnya, maka dapat dibayangkan betapa lagi keadaan perempuan-perempuan lain. Sebuah perubahan sosial telah terjadi dan membawa dampak psikologis yang besar. Kondisi inilah sebenarnya yang mewarnai suasana kehidupan perempuan pada periode transisi tersebut. Maka sabda-sabda Nabi pun muncul dengan nada mengancam. Beberapa riwayat dalam kitab-kitab tafsir telah disebutkan ihwal kesedihan Nabi terhadap isteri-isterinya yang menuntut nafkah di luar kesanggupan beliau, sehingga Abu Bakar dan ‛Umar (mertua Nabi) sempat marah kepada anak-anak mereka (‘Āisyah dan Hafsah) karena memperlakukan Nabi seperti itu. Dan akhirnya ayat di atas diturunkan untuk memberikan sebuah solusi yang tegas serta mengisyaratkan sebuah petunjuk kepada Nabi untuk mengambil sikap yang lebih tepat (kisah turun ayat ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan al-Nasā’ī).
Kondisi aktual tentang kehidupan perempuan saat itu juga nampak dalam ungkapan Nabi di atas ketika mendeskripsikan kelakuan mereka secara umum: “Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka setahun, kemudian ia melihat sesuatu [yang tidak berkenan] darimu, ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat satu kebaikan pun dari kamu.” Ini tentu saja ungkapan dari seorang perempuan yang sangat liberal dan berani. Kata-kata seperti ini tidak mungkin keluar dari seorang perempuan dalam budaya yang dikontrol secara ketat oleh laki-laki, sebab hal yang demikian merupakan malapetaka bagi dirinya. Tetapi kenapa Nabi “marah?” Jawaban yang paling mungkin diberikan adalah: Karena telah banyak perempuan yang tidak memanfaatkan liberalitas atau kebebasan tersebut secara fair; mereka telah berlebih lebihan. Dan hal ini tentu saja dapat dipahami dalam konteks psiko-sosiologis tertentu, seperti telah didiskusikan di atas. Sebab itu pula kata-kata Nabi berkenaan dengan masalah ini mesti dilihat dan diterjemahkan sebagai pesan-pesan moral yang terikat dengan psiko-sosiologis tertentu juga.
Hadits-hadits di atas menurut pendapat kami patut dipertahankan, namun harus dijelaskan dalam konteks yang tepat. Hadits-hadits seperti itu perlu, sebab, dalam kondisi-kondisi yang spesial, orang kadang-kadang tidak dapat dinasehati dengan cara yang biasa.

No comments:

Post a Comment