Tuesday, May 25, 2010

Derajat Perempuan

Adakah laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan? Ini adalah sebuah wacana kontroversial dalam beberapa dekade terakhir, dimana pada masa-masa sebelumnya orang dengan mudah menjawab bahwa benar laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Namun demikian, asal muasal superioritas laki-laki atas perempuan juga dipandang secara berbeda oleh kebanyakan orang. Ada yang percaya bahwa laki-laki secara alamiah lebih hebat (lebih unggul) dari perempuan; artinya, memang telah demikian diciptakan. Sementara yang lain lagi menganggap bahwa tatanan sosial seperti sekarang ini, yang menempatkan laki-laki pada posisi lebih tinggi dari perempuan, hanyalah karena sebuah proses sosio-kultural semata; laki-laki dan perempuan tidak dilahirkan agar jenis yang satu menguasai dan mengalahkan jenis yang lain. Mereka dilahirkan sama, akan tetapi manusia sendiri yang menetapkan posisi-posisi tertentu kepada jenis kelamin tertentu dalam kehidupan sosialnya.
Dalam al-Qur’an (al-Nisā’ [4]: 34) Allah berfirman:
Kaum laki-laki adalah qawwāmūn (pemimpin) bagi kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (kaum laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir, sebab Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatir nusyūz-nya (melanggar kewajiban suami isteri), nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini telah dijadikan alasan oleh kebanyakan orang untuk mengatakan bahwa laki-laki telah dilebihkan kedudukannya oleh agama dari perempuan. Qawwāmūn secara general dapat diartikan dengan para pemimpin, pelindung, penanggung jawab, atau orang yang mengurus atau bertindak atas nama urusan orang lain. Para mufassir, terutama mufassir klasik, memberikan pengertian yang lebih kurang sama terhadap kata tersebut, meskipun dengan redaksi yang agak berbeda. Semua penjelasan mereka mengarah pada kesimpulan bahwa laki-laki adalah kaum yang terdepan dan bertanggung jawab atas segala urusan perempuan. Sebagian mereka bahkan secara tegas menyatakan superioritas laki-laki atas perempuan dengan menyebutkan berbagai keungulan yang pertama atas yang kedua: laki-laki lebih cerdas, lebih terhormat, lebih teguh pendiriannya, lebih kuat agamanya (dst.) dari perempuan. Karena itu, dari kaum laki-lakilah munculnya ulama, imam-imam besar, pejuang dan sebagainya. Demikian juga beberapa ketentuan syari’at dikhususkan bagi laki-laki, seperti jihad, azan, khutbah, salat Jum’at, kesaksian, wali nikah dan lain-lain.
Komentar dengan nada yang serupa juga disampaikan dalam kitab tafsir Ibnu Katsīr, sebuah kitab tafsir standar yang dijadikan rujukan oleh para sarjana Muslim sampai sekarang. Ibn Katsīr mengatakan bahwa laki-laki lebih utama dan lebih baik dari perempuan. Laki-laki adalah pemimpin perempuan, seniornya, pemberi keputusan [atas tindakan-tindakannya] dan pemberi peringatan apabila ia menyeleweng. Karena itu kenabian dan pemimpin agung dikhususkan bagi laki-laki.
Sementara itu dalam ayat yang lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 228) juga dikatakan bahwa laki-laki berada satu tingkat di atas perempuan. Secara lengkap arti ayat tersebut sebagai berikut:
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci. Tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Dan suami-suami mereka lebih berhak rujuk kepadanya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki perdamaian. Dan mereka (perempuan-perempuan tersebut) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (kebiasaan baik yang berlaku). Sementara kaum laki-laki (para suami) memiliki satu derajat lebih tinggi dari isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini, dan juga ayat 34 surat al-Nisā’ yang telah dikutip sebelumnya, jelas sekali berbicara tentang laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami isteri. Kesan yang paling kuat ketika kita membaca kedua ayat tersebut adalah bahwa laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga, sedangkan perempuan tunduk dan tersubordinasi pada laki-laki dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan rumah tangga. Secara tidak langsung dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan di luar konteks tersebut adalah sejajar. Dalam hubungan sosial, interaksi bisnis, pergulatan politik dan lain-lain di luar hubungan suami isteri, mereka dapat bekerja bersama-sama dan memilih siapa saja yang dianggap paling berkualitas di antara mereka, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai pemimpin. Tetapi pertanyaan tetap dapat diajukan: apakah dalam konteks kehidupan keluarga, laki-laki (suami) juga mesti “selalu” yang berada di depan, sebagai pemimpin, pembimbing isteri dan sebagai yang paling bertanggung jawab? Bagaimana sekiranya sang isteri dapat mengungguli suaminya dalam banyak hal? Ini sebenarnya termasuk juga masalah yang masih dapat diperdebatkan, seperti yang akan kita lihat nanti.
Penafsiran ulama klasik ihwal keutamaan laki-laki atas perempuan tentu dapat dipahami apabila dilihat dalam konteks zaman atau lingkungan peradaban di mana mereka hidup. Laki-laki mendapat kesempatan yang labih besar dari perempuan dalam segala hal: pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Tetapi kenyataan yang kita saksikan sekarang – di mana berbagai fasilitas teknologi global, terutama sekali dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi telah memberikan kemudahan-kemudahan, akses dan ruang gerak yang lebih luas kepada semua kelompok masyarakat, laki-laki dan perempuan – tentu saja amat berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi hambatan-hambatan fisik yang menjadi alasan, misalnya, perempuan tidak dapat menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu; tidak ada lagi alasan keamanan bagi perempuan untuk tidak bisa keluar rumah untuk menjalankan bisnis. Sehingga, kita pun dapat menyaksikan bahwa kecerdasan, ketrampilan mengemukakan pendapat di depan publik, dan berbagai keahlian serta profesionalisme lainnya ternyata tidak dimonopoli laki-laki. Banyak perempuan telah mampu menunjukkan kesejajarannya dengan, atau bahkan mengungguli, laki-laki dalam berbagai bidang.
Hal ini sebenarnya telah menjadi wacana penting juga di kalangan mufassir, terutama sekali mereka yang sempat hidup dalam, dan/atau bersentuhan dengan, peradaban modern. Rasyīd Ridā, seorang ulama tafsir modern, misalnya, dengan tegas menyatakan penolakannya atas tafsiran klasik yang mendiskreditkan perempuan atas dasar jenis kelamin dan atas dasar “faktor-faktor” alamiah serta historis yang melekat pada perempan. Misalnya haid dan mengandung dikatakan sebagai hal yang telah menyebabkan kegiatan-kegiatan tertentu terhalang bagi perempuan; atau bahwa dalam sejarah tidak kita temukan seorang nabi yang diangkat Tuhan dari kaum perempuan; demikian juga alasan syar‛iy, bahwa beberapa ketentuan agama telah dikhususkan bagi laki-laki, seperti telah disebutkan di atas. Semua ini, menurut Rasyīd Ridā, tidak bisa dijadikan hujah untuk mengatakan bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan. Faktor-faktor alamiah adalah ketentuan Tuhan, karena itu manusia tidak bisa menjadikannya sebagai dasar untuk merendahkan atau meninggikan sebagian atas sebagian yang lain. Ketentuan-ketentuan keagamaan juga berasal dari Tuhan, laki-laki dan perempuan mendapatkan pahala yang sama dalam melaksanakan kepatuhan kepada-Nya. Perempuan yang sedang menstruasi, misalnya, akan mendapatkan pahala meninggalkan shalat, sebagaimana juga ia akan berdosa jika melaksanakan shalat pada waktu tersebut; meninggalkan shalat itu sendiri adalah sebuah kepatuhan. Sesungguhnya yang menjadikan laki-laki itu qawwām (pemimpin) bagi perempuan, kata Rasyīd Ridā, adalah apa yang dinyatakan sendiri secara tegas oleh al-Qur’an, yaitu: bimā faddalallāh ba‘dahum ‘alā ba‘d wa bimā anfaqū (karena Allah memang telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka memberikan nafkah).
Rasyīd Ridā juga berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan tidak berlaku untuk semua individu. Sebab tidak sedikit juga perempuan yang melebihi laki-laki dalam hal ilmu, ekonomi dan bisnis atau aktivitas kerja. Pernyataan ayat di atas hanyalah merujuk pada kenyataan umum semata.
Menurut ayat di atas ada dua alasan laki-laki menjadi qawwām (pemimpin) bagi perempuan yaitu: (1) karena memang Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan (2) karena mereka memberikan nafkah.
Mengenai poin pertama, kebanyakan ulama (klasik) mengatakan bahwa maksudnya adalah: Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan. Namun jika kita perhatikan secara seksama, dalam ayat tersebut tidak dikatakan demikian; yang dikatakan dalam ayat adalah: faddalallāh ba‘dahum ‘alā ba‘d. Artinya, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian (yang lain) – tidak dikatakan: melebihkan laki-laki atas perempuan. Menurut Didin Syafruddin, pemahaman ulama klasisk seperti itu menunjukkan bahwa mereka telah dipengaruhi oleh historisitasnya. Pada zaman mereka kesejajaran antara laki-laki dan perempuan baik secara teoritis maupun dalam praktek belum terbukti secara meyakinkan dalam sejarah, sehingga pandangan minor terhadap kedudukan perempuan masih mewarnai pikiran mereka hatta dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Disebabkan oleh paradigma berpikir serta keterbatasan-keterbatasan historis dan kultural seperti itulah maka maksud sebuah ungkapan atau suatu ayat dalam al-Qur’an mungkin saja telah ditakwilkan ke dalam pengertian lain yang al-Qur’an sendiri tidak mengatakannya. Padahal, menurut Didin, pernyataan al-Qur’an “Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain” justeru secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa perempuan pun mungkin saja memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki. Sebagian laki-laki mungkin memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki lain; sebagian laki-laki mungkin juga memiliki kelebihan atas sebagian (bukan semua) perempuan. Demikian juga, secara implisit, mungkin saja sebagian perempuan memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki.
Kelebihan yang dimaksudkan di sini memiliki makna bervariasi atau beragam. Kelebihan tersebut bisa bersifat alamiah seperti kecantikan, kesehatan, kecerdasan otak, bakat dan sebagainya atau sebagai hasil usaha (achievement) seperti ilmu pengetahuan, keahlian, kekayaan dan lain-lain. Kedua model kelebihan ini pada dasarnya berasal dari Allah. Dialah yang menganugerahi manusia berbagai karunia, walaupun secara lahiriah kadang-kadang terlihat sebagai hasil kerja keras manusia itu sendiri, seperti kekayaan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Semua kerja dan semua hasil karya manusia terikat dan terkait dengan berbagai faktor, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga tidak mungkin manusia dapat mengontrol semuanya dan, karena itu, tidak mungkin mereka mengklaim semua yang mereka miliki sebagai miliknya sepenuhnya. Sebab itulah, apa pun kelebihan yang ada pada seseorang, baik sebagai warisan ataupun hasil prestasi, oleh al-Qur’an dirujuk sebagai karunia yang diberikan Allah.
Dalam kenyataannya, siapa pun dapat menyaksikan, bahwa kehidupan manusia sangat variatif; kualitas-kualitas yang ada pada setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan, juga sangat beragam. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa secara fisikal laki-laki lebih kuat dari perempuan. Tetapi kita tidak dapat memungkiri bahwa ada juga sebagian perempuan yang lebih kuat fisiknya dari sebagian laki-laki. Kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah itu meliputi laki-laki dan perempuan. Ada orang memiliki kelebihan yang banyak dan ada pula yang sedikit. Yang jelas semua itu adalah karunia Tuhan yang diberikan-Nya kepada manusia secara berbeda-beda, agar hidup ini bervariasi dan penuh dinamika. Tuhan mengingatkan hal tersebut dalam al-Qur’an supaya manusia tidak saling mendengki dan cemburu secara berlebih-lebihan.
Akan tetapi perlu juga diingat bahwa dalam sebuah budaya masyarakat tertentu bisa saja berlaku kebiasaan-kebiasaan yang khas mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, sehingga muncullah kelebihan-kelebihan personal yang seakan-akan khas bagi satu kelompok gender saja karena memang kelompok gender itulah yang selalu menangani aktivitas tersebut. Misalnya saja sebuah pandangan yang menganggap bahwa memasak adalah aktivitas khas perempuan dan, misal yang lain, bahwa laki-laki lebih ahli dalam berbisnis. Pandangan-pandangan seperti itu akan sulit diterima di zaman sekarang karena kenyataan menunjukkan bahwa keahlian-keahlian apapun tidak dimonopoli suatu kelompok gender. Banyak laki-laki ternyata juga ahli dalam memasak dan begitu juga ternyata banyak perempuan yang cukup “berbakat” dalam berbisnis. Sebenarnya kenyataan-kenyataan seperti ini telah ada sejak dahulu kala. Khadijah, isteri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang businesswoman yang dikenal cukup sukses berdagang. Namun, barangkali karena bertentangan dengan budaya patriarki, maka kenyataan tersebut sengaja dikaburkan. Dalam tradisi masyarakat kita, pekerjaan-pekerjaan tertentu bahkan dianggap sebagai pekerjaan perempuan dan sekaligus dikesankan sebagai pekerjaan “rendahan”. Seorang laki-laki kadang-kadang dianggap “tercela” jika memasak di rumah, mencuci piring dan pakaian serta menjaga anak. Padahal semua ini tidak ada kaitannya dengan kemuliaan dan kerendahan; ini hanya tradisi dan kebiasaan saja yang secara kebetulan telah disepakati bersama oleh masyarakat untuk suatu kondisi sosial tertentu. Dalam ajaran Islam pembagian pekerjaan seperti ini tidak diatur; yang penting adalah tegaknya keadilan dan kepada semua pihak mesti diberikan kesempatan dan kebebasan yang pantas. Oleh karena itu pernyataan ayat di atas yang mengaitkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dengan kelebihan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagaian yang lain harus dipahami dalam konteks sosio-kultural masyarakat Arab pada saat ayat tersebut diturunkan.

No comments:

Post a Comment